• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya minyak bumi berlimpah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan diperkirakan Indonesia memiliki sumber minyak hingga mencapai 3,7 miliar barel (Kurtubi, CPEES, 2013). Angka tersebut belum termasuk sumber-sumber potensial yang belum dieksplorasi sehingga menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi minyak bumi yang tinggi. Tidak mengherankan jika Indonesia menjadi sasaran investasi para perusahaan minyak asing dari berbagai negara.

Memasuki krisis moneter 1998, sektor minyak bumi Indonesia perlahan menjelma menjadi sektor yang cenderung liberal. Keterbukaan sektor minyak bumi terhadap peran asing ini bahkan dilegalkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, “Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.”

Undang-Undang tersebut jelas menegaskan tentang pelarangan praktek monopoli di Indonesia, dan mendukung kebebasan pasar termasuk di sektor minyak dan gas (migas). Undang-Undang ini juga membawa dampak kepada Pertamina yang sebelumnya merupakan perusahaan negara dan menjadi satu-satunya pemain tunggal yang memonopoli sektor minyak tiba-tiba dihadapkan dengan kenyataan larangan melakukan monopoli.

Hal ini ditambah lagi dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menuai kontroversi. Undang-Undang ini dianggap berisikan kepentingan asing hingga membuat banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengajukan nota keberatan walaupun pada akhirnya tetap disahkan DPR dan Presiden. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 dianggap melegalkan liberalisme di sektor minyak karena isi dari Undang-Undang ini melahirkan berbagai kebijakan liberal di sektor minyak. Menurut

(2)

Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 pasal 60 menyebutkan, “Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dengan Peraturan Pemerintah”

Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tersebut mentransformasi Pertamina dari yang tadinya merupakan perusahaan negara menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO). Status perubahan Pertamina lalu disahkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 31 Tahun 2003, “Sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 perlu dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO)”.

Peraturan tersebut juga menghilangkan peran monopolistik Pertamina sebagai representasi negara yang bertanggung jawab mengisi kas negara dan sebagai stabilisator sosial ekonomi publik sehingga Pertamina tidak lagi berfungsi sebagai regulator dan kontraktor (Hadi, 2012). Pertamina juga harus berlapang dada menerima equal treatment dimana Pertamina harus bersaing dengan perusahaan asing untuk mendapat wilayah eksploitasi minyak di negaranya sendiri (Hadi, 2012). Selain itu Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 telah membuat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi ditentukan dengan keadaaan pasar dan tidak lagi dikontrol pemerintah seperti pada Pasal 28 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001, “harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.”

Kedua Undang-Undang tersebut mempromosikan nilai-nilai liberalisme seperti divestasi, kompetisi, equal treatment, privatisasi, deregulasi hingga menyerahkan harga minyak pada mekanisme pasar dunia (Hadi, 2012). Liberalisasi di sektor minyak Indonesia juga bisa terlihat dari 70% energi nasional yang dimiliki Indonesia dikuasai dan diolah oleh pihak asing berdasarkan prinsip-prinsip liberalisasi ekonomi (Fatwani, 2014). Bahkan menurut Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produsen minyak terbesar di Indonesia bukan datang dari

(3)

perusahaan minyak lokal melainkan datang dari perusahaan minyak asing, yaitu Chevron Pasific Indonesia. Selain itu jika kita mencermati dengan seksama maka kita akan menemukan adanya bentrokan kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang menganut nilai-nilai liberalisasi tersebut tidak sesuai dengan amanat yang tertera pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Menurut pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” dan ayat (3) yang menyebutkan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Kebijakan sektor minyak setelah terjadinya krisis moneter 1998 sangat kontras dengan kebijakan sektor minyak yang terjadi pada pemerintahan Soekarno. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan Pemerintah Soekarno sejalan dan selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Pada waktu itu, untuk mengakomodasi amanat yang tertera pada Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah di era Soekarno mengeluarkan Undang-Undang No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang berisi bahwa pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi hanya diselenggarakan oleh negara dan selanjutnya negara mendelegasikan pelaksanaan pengusahaan industri pertambangan minyak dan gas bumi kepada perusahaan milik negara (Nurwidiatmo, 2005). Alhasil lahirlah perusahaan-perusahaan pertambangan migas negara seperti Pertambangan Minyak Negara (Permina), Pertambangan Minyak Indonesia (Permindo) dan Perusahaan Negara Gas Bumi Nasional (Permigran). Melalui aturan ini, pemerintahan Soekarno memperbesar peran dominasi negara dalam mengontrol sektor minyak. Bahkan pemerintahan Soekarno melakukan nasionalisasi terhadap tiga perusahaan minyak asing besar yang beroperasi kala itu. Hal ini menunjukkan bahwa sektor minyak Indonesia kala itu tertutup dan negara sangat mendominasi serta mengontrol jalannya usaha dari hulu hingga ke hilir (Hadi, 2012).

Perbedaan kontras kebijakan-kebijakan tersebut lantas menimbulkan pertanyaan besar tentang faktor-faktor apa yang mampu mendorong Indonesia membuka sektor minyaknya. Sektor minyak yang cenderung tertutup di era pemerintahan Soekarno lalu menjelma menjadi sektor minyak terbuka yang justru cenderung liberal ketika memasuki masa krisis moneter 1998.

(4)

1.2. Permasalahan Penelitian

Liberalisasi ekonomi semakin terasa di sektor minyak bumi setelah dilegalkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Liberalisasi ini bisa terlihat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pertama, dilakukannya privatisasi terhadap Pertamina sebagai perusahaan minyak bumi negara menjadi persero yang menyebabkan Pertamina harus berkompetisi dengan perusahaan asing untuk mendapatkan wilayah eksploitasi minyak bumi di negaranya sendiri. Kedua, harga bahan bakar minyak (BBM) tidak lagi dibawah kontrol pemerintah melainkan sudah diserahkan kepada mekanisme pasar. Ketiga, 70% energi nasional yang dimiliki Indonesia dikuasai dan diolah oleh pihak asing berdasarkan prinsip-prinsip liberalisasi ekonomi (Fatwani, 2014) sehingga tidak mengherankan jika produsen minyak terbesar di Indonesia bukan datang dari perusahaan minyak lokal melainkan datang dari perusahaan minyak asing. Liberalisasi telah tumbuh subur dengan didukung Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kedua Undang-Undang tersebut telah mempromosikan nilai-nilai liberalisme seperti kompetisi, equal treatment, divestasi, privatisasi, deregulasi hingga menyerahkan harga minyak bumi pada mekanisme pasar dunia (Hadi, 2012).

Keadaan yang kontras jika kita melihat situasi sektor minyak bumi Indonesia di era pemerintahan Soekarno yang tertutup, didominasi dan dikontrol oleh negara. Pada saat itu dominasi negara itu sendiri dijamin oleh negara dalam Undang-Undang No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Tidak tanggung-tanggung, Pemerintah bahkan melakukan nasionalisasi terhadap tiga perusahaan minyak bumi asing kala itu. Namun memasuki krisis moneter 1998, sektor minyak bumi berubah menjadi sektor terbuka dengan nilai-nilai liberal. Maka dari itu, tulisan ini bermaksud membahas pertanyaan “Apa faktor-faktor yang mendorong terjadinya liberalisasi di sektor minyak bumi Indonesia?”

(5)

1.3. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, tulisan ini akan menganalisa faktor eksternal dan internal yang mendorong terjadinya liberalisasi di sektor minyak bumi Indonesia, evolusi pergeseran makna konsep penguasaan negara dari masa ke masa, dan dampak yang dihasilkan dari terjadinya liberalisasi tersebut. Penjelasan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya pemahaman akademik dan dapat dijadikan dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam pengambilan keputusan di isu terkait.

1.4. Signifikansi/Kontribusi

Melalui analisa berbagai penemuan dan informasi serta pengamatan terhadap hasil observasi, penulis berharap melalui tulisan ini dapat memberikan sumbangan gagasan dan saran terkait kebijakan-kebijakan bagi aktor negara maupun non-negara di sektor minyak bumi. Penulis juga berharap, tulisan ini dapat berkontribusi menjadi masukan, pertimbangan dan perspektif baru untuk pengambil keputusan agar dapat mengambil kebijakan di sektor minyak bumi secara bijak, terutama pada lingkup Undang-Undang tentang minyak bumi, wilayah eksploitasi minyak bumi, perusahaan minyak bumi negara hingga kebijakan di hulu dan hilir minyak bumi Indonesia.

1.5. Literature Review

1.5.1 Faktor-Faktor Pendorong Terjadinya Liberalisasi di Sektor Minyak Kudeta Putih Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam

Ekonomi Indonesia (Hadi, Syamsul., 2012)

Menurut buku ini, liberalisasi di sektor minyak bumi Indonesia mulai berjalan secara masif setelah Indonesia menyetujui menerima bantuan dana dari

International Monetary Fund (IMF). Berbagai sektor strategis termasuk sektor minyak bumi diliberalisasikan sebagai persyaratan pinjaman IMF. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Letter of Intent (LoI) dan menjadi faktor yang mendorong lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Melalui undang-undang tersebut, pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan termasuk mereformasi harga minyak bumi, lembaga pengelola energi, menghilangkan peran monopolistik Pertamina dan

(6)

membuatnya menjadi powerless. Pertamina yang merupakan perusahaan negara, berubah menjadi persero dan harus bersaing secara equal untuk mendapatkan wilayah eksploitasi minyak di negaranya sendiri. Undang-Undang tersebut dianggap menjadi pintu bagi nilai-nilai liberalisasi untuk masuk ke sektor minyak bumi Indonesia. Sehingga pemerintah Indonesia mengurangi subsidi energi, menaikkan harga listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Pengelolaan Sektor Minyak Bumi di Indonesia Pasca Reformasi: Analisis Konsep Negara Kesejahteraan (Roziqin, 2015)

Menurut Jurnal ini, proses penyusunan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi merupakan akibat dari desakan IMF yang meminta Indonesia mereformasi sektor migas melalui butir ke-80 dan 81 di Letter of Intent (LoI) 20 Januari 2000. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 ini berhasil disahkan sebagai bentuk liberalisasi sebagaimana yang disyaratkan dalam Lol. Sebagai timbal balik, Dewan Direksi IMF di Washington menjanjikan US$ 260 juta dari total bantuan sebesar US$ 5 Miliar sebagai kompensasi. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 ini jelas tidak sesuai dengan semangat yang ada di Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dampak dari Undang-Undang No. 22 Tahun 2001, yaitu mulai dari pengilangan, penyimpanan, niaga dan pengangkutan menjadi terbuka terhadap asing. Lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 telah menggeser demokrasi ekonomi menjadi demokrasi liberal dengan prinsip ekonomi pasar, efisiensi pengelolaan sumber daya, transparansi, partisipasi, pasar bebas dan good governance.

1.5.2 Liberalisasi dalam Politik Ekonomi Internasional

Introduction to International Political Economy Fifth Edition (Balaam, D. & Dillman, B., 2014)

Menurut buku ini, saat liberalisme orthodoks tidak mampu menjelaskan mengapa Great Depression terjadi, muncul liberalisme Keynesian Theory yang mampu menjelaskan dan memberi solusi. Teori tersebut mengkritisi prinsip liberalisme orthodoks, yaitu invisible hand yang menyerahkan aktivitas ekonomi sepenuhnya kepada mekanisme pasar karena percaya self-interest

(7)

selalu sejalan dengan social interest sehingga tidak perlu ada campur tangan negara di dalamnya. Menurut Keynes, justru self-interest tidak sejalan dengan social interest. Bahkan individu cenderung berpikir rasional dan selfish. Keynes justru percaya bahwa peran pemerintah masih dibutuhkan dalam mekanisme pasar seperti menyuntikkan dana pada saat krisis untuk mengembalikan kepercayaan dan kestabilan pasar. Asumsi konsep Keynes menjelaskan bagaimana sebuah negara akhirnya menerima bantuan dana dari lembaga donor dunia dan menggunakan dana tersebut untuk mengembalikan kepercayaan pasar yang berujung pada keterbukaan sektor ekonomi negara tersebut.

The Evolution of Economic Thought. 8th Edition (Brue & Grant, 2013) Menurut buku ini, Keynesian Theory hadir pada awal 1930 sesaat setelah Great Depression dimulai. Pada saat itu fenomena Great Depression sudah tidak mampu lagi dijelaskan dan diselesaikan melalui laissez-fairez. Namun

Keynesian Theory mampu menjelaskan dengan kerangka pemikirannya serta menyediakan solusi bagi fenomena tersebut. Keynes melihat bahwa aggregate economics (kondisi ekonomi secara keseluruhan) penting untuk dilihat. Berbeda dengan liberalisme orthodoks yang melihat politik berada pada level di bawah ekonomi, Keynes justru melihat politik merupakan aspek penting untuk dikaji. Keynes juga membantah asumsi liberalisme orthodoks yang menyatakan bahwa pasar dapat mengatur dirinya sendiri sehingga tidak diperlukan campur tangan pemerintah. Liberalisme menurut Keynes justru masih memerlukan campur tangan pemerintah melalui politik dalam membuat kebijakan moneter dan fiskal karena pasar tidak mampu mengatur dirinya sendiri. Penguasa politik dapat mengatur variabel-variabel kunci ekonomi dan membuka segala konsekuensi ekonomi melalui regulasi pemerintah.

Pemikiran Ekonomi Politik Taylor, Smith, Marx dan Keynes (Handoko, 2013)

Menurut jurnal ini, konsep Keynesian Theory disusun tidak hanya berdasarkan asumsi ekonomi, namun juga berdasarkan asumsi psikologis, sosial dan politik. Keynes berpendapat bahwa sangat mungkin pemerintah mempengaruhi jalannya pasar dengan mengaturnya lewat kebijakan moneter dan fiskal. Dalam

(8)

kebijakan moneter, pemerintah bisa mengatur unsur konsumsi, subsidi dan investasi. Sedangkan dalam kebijakan fiskal, pemerintah membantu memperlancar jalannya pasar dengan membangun infrastruktur seperti jalan raya dan pekerjaan umum. Tanpa ada campur tangan pemerintah, pasar tidak akan berjalan dengan lancar. Campur tangan pemerintah sekaligus menunjukkan bahwa menurut Keynes, aspek-aspek ekonomis seperti pasar memiliki hubungan erat dengan variabel-variabel politik. Kita tidak akan bisa paham tentang jalannya suatu sektor perekonomian tanpa mengetahui banyak tentang kebijakan negaranya dahulu. Pemahaman Keynes berdasarkan jurnal ini sekaligus menjelaskan bahwa untuk mengetahui keadaan suatu sektor ekonomi, kita harus mengkaji kebijakan negaranya terlebih dahulu.

1.6. Kerangka Pemikiran/Konsep

Penulis memulai kerangka pemikiran penelitian ini dengan melihat bagaimana sejarah kebijakan sektor minyak bumi Indonesia mulai dari saat sektor minyak bumi masih tertutup di era pemerintahan Soekarno hingga sektor minyak bumi menjadi terbuka pasca reformasi. Melalui kronologis sejarah tersebut penulis akan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong terjadinya liberalisme di sektor minyak bumi dengan menganalisis menggunakan konsep liberalisme Keynesian Theory. Penulis menggunakan Keynesian Theory, sebuah konsep yang muncul setelah terjadinya Great Depression di awal 1930. Keynes menawarkan kerangka aggregate economics, sebuah pemikiran untuk memahami ekonomi dengan melihatnya secara keseluruhan. Menurut Keynes, kita tidak akan dapat memahami kebijakan ekonomi suatu negara tanpa melihat kebijakan politik negara tersebut terlebih dahulu. Sistem dan aspek-aspek yang ada pada ekonomi seperti investasi, dan harga memiliki keterkaitan erat dengan variabel-variabel politik (Handoko, 2013). Maka dari itu penulis mencoba mengidentifikasi faktor-faktor pendorong liberalisasi di sektor minyak bumi Indonesia dengan menganalisis hubungan antara kebijakan politik internasional dan regulasi ekonomi sektor minyak bumi Indonesia.

1.7. Preposisi/Working Hypothesis

(9)

merumuskan jawaban sementara dari pertanyaan penelitian, “Apa faktor-faktor yang mendorong terjadinya liberalisasi di sektor minyak bumi Indonesia?” Penulis berasumsi terdapat faktor eksternal dan internal yang mendorong terjadinya liberalisasi di sektor minyak bumi Indonesia.

Pertama, dari sisi eksternal, penulis melihat jika kesepakatan Letter of Intent antara Indonesia dengan IMF telah mendorong dan mengkondisikan Indonesia harus membuka sektor minyaknya sebagai timbal balik dan bukti komitmen Indonesia ke IMF setelah menerima bantuan dana. Kedua, dari sisi internal, Indonesia membutuhkan lapangan pekerjaan, dan dukungan teknologi dari pihak asing. Tingkat pengangguran yang tinggi membawa banyak jutaan orang hidup di garis kemiskinan. Sektor minyak itu sendiri merupakan salah satu sektor strategis yang dapat mengurangi pengangguran. Maka masuknya perusahaan asing akan membuka lapangan pekerjaan baru di sektor minyak bumi. Sektor ini juga memiliki resiko tinggi dalam pengerjaannya sehingga harus melewati proses rumit dalam mengeksplorasi hingga memproduksi minyak bumi. Maka dari itu diperlukan adanya transfer teknologi canggih dari perusahaan asing untuk bisa mengelola sektor ini.

1.8. Metodologi

Dalam menjawab penelitian kualitatif ini, penulis menggunakan metode penelitian kausal komparatif dimana penulis meneliti hasil perubahan variabel dependen yang disebabkan oleh variabel-variabel independen (Kumar, 2011). Dalam hal ini penulis melihat perubahan dalam sektor minyak bumi dari yang tertutup menjadi liberal yang disebabkan oleh beberapa faktor pendorong. Untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan sumber data sekunder dimana penulis akan melakukan teknik analisis data kualitatif terhadap sumber data sekunder seperti berbagai buku, jurnal ilmiah, skripsi dan laporan tahunan lembaga-lembaga terkait serta dokumen maupun press release dari website resmi institusi terkait. Beberapa sumber literatur yang digunakan berupa arsip letter of intent dari website IMF, jurnal maupun paper tentang washington consensus dan bretton woods, serta publikasi dari berbagai Kementerian dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

(10)

1.9. Pembabakan

Berikut ini merupakan pemaparan penulis tentang pembabakan dalam penulisan penelitian yang dibuat menjadi empat bab :

1.9.1 BAB I – Pendahuluan

Dalam bab ini, penulis mencoba memaparkan latar belakang permasalahan secara umum tentang bagaimana kebijakan sektor minyak bumi Indonesia yang telah menjelma menjadi liberal setelah memasuki krisis moneter 1998. Sangat kontras dengan kebijakan sektor minyak bumi sebelum terjadinya krisis yang cenderung tertutup. Selanjutnya penulis memaparkan permasalahan penelitian yang muncul akibat permasalahan di atas, yaitu apa faktor-faktor yang mendorong terjadinya liberalisasi di sektor minyak bumi Indonesia? Penulis juga menjelaskan tujuan dari penelitian ini dan apa signifikansi/kontribusi dari penelitian ini. Penulis juga memaparkan literature review sebagai sumber yang dijadikan pedoman penulis dalam merumuskan hipotesa atau jawaban sementara dari pertanyaan penelitian yang mau dibahas. Selain itu dijabarkan pula kerangka pemikiran tentang bagaimana alur pemikiran penulis dalam menyusun penelitian ini. Terakhir, penulis menjelaskan metode dan teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini.

1.9.2 BAB II – Sejarah dan Konteks

Pada awal bab ini, penulis akan memaparkan tentang evolusi makna konsep penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang terdapat di dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Penulis mencoba memaparkan makna filosofis konsep penguasaan negara dari era pemerintahan Soekarno hingga Soeharto. Selanjutnya akan dijelaskan saat terjadinya krisis moneter yang membawa Indonesia memasuki era reformasi berbagai hukum, regulasi dan kebijakan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 setelah reformasi membawa terjadinya kontroversi pro dan kontra tentang konsep penguasaan negara. Di akhir akan dipaparkan konsep penguasaan negara menurut putusan Mahkamah Konstitusi. Melalui pemaparan sejarah ini akan terlihat evolusi pergeseran makna konsep penguasaan negara dari masa ke masa.

(11)

1.9.3 BAB III – Pembahasan

Pada bab ini, penulis akan memberikan berbagai analisa dari hasil observasi yang telah ditemukan untuk menjawab pertanyaan penelitan yang telah dipaparkan sebelumnya. Sehubungan dengan permasalahan penelitian yang telah dipaparkan, tulisan ini akan membahas mengenai: 1) Bagaimana konsep liberalisme Keynesian Theory dapat menjelaskan terjadinya liberalisasi sektor minyak bumi; 2) IMF sebagai manifestasi dari liberalisme sehingga mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 melalui Letter of Intent; 3) Kebutuhan akan lapangan pekerjaan dan transfer teknologi mendorong Indonesia dari dalam untuk membuka sektor minyak buminya. Di akhir bab ini penulis juga akan menguraikan dampak liberalisasi secara singkat.

1.9.4 BAB IV – Penutup

Pada bab terakhir ini penulis akan memaparkan hasil penelitian secara garis besar dengan disertai pernyataan penulis tentang kesesuaian hipotesa awal dengan hasil akhir analisa. Sebagai penutup penulis akan memberikan saran terkait hasil penelitian. Melalui saran tersebut

diharapkan sektor minyak bumi Indonesia akan memiliki kebijakan yang lebih menguntungkan masyarakat di masa mendatang.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Batang tubuh (teks) terdiri dari bagian atau bab yalg berbeda menurut jenis karya ilmiah yang ditulis. 1) Bab I, merupakan bab pendahuluan, berisi uraian tentang latar belakang atau

Bab I membahas latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai, ruang lingkup kajian, sumber data serta sistematika penyajian.. BAB II

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penelitian ini mencoba mengembangkan media pembelajaran yang menarik, mudah diakses dan cocok untuk pembelajaran di masa

Bab ini berisi tentang latar belakang penulis atas permasalahan mengenai Pengaruh sikap Ridha Terhadap Tingkat Stress Pada Mahasiswa (Studi Deskriptif

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah (dikemukakan latar belakang dilakukannya penelitian ini yaitu pembelajaran bahasa Inggris dan penggunaan metode pembelajaran

Penelitian ini tersusun dari lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan. Bab ini menjadi pengantar bab-bab berikutnya, di dalamnya mencakup; a) latar belakang

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang yang mendasari pengembangan aplikasi translator bahasa Korea-Indonesia dengan metode OCR.. 1.1

Dengan berlandaskan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini kami mencoba untuk mengimplementasikan tren robot yang kini sedang berkembang di dunia