• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Kajian pustaka ialah paparan atau konsep-konsep yang mendukung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Kajian pustaka ialah paparan atau konsep-konsep yang mendukung"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kepustakan Yang Relevan

Kajian pustaka ialah paparan atau konsep-konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Paparan atau konsep-konsep tersebut bersumber dari pendapat para ahli, empirisme (pengalaman penelitian), dokumentasi, dan data penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang, “Kearifan Lokal (hakikat, peran, dan metode tradisi lisan),” (Sibarani 2014). Buku ini menjelaskan tentang tradisi lisan yang ada pada masyarakat indonesia yang memiliki nilai dan norma budaya yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi setiap persoalan yang ada pada masyarakat. Dengan ini, tradisi lisan manjadi pedoman kearifan lokal untuk menata dan mensejahterakan kehidupan masyarakat. Kearifan lokal adalah nilai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Kearifan lokal harus saling beriringan dengan potensi masyarakat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki.

(2)

Kearifan lokal dapat digunakan sebagai pedoman hidup untuk membina krakter bangsa. Oleh karena itu rakyat mengharapkan krakter atau tindakan yang bersumber dari kearifan lokal dan nilai budaya yang masih dapat diterapkan dan digunakan secara arif pada masa kini untuk menciptakan kedamaian ataupun nilai budaya untuk meningkatkan hidup masyarakat yang lebih baik.

Buku sumber lainnya yaitu, “Kearifan Lokal Gotong-Royong Pada Upacara Adat Etnik Batak Toba,” (Sibarani 2014). Buku ini menjelaskan konsep gotong-royong yang terdapat dalam perumpamaan Batak Toba sebagai memori Kolektif, bahkan sebagai penyimpanan kegotong- royongan dalam masyarakat Batak Toba. Melalui ingatan yang kolektif tersebut, struktur kegotong-royongan mencakup nilai gotong-royong, namun harus saling mendukung, saling menyetujui, saling mengiakan, saling bekerja sama, dan saling memahami.

Almaysah (1984) dalam bukunya, “Sistem Gotong-Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Propinsi Daerah Istimewah Aceh,” buku ini menjelaskan bahwa gotong-royong sangat dominan dalam struktur sosial dan sistem kepercayaan yang dianut oleh penduduknya.

Sibarani (2014) dalam bukunya, “Sistem Gotong-Royong Pada Masyarakat Batak Toba di Kawasan Danau Toba,” buku ini menjelaskan bahwa gotong-royong harus dilakukan secara kompak, serempak, dan bersama-sama bekerja untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahterah.

Soebadio (1983)dalam bukunya, “Sistem Gotong-Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Barat,” juga menjadi bagian dari sumber penulis untuk

(3)

gotong-ronyong pada masyarakat pedesaan Sumatera Barat ini, lebih memperhatikan dalam faktor yang ada di Sumatera Barat dengan melakukan gotong-royong dengan asas timbal balik yang mengujudkan adanya keteraturan sosial didalam masyarakat, yang artinya ketika melakukan Sitem gotong-royong dengan asas timbal balik ini bukan untuk hanya kepentingan perseorangan melainkan setiap orang ingin menerima balasan dari pemberian tersebut. Jadi sikap memberi, menerima dan kerja sama itulah yang terlihat dalam masyarakat tersebut.Sibarami (2015) dalam bukunya pembentukan krakter: Langkah-langkah berbasis keariarfan lokal,” buku ini menjelalaskan bahwa gotong-royong harus dilakukan secara kerja sama atau bekerja bermitra dengan melakukan hubungan antara dua belah pihak untuk melakukan pekerjaan yang saling menguntungkan. Selain saling menguntungkan, gotong-royang juga harus bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan seperti suatu tim yang terdiri atas beberapa orang untuk menyelesaikan sesuatu pekerjaan tertentu.

Soebadio (1983) dalam bukunya,“Sistem Gotong-Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Derah Istimewa Yogyakarta,”menjelaskan bahwa gotong-royong terjadi pada masayarakat Daerah IstimewahYogyakarta, lebih mengutamakan pada struktur sosial, yang artinya terbentuknya sistem gotong-royong pada masyarakat tersebut, dapat kita lihat ketika warga sekitarnya mendirikan rumah, dan mengelolah tanah.

Kemudian Makmur dan Brutu (2013) dalam bukunya, “Sistem Gotong-Royong Pada Masyarakat Pakpak Bharat di Sumatera Utara,” buku ini memaparkan didalam kehidupan masyarakat Pakpak Bharat banyak bentuk gotong -royong yang dilakukan oleh masyarakat, baik dalam tolong-menolong

(4)

dan juga dalam upacara adat (merunggu, merkebbas, toktok ripe, muat makan peradupen), dalam aktivitas ekonomi (rimpah-rimpah, abin-abin, mangurupi, merkua page kongsi, marbellah, memakan, jampalen, bendar kongsi), aktivitas religi, (membangun gereja, mesjid) dan berbagai aktivitas sosial lainnya. Untuk keperluan lainnya, masyarakat masih memperlihatkan secara langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari, seperti, kerja bakti jalan, perbaikan jembatan, menciptakan pemandian umum, dan saling tolong-menolong dalam melakukan upacara adat serta hari-hari kebesaran Republik Indonesia. Masyarakat melakukan gotong-royong untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan juga bertujuan untuk kepentingan bersama.

2.1.1 Pengertian Tradisi lisan

Secara etimologi tradisi merupakan satu kata yang mengarah pada tindakan yang dilakukan seseorang dalam kehidupannya sendiri baik dalam upacara adat maupun dalam hal lainnya. Kebiasaan ini datang dari nenek moyang kita yang diwariskan secara turun-temurun untuk diteruskan para generasi muda masa kini. Tradisi dapat disamakan sebagai “Budaya” karena bagaimanapun juga kedua kata tersebut merujuk pada hasil karya atau tindakan masyarakat yang mampu merubah pola tingkah laku masyarakat tersebut. Tradisi dan Budaya adalah dua kata yang tidak tertulis dalam ilmu hukum tetapi tetapi kedua kata tersebut dapat dijadikan menjadi cerminan untuk menata kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik.

Tradisi berasal dari kata traditio (diteruskan) masa lalu yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dimasa yang akan datang, biasanya dari suatu bangsa,

(5)

budaya, agama, yang dianut komunitasnya. Dengan demikian tradisi dapat kita artikan sebagai informasi yang perlu diwariskan dari generasi ke generasi lainnya baik secara lisan maupun tulisan. Karena tanpa adanya tindakan seperti ini sebuah tradisi dapat rusak atau punah.

Sibarani (2014:47) tradisi lisan merupakan kegiatan tradisonal suatu komunitas yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi kegenerasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non-verbal) .

Menurut Pudenta (Sibarani 2014:11-15) bahwa tradisi memiliki cakupan hubungan dengan sastra, sejarah, biografi dan jenis pengetahuan dan kesenian yang dituturkan dari mulut ke telinga. Tradisi lisan juga tidak hanya mencakup cerita rakyat, peribahasa, dongeng, legenda, teka-teki, hikayat,mite dan puisi tetapi juga berkaitan dengan kognitif budaya masyarakat, hukum adat dan pengobatan tradisonal. Namun, tradisi masa sekarang tidak sama dengan tradisi sebelumnya karena adanya pengaruh zaman modern dan penyesuaian dengan konteks perkembangan zaman yang kita lihat saat ini, akan tetapi nilai dan normaya dapat kite terapkan dalam masa kini. Nilai dan norma tradisi lisan dapat dipergunakan untuk mendidik anak-anak untuk memperkokoh identitas dan krakter mereka untuk menghadapi masa depan sebagai generasi penerus. Tradisi lisan merupakan kegiatan leluhur masa lalu yang berkaitan dengan masa mendatang untuk mempersiapkan masa depan generasi mendatang.

(6)

2.1.2 Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan Lokal terdiri dari dua kata yaitu, kearifan (wisdem) yang artinya kebijaksanaan, sedangkan kata lokal (local) artinya setempat. Oleh sebab itu, kearifan lokal atau kearifan setempat (local wisdem) dapat kita diartikan sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kerifan, bernilai baik, berbudaya, berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilakukan oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal dapat dilihat atau diperoleh melalui tradisi budaya atau tradisi lisan, karena kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi lisan atau tradisi budaya yang diwarisi secara turun-temurun dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang untuk mengatur struktur sosial kehidupan komunitasnya.

Sibarani (2014:114) mengatakan bahwa, kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Dalam arti lain keariafan lokal merupakan nilai budaya lokal yang dimanfaatkan untuk mengatur kehidupan masyarakat secara arif dan bijaksana. Maka kearifan lokal ini dapat dimanfaatkan sebagai cerminan masyarakat untuk meningkatkan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahterah.

Menurut Balitbangsos Depsos RI (Sibarani 2004:115) Kearifan lokal (lokal wisdem)merupakan kematangan masyarakat ditingkat komunitas lokal yang menggambarkan sikap, perilaku dan cara pandang masyarakat yang kondusif untuk mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang digunakan sebagai benteng untuk mewujudkan perubahan kearah yang lebih

(7)

baik dan positif. Dalam arti lain kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi lisan atau tradisi budaya yang diwariskan secara turun-temurun dan dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya. Kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana.

Sibarani (2015:79) kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendidri dengan menggunakan segenap akal budi, pikiran,hati,dan pengetahuan untuk melaksanakan dan bersikap terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya.

Sibarani (2015:50) kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat.

2.1.3 Pengertian Marsirumpa (Gotong –Royong)

Marsirumpa (gotong-royong) merupakan suatu kegiatan sosial yang dilaksanakan secara bersama-sama yang melibatkan beberapa orang untuk menyelesaikan dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang sama. Sebelum melakukan gotong- royong masyarakat terlebih dahulu mengadakan musywarah untuk memastikan kapan dimulai marsirumpa (gotong-royong) tersebut, perlengkapan apa yang dibutuhkan pada saat bekerja, serta menetukan darimana awalnya yang akan dikerjakan marsirumpa (gotong-royong) tersebut. Namun perlu kita ketahui selain sebagai tradisi atau kebiasaan bagi kehidupan bermasyarakat dan juga mereka merasa senasib dan seperjuangan yang merupakan milik bersama baik dalam pribadi maupun berbentuk umum, untuk itu tidak ada

(8)

terjadi perbedaan yang kaya dan yang sederhana karena semuanya ikut mengambil bagian dalam melaksanakan marsirumpa (gotong-royong) tersebut.

Melalui tatanan konsep kearifan lokal gotong-royong tersebut, konsep marsirumpa “kompak, serempak, bersama-sama” sangat diutamakan bagi masyarakat khusunya bagi orang yang ikut melakukan gotong-royong sehingga ketiga kaidah tersebut dapat berjalan dengan lancar. Ketentuan awal yang harus dimiliki oleh masyarakat yang ingin menerapkan ketiga kaidah gotong-royong dilandasi oleh “ kekompakan, keserempakan, dan kebersamaan ” untuk dapat mewujudkan saling memahami, menyepakati, dan saling mendukung (marsiantusan, sadaroha, marsiaminaminan), saling membantu (marsiurupan) dan bekerja sama (rampak mangulahon) sibarani (2015-283-301).

Contoh gotong-royong yang dimaksud dalam marsirumpa adalah ketika masyarakat membuat kelompok kerja kurang lebih delapan orang. Kelompok kerja yang kurang lebih dari delapan orang ini, membuat suatu keputusan yaitu pertama, kelompok kerja akan terlebih dahulu memutuskan tempat atau cara kerja yang harus mereka lakukan, yang kedua menentukan dimana titik kumpul dan siapa yang menyediakan logistik, dan makanan tambahan untuk para kelompok kerja. Apakah setiap rumah tangga memberi secara suka rela berupa uang yang akan digunakan untuk makan bersama dengan tujuan untuk menjalin kekompakan atau disiapkan masing-masing, setelah disetujui bersama maka dimulailah bekerja sesuai dengan kesepekatan atau ketentuan yang telah disepakati bersama.

(9)

Pekerjaan yang akan dilakukan oleh para kelompok masyarakat akan menetukan dari daerah mana yang akan dikerjakan. Kelompok masyarakat tersebut tidak boleh saling berbeda pendapat agar tercipta etos kerja yang lebih baik, baik itu dalam pekerjaan yang ringan maupun pekerjaan yang berat. Para kelompok masyarakat harus siap bekerja tanpa ada perintah dari siapapun dalam arti masyarakat harus bisa bekerja dengan kesadaran sendiri, dengan demikian terciptalah etos kerja yang baik dan berkualitas.

Menurut KBI(Sibarani 2014:8) bahwa bergotong-royong telah dikembangkan dan telah diperlihatkan didalam kehidupan masyarakat Indonesia dan merupakan hal paling penting bagi kehidupan masyarakat demi meningkatkan kebersamaan dengan jiwa yang membangun.

Menurut Kartodirjo (Sibarani 2014 :8) menyatakan bahwa gotong-royong itu bukan hanya khas Indonesia, tetapi merupakan pranata suatu bentuk solidaritas khas masyarakat agraris.

Menurut Pranadji (Sibarani 2014:8) merupakan kekayaan adat istiadat dan inti modal sosial budaya bangsa, yang didalamnya terkandung nilai budaya (adat istiadat) komposit sosial budaya dari berbagai suku, daerah masyarakat yang tersebar diseluruh penjuru nusantara.

Sibarani (2014) mebagi tiga jenis gotong royong yang dikenal pada masyarakat Batak Toba:

1) Gotong-royong dalam tolong-menolong seperti marhobas, manumpahi, mangulosi, mamboan boras sipir ni tondi, marria raja, maranggap, dan marsiurupan.

(10)

2) Gotong-royong dalam kerja bergantian seperti marsiadapari, marjula-jula, dan mangindahani, margugu.

3) Gotong-royong dalam bekerja bersama-sama atau kerja bakti seperti mangalelang dan pauli dalan, pauli mual, pauli bondar

Koentjaraningrat (Sibarani 2014:8) membagi dua jenis gotong -royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yakni:

1) Gotong –royong dalam bentuk kerja bakti, wujud gotong-royong ini dapat kita lihat pada saat melakukan pekerjaan yang bersifat umum yang dibagiatas duajenis yang pertama, kerja bakti aktivtas sosial (jalan, irigasi, gereja, pekarangan,dan penanggulangan bencana) yang kedua kerja bakti karenadipaksakan atau karena diperintah.

2) Gotong-royong berbentuk tolong menolong, wujud dari gontong-royong tolong- menolong ini dapat kita lihat pada sistem pertanian, aktivitas rumah tangga, aktivitas pada pesta dan peristiwa bencana dan kematian.

Dalam buku Almaysah (1984) sistem gotong-royong dalam bentuk tolon-menolong ada empat jenis yaitu:

1) Tolong menolong dalam bidang sterifikasi sosial 2) Tolong menolong dalam sistem mata pencaharian

3) Tolong menolong dalam bidang kesatuan hidup setempat 4) Tolong menolong dalam sistem kekerabatan

Dalam aktifitas sterifikasi sosial seperti halnya sangat berkerkaitan dengan lingkungan yang mencakup beberapa macam kegiatan diadalamnya, memperbaiki jalan, irigasi, sumur, untuk melakukan kegiatan seperti ini hanya sebagian orang saja yang ikut berperan dalam kegiatan tersebut, dalam sistem mata pencaharian berkaitan dengan bercocok tanam, orang dapat melakukan ini karena mengalami sibuk, dan ada dilakukan pada saat tenang, dan dalam bentuk lain dalam bidang kesatuan hidup setempat, arisan, pesta, upacara kematian dalam aktivitas ini bagi

(11)

pemilik acara dan juga ikut serta menikmati hidangan yang sudah disiapkan. Kemudian tolong menolong dalam sistem kekerabantan ini, kalau ada keluarga yang tidak mampu, untuk biaya berobat, melahirkan, dalam aktivitas ini keluarga ikut serta memberi dana secara suka rela atau pinjaman agar orang tersebut dapat menutupi biaya yang dibutuhkan.

Menurut Berutu dalam jurnal Antropologi Sosial Budaya (Sibarani 2014:10) bahwa, gotong-royong dapat didefinisikan sebagai suatu model kerja sama yang disetujui bersama.

Menurut Makmur dan Berutu (Sibarani 2014 :10) memiliki tiga definisi yakni.

1) Gotong-royong sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia ummnya dan masyarat Pakpak Bharat sebagai suatu solusi pemecahan masala hidup yang dihadapi.

2) Sebagai bagian dari kebudayaan yang bersifat dinamis, bentuk struktur sistem gotong-royong di Pakpak Bharat telah terjadi perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.

3) Salah satu petensi sosial, gotong-royong yang terdapat di Pakpak Bharat yang dapat dijadikan untuk mengembangkan fisik, strata budaya, maupun stratasosial ekonomi lainya

Berdasarkan penjelasan diatas gotong-royong dapat diartikan sebagai pekerjaan bersama-sama, serta berusaha bersama dan sama-sama breusaha sekelompok orang dalam bentuk tolong menolong kerja bakti untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Sebagaimana kegiatan sosial budaya, gotong-royong tidak hanya dilakukan dipedesaan namun dapat juga dipraktikkan diperkotaan dalam hal siklus sosia (kerja bakti untukfasilitas umum seperti perbaikan jalan pekarangan, rumahibadah, penanggulangan bencana, tali air) dalam upacara adat (kelahiran,

(12)

perkawinan, dan kematian) dalam bentuk pertanian (membibit, mananam, merawat, dan memanen).

Menurut koentjaraningrat (Sibarani 2014:11) ada lima alasan utama untuk melakukan gotong- royong, yaitu:

1) Seseorang tidak dapat hidup sendiri tanpa berada dalam suatu komunitas lingkungan alamnya. Karena setiap manusia membutuhkan orang lain untuk bertukar pikiran untuk menghadapi lingkungannya.

2) Sebagaimana manusia lainnya, yang memiliki kelamahan dan kelebihan yang menyebabkan harus bekerja sama dengan orang lain.

3) Dengan demikian, keberadaannya, sangat ketergantungan terhadap orang lain,

4) Atas dasar itu, masyarakat harus menjaga hubungan baik dengan sesama, dan

5) Menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang lain.

Gotong-royong dapat menggambarkan tingkah laku masyarakat yang bekerja untuk membangun kebersamaan tanpa menerima imbalan. Untuk lebih luas, sebagai suatu tradisi yang mengakar meliputi aspek-aspek dominan dalam kehidupan sosial, gotong-royong dapat dikatakan sebagai aktivitas sosial yang dilakukan secara bersama-sama dengan cara suka rela agar pekerjaan lebih mudah, lancar, ringan, dan dapat kita maknai menjadi suatu filosopi budaya Indonesia, bukan hanya filosopi kelompok. Misalnya pekerjaan yang dapat dilakukan dengan cara gotong-royong dalam siklus kehidupan sosial seperti perbaikan jalan, irigasi, pembuatan air minum, dalam siklus mata pecaharian seperti menanam kopi dan padi. Tindakan gotong-royong ini harus dimiliki dan dilestarikan oleh generasi muda atau lapisan masyarakat yang ada di Kecamatan Palipi, karena dengan tingkat kesadaran masyarakat akan tercipta kegiatan dengan

(13)

cara gotong-royong. Oleh karena itu, segala kegiatan dapat dikerjakan dengan ringan dan tidak memakan waktu yang cukup lama untuk menyalesaikannya dan juga akan menambah tingkat kemajuan daerah. Dalam hal lain, dengan adanya kesadaran masyarakat menanamkan jiwa bergotong-royong maka akan memperkuat tali persaudaraan yang semakin erat.

2.2Teori Yang Digunakan

Teori merupakan hal yang sangat penting dalam menganalisis data tradisi marsirumpa yang diajukan sebagai objek peneliti. Teori adalah landasan atau pondasi untuk melihat persoalan-persoalan yang terdapat dalam tradisi marsirumpa. Untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam proposal skripsi ini, penulis menggunakan teori tradisi lisan.

2.2.1Teori Tradsisi Lisan

Sibarani (2014:2) Tradisi lisan adalah satu cara untuk menyampaikan sejarah lisan melalui tutur/lisan dari generasi ke generasi selanjutnya. Teori tradisi lisan adalah suatu teori yang berusaha menggali, menjelaskan, dan menginterprestasi secara ilmiyah warisan-warisan budaya leluhur pada masa lampau untuk membentuk karakter generasi masa kini demi mempersiappkan kehidupan yang damai dan sejahtera untuk generasi masa mendatang.

2.2.2 Performansi

Performansi adalah suatu kajian tradisi lisan yang dimulai dari unsur-unsur nonverbal yang dapat dijelaskan melalui pemahaman struktur sosial dan situasi. Dalam arti lain performansi adalah suatu ilmu yang mempelajari konteks sosial,

(14)

konteks situasi trasdisi lisan dan bertujuan untuk menemukan formula yang dirumuskan dalam struktur konteks tradisi lisan untuk menggali nilai, norma, dan kearifan lokal serta berupaya berupaya merumuskan model penghidupan kembali, pengelolaan, dan proses pewarisan (revitalisasi) tradisi lisan, dirujuk dari tesis Sibarani (Rolan 2015:21).”

Menurut Duranti(Rolan 2015:22-23) performansi merupakan penggunaan bahasa secara nyata dalam penyampaian komunikasi yang sebenarnya yang merupakan gambaran dari sistem yang ada pada penutur dan menyangkut konsep partisipasi dalam bentuk tuturan secara lisan.

Sibarani (2014:43) performansi merupakan kegiatan atau peristiwa pengguna konteks untuk membedakan tradisi lisan dengan sastra lisan. Tradisi lisan harus memiliki peristiwa tertentu dan oleh karena itu harus dikaitkan atau tergantung pada konteks peristiwa tersebut. Tradisi lisan memiliki tempat kejadian, dan prosedur dalam pelaksanaannya, oleh sebab itu performansi digunakan untuk memahami tradisi lisan tersebut. Contoh objek kajian tradisi lisan dalam bentuk tradisi lisan dalam bentuk marsirumpa (gotong-royong ), (diambil dari Sibarani 2014:248)

Tradisi Marsirumpa

Performansi

Isi

• Makna Dan Fungsi

• Nilai Dan Norma

• Siklus Mata

Referensi

Dokumen terkait

sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya hukum dalam penyelesaian perjanjian kredit macet dengan jaminan fidusia di Bank Syariah BDS Yogyakarta..

Untuk penginstalan forum yang digunakan pada binus-access ini adalah plug-in dari CM S Joomla, sehingga forum yang dibuat sudah menjadi satu paket dengan Joomla.. download

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kinerja keuangan koperasi KPRI UNM di kota makssar pada tahun 2011-2015 yang dilihat dari lima aspek keuangn

Stadium larva terbagi menjadi empat tingkatan perkembangan (instar) yang terjadi selama 6-8 hari. Untuk memenuhi kebutuhannya, larva mencari makan di tempat perindukkannya. Larva

Fenomena Koebner (juga dikenal sebagai respon isomorfik) adalah induksi traumatik pada psoriasis pada kulit yang tidak terdapat lesi, yang terjadi lebih sering selama

pada huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 130 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Penelitian dan pengembangan adalah suatu proses untuk mengembangkan produk-produk yang akan digunakan dalam pendidikan dan pembelajaran, upaya ini untuk mengembangkan dan