• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan atau dalam rangka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan atau dalam rangka"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.1 Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan atau dalam rangka merealisir tujuan negara harus memiliki dasar hukum atau dasar kewenangan. Dalam kepustakaan Hukum Tata Usaha Negara, setiap aktifitas pemerintah harus berdasarkan hukum dikenal dengan istilah asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau wetmatigheid van bestuur), artinya setiap aktifitas pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut maka aparat pemerintah tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.2

Asas legalitas menjadi sendi utama dalam suatu negara hukum, akan tetapi keberadaan asas legalitas bukan tanpa masalah. Sebab sering terjadi kesenjangan antara perubahan masyarakat yang cepat dengan peraturan perundang-undangan tertentu. Seringkali pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan maksimal terhadap masyarakat, sementara peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

       1

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tersebut merupakan pasal tambahan sesuai dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun 2001.

2

Indriharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Sinar Harapan, 1993), hal. 83.

(2)

bagi tindakan pemerintahan tersebut belum ada. Menurut Bagir Manan bahwa ketentuan tertulis (written rule) atau hukum tertulis (written low) peraturan perundang-undangan mempunyai jangkauan yang terbatas, sekedar “moment opname” dari unsur-unsur politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam yang paling berpengaruh pada saat pembentukan, karena itu mudah sekali Out of Date bila dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat atau dipercepat.3 Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu dapat terjadi kontradiksi internal bagi pemerintah. Disatu sisi pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan umum bagi masyarakat yang berkembang pesat, disisi lain pemerintah harus memiliki dasar hukum dalam melakukan tindakan, dimana aparat pemerintah yang tidak memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi negara hukum harus memiliki syarat-syarat essensial, seperti kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem hukum dimana hak-hak manusia dan human dignity dihormati.4

Langgengnya suatu negara hukum, maka penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia ditandai dengan pencantumannya dalam konstitusi. Pemerintah harus memegang teguh konstitusi dan menjalankan segala undang-undang serta peraturan pelaksanaannya dengan benar dan bersama masyarakat menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut.5

       3

Bagir Manan, Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, (Ujung Pandang : FH- Universitas Hasanuddin, 1996), Makalah pada Penataran

Nasional Hukum Administrasi Negara, hal. 2.

4

Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta : Aksara Baru, 1979), hal. 11.

5

Elfachri Budiman, Peradilan Agraria (Solusi Alternatif Sengketa Agraria, Jurnal Hukum, (Medan : Sekolah Pascasarjana USU), 1995), hal. 92.

(3)

Makna negara hukum adalah apabila segala aktivitas kenegaraan dari lembaga-lembaga negara maupun aktivitas kemasyarakatan dari seluruh warga negara didasarkan pada hukum, yang berarti pengaturan tata kehidupan seluruh warga negara harus dibingkai oleh hukum. Oleh karena itu hukum harus dijadikan sebagai panglima dan menempatkan bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan berada dan tunduk kepada hukum.6

Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum menuntut, antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Sebagai jaminan adanya kepastian hukum dalam setiap kebijaksanaan administrasi negara harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berwujud suatu ketetapan. Namun dalam kenyataannya sering terjadi bahwa ketetapan yang dikeluarkan administrasi negara dianggap bertentangan dengan hukum atau merugikan kepentingan warga negara atau badan hukum perdata, akibatnya, perlindungan hukum dan keadilan yang diberikan kepada masyarakat adalah dengan menggugat badan atau pejabat administrasi negara yang mengeluarkan ketetapan itu di muka pengadilan.7

       6

Ibid

7

Supandi, Karakteristik dan Asas-asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara serta

(4)

Negara hukum merupakan salah satu tekad pemerintah sebagai konsekuensi logis untuk melaksanakan pembangunan nasional dan sebagai salah satu sarana penegakan keadilan bagi anggota masyarakat. Pembangunan dan pembinaan bidang hukum seperti ditetapkan dalam beberapa ketetapan MPR diarahkan agar hukum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, sehingga dapat diciptakan ketertiban dan kepastian hukum bagi proses pelaksanaan pembangunan buat kepentingan masyarakat.

Salah satu usaha pemerintah untuk menjamin perlindungan keadilan bagi anggota masyarakat ialah dengan cara diwujudkan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diundangkan pada tanggal 29 Desember 1986, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Perwujudan dan penyempurnaan Peradilan Tata Usaha Negara ini dimaksudkan bukan hanya untuk perlindungan serta kepastian hukum bagi anggota masyarakat, tetapi untuk kepentingan administrasi negara agar mendapatkan tempat secara wajar sehingga benturan yang timbul akibat keputusan administrasi negara mendapat penyelesaian yang adil dan menyatu.8

Kemudian salah satu bidang yang mengatur tata kehidupan warga negara yang juga tunduk pada hukum adalah bidang Pertanahan/Agraria. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) telah mengatur masalah pertanahan di Indonesia sebagai salah satu

       8

Edy Purnama, Upaya Hukum Pihak Ketiga terhadap Keputusan Peradilan Tata Usaha Negara

(5)

peraturan yang harus dipatuhi. Salan satu tujuan pembentukan UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat, yakni melalui kegiatan pendaftaran tanah untuk seluruh wilayah Indonesia yang produknya adalah pemberian alat bukti kepemilikan hak atas tanah/sertifikat hak milik atas tanah.

Mengingat demikian besarnya peranan tanah dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik serta pengaruhnya terhadap laju atau lambannya suatu proses pembangunan maka diperlukan peraturan yang mampu menjamin hak-hak seseorang dan/atau badan hukum terhadap tanah atas miliknya.9

Namun kenyataannya, landasan yuridis yang mengatur masalah pertanahan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara konsekuen dengan berbagai alasan, sehingga menimbulkan masalah/sengketa pertanahan. Sumber masalah/sengketa pertanahan yang ada sekarang antara lain disebabkan :

1. Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata; 2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah non pertanian; 3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;

4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat);

       9

 Eddy Pranjoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh Peradilan

(6)

5. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.10

Permasalahan tersebut di atas memaksa masyarakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tanah yang dialami melalui lembaga peradilan baik peradilan umum maupun Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan masalah pertanahan yang terjadi akibat konflik struktural karena kebijakan pemerintah di masa lalu dapat diselesaikan melalui suatu komisi atau badan peradilan khusus yang dibentuk dengan undang-undang.

Penyelesaian sengketa pertanahan dengan pendekatan hukum pada dasarnya kembali didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku, maksudnya semua penyelesaian masalah pertanahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis dengan terlebih dahulu diupayakan dengan musyawarah mufakat.

Penyelesaian sengketa pertanahan dengan pendekatan hukum hanya dapat dilakukan apabila peraturan perundang-undangan tersebut dilakukan secara efektif atau dengan kata lain dilakukan penegakan hukum (law enforcement) secara konsekuen, yaitu penegakan hukum dengan memperhatikan unsur kepastian hukum (rechtssiccheit), kemanfaatan (zweckmassigheit) dan keadilan (gerechtigheid).11

Secara konvensional penyelesaian sengketa tanah biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian sengketa di depan pengadilan. Peradilan merupakan

       10

Lutfi I Nasution, Menuju Keadilan Agraria 70 Tahun Gunawan Wiradi, (Bandung : Salatiga Bandung, 2002), hal. 217.

11

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1996), hal. 140.

(7)

tumpuan harapan bagi pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan yang memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu putusan yang tidak berat sebelah, karena itu jalan yang sebaiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.12

Dalam penyelesaian sengketa tanah melalui jalur pengadilan/litigasi didasarkan kepada objek sengketa tanah, hal ini berkaitan dengan kewenangan untuk mengadili sengketa tanah apakah termasuk kepada kompetensi/kewenangan absolut Peradilan Umum atau Peradilan Tata Usaha Negara.

Kewenangan absolut peradilan/atribusi kompetensi/kewenangan (attributie van rechtsmacht) adalah menyangkut tentang pembagian wewenang antar badan-badan peradilan berdasarkan jenis lingkungan pengadilan, misalnya pembagian antara wewenang Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum.

Menurut Thorbecke dan Buys ukuran untuk menentukan apakah suatu perkara merupakan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara adalah tergantung dari pokok sengketanya (objectum litis fundamentum petendi). Apabila hak yang tertindak itu berada dalam kerangka hukum publik, maka perkara tersebut merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dan apabila berada dalam lapangan hukum perdata maka merupakan kewenangan absolut Peradilan Umum.13

Kewenangan absolut Peradilan Tata Usaha Negara hanya sebatas mengadili sengketa yang berada dalam hukum publik, yaitu sengketa yang timbul akibat

       12

Abdurrahman, Riduan Syahrani, Hukum dan Peradilan, (Bandung : Alumni, 1987), hal. 63.

13

(8)

perbuatan pemerintah dalam hukum publik yang bersifat ekstern yang bersegi satu dan bersifat konkrit, individual dan final yang tertuang dalam suatu keputusan Pejabat Tata Usaha Negara.14

Pada dasarnya kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kompetensi/ kewenangan absolut mengadili sengketa tata usaha Negara (Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986). Menurut Pasal 1 butir 4 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo UU Nomor 9 Tahun 2004, sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara. Untuk menilai dan menentukan apakah suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat administrasi itu bertentangan dengan hukum atau tidak.

Berdasarkan pengertian di atas maka terhadap sengketa tanah dapat diselesaikan penyelesaiannya ke Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal mengenai pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah atau keputusan yang berisikan penolakan atau permohonan untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan atau oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

Sedangkan dalam hal pemeriksaan dan pemutusan tentang sengketa tanah yang mengandung aspek keperdataan yang berkaitan dengan perselisihan tentang hak

       14

(9)

milik atau hak-hak yang berasal dari milik, tentang tagihan atau hak-hak perdata semata-mata menjadi kompetensi/ kewenangan kekuasaan Pengadilan Umum.15 Dengan demikian Peradilan Umum berwenang mengadili sengketa-sengketa pertanahan yang mengandung aspek keperdataan, misalnya kepemilikan atau penguasaan tanah secara melawan hukum, tindakan yang memperkosa hak milik atas tanah, perbuatan ingkar janji, jual-beli, sewa-menyewa, jaminan dan lain-lain hak atas tanah.

Jika dilihat secara normatif maka sengketa pertanahan yang memiliki aspek hukum tata usaha negara dan aspek hukum perdata dapat diselesaikan secara dualistis oleh dua peradilan, hal ini disebabkan karena sengketa pertanahan dipandang sebagai sengketa/perkara yang mempunyai karakter khusus/unik, karena adanya titik singgung kewenangan mengadili antara Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum.

Namun dalam prakteknya kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Umum menimbulkan permasalahan dalam pemeriksaan dan pemutusan sengketa pertanahan, sehingga konsekuensi logisnya adalah sering terjadinya putusan pengadilan yang menyatakan permohonan gugatan penggugat tidak dapat diterima atau ditolak dimana dalam pertimbangan hukumnya didasarkan kepada kewenangan mengadili sehingga merugikan pihak yang berselisih khususnya bagi pihak yang menggugat sengketa tanah tersebut, dan permasalahan selanjutnya

       15

Baharuddin Lopa, Hamzah, Mengenal Peradlan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Sinargrafi, 1993), Hal. 22.

(10)

adalah tidak bisanya dilakukan eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara sehingga memperlambat proses penegakan hukum untuk menuntut hak yang dimilikinya yang akhirnya menimbulkan keresahan dan kebingungan di masyarakat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Tata Usaha Negara Medan bahwa sengketa tanah yang masuk tahun 2006 berjumlah 24 (dua puluh empat) perkara, tahun 2007 berjumlah 42 (empat puluh dua) perkara, tahun 2008 berjumlah 40 (empat puluh) perkara, dan sampai pada bulan maret berjumlah 14 (empat belas) perkara. Dari jumlah perkara tersebut membuktikan bahwa masalah/sengketa tanah di kota Medan sangat marak.

Dari sejumlah keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara ada kemungkinan diantaranya menimbulkan kerugian di pihak yang dikenakan keputusan, yaitu warga masyarakat. Kemungkinan ini dapat saja disebabkan pemerintah merasa mempunyai kedudukan yang lebih kuat terhadap rakyat yang dikuasainya,16 sehingga dalam melaksanakan tugasnya melampui batas wewenang (detournament de pouvoir) atau salah menerapkan peraturan perundang-undangan (abuse de droit).

Untuk menilai dan menentukan apakah suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat administrasi itu bertentangan dengan hukum atau tidak diperlukan suatu badan yang dapat memberikan putusannya secara adil dan objektif, yang akhirnya dapat memutuskan apakah ketetapan yang dikeluarkan oleh badan atau

       16

(11)

pejabat administrasi itu batal atau tidak sah dan bagi gugatan yang terbukti tidak berdasar hukum tentunya harus ditolak oleh pengadilan.

Kemudian Peradilan Tata Usaha Negara belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Masih adanya putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang tidak dipatuhi Pejabat TUN merupakan salah satu hal yang menyebabkan masyarakat masih pesimis terhadap eksistensi Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara dan sebagai alasan utama penyebab dari timbulknya kerugian dimasyarakat.

Salah satu permasalahan yang timbul di masyarakat adalah mengenai eksekusi atas putusan Peradilan Tata Usaha Negara, dimana eksekusi ini lebih cenderung hanya berdasarkan pada kesadaran. Pejabat Tata Usaha Negara atau dengan peneguran berjenjang secara hirarki (floating form) sebagaimana diatur dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ternyata tidak cukup efektif memaksa pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara.

Keputusan-keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan kerugian di pihak masyarakat, merupakan dasar sengketa antara pejabat dengan rakyat. Untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi maka pemerintah sudah menyediakan lembaga yang memiliki wewenang untuk itu, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah di ubah menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

(12)

Keberadaan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pelaksanaan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (dahulu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman), yang menyatakan bahwa peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Salah satu hal baru yang terdapat dari pemberlakukan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah pemberlakukan lembaga paksa berupa : uang paksa (dwangsom/ astreinte) dan sanksi administrasi serta publikasi putusan hakim yang diatur dalam Pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pemberlakuan Dwangsom/ Uang Paksa dalam proses eksekusi sebenarnya adalah merupakan upaya tekanan (secara psikologis), agar terhukum mau mematuhi atau melaksanakan hukuman pokok. Jadi uang paksa adalah merupakan suatu alat eksekusi secara tidak langsung, dan penerapannya di Peradilan Tata Usaha Negara menyangkut mengenai, jenis putusan apa saja yang dapat dikenai hukuman uang paksa, kepada siapa uang paksa dibebankan dan sejak kapan uang paksa tersebut diberlakukan, hal ini tentunya akan mengurangi pesimisme masyarakat pencari

(13)

keadilan terhadap eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol terhadap Pemerintah sekaligus sebagai perlindungan hukum bagi masyarakat.17

Oleh karena itu Penulis mengambil penelitian untuk memberikan jawaban terhadap ruang lingkup dan pelaksanaan sengketa pertanahan yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Hal inilah yang menjadi latar belakang bagi Penulis untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul penelitian “Analisis Terhadap Kompetensi

Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah”.

B. Permasalahan

Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ruang lingkup sengketa pertanahan yang menjadi kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia ? 2. Bagaimana pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam

penyelesaian sengketa tanah ?

       17

CST Cansil, Modul Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2004), hal. 28.

(14)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan gambaran maupun penjelasan tentang ruang lingkup pelaksanaan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara menurut asas peradilan yang dianut di Indonesia setelah dikeluarkannya UU Peradilan TUN yang baru. 2. Untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha

Negara dalam penyelesaian sengketa tanah.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti Badan Pertanahan Nasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli mengenai permasalahan pertanahan dan kepada masyarakat agar mengetahui dan dapat mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu dalam penyelesaian sengketa tanah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pertanahan, khususnya yang menyangkut mekanisme penyelesaian sengketa tanah dalam masyarakat.

(15)

a. Sebagai kajian hukum dan pedoman bagi pemerintah, lembaga peradilan dan lembaga pertanahan dalam menentukan kebijakan dan mengambil tindakan dalam menyelesaikan masalah pertanahan yang terjadi dalam masyarakat. b. Sebagai informasi bagi masyarakat untuk mengambil tindakan terhadap

sengketa pertahanan yang terjadi di masyarakat..

c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi, mahasiswa untuk menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang hukum tanah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian tesis mengenai “Analisis Terhadap Kompetensi

Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah” belum

pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum mendapatkan kajian komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan dan kritik yang konstruktif terkait dengan data dan analisis dalam penelitian ini.

(16)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam penulisan tesis ini kerangka teori yang relevan dengan permasalahan yang diteliti sebagai pisau analisis adalah teori negara hukum. Secara teoritis, pengertian negara hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja adalah kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang tunduk kepada hukum.

Sedangkan menurut Muhammad Yamin, Indonesia adalah Negara hukum (rechstaat, government of low) tempat keadilan tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintahan dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.18

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum juga lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum di anggap sebagai konsep universal, tetapi pada tataran implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam. Hal ini karena pengaruh-pengaruh situasi kesejarahan dan juga disamping itu baik secara historis dan praktis konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, seperti Negara hukum menurut konsep Eropah

       18

Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta : Ghalia, 1982), hal. 72

(17)

Kontinental yang dinamakan rechstaat, negara hukum menutup konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality dan konsep negara hukum Pancasila.19

Oleh karena itu berkaitan dengan keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dengan konsep negara hukum (rechtstaat) adalah sebagai landasan negara hukum yang melahirkan Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Stahl unsur-unsur negara hukum adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan hak-hak asasi manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan 4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.20

Salah satu persoalan pokok negara hukum adalah persoalan kekuasaan, utamanya persoalan kewenangan atau wewenang. Secara historis persoalan kekuasaan (authority) telah muncul sejak Plato, dimana Filosof Yunani tersebut menempatkan kekuasaan sebagai sarana untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sejak itu hukum dan keadilan selalu dihadapkan pada kekuasaan dan hingga sekarang persoalan kekuasaan tetap merupakan persoalan klasik.21

Kemudian dalam kepustakaan ilmu negara asal-usul kekuasaan selalu dihubungkan dengan kedaulatan (soverregnity atau souvereinteit), kedaulatan merupakan sumber kekuasaan tertinggi bagi negara yang tidak berasal dan tidak

       19

Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 63.

20

Mariam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1982), hal. 57-58.

21

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, (Yogyakarta : UII Press, 2003), hal. 1.

(18)

berada di bawah kekuasaan lain. Dalam catatan perjalanan sejarah ditemukan beberapa teori tentang kedaulatan, antara lain teori tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan rakyat, kedaulatan negara dan kedaulatan hukum.

Paul Scholten mengemukakan paham negara hukum, dengan membedakan tingkatan unsur-unsur negara hukum. Unsur yang dianggap penting disebut asas dan turunannya disebut dengan aspek. Unsur utama (asas) negara hukum paham Scholten adalah, a). Ada hak warga negara yang mengandung 2 (dua) aspek, yaitu : pertama, hak individu pada prinsipnya berada diluar wewenang negara, kedua, pembahasan terhadap hak tersebut hanyalah dengan ketentuan undang-undang, berupa peraturan yang berlaku umum, b). Adanya pemisahaan kekuasaan. Scholten, dengan mengikuti Mostesquieu mengemukakan 3 (tiga) kekuasaan negara yang harus dipisahkan satu sama lain, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan melaksanakan undang-undang dan kekuasaan mengadili.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa konsep negara hukum atau negara berdasarkan atas hukum (rechtstaat atau the rule of law) yang mengandung prinsip-prinsip asas legalitas, asas pemisahan kekuasaan dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, semuanya bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan bertindak sewenang-wenang atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam pengertian konsep hukum, negara atau pemerintah (dalam arti luas) harus menjamin tertib hukum, menjamin tegaknya hukum dan menjamin tercapainya tujuan hukum. Tertib hukum (rechtsorde) dimaksudkan suatu kekuasaan negara yang

(19)

didasarkan pada hukum dan keadaan masyarakat yang sesuai dengan hukum yang berlaku.

Konsep hukum lain dari negara berdasarkan atas hukum adalah adanya jaminan penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu harus mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan atau hasil guna (doelmatigheid) dan kepastian hukum.

Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan atas ketertiban ini syarat pokok untuk suatu masyarakat yang teratur. Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan kepastian hukum dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.22 Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan.

Setiap orang mengharapkan ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkrit. Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan justisiable terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan menciptakan ketertiban hukum. Penegakan hukum harus memberi manfaat pada masyarakat, disamping bertujuan menciptakan keadilan.

       22

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Binacipta), hal. 2.

(20)

Peradilan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap pencari keadilan untuk mendapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum yang memuaskan dalam suatu perkara. Dari pengadilan ini diharapkan suatu keputusan yang tidak berat sebelah, karena itu jalan yang sebaik-baiknya untuk mendapatkan penyelesaian suatu perkara dalam suatu negara hukum adalah melalui pengadilan.

Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi masih tetap diandalkan sebagai katup penekan (pressure value) atas segala pelanggaran hukum, ketertiban masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum, juga peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai “the last resort” yakni sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan keadilan.23

Khususnya bagi penegakan hukum administrasi negara dan tata usaha negara, untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat diperlukan adanya sarana hukum yaitu Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan tersebut sekaligus sebagai sarana pengawasan yuridis dan legalitas bagi administrasi negara.

Peradilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada penyelesaian sengketa yang timbul antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat,

       23

Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 237.

(21)

atau penyelesaian sengketa ekstern administrasi negara, tidak termasuk penyelesaian sengketa interns, yaitu sengketa yang timbul antara sesama administrasi negara.

Tujuan dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah agar rasa keadilan di dalam masyarakat terpelihara dan dapat ditingkatkan sebagai bagian dari publik service pemerintahan terhadap warganya, dan agar keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan umum dapat terjamin dengan baik.

Prof. Prayudi Atmosudirdjo, merumuskan bahwa tujuan daripada Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mengembangkan dan memelihara administrasi Negara yang tepat menurut hukum (rechmatige) atau tepat menurut undang-undang (wetmatig) dan atau tepat secara fungsional (efektif) dan atau berfungsi secara efisien.24

Selanjutnya sebagai teori hukum pendukung adalah teori good government yang merupakan prinsip good government (clean) asas-asas umum pemerintahan yang baik (selanjutnya disebut AAUPB). Philipus M. Hadjon mengatakan pendekatan dalam hukum administrasi ada 3 (tiga) pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah, pendekatan hak asasi dan pendekatan fungsionaris.

AAUPB pada hakikatnya merupakan norma pemerintahan, yaitu jenis meta norma dan norma hukum publik. Selanjutnya AAUPB merupakan hukum tidak tertulis adalah hasil rechtvinding, tidak identik dengan hukum adat, dan dalam perkembangan bisa saja beralih menjadi hukum tertulis sebagai norma pemerintahan.

       24

S. Prajudi Atmosudirdjo, Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara, Kertas Kerja (Bandung : BPHN, Binacipta, 1977), hal. 67-68.

(22)

Perbedaan antara AAUPB dengan asas-asas umum sama perbedaan antara norma dan asas umum. Sedangkan AAUPB lahir dari praktek adalah bisa dari praktek pemerintahan dan bisa dari praktek pengadilan (yurisprudensi).

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik terdiri dari : 1. Asas Kepastian Hukum;

2. Asas Keseimbangan;

3. Asas Kesamaan dalam mengambil keputusan pangreh; 4. Asas Bertindak cermat;

5. Asas Motivasi untuk setiap keputusan;

6. Asas Jangan mencampuradukkan kewenangan; 7. Asas Permainan yang layak;

8. Asas Keadilan atau kewajaran;

9. Asas Menanggapi pengharapan yang wajar;

10. Asas Meniadakan akibat suatu keputusan yang batal; 11. Asas Perlindungan atas pandangan (cara) hidup; 12. Asas Kebijaksanaan;

13. Asas Penyelenggaraan kepentingan Umum.25

Keseluruhan AAUPB yang baik ini bertujuan untuk mendapatkan tujuan negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

2. Kerangka Konsepsi

Konseptual adalah merupakan definisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis, bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada

       25

SF Marbun, Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta : Liberty, 1987), hal. 56.

(23)

pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan pustaka.26

Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini, maka dirasa perlu untuk memberikan batasan judul penelitian, yaitu sebagai berikut :

Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara adalah kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut objek atau materi atau pokok sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. 27

Sengketa Tata Usaha Negara adalah Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang dan Badan hukum perdata dengan Badan Tata Usaha Negara baik dipusat atau pun diderah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

Sengketa Tanah adalah perselisihan antara kedua belah pihak yang berkaitan mengenai surat keputusan pemberian hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah atau keputusan yang berisikan penolakan atau permohonan untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan atau oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya dan

      

26 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80.   27

(24)

perselisihan tentang hak milik atau hak-hak yang berasal dari milik, tentang tagihan atau hak-hak perdata.

Sertifikat tanah sebenarnya adalah tidak lain daripada salinan Buku Tanah dan Surat ukur yang telah dijahit menjadi 1 (satu) dengan diberi suatu kertas sampul yang telah ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri/ Dirjen Agraria dan diberikan kepada seseorang yang mempunyai hak atas tanah sebagai bukti hak dan bukti telah dilakukan pendaftaran daripada tanah yang bersangkutan.28

Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu Penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.29

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan hukum normatif (yuridis normative), yakni bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen mewujudkan

       28

Abdurrahman, Beberapa Aspekta tentang Hukum Agraria, (Bandung : Alumni, 1980), hal. 102.

29

Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

(25)

penerapan mekanisme penyelesaian sengketa tanah melalui kewenangan mengadili Peradilan Tata Usaha Negara.

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif (normative legal research) untuk mengidentifikasi dan menganalisi faktor hukum yang menjadi kendala dalam penerapan peraturan perundang-undanga, dimana penelitian ini mengacu kepada peraturan perundangan-undangan tentang pertanahan dan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya.

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis, artinya membatasi kerangka studi kepada suatu pemerian, suatu analisis atau klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. Dengan kata lain, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yakni memerikan, menganalisis dan mesistematisasikan hukum yang berlaku dengan penelitian lapangan sebagai penunjang.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder, dimana bahan-bahan hukum seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Sehingga Penulisan ini menitik beratkan pada penelitian bahan pustaka atau yang dalam metode penelitian dikenal sebagai data sekunder, yang terdiri dari :

(26)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur bahan bacaan berupa buku, artikel, dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder maka pengumpulan data terutama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Menginventarisasi dan menilai dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang terkait dan relevan dengan dengan penulisan tesis ini.

(27)

b. Menginventarisasi dan menilai buku-buku literatur yang pokok pembahasannya berkenaan dengan sengketa pertanahan dan mengenai kompetensi mengadili Pengadilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

c. Menginventarisasi dan menilai serta memilih secara selektif bahan-bahan bacaan lainnya seperti majalah, surat kabar, bulletin yang menunjang dan memperkaya penulisan tesis ini.

4. Alat Pengumpul Data

Bahwa penelitian ini hanya dilakukan dengan studi dokumen yaitu menemukan dan mengetahui asas-asas hukum, pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi, filsafat hukum dan hal-hal yang relevan dan menunjang terhadap kualitas dan kesempurnaan tesis ini dari Peradilan Tata Usaha Negeri Medan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum analisis data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pengumpulan data, kemudian dianalisis secara kualitatif dan ditafsirkan secara logis dan sistematis, terhadap asas-asas hukum sistem-sistem hukum dan sinkronisasi hukum dengan menggunakan metode berpikir deduktif dan induktif. Maksudnya kaidah-kaidah yang benar dan tepat diterapkan menyelesaikan suatu permasalahan dari kasus ke kasus yang akan membantu

(28)

 

penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan prosedur dan tatacara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum yang berlaku umum dalam perundang-undangan.

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik

Persediaan barang dalam proses ditujukan agar tiap bagian yang terlibat dapat lebih leluasa dalam berbuat dan persediaan barang jadi disiapkan pula dengan tujuan untuk

Dengan menggunakan pendekatan yang sistematik, terangkan potensi penghasilan tenaga bio daripada biojisim pepejal yang dihasilkan daripada industri kelapa sawit di Malaysia

Berdasarkan manajemen pemberian pakan pada keempat daerah, yaitu pada itik di daerah A diberikan pakan tambahan berupa eceng gondok ( Eichornia crassipes) , daerah

Shalat merupakan amal ibadah yang memiliki kedudukan paling tinggi, oleh karena itu shalat haruslah dilaksanakan dengan khusyuk. Allah memberikan ancaman bagi

Isolat dari karang laut memiliki potensi anti MRSA (Kristiana et al. 2017), Olehnya perlu dilakukan penelitian tentang potensi ekstrak tunikata sebagai

Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui dan mendapalkan pengetahuan yang jelas tentang: Peranan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam

Hal ini dikarenakan banyak sampel yang memiliki tingkat leverage rendah tetapi mereka tidak melakukan praktik IFR dan adanya perusahaan dengan tingkat leverage