• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Kriteria aspek higiene dan sanitasi terdiri dari 7 pernyataan. Total nilai aspek ini berjumlah 7. Penilaian mengenai aspek higiene dan sanitasi yaitu:

 Aspek dinilai buruk jika nilai < 3

 Aspek dinilai cukup jika nilainya 3 - 5

 Aspek dinilai baik jika nilai > 5

Kriteria aspek kesehatan dan reproduksi ditentukan melalui penilaian berdasarkan 8 pernyataan. Total nilai aspek ini berjumlah 8. Penilaian mengenai aspek kesehatan dan reproduksi yaitu:

 Aspek dinilai buruk jika nilai < 4

 Aspek dinilai cukup jika nilainya antara 4 – 6

 Aspek dinilai baik jika nilai > 6

Kriteria aspek penanganan limbah ditentukan melalui penilaian berdasarkan 2 pernyataan. Total nilai aspek ini berjumlah 2. Penilaian mengenai penanganan limbah yaitu:

 Aspek dinilai buruk jika nilai 0

 Aspek dinilai cukup jika nilainya 1

 Aspek dinilai baik jika nilai 2

Tatalaksana peternakan ditentukan berdasarkan penilaian keseluruhan aspek (aspek lokasi, bangunan, dan fasilitas kandang; aspek higiene dan sanitasi; aspek manajemen kesehatan dan reproduksi, dan; aspek penanganan limbah). Total nilai berjumlah 32. Penilaian mengenai tatalaksana peternakan yaitu:

 Peternakan dinilai buruk jika nilai < 11

 Peternakan dinilai cukup jika nilai antara 11 – 22

 Peternakan dinilai baik jika nilai > 22 Analisis Data

Data yang diperoleh dan dikumpulkan dianalisis secara deskriptif menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan SPSS 16.0. Data yang telah dikumpulkan diolah dalam tabel beserta variabelnya. Hubungan antar variabel ditentukan dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Variabel yang diuji yaitu karakteristik peternak terhadap tatalaksana peternakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, penyuluhan atau pelatihan bidang peternakan, lama beternak, status pekerjaan, pendapatan per bulan, dan total populasi. Karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 1.

(2)

4

Tabel 1 Karakteristik peternak sapi perah KTTSP Baru Sireum

No. Karakteristik responden Jumlah responden % dari total responden 1. Jenis kelamin Laki-laki 13 100.0 Perempuan 0 0.0 2. Umur ≤ 50 tahun 8 61.5 > 50 tahun 5 38.5 3. Pendidikan terakhir SD 9 69.2 SMP 0 0.0 SMA 4 30.8 4. Lama beternak < 5 tahun 1 7.7 5 – 10 tahun 2 15.4 >10 tahun 10 77.0

5. Penyuluhan (dalam 1 tahun terakhir) Ya 9 69.2 Tidak 4 30.8 6. Status pekerjaan Pemilik 12 92.3 Pekerja 1 7.7

7. Pendapatan bersih per bulan dari hasil peternakan

< 2.5 juta 6 46.2

2.5 – 5 juta 3 23.1

>5 juta 2 15.4

Tidak tentu 2 15.4

8. Total populasi ternak

1 – 10 ekor 5 38.5

> 10 ekor 8 61.5

Responden yang berada di KTTSP Baru Sireum seluruhnya berjenis kelamin laki-laki, berkisar antara umur 30-80 tahun. Umur responden terbagi atas dua kategori, yaitu peternak yang berumur kurang dari atau sama dengan 50 tahun dan peternak yang berumur lebih dari 50 tahun. Komposisi umur tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar responden dalam umur produktif. Semakin muda usia responden (usia produktif) rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan semakin tinggi pula minat untuk mengadopsi kemajuan teknologi. Sebagian besar responden telah beternak sapi perah lebih dari sepuluh tahun. Menurut Lestariningsih dan Basuki (2008) pengalaman beternak berpengaruh terhadap keterampilan dan tingkat pengetahuan peternak mengenai ternaknya. Selain itu pengalaman beternak dapat dijadikan suatu pedoman dan penyesuaian terhadap suatu permasalahan yang dihadapi peternak pada masa yang akan datang.

Secara umum tingkat pendidikan responden memiliki pendidikan terakhir SD (69.2%) dan SMA (30.8%). Namun banyak peternak yang memiliki pengetahuan serta keterampilan dalam mengelola usaha ternak berasal dari orang

(3)

tua atau melalui pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan oleh kelompok tani atau dinas peternakan setempat. Sebanyak 69.2% responden menyatakan pernah mendapatkan pelatihan atau penyuluhan bidang peternakan. KTTSP Baru Sireum telah aktif melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pendidikan para peternak melalui kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pertemuan-pertemuan. Kegiatan penyuluhan akan mengubah perilaku peternak ke arah yang diharapkan sehingga pengetahuannya akan lebih meningkat, sikapnya akan lebih positif terhadap perubahan dan penerimaan inovasi, dan akan lebih terampil di dalam melaksanakan usaha ternaknya (Yunasaf dan Tasripin 2011).

Pada Tabel 1 dapat dilihat hampir seluruh responden berstatus sebagai pemilik peternakan. Hal ini mengindikasikan tingkat perhatian dan kualitas kerja yang baik karena beternak sapi adalah mata pencaharian utama bagi para responden. Pendapatan bersih peternak adalah hasil pengurangan dari penerimaan yang diperoleh dengan jumlah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi (Saefullah et al. 2012). Peternak yang menerima penghasilan bersih per bulan kurang dari 2.5 juta rupiah (46.2%), 2.5 – 5 juta rupiah (23.1%), tidak tentu dan di atas 5 juta rupiah per bulan masing-masing sebesar 15.4%. Jumlah kepemilikan ternak sapi perah pada penelitian ini berada pada dua kelompok, yaitu 1 – 10 ekor (38.5%) dan di atas 10 ekor (61.5%). Dapat dilihat bahwa masih cukup banyak peternak yang memiliki sapinya kurang dari 10 ekor, hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat pendapatan bagi peternak itu sendiri. Jumlah kepemilikan sapi perah yang ideal agar usaha ini menguntungkan dan dapat menjamin pendapatan peternak adalah minimal 10 ekor (Sudono 1999).

Manajemen Pemeliharaan

Manajemen pemeliharaan sapi perah mencakup manajemen perkandangan, serta manajemen pakan dan sumber air. Tabel 2 menunjukkan manajemen perkandangan di KTTSP Baru Sireum.

Tabel 2 Manajemen perkandangan di KTTSP Baru Sireum

No. Perkandangan Jumlah

responden % dari total responden 1. Lantai kandang Semen/paving 13 100.0 Kayu/papan 0 0.0 2. Atap kandang Genteng 1 7.7 Seng 2 15.4 Asbes 10 76.9 3. Kandang pedet Ada 12 92.3 Tidak ada 1 7.7 4. Kandang pejantan Ada 2 15.4 Tidak ada 11 84.6

(4)

6

Keseluruhan responden menggunakan lantai kandang padat yang terbuat dari semen. Lantai kandang dibuat dengan posisi sedikit miring agar mudah dibersihkan dan selalu kering. Selain itu juga dibuat selokan atau parit agar tidak terjadi genangan air. Dengan adanya parit ini maka air pembersih lantai, air untuk memandikan sapi, urin, dan kotoran sapi dapat mudah terkumpul, yang selanjutnya dapat disalurkan ke penampungan biogas atau langsung ke selokan. Sebagian besar responden menggunakan asbes sebagai atap kandang. Pada daerah-daerah yang banyak angin tidak dianjurkan memakai bahan atap dari genteng. Sedangkan pada daerah-daerah yang berhawa dingin, bahan atap dapat dari asbes ataupun seng (Siregar 1996). Menurut Soetarno (2003) ditinjau dari fungsinya kandang sapi perah dapat dibedakan menjadi kandang induk, kandang pedet, kandang pejantan, dan kandang isolasi. Masing-masing kandang tersebut memiliki ukuran dan konstruksi yang berbeda.

Manajemen pakan dan sumber air merupakan salah satu aspek yang dinilai dalam pemeliharaan sapi perah. Secara rinci manajemen pakan dan sumber air dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Manajemen pakan dan sumber air di KTTSP Baru Sireum

No. Pakan dan sumber air Jumlah responden

% dari total responden 1. Pemberian pakan dalam satu hari

1 kali 0 0.0

2 kali 10 76.9

> 2 kali 3 23.1

2. Waktu pemberian hijauan

Sebelum pemerahan 1 7.7

Setelah pemerahan 11 84.6

Ad libitum 1 7.7

3. Jumlah pemberian hijauan

1 - 30 kg/ekor/hari 6 46.2 30 - 40 kg/ekor/hari 5 38.5 > 40 kg/ekor/hari 2 15.4 4. Pemberian konsentrat Sebelum pemerahan 9 69.2 Setelah pemerahan 3 23.1 Ad libitum 1 7.7

5. Jumlah pemberian konsentrat

1- 6 kg/ekor/hari 0 0.0

≥ 7 kg/ekor/hari 10 76.9

Tidak tentu/seadanya 3 23.1

6. Sumber air peternakan

Sungai 5 38.5

Mata air gunung 8 61.5

(5)

Pemberian hijauan dan konsentrat sebagai komponen ransum sapi perah perlu diperhatikan jumlah, kandungan dan kualitasnya karena ransum tidak hanya mempengaruhi produksi tetapi juga mempengaruhi kualitas bahan padat susu (Pangestu et al. 2003). Seluruh responden memberikan hijauan dan konsentrat dalam ransum ternaknya. Pakan hijauan dapat berupa rumput gajah maupun rumput lapang. Pakan konsentrat yang digunakan responden merupakan konsentrat siap pakai yang disediakan oleh KUD. Umumnya responden memberikan pakan dua kali sehari. Pakan hijauan yang diberikan responden untuk sapi dewasa sebanyak kurang dari 30 kg/ekor/hari (46.2%), 30-40 kg/ekor/hari (38.5%), dan lebih dari 50 kg/ekor/hari (15.4%). Pemberian pakan pada sapi perah dilakukan dua kali sehari rata-rata sebanyak 35-40 kg per ekor per hari untuk sapi yang diperah (Siregar 2007). Semua responden mendapatkan hijauan dengan cara mencari sendiri di lahan pegunungan yang berada di kawasan Cisarua.

Mayoritas responden memberikan konsentrat pada sapi dewasa sebanyak lebih dari atau sama dengan 7 kg per ekor per hari. Jumlah pemberian konsentrat tersebut telah sesuai dengan pemberian konsentrat ideal menurut Siregar (2007) yaitu 7 kg per ekor per hari. Sebagian besar responden memberikan konsentrat sebelum dilakukan pemerahan dan memberikan pakan hijauan setelah pemerahan. Pemberian konsentrat dilakukan setiap setengah jam sebelum pemerahan, sering pula pemberian konsentrat dilakukan pada waktu pemerahan. Pemberiannya sedikit saja agar sapi yang sedang diperah lebih tenang, sedangkan pemberian hijauan sesudah selesai pemerahan (Siregar 1996). Pemberian konsentrat dan hijauan yang hampir bersamaan waktunya dapat menurunkan kecernaan hijauan. Hal ini terjadi karena mikroorganisme dalam rumen mempunyai preferensi untuk mencerna konsentrat lebih dahulu karena konsentrat lebih mudah dicerna dari pada rumput (Siregar 1992).

Untuk pemenuhan kebutuhan air minum ternak, air untuk kandang dan peralatan, responden memperolehnya dari mata air gunung dan air sungai yang mengalir di dekat peternakan. Letak desa Cibeureum yang berada di daerah pegunungan memungkinkan peternak untuk mendapatkan sumber air yang sangat melimpah, baik dari mata air maupun aliran sungai yang belum banyak tercemar limbah. Namun kualitas air yang berasal dari mata air tentunya lebih baik daripada air yang diperoleh dari sungai.

Manajemen Kesehatan

Aspek penting dalam peternakan adalah kesehatan ternak. Guna meminimalisir kerugian yang diakibatkan oleh turunnya produktifitas, biaya pengobatan, dan risiko kematian ternak maka diterapkan upaya pencegahan sejak dini. Upaya pencegahan tersebut meliputi pemeriksaan kesehatan dan vaksinasi. Manajemen kesehatan ternak di KTTSP Baru Sireum dapat dilihat pada Tabel 4.

(6)

8

Tabel 4 Manajemen kesehatan ternak di KTTSP Baru Sireum No. Aspek kesehatan Jumlah responden % dari total

responden 1. Pemeriksaan kesehatan Ya 13 100.0 Tidak 0 0.0 2. Pemeriksa kesehatan Dokter hewan 9 69.2 Mantri/Paramedis 4 30.8 3. Frekuensi pemeriksaan 1 kali/tahun 3 23.1 2 kali/tahun 1 7.7 tidak teratur 9 69.2

4. Tindakan yang dilakukan bila ada ternak sakit

Diobati sendiri 5 38.5

Diobati dokter hewan/mantri 8 61.5 5. Pelaporan ternak sakit/mati

Dilaporkan 11 84.6

Tidak dilaporkan 2 15.4

6. Vaksinasi rutin ternak

Ya 12 92.3

Tidak 1 7.7

Seluruh responden menyatakan bahwa mereka melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap ternaknya. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh dokter hewan dan mantri/paramedis. Frekuensi pemeriksaan kesehatan hewan dilakukan oleh sebagian besar responden secara tidak tentu atau tidak teratur. Bila terdapat ternak yang sakit sebanyak 38.5% responden mengobati ternaknya sendiri, sedangkan 61.5% responden lainnya menyatakan ternaknya diobati oleh doker hewan. Pengetahuan tata cara dan dosis pemberian obat-obatan terutama antibiotik sangat penting agar tidak meninggalkan residu pada produk asal hewan (Gustiani 2009). Oleh karena itu pemberian obat-obatan sebaiknya diberikan oleh dokter hewan. Mayoritas responden melaporkan ternak yang sakit atau mati kepada kelompok tani atau pihak terkait.

Hampir seluruh responden melakukan vaksinasi ternak secara rutin oleh dokter hewan atau mantri. Vaksinasi dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh sapi terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus. Vaksinasi yang dilakukan oleh kelompok tani Baru Sireum adalah Brucellosis dan Antraks. Vaksin diberikan pada sapi perah yang berumur lebih dari 3 bulan atau lepas sapih dalam keadaan sehat dan cukup makan. Vaksin brucellosis dilakukan sekali seumur hidup (Sudibyo 1995), sedangkan vaksinasi antraks rutin dilakukan setiap tahun.

(7)

Manajemen Reproduksi

Manajemen reproduksi yang diamati dalam penelitian ini meliputi cara mengawinkan ternak, faktor inseminator, pemeriksa kebuntingan, proses kelahiran, pemberian kolostrum, dan penyapihan pedet. Manajemen reproduksi di KTTSP Baru Sireum dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Manajemen reproduksi di KTTSP Baru Sireum

No. Manajemen reproduksi Jumlah responden % dari total responden 1. Cara mengawinkan ternak

IB 13 100.0 Kawin alami 0 0.0 2. Inseminator Dokter hewan 8 61.5 Paramedis/mantri 5 38.5 3. Pemeriksa kebuntingan Dokter hewan 7 53.8 Paramedis/mantri 6 46.2

4. Pembantu proses kelahiran

Dokter hewan 1 7.7

Pekerja 7 53.8

Peternak bersama dokter hewan 5 38.5 5. Pemberian kolostrum Ya 13 100.0 Tidak 0 0.0 6. Penyapihan pedet < 6 bulan 13 100.0 ≥ 6 bulan 0 0.0

Menurut Sudono et al. (2003), metode perkawinan sapi perah yang umum dilakukan oleh peternak dibagi menjadi dua macam yaitu kawin alam dan Inseminasi Buatan (IB). Dapat dilihat pada Tabel 5 seluruh responden mengawinkan ternaknya dengan cara IB. Sistem IB dinilai lebih menguntungkan karena praktis, hemat waktu, hemat tenaga, hemat biaya, serta menekan tingkat penyebaran penyakit. Setelah 2-3 bulan dilakukan IB selanjutnya dilakukan pemeriksaan kebuntingan. Jika sapi tidak menunjukkan tanda-tanda kebuntingan maka inseminator akan melakukan IB setelah sapi tersebut birahi kembali. Inseminasi dan pemeriksaan kebuntingan dilakukan oleh dokter hewan atau mantri. Dalam menangani proses kelahiran sebagian besar responden (53.8%) mempercayakan kepada para pekerjanya, dan 38.5% menangani kelahiran bersama dengan dokter hewan.

Seluruh responden memberikan kolostrum kepada pedetnya segera setelah dilahirkan. Kolostrum merupakan susu pancaran pertama yang berwarna kuning agak kental dan berubah menjadi susu biasa sesudah 4-5 hari. Kolostrum

(8)

10

mengandung vitamin dan mineral jauh lebih besar dari susu biasa, bersifat pencahar, dan membantu membersihkan intenstinum pada sapi muda dari kotoran yang bergumpal (Williamson dan Payne 1993). Disamping itu kolostrum juga mengandung antibodi yang baik untuk pertumbuhan anak sapi. Anak sapi dapat dipisahkan dari induknya segera sesudah lahir, tetapi harus diberikan kolostrum untuk beberapa hari pertama dan sesudah itu dapat diberi minum susu atau makanan pengganti lain susu. Cara lain, pedet dapat dipelihara penuh bersama induknya dan kemudian biasanya disapih pada umur 6-8 bulan (Mangkoewidjojo 1988).

Manajemen Sanitasi

Menurut Siregar (1996) pencegahan penyakit pada sapi perah dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan sapi perah, kandang, peralatan yang digunakan, dan orang yang memelihara atau merawatnya. Gambaran manajemen sanitasi tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Manajemen sanitasi di KTTSP Baru Sireum

No. Aspek Sanitasi Jumlah responden % dari total responden 1. Membersihkan kandang

1 kali sehari 1 7.7

2 kali sehari 5 38.5

3 kali sehari 7 53.8

2. Membersihkan peralatan kandang

Setelah digunakan 7 53.8

Sebelum dan setelah digunakan 6 46.2 3. Frekuensi memandikan ternak

2 kali sehari 12 92.3

3 kali sehari 1 7.7

4. Mencuci tangan sebelum/sesudah kontak dengan ternak

Selalu 13 100.0

Kadang-kadang 0 0.0

5. Cara mencuci tangan

Dengan air dan sabun 13 100.0

Hanya air 0 0.0

Semua responden menjaga kebersihan lingkungan sekitar kandang dengan membersihkannya setiap hari. Rata-rata pembersihan kandang dilakukan dua atau tiga kali sehari. Responden yang mencuci peralatan kandangnya sebelum dan setelah digunakan sebanyak 46.2% dan yang membersihkannya setelah digunakan saja sebanyak 53.8%. Sebenarnya peralatan kandang yang hanya dicuci setelah digunakan sudah mencukupi dalam upaya menjaga kebersihan peralatan, namun lebih baik peralatan tersebut dibersihkan sebelum dan setelah digunakan, karena tidak menutup kemungkinan peralatan tersebut terkena kontaminan saat disimpan.

(9)

Mayoritas reponden memandikan ternaknya dua kali sehari. Sapi-sapi mudah menjadi kotor terutama akibat kotoran mereka sendiri yang menempel pada kulit atau rambut ketika mereka berbaring, ditambah dengan kotoran debu yang bercampur dengan keringat sapi. Kotoran mengandung parasit sehingga menimbulkan rasa gatal dan merupakan sumber penyakit. Selain itu tubuh sapi yang kotor dan rambut yang rontok akan mencemari susu yang dihasilkan. Oleh karena itu sapi dimandikan secara rutin dua kali sehari sebelum dilakukan pemerahan.

Seluruh reponden selalu mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum dan sesudah kontak langsung dengan ternak. Dengan demikian risiko serangan penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan parasit dapat dikurangi Kebersihan pekerja yang merawat sapi harus selalu terjaga dengan baik, jangan sampai sapi-sapi perah tertular penyakit tertentu dari tangan para pekerja (Siregar 1996).

Penilaian Tatalaksana Peternakan

Penilaian mengenai tatalaksana peternakan terdiri dari aspek lokasi, bangunan, dan fasilitas kandang, praktik higiene dan sanitasi, aspek kesehatan dan reproduksi, serta praktik penanganan limbah.

Aspek lokasi, bangunan dan fasilitas kandang

Secara keseluruhan (100%) penilaian aspek lokasi, bangunan dan fasilitas kandang masuk ke dalam kategori baik. Sebagian besar peternakan dinilai baik pada seluruh aspek, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Penilaian aspek lokasi, bangunan, dan fasilitas kandang secara umum Lokasi, bangunan, dan fasilitas

kandang Total n % Baik 13 100.0 Cukup 0 0 Buruk 0 0 Total 13 100.0

Beberapa aspek yang dinilai memiliki persentase penyimpangan cukup tinggi yaitu lokasi kandang yang berada tidak jauh dari tempat tinggal atau pemukiman (76.9%) dan tidak disediakannya kandang khusus untuk beranak/melahirkan (38.5%). Aspek lokasi, bangunan, dan fasilitas kandang secara detail dapat dilihat pada Tabel 8.

(10)

12

Tabel 8 Penilaian aspek lokasi, bangunan, dan fasilitas kandang secara spesifik

No Penyimpangan

Tidak Ya

n % n %

1 Lokasi kandang berada tidak jauh dari

tempat tinggal (<10m) 3 23.1 10 76.9

2 Lokasi kandang tidak memiliki pagar

pembatas dengan lingkungan sekitar 13 100.0 0 0.00 3 Bangunan kandang terbuat dari bahan

yang tidak permanen 13 100.0 0 0.00

4 Lantai terbuat dari bahan yang tidak

mudah dibersihkan 12 92.3 1 7.7

5 Atap terbuat dari bahan yang tidak

mudah dibersihkan 13 100.0 0 0.00

6 Atap tidak melindungi ternak dari panas

maupun hujan 13 100.0 0 0.00

7 Tidak memiliki sistem drainase yang baik 13 100.0 0 0.00 8 Tidak memiliki ventilasi yang cukup 12 92.3 1 7.7 9 Tidak memiliki penerangan yang baik 11 84.6 2 15.4 10 Situasi di dalam kandang padat 12 92.3 1 7.7 11 Tidak terdapat sumber air bersih yang

memadai 13 100.0 0 0.00

12 Tidak ada kandang khusus beranak 8 61.5 5 38.5 13 Tidak ada kandang khusus pedet 13 100.0 0 0.00 14 Tidak terdapat tempat sampah 10 76.9 3 23.1 15 Tempat pakan dan minum tidak terbuat

dari bahan yang mudah dibersihkan 12 92.3 1 7.7

Lokasi yang ideal untuk membangun kandang adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman penduduk tetapi mudah dicapai oleh kendaraan. Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter dan sinar matahari harus dapat menembus pelataran kandang (Kemenristek 2005). Pada umumnya kandang sapi perah yang berada di desa Cibeureum terletak sangat rapat dengan rumah-rumah penduduk, bahkan berada di tengah-tengah pemukiman. Letak kandang seharusnya tidak dekat dengan rumah penduduk dan fasilitas umum, karena akan mengganggu kenyamanan seperti terciumnya bau tidak sedap dan beresiko terjadinya penyebaran penyakit. Namun letak kandang yang berdekatan mempunyai keuntungan tersendiri, seperti memudahkan pengawasan terhadap ternak, mudah menyiapkan pakan untuk ternak, serta dapat mengetahui gejala-gejala birahi, melahirkan dan serangan penyakit dengan cepat. Sapi perah yang akan melahirkan sebaiknya ditempatkan di kandang khusus. Kegunaan kandang khusus beranak tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pergerakan induk sapi sebelum dan ketika proses melahirkan berlangsung.

(11)

Keberadaan tempat sampah merupakan aspek penting yang harus tersedia di peternakan agar sampah tidak berserakan dan menjadi sumber penyakit.

Aspek higiene dan sanitasi

Dalam hal aspek higiene dan sanitasi, sebagian besar peternakan (76.9%) dapat dimasukkan ke dalam kategori baik, sedangkan 23.1% peternakan masuk ke dalam kategori cukup. Tabel 9 memperlihatkan penilaian aspek higiene dan sanitasi secara umum.

Tabel 9 Penilaian aspek higiene dan sanitasi secara umum Higiene dan Sanitasi Total

n %

Baik 10 76.9

Cukup 3 23.1

Buruk 0 0

Total 13 100.0

Penyimpangan yang paling jelas terlihat adalah lingkungan sekitar kandang kotor serta tidak bebasnya kandang dari rodentia dan hewan lain dengan persentase masing-masing penyimpangan sebesar 23.1% (Tabel 10).

Tabel 10 Penilaian aspek higiene dan sanitasi secara spesifik

No Penyimpangan Tidak Ya

n % n %

1 Pekerja yang menangani ternak tidak

menggunakan sepatu boot 12 92.3 1 7.7 2 Kebersihan pekerja yang kontak dengan

ternak tidak terjaga dengan baik 13 100.0 0 0.0 3 Pekerja tidak mencuci tangan sebelum

dan sesudah kontak dengan ternak 13 100.0 0 0.0 4 Lingkungan sekitar kandang kotor 10 76.9 3 23.1 5 Tidak dilakukan pembersihan kandang

setiap hari 13 100.0 0 0.0

6 Peralatan kandang tidak dijaga

kebersihannya 13 100.0 0 0.0

7

Kandang tidak bebas dari serangga, rodentia dan hewan lain dan tidak dilakukan usaha pengendaliannya

10 76.9 3 23.1

Menurut OIE (2006) sanitasi dan higiene personal harus dilakukan oleh setiap pekerja. Standar sanitasi yang harus dilakukan setiap pekerja yaitu dengan memakai pakaian yang bersih, memakai sepatu boot yang dibersihkan secara teratur, tidak memiliki luka terbuka dan selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja. Keberadaan serangga, rodentia dan hewan lain merupakan

(12)

14

sumber penyebaran penyakit yang perlu diperhatikan, oleh karena itu perlu diadakan pengawasan dan pengendalian agar hewan-hewan tersebut tidak dapat masuk ke dalam peternakan.

Aspek manajemen kesehatan dan reproduksi

Dari penilaian aspek manajemen kesehatan dan reproduksi dapat disimpulkan bahwa 53.8% peternakan masuk dalam kategori baik dan 46.2% masuk dalam kategori cukup. Penilaian aspek manajemen kesehatan dan reproduksi secara umum tersaji pada Tabel 11.

Tabel 11 Penilaian aspek manajemen kesehatan dan reproduksi secara umum

Kesehatan dan Reproduksi

Total n % Baik 7 53.8 Cukup 6 46.2 Buruk 0 0 Total 13 100.0

Penilaian aspek praktik manajemen kesehatan dan reproduksi meliputi delapan butir penilaian seperti yang tercantum pada Tabel 12. Penyimpangan yang paling banyak terjadi adalah tidak adanya pemisahan antara ternak yang sakit (61.5%) dan proses kelahiran yang tidak dibantu oleh dokter hewan atau paramedis (23.1%).

Tabel 12 Penilaian aspek manajemen kesehatan dan reproduksi secara spesifik

No Penyimpangan Tidak Ya

n % n %

1 Kesehatan ternak tidak diperiksakan

secara rutin oleh petugas kesehatan 12 92.3 1 7.7 2 Tidak dilakukan tindakan apapun bila ada

ternak sakit 13 100.0 0 0.0

3 Ternak yang sakit tidak dipisahkan 5 38.5 8 61.5 4 Tidak melapor bila ada ternak sakit atau

mati 12 92.3 1 7.7

5 Ternak tidak divaksinasi 12 92.3 1 7.7 6 Tidak dilakukan pemeriksaan kebuntingan

oleh petugas kesehatan 13 100.0 0 0.00 7 Proses kelahiran tidak dibantu dokter

hewan atau paramedik 10 76.9 3 23.1

8 Pedet tidak diberikan kolostrum 13 100.0 0 0.0

Ternak yang sakit harus diisolasi agar tidak menularkan penyakitnya pada ternak lain dalam kandang (OIE 2006). Selain untuk mencegah penularan penyakit, tindakan isolasi akan memudahkan dalam pengawasan, pengobatan, dan

(13)

pemeliharaan ternak yang sakit. Keberadaan dokter hewan atau paramedis pada saat ternak melahirkan cukup penting untuk menghindari terjadinya kasus reproduksi yang bisa terjadi pada saat partus/melahirkan akibat penanganan yang tidak baik oleh peternak atau pekerja, atau bila terjadi kasus reproduksi dapat langsung ditangani.

Aspek penanganan limbah

Aspek penanganan limbah yang dinilai difokuskan pada penanganan limbah cair dan limbah padat. Limbah cair dapat berupa urin sapi, sisa air mandi, air pembersihan kandang, dan ceceran air minum, sedangkan limbah padat dapat berupa kotoran sapi dan ceceran sisa pakan. Tabel 13 menunjukkan penilaian penanganan aspek limbah secara umum.

Tabel 13 Penilaian aspek penanganan limbah secara umum

Penanganan Limbah Total n % Baik 4 30.8 Cukup 5 38.5 Buruk 4 30.8 Total 13 100.0

Secara umum peternakan yang termasuk ke dalam kategori baik sebesar 30.8 %, kategori cukup 38.5%, dan kategori buruk 30.8%. Gambaran spesifik penilaian aspek penanganan limbah dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Penilaian aspek penanganan limbah secara spesifik

No Penyimpangan

Tidak Ya

n % n %

1 Limbah cair langsung dialirkan pada

selokan umum 4 30.8 9 69.2

2 Limbah padat tidak ditangani dengan baik 9 69.2 4 30.8

Sebagian besar responden membuang limbah cair langsung ke selokan umum (69.2%), dan tidak menangani limbah padat dengan baik (30.8%). Menurut Soehadji (1992) limbah peternakan umumnya meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan, baik berupa limbah padat dan cairan, gas, ataupun sisa pakan. Limbah dapat berupa kotoran ternak, ternak yang mati atau isi perut dari pemotongan ternak. Limbah cair adalah air seni atau urin, air pencucian alat-alat. Sedangkan limbah gas adalah semua limbah yang berada dalam fase gas. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat/feses (Sihombing 2000). Manajemen pembuangan atau pengolahan limbah peternakan yang tidak baik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan sekitar peternakan.

(14)

16

Aspek Tatalaksana Peternakan

Berdasarkan penilaian terhadap keempat aspek tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa aspek tatalaksana peternakan di KTTSP Baru Sireum secara umum (92.3%) termasuk ke dalam kategori baik, sedangkan sebagian kecil lainnya (7.7%) termasuk ke dalam kategori cukup. Penilaian tatalaksana peternakan dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Penilaian tatalaksana peternakan Kategori peternakan Total n % Baik 12 92.3 Cukup 1 7.7 Buruk 0 0 Total 13 100.0

Hubungan antara Karakteristik Peternak dengan Tatalaksana Peternakan Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat tatalaksana peternakan dapat ditinjau dari karakteristik peternak. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan uji korelasi Spearman, keseluruhan karakteristik yaitu umur, tingkat pendidikan, status kepemilikan, pengalaman, penyuluhan, tingkat pendapatan, dan jumlah ternak tidak memperlihatkan hubungan yang nyata dengan tatalaksana peternakan (Tabel 16).

Tabel 16 Hubungan antara karakteristik peternak dan tatalaksana peternakan Karakteristik peternak Tatalaksana peternakan

P r Umur 0.653 0.138 Tingkat pendidikan 0.326 0.296 Status kepemilikan 0.798 0.079 Pengalaman 0.484 0.214 Penyuluhan 0.767 0.091 Tingkat pendapatan 0.545 0.185 Jumlah ternak 0.099 0.477 Keterangan:

P : Nilai korelasi antara dua variabel yang diuji, p < 0.05 menunjukkan hubungan dua arah r : Koefisien korelasi

Hal ini kemungkinan dapat terjadi akibat jumlah peternak dalam kelompok terlalu sedikit, dan penerapan tatalaksana yang homogen. Selain itu perlu dilakukan pengkajian terhadap faktor-faktor lain di luar faktor yang diteliti dalam hubungannya dengan tatalaksana peternakan. Menurut Luanmase et al. (2011) faktor-faktor tersebut meliputi keberanian mengambil risiko, curahan waktu kerja, dan luas lahan yang dimiliki.

Gambar

Tabel 1 Karakteristik peternak sapi perah KTTSP Baru Sireum
Tabel 3 Manajemen pakan dan sumber air di KTTSP Baru Sireum
Tabel 4 Manajemen kesehatan ternak di KTTSP Baru Sireum
Tabel 5 Manajemen reproduksi di KTTSP Baru Sireum
+5

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun kondisi lain menyebabkan pasien mengalami trombosis vena dan arteri (misalnya trombositopenia yang diinduksi oleh heparin, homosisteinemia,

Hasil uji prasyarat analisis dari uji linieritas yang digunakan untuk mengetahui apakah model hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat merupakan garis lurus

a) Masyarakat Desa Tanjung Sari menyambut baik rencana pembuatan Plot Baru Percontohan Restorasi Gambut Terintegrasi. b) Pola plot percontohan yang sesuai dengan kondisi

ditawarkan dan lingkungan kerja terhadap minat melamar pekerjaan calon karyawan. Mahasiswa dan mahasiswi di perguruan tinggi dinilai sangat kritis didalam memberikan

Penulis berpendapat bahwa sebelum anak memasuki lembaga pendidikan formal, maka seharusnya orangtua sudah mendidik anak lebih awal, mulai dari ketika anak masih dalam usia kehamilan

dapat berpengaruh pada sanitasi lingkungan yang berkurang. Kondisi sanitasi lingkungan yang berkurang, disebabkan oleh limbah domestik bertambah banyak dan

Dengan instruksi guru, siswa dapat mempraktekkan konsep gerak variasi pola gerak dasar lokomotor dalam permainan dengan percaya diri.. Metode dan

Dengan mengamati berbagai gambar benda, siswa dapat memilih alat ukur yang sesuai untuk mengukur panjang benda yang diukur dengan tepat1. Dengan diskusi kelompok, siswa