ISSN: 197 6013 9-TERAKREDITASI 493 U2 -LIPI 08 12 No. /A /P2MI / /20
Forestry Socio and Economic Research Journal
Volume 12 Nomor 2, Juni Tahun 2015
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Ministry of Environment and Forestry
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI Forestry Research, Development and Innovation Agency
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change
Volume 12 Nomor , 2 Juni Tahun 2015
ISSN: 197 6013
9-Forestry Socio and Economic Research Journal
SOSIAL DAN EKONOMI KEHUTANAN
JURNAL
PENELITIAN
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan telah terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala LIPI No. 742/E/2012. Jurnal ini memuat karya tulis ilmiah dari hasil-hasil penelitian di bidang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Kehutanan. Terbit pertama kali tahun 2001, terakreditasi tahun 2006 dengan nomor 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006 dan terbit secara berkala empat kali dalam setahun (Maret, Juni, September, Desember).
Forestry Socio and Economic Research Journal is an accredited journal, based on the decree of Director of Indonesian Science Institute (LIPI) No. 742/E/2012. This journal publishes result research in Forest Socio-Economics and Environment. First published in 2001, accredited by LIPI in 2006 with number 60/Akred-LIPI/P2MBI/12/2006 and published four times annually (March, June, September, December).
Penanggung Jawab (Editor in Chief ) Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan : Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim
Dewan Redaksi (Editorial Board)
Ketua (Chairman) : Dr.Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Anggota (Members) : 1. Dr.Ir. Satria Astana, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi,
Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) 2. Prof. Dr.Ir. Irsal Las, M.S. (Agroklimatologi dan Lingkungan, Kementan)
3. Prof.Dr.Ir. Didik Suhardjito, M.S. (Sosiologi Kehutanan & Kehutanan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor)
4. Dr. Herman Hidayat (Studi dan Kemasyarakatan, LIPI) 5. Dr. Ir. Erwidodo, M.S. (Ekonomi Pertanian, Kementan)
6. Drs. Edi Basuno, M.Phil., Ph.D. (Sosial Ekonomi Pertanian, Kementan)
7. Dr.Ir. Triyono Puspitojati, M.Sc. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) 8. Dra. Setiasih Irawanti, M.Si. (Ekonomi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi,
Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) 9. Ir. Subarudi, M.Wood Sc. (Sosiologi Kehutanan, Puslitbang Sosial, Ekonomi,
Kebijakan dan Perubahan Iklim -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)t) Mitra Bestari (Peer Reviewers) : 1. Prof.Dr. Dudung Darusman (Kebijakan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor)
2. Prof.Dr.Ir. Djaban Tinambunan, M.S. (Keteknikan Hutan; Kelompok Kerja Kebijakan, Badan Litbang dan Inovasi)
3. Prof. Mustofa Agung Sardjono (Perhutanan Sosial, Universitas Mulawarman) 4. Dr.Ir. A. Ngaloken Gintings, M.S. (Konservasi Tanah dan Air; Kelompok Kerja
Kebijakan, Badan Litbang dan Inovasi)
5. Dr.Ir. Boen M. Purnama (Ekonomi dan Sumberdaya Hutan, IPDN)
6. Prof.Dr.Ir. Kurniatun Hairiah (Perhitungan Emisi Karbon dan Upaya Pengendalian Perubahan Iklim, Universitas Brawijaya))
Redaksi Pelaksana (Managing Editor)
Ketua (Chairman) : Ir. Achmad Pribadi, M.Sc. Anggota (Members) : 1. Ir. Tigor Butarbutar, M.Sc.
2. Drs. Haryono
3. Dewi Ratna Kurnia Sari, S.Hut., M.Si. 4. Agus Purwanto, A.Md.
Sekretariat (secretariat) : 1. Ratna Widyaningsih, S.Kom. 2. Gentini Ika Lestari, S.Sos., M.Si. Diterbitkan oleh (Published by):
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim (Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change)
Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Forestry Research, Development and Innovation Agency ( ) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ministry of Environment and Forestry ( )
ISSN: 197 6013 9-TERAKREDITASI 493 U2 I-LIPI 08 12 No. /A /P2M / /20
Forestry Socio
and
Economic
Research
Journal
Volume 12 Nomor 2, Juni Tahun 2015KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Ministry of Environment and Forestry
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
Forestry Research, Development and Innovation Agency
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM
Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change
Ucapan Terima Kasih
Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah yang dimuat pada edisi Vol. 12 No. 2 Juni tahun 2015 :
1. Dr. Boen M. Purnama 2. Dr. A. Ngaloken Gintings
DAFTAR ISI
DISTRIBUSI NILAI TAMBAH DALAM RANTAI NILAI KAYU SENGON
(Paraserianthes falcataria) DARI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH, INDONESIA
(Added Value Distribution in Timber Value Chain of Sengon/Paraserianthes falcataria from Pati Regency, Central Java, Indonesia)
Nunung Parlinah, Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka, & Kirsfianti L. Ginoga ...
SALURAN PEMASARAN KAYU PERTUKANGAN JENIS BAMBANG LANANG
(Michelia champaca) YANG MENGUNTUNGKAN PETANI DI SUMATERA
SELATAN (Favorable Marketing Channel of Bambang Lanang/Michelia champaca for Farmers in South Sumatra)
Sri Lestari, Bondan Winarno, & Bambang Tejo Premono ...
STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI AGROFORESTRY PADA LAHAN MASYARAKAT: STUDI KASUS DI KECAMATAN RANCAH KABUPATEN , CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT (, Sustainability Status of Agroforestry in Private Lands: A Case Study in Rancah, Ciamis Regency, West Java)
Idin Saepudin Ruhimat ...
DAUR TEBANG OPTIMAL HUTAN RAKYAT GMELINA (Gmelina arborea Roxb.) DI TASIKMALAYA DAN BANJAR, JAWA BARAT, INDONESIA(Optimal Harvesting
Rotation of Gmelina (Gmelina arborea Roxb. Private Forest in Tasikmalaya and Banjar, West )
Java, Indonesia)
Yonky Indrajaya & M. Siarudin ...
PENGATURAN HASIL AGROFORESTRY JABON (Neolamarckia cadamba Miq.) DAN KAPULAGA (Amomum compactum) DI KECAMATAN PAKENJENG, GARUT, JAWA BARAT ( Yield Management on Agroforestry of Caddam (Neolamarckia cadamba Miq.) and Cardamom (Amomum compactum) in Pakenjeng, Garut, West Java)
Yonky Indrajaya & M. Siarudin ...
TINGKAT MOTIVASI PETANI DALAM PENERAPAN SISTEM
AGRO-FORESTRY Farmers Motivation Level in Application of Agroforestry System( )
Idin Saepudin Ruhimat ...
77 - 87 89 - 97 99 - 110 111 119 - 121 - 130 131 - 147 ISSN: 197 6013 9-TERAKREDITASI 493 U2 I-LIPI 08 12 No. /A /P2M / /20
Forestry Socio and Economic Research Journal
JURNAL PENELITIAN SOSIAL
DAN
EKONOMI KEHUTANAN
ISSN: 1979 - 6013 Terbit : Maret 2015
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak tanpa ijin dan biaya.
UDC(OSDCF) 630*652.51
Nunung Parlinah, Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka, & Kirsfianti L. Ginoga
Distribusi Nilai Tambah dalam Rantai Nilai Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria) dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 2, hal. 77-87.
Hutan rakyat berperan penting dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga dan kegiatan ekonomi lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari rantai nilai kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dari Kabupaten Pati dan secara khusus mengidentifikasi para pelaku yang terlibat, distribusi nilai tambah dan strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani. Metode yang digunakan adalah analisis rantai nilai. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa nilai tambah kayu sengon terdistribusi secara tidak merata antar pelaku. Beberapa strategi yang direkomendasikan untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani yaitu meningkatkan kapasitas petani dan kelompok tani, membangun informasi pasar dan menciptakan kemitraan antara petani atau kelompok tani dengan industri.
Kata kunci: Petani, hutan rakyat, distribusi nilai tambah, kayu
sengon. UDC(OSDCF) 630*71
Sri Lestari, Bondan Winarno Bambang Tejo Premono&
Saluran Pemasaran Kayu Pertukangan Jenis Bambang Lanang (Michelia champaca ) yang Menguntungkan Petani di Sumatera Selatan
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 2, hal. 89-97.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pelaku pasar, pola saluran pemasaran dan tingkat efisiensi pemasaran kayu bambang lanang di Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan responden yang dipilih secara purposive. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku pasar dalam rantai pemasaran kayu bambang lanang adalah petani (produsen), penggesek, pengumpul, pemilik depot, industri kusen/furniture dan konsumen pengguna. Di lokasi penelitian ditemukan lima pola saluran pemasaran kayu bambang lanang dan yang paling efisien adalah saluran pemasaran pola 2 (petani – penggesek – depot kayu – industri kusen/furniture dan konsumen akhir).
Kata kunci: Kayu bambang lanang, saluran pemasaran, petani.
UDC(OSDCF) 630*908.1 Idin Saepudin Ruhimat
Status Keberlanjutan Usahatani Agroforestry pada Lahan Masyarakat: Studi Kasus i Kecamatan Rancah, Kabupaten d Ciamis, Provinsi Jawa Barat
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 2, hal. 9 110.
9-Penelitian bertujuan untuk mengetahui status keberlanjutan dan menentukan faktor-faktor kunci dalam keberlanjutan usahatani agroforestry. Data dianalisis dengan analisis RAP-AFS dan analisis prospektif. Berdasarkan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa usahatani agroforestry di Kecamatan Rancah berada pada status kurang berkelanjutan. Faktor-faktor kunci yang harus diperhatikan dalam keberlanjutan usahatani agroforestry terdiri dari peranan penyuluh, ketersediaan paket teknologi agroforestry, peranan pemerintah dan eksistensi kelompok tani. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah disarankan mengelola faktor-faktor kunci tersebut dalam pengembangan usahatani agroforestry berkelanjutan.
Kata kunci: Status keberlanjutan, usahatani agroforestry, analisis multidimensi.
UDC(OSDCF) 630*561 Yonky Indrajaya & M. Siarudin
Daur Tebang Optimal Hutan Rakyat Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) di Tasikmalaya dan Banjar, Jawa Barat, Indonesia
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 2, hal. 111-119.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis daur tebang optimal hutan rakyat gmelina di Tasikmalaya dan Banjar, Jawa Barat. Metode yang digunakan adalah memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dari kayu gmelina semua daur. Jenis data yang dikumpulkan adalah data pertumbuhan tegakan dan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan: ) daur optimal biologis tegakan a gmelina adalah delapan tahun ) daur Faustmann tegakan gmelina ; b adalah 10,5 tahun ) ; c panjang daur Faustmann berbanding terbalik dengan harga kayu, suku bunga riil dan penurunan produksi kayu, serta berbanding lurus dengan biaya pembuatan tanaman hutan.
Kata kunci: Gmelina, hutan rakyat, daur optimal, memaksimalkan
UDC(OSDCF) 630*908.1 Yonky Indrajaya & M. Siarudin
Pengaturan Hasil Agroforestry Jabon (Neolamarckia cadamba Miq.) dan Kapulaga (Amomum compactum) i Kecamatan Pakenjeng, d Garut, Jawa Barat
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 2, hal. 121-130.
Agroforestry dapat berkontribusi pada pendapatan petani, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pola agroforestry jabon-kapulaga telah banyak diterapkan oleh petani di Pakenjeng, Garut, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan menganalisis manajemen optimal agroforestry jabon-kapulaga menggunakan metode modeling bio-ekonomik yang dimodifikasi dari model Faustmann. Hasil penelitian menunjukkan: 1) daur optimal agroforestry jabon-kapulaga sesuai daur biologis tegakan jabon adalah lima tahun; 2) daur optimal Hartman agroforestry jabon-kapulaga adalah 10 tahun. Analisis sensitivitas menunjukkan: a) peningkatan harga kayu jabon akan memperpendek daur Hartman; b) peningkatan harga kapulaga akan memperpanjang daur Hartman dan c) peningkatan suku bunga akan memperpendek daur Hartman.
Kata kunci: Jabon, kapulaga, anajemen optimal, Jawa Barat.m
UDC(OSDCF) 630*908.1 Idin Saepudin Ruhimat
Tingkat Motivasi Petani alam Penerapan Sistem d Agro-Forestry Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 12 No. 2, hal. 131-147.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat motivasi petani, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi petani dan merumuskan usaha peningkatan motivasi petani dalam penerapan sistem agroforestry. Data dianalisis dengan pendekatan Structural Equation Modelling (SEM) menggunakan program SmartPls 2.0 M3. Hasil penelitian menunjukkan: 1) tingkat motivasi petani dalam penerapan sistem agroforestry masih rendah; 2) tingkat motivasi petani dipengaruhi secara langsung oleh persepsi dan kapasitas petani serta dipengaruhi secara tidak langsung oleh faktor karakteristik petani, dukungan pihak luar, peran penyuluh dan peran kelompok tani dan 3) usaha peningkatan motivasi petani dapat dilakukan dengan melakukan peningkatan kapasitas dan penguatan persepsi petani terhadap sistem agroforestry.
FORESTRY
SOCIO
AND ECONOMIC RESEARCH JOURNAL
ISSN: 1979 - 6013 Date of issue March : 2015
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
UDC(OSDCF) 630*652.51
Nunung Parlinah, Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka, & Kirsfianti L. Ginoga
Added Value Distribution in Timber Value Chain of Sengon/Paraserianthes falcataria from Pati Regency, Central Java, Indonesia
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 2, p. 77-87. Community forests play an important role in household income and local economic activity. This research studied timber value chain of sengon (Paraserianthes falcataria) from Pati regency, and specifically to identify actors involved, understand distribution of added value and formulate strategies to increase the added value for smallholders. The method used is value chain analysis. The results reveal that the value added generated are unevenly distributed among the actors. Strategies recommended to increase value added for smallholders are improving capacity of farmers and farmers group, building market information and creating partnership between farmers or farmers group and industries.
Keywords: Smallholder, community forest, value added distribution,
sengon wood.
UDC(OSDCF) 630*71
Sri Lestari, Bondan Winarno Bambang Tejo Premono&
Favorable Marketing Channel of Bambang Lanang/Michelia
champaca for Farmers in South Sumatra
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 2, p. 89-97. This research aims to study marketing actors, marketing channels pattern and marketing efficiency of bambang lanang wood in Lahat and Empat Lawang Regencies, South Sumatra Province. Data collection was conducted through interview with respondents that were purposively selected. The data were analyzed qualitatively and quantitatively. The results indicated that the actors involved in marketing bambang lanang wood are farmers, chainsaw men, traders, timber depot, sill/furniture industries and end consumers. In the study areas, five marketing channels are found and the most efficient one is pattern 2 (farmers – chainsaw men – timber depot – sill/furniture industries and end consumers.
Keywords: Bambang lanang wood, marketing channel, farmer.
UDC(OSDCF) 630*908.1 Idin Saepudin Ruhimat
Sustainability Status of Agroforestry in Private Lands: A Case Study in Rancah, Ciamis Regency, West Java
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 2, p. 9-9 110.
This study aims to determine the state of sustainability and the key factors affecting sustainability of agroforestry. The research conducted in Rancah District, Ciamis Regency from April to December 2013. Data is analyzed using RAP-AFS and prospective analysis. Based on this study we concluded that agroforestry is less sustainable. The key factors that must be considered are: extension role, the availability of agroforestry technology package, government role and farmer groups existence. Therefore, national and regional governments are advised to manage the key factors in development of sustainable agroforestry.
Keywords: Sustainability status, agroforestry, multi dimensional
analysis.
UDC(OSDCF) 630*561 Yonky Indrajaya & M. Siarudin
Optimal Harvesting Rotation of Gmelina (Gmelina arborea Roxb.)
Private Forest in Tasikmalaya and Banjar, West Java, Indonesia orestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 2, p. 111-119.
This study aims to analyze optimal harvesting rotation of gmelina private forest in Tasikmalaya and Banjar, West Java. The method used was profit maximization obtained from all rotation of gmelina stand. Data collected were stand growth and economic data. The results of this study are: ) a optimal biological rotation of gmelina stand is 8 years; b) Faustmann rotation of gmelina stand is 10.5 years ) the length of Faustmann ; c rotation is negatively correlated with stumpage price, interest rate and wood production reduction, but positively correlated with planting cost.
Keywords: Gmelina, private forest, optimal rotation, profit
UDC(OSDCF) 630*908.1 Yonky Indrajaya & M. Siarudin
Yield Management on Agroforestry of Caddam (Neolamarckia
cadamba Miq.) and Cardamom (Amomum compactum) in
Pakenjeng, Garut, West Java
Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 2, p. 21-1 130.
Agroforestry may contribute to short and long term income for farmers. Agroforestry of caddam-cardamom is widely practiced in Pakenjeng, Garut, West Java. This study aims to analyze the optimal management of caddam-cardamom agroforest using bio-economic modeling as a modification of Faustmann model. The results of this study shows that: 1) optimal rotation of agroforestry caddam-cardamom following the biological rotation of caddam stand is 5 years; 2) the Hartman optimal rotation of agroforestry caddam-cardamom is 10 years and 3) sensitivity analysis shows: a) the increment in caddam wood price will shorten Hartman rotation; b) the increment in cardamom price will lengthen Hartman rotation and c) the increment in interest rate will shorten Hartman rotation.
Keywords: Caddam, cardamom, ptimal management, West Java.o
UDC(OSDCF) 630*908.1 Idin Saepudin Ruhimat
Farmers Motivation Level in Application of Agroforestry System Forestry Socio and Economic Research Journal Vol. 12 No. 2, p. 31-1 147.
This study aims to determine farmers motivation level, factors affecting farmers motivation and to formulate efforts to increasing farmers motivation in implementing agroforestry systems. Data was analyzed with Structural Equation Modelling (SEM) approach using SmartPls 2.0 M3 program. The results showed: 1) the farmers motivation level are still low; 2) farmers motivation level is directly influenced by the perception and the farmers capacity level and indirectly influenced by the characteristics of farmers, external support level, extension role and farmer groups role; 3) efforts to increase the farmers motivation can be done through capacity building and strengthening of farmers perceptions.
DISTRIBUSI NILAI TAMBAH DALAM RANTAI NILAI KAYU SENGON
(
Paraserianthes falcataria) DARI KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH,
INDONESIA
(
Added Value Distribution in Timber Value Chain of Sengon/
Paraserianthes falcataria
from Pati Regency, Central Java, Indonesia
)
Nunung Parlinah, Setiasih Irawanti, Aneka Prawesti Suka, & Kirsfianti L. Ginoga Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim,
Jl. Gunung Batu No.5 Bogor, Indonesia;
e-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]. Diterima 5 Agustus 2014 direvisi 23 Pebruari 2015 disetujui 13 Maret 2015
ABSTRACT
Community forests play an important role in household income and local economic activity. This research aims to study the timber value chain of sengon (Paraserianthes falcataria) from Pati regency and specifically to identify the actors involved, understand the distribution of added value and formulate strategies to increase the added value for smallholders. The method used is value chain analysis involving 21respondents consisting of individual and group respondents. The results reveal that the value added generated within the timber value-chain of sengon are unevenly distributed among the actors. The smallholders who have direct access to the industry obtained better financial returns than smallholders who sell timber through middleman. Several strategies recommended to increase the value added for smallholders are improving capacity of farmers and farmers group, building market information to unlock market access and creating partnership between farmers or farmers group with industries.
Keywords: Smallholder, community forest, value added distribution, sengon wood.
ABSTRAK
Hutan rakyat memiliki peran penting dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga dan kegiatan ekonomi lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari rantai nilai kayu sengon (Paraserianthes falcataria) dari Kabupaten Pati dan secara khusus mengidentifikasi para pelaku yang terlibat, distribusi nilai tambah dan strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani. Metode yang digunakan adalah analisis rantai nilai yang melibatkan 21 responden, terdiri dari responden individu dan kelompok. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa nilai tambah kayu sengon terdistribusi secara tidak merata antar pelaku. Petani yang memiliki akses langsung ke industri memperoleh finansial yang lebih baik dibandingkan petani yang menjual kayunya melalui pedagang perantara. Beberapa strategi yang direkomendasikan untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani yaitu meningkatkan kapasitas petani dan kelompok tani, membangun informasi pasar untuk membuka akses pasar dan menciptakan kemitraan antara petani atau kelompok tani dengan industri.
Kata kunci: Petani, hutan rakyat, distribusi nilai tambah, kayu sengon.
I. PENDAHULUAN
Hutan menurut UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Hutan rakyat memiliki peran yang semakin penting dalam penyediaan kayu sejak berkurangnya produksi kayu dari hutan alam. Besarnya potensi produksi kayu dari areal hutan rakyat di Indonesia pada tahun 2003 adalah sekitar 68,5 juta pohon atau setara dengan 14 juta m , 3 sedangkan cadangan tegakan mencapai lebih dari 226 juta pohon atau setara dengan 45 juta m 3
(Departemen Kehutanan & Badan Pusat Statistik, 2004).
Sebagian besar petani hutan rakyat di Indonesia terutama di Pulau Jawa sudah berorientasi pada pertimbangan ekonomi dan komersial dalam me-mutuskan kegiatan hutan rakyat (Lastini, 2012). Hal tersebut juga dikemukakan oleh Rohadi (2012) bahwa hutan rakyat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di wilayah pedesaan. Besarnya kontribusi hutan rakyat dalam bentuk hasil hutan kayu di Kabupaten Pati mencapai Rp 3.784.704,-/petani/tahun
tematik dan bagaimana hubungannya untuk meng-analisis daya saing perusahaan. Porter membeda-kan dua elemen penting dari analisis rantai nilai yaitu: 1) kegiatan intralink yang disebut sebagai rantai nilai (value chain) dan 2) konsep rantai nilai
multilink yang disebut sebagai value system Value .
system pada dasarnya merupakan pengembangan
dari rantai nilai intra-link menjadi hubungan inter-link.
Kaplinsky dan Morris (2000) mendefinisikan rantai nilai sebagai gambaran kegiatan yang diperlukan untuk menghasilkan suatu barang atau jasa, di mana barang dan jasa tersebut bermula dari sebuah gagasan, selanjutnya melalui beberapa tahap produksi yang berbeda untuk kemudian dibawa ke konsumen dan akhirnya didaur ulang setelah diper-gunakan. Pada dunia nyata, rantai nilai cenderung lebih kompleks dan banyak link yang saling berhubungan seperti yang terjadi pada rantai nilai industri mebel kayu Kaplinsky & ( Morris 2000; Kaplinsky , et al., 2003).
Masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai nilai memberikan nilai tambah dalam setiap prosesnya. Nilai tambah merupakan selisih antara pendapatan yang diperoleh dari penjualan barang atau jasa dan biaya untuk pembelian barang atau jasa yang diperlukan untuk menghasilkan barang atau jasa (Anonim 1997 , dalam Susanty 2000), . Pendekatan rantai nilai berperan dalam membantu menjelaskan kepada siapa saja keuntungan didistribusikan sehingga mempermudah dalam mengidentifikasi kebijakan yang sesuai untuk pelaku tertentu agar memperoleh bagian keuntungan yang lebih baik (Kaplinsky & Morris, 2000).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di hutan rakyat di Kabupa-ten Pati yaitu di Desa Giling Kecamatan Gunung-wungkal dan Desa Payak Kecamatan Cluwak. Di lokasi tersebut yang menjadi responden adalah petani, kelompok petani, penebas dan pemilik depo kayu. Untuk Kabupaten Temanggung merupakan lokasi penelitian dengan responden pemilik depo dan industri, yaitu di Desa Candi Mulyo Kecamatan Kedu dan Desa Kupen Kecamaatan Pringsurat. Penelitian dilaksanakan pada akhir bulan Januari sampai dengan awal April 2013.
(Irawanti et al., 2012). Keberadaan hutan rakyat tersebut selain memberikan manfaat finansial bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat ekonomi bagi para pelaku yang terlibat dalam rantai perdagangan dan industri yang mengolah kayu rakyat.
Data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a) menunjukkan perkembangan hutan rakyat di Jawa Tengah terus mengalami peningkatan luas. Sebagai contoh, pada tahun 2004 luasnya adalah 287.667 ha dan pada tahun 2010 meningkat men-jadi 506.501 ha. Kabupaten Pati termasuk ke dalam 10 besar kabupaten di Jawa Tengah yang perkem-bangan luas hutan rakyatnya cukup tinggi dengan salah satu jenis pohon yang ditanam adalah sengon (Paraserianthes falcataria). Lokasi hutan sengon rakyat di Kabupaten Pati umumnya berada di pedesaan, sementara lokasi industri pengolahan kayu berada di kabupaten lain seperti Semarang, Temanggung dan Batang. Setiap pelaku dalam rantai nilai kayu sengon melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan nilai tambah.
Dengan melihat banyaknya pihak yang terlibat maka analisis rantai nilai (value chain) memiliki pe-ranan penting di mana seluruh siklus produksi di-perhatikan, termasuk hubungan dengan pasar akhir. Sebagai upaya untuk memahami rantai nilai kayu se-ngon dari Kabupaten Pati, penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari rantai nilai kayu sengon dari Kabupaten Pati dan secara khusus mengidentifikasi para pelaku yang terlibat, distribusi nilai tambah antar pelaku dan strategi me-ningkatkan nilai tambah bagi petani.
II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Teori
value chain
Istilah rantai nilai ( ) banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian dengan menggu-nakan berbagai terminologi yang berbeda. Istilah yang umum digunakan adalah global commodity chains,
value chains, value systems, production network dan value networks (Gereffi et al., 2001). Rantai nilai ini ber-variasi tergantung dari skala kegiatan organisasi (Sturgeon 2001).,
Istilah rantai nilai pertama kali dikemukakan oleh Porter (1985) yang merujuk pada alat untuk menguji seluruh kegiatan perusahaan secara
sis-2. Analisis distribusi nilai tambah
Analisis distribusi nilai tambah yang diperoleh para pelaku sepanjang rantai nilai kayu sengon adalah: a. Pendapatan bersih atau laba dihitung dengan
ca-ra penerimaan dikuca-rangi dengan biaya keselu-ruhan (biaya variabel dan biaya tetap). Margin bersih suatu produk adalah pendapatan bersih per produk (Australian Centre for International Agricultural Research, 2012).
b. Distribusi nilai tambah dihitung berdasarkan persentase margin keuntungan bersih masing-masing pelaku terhadap keuntungan total selu-ruh pelaku dalam rantai nilai kayu sengon.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Hutan Rakyat dan Industri Kayu
Keberadaan hutan rakyat dan produksi kayunya merupakan salah satu faktor pendorong bagi ber-kembangnya industri pengolahan kayu dan sebalik-nya. Keberadaan industri pengolahan kayu merupakan pendorong bagi masyarakat untuk terus melakukan penanaman pohon karena adanya permintaan kayu dari industri pengolahan kayu.
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a), perkembangan hutan rakyat secara keseluruhan di Provinsi Jawa Tengah selama periode tahun 2004-2011 mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat (Tabel 1), di mana luas hutan rakyat pada tahun 2004 sebesar 287.667 ha menjadi 705.411 ha pada tahun 2011. Adapun jenis kayu yang ditanam, antara lain: sengon, suren (Toona sureni), puspa (Schima wallichii Eucalyptus), sp., pinus (Pinus sp.), jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia sp.), kayu putih (Melaleuca leucadendron), mindi (Melia azedarach Lin.), randu (Ceiba petandra), sonokeling (Dalbergia pinnata), jenitri (Elaeocarpus oxypyrena) dan akasia (Acacia sp.).
Hutan rakyat di Kabupaten Pati mencapai 14.307 ha pada tahun 2004 dan kemudian me-ningkat menjadi 29.463 ha pada tahun 2011, atau C. Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data primer dan da-ta sekunder. Dada-ta primer diperoleh melalui wa-wancara dengan responden. Teknik penentuan res-ponden untuk tingkat petani ditentukan secara
pur-posive sampling, yaitu pada petani penanam kayu
se-ngon yang pernah melakukan penebangan dan pen-jualan kayu sengon. Jumlah petani yang diambil se-bagai contoh sebanyak enam responden. Untuk res-ponden lainnya dilakukan dengan snowball method, di mana para pelaku yang menjadi responden adalah penebas (tiga responden), depo kayu (dua respon-den) dan industri pengolahan kayu sengon (dua res-ponden). Selain mewawancarai para pelaku terse-but, penelitian ini juga menggali informasi dari pela-ku lain yang terlibat dan memiliki peranan penting dalam rantai nilai kayu sengon, yaitu kelompok tani, pendamping kelompok tani (Trees 4 Trees), pemilik
chainsaw (tiga responden) dan sopir truk yang
meng-angkut kayu dari pedagang di Kabupaten Pati ke depo di Kabupaten Temanggung (tiga responden).
Data primer yang dihimpun antara lain: aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah, biaya yang dikeluarkan, volume pembelian dan penjualan produk, harga penjualan produk, tujuan pemasaran serta kendala yang dihadapi.
Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Temanggung. Data sekunder antara lain mencakup jumlah industri pengolahan kayu, potensi produksi dan luas serta perkembangan hutan rakyat.
D. Analisis Data
1. Identifikasi para pelaku dan aktivitasnya Identifikasi para pelaku sepanjang rantai nilai ka-yu sengon dari Kabupaten Pati dilakukan melalui penelusuran dan keterkaitan ke depan dimulai dari petani sampai ke industri pengolahan. Selanjutnya memetakan hubungan antar pelaku dalam sebuah diagram sehingga diperoleh model rantai nilai kayu sengon dari Kabupaten Pati. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi berbagai aktivitas yang di-kerjakan oleh para pelaku dalam upaya meningkat-kan nilai tambah dari produknya.
Pendapatan bersih =
Penerimaan-biaya variabel-biaya tetap
Margin
mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, 2013a). Menurut data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati (2010), luas hutan rakyat di Kabupaten Pati pada tahun 2004 adalah 18.053 ha atau sekitar 12% dari luas total Kabupaten Pati yaitu 150.368 ha. Jenis kayu yang ditanam, antara lain: sengon, mahoni, jati, tanaman perkebunan seperti kakao, randu dan tanaman penghasil buah-buahan seperti sukun dan durian (Irawanti et al., 2012).
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Ja-wa Tengah (2007, 2010, 2012), produksi kayu yang
berasal dari hutan rakyat di Jawa Tengah secara agregat terus mengalami peningkatan. Sebagai contoh pada tahun 2006 produksinya sebanyak 1,1397 juta m meningkat menjadi 1,3556 juta m 3 3 pada tahun 2011 (Gambar 2). Jenis-jenis kayu rakyat tersebut, antara lain: jati, mahoni, sengon, akasia, sonokeling, suren, sungkai, pinus dan rimba lainnya. Produksi kayu rakyat dari Kabupaten Pati berdasaran sumber data yang sama mengalami penurunan. Pada tahun 2006, volume produksi kayu rakyat di Kabupaten Pati sebanyak 24.263 m 3 dan pada tahun 2007 menurun menjadi 13.855 m 3 (Gambar 2).
Tabel 1. Perkembangan luas hutan rakyat di 10 kabupaten terluas dalam pembangunan hutan rakyatnya di Jawa Tengah
Table 1. Community forests areas development in 10 largest regencies in community forest establishment in Central Java
No. Kabupaten
(Regency)
Tahun(Year ) (ha)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Wonogiri 23.580 25.100 25.643 36.359 36.359 36.893 40.203 50.048 2 Kendal 11.132 12.407 12.724 12.737 38.478 38.478 41.272 47.297 3 Banjarnegara 11.586 13.154 15.610 19.290 30.114 30.144 32.508 40.214 4 Purbalingga 12.401 13.027 14.117 14.143 14.543 30.536 32.707 38.212 5 Purworejo 20.271 20.771 23.186 20.567 21.278 20.967 22.634 30.466 6 Wonosobo 18.374 19.824 20.687 19.619 19.619 19.646 21.635 30.001 7 Pati 14.307 15.762 16.049 16.049 16.620 16.619 18.250 29.463 8 Banyumas 12.404 13.204 14.963 17.090 20.495 20.494 22.123 29.143 9 Boyolali 9.046 9.392 9.758 7.950 8.571 19.993 21.583 27.788 10 Sragen 16.534 17.064 17.220 18.049 19.089 21.580 23.122 27.709 Kabupaten lainnya 138.032 15.735 175.866 184.776 190.787 213.845 230.464 355.070 Jumlah (Total) 287.667 317.440 345.823 366.629 415.953 469.195 506.501 705.411
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a).
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013a).
Gambar 1. Persentase luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011.
Berdasarkan data Ijin Usaha IPHHK dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, sampai dengan bulan Januari 2013 terdapat 411 unit industri de-ngan kapasitas <2.000 m /tahun dede-ngan total kapa-3 sitas sebesar 610.321 m /tahun, sedangkan industri 3 dengan kapasitas 2.000-6.000 m /tahun adalah 180 3 unit dengan total kapasitas sebesar 827.990 m /tahun (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, 3 2013b). Kabupaten-kabupaten yang menjadi sentra industri pengolahan kayu di Provinsi Jawa Tengah antara lain Kabupaten Temanggung, Banyumas,
Banjarne-gara, Wonosobo dan Kendal. Dari total kapasitas industri kecil Provinsi Jawa Tengah (610.321 m /ta-hun), 16% terdapat di Kabupaten 3 Temanggung, 13% di Kabupaten Banyumas, 10% di Kabupaten Banjarnegara, di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Kendal masing-masing adalah 7% dan Kabupaten Pati hanya sekitar 1% (Gambar 3).
Jumlah industri peng olahaan kayu di Kabupaten Pati addalah 12 unit (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati, 2013). Ke-12
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2007; 2010; 2012) . Volume produksi kayu rakyat di Provinsi Jawa
Tengah (juta m3)
Volume produksi kayu rakyat di Kabupaten Pati (x 1.000 m3)
Gambar 2. Perkembangan produksi kayu dari hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pati.
Figure 2. Development of timber production from community forests in Central Java Province and Pati Regency.
Sumber (Source): Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah (2013b). Industri kapasitas kecil di Jawa Tengah
Gambar 3. Sentra industri pengolahan kayu dengan kapasitas kurang dari 2.000 m /tahun di Provinsi 3 Jawa Tengah.
industri tersebut terdiri dari industri furnitur, kayu gergajian dan moulding (Tabel 2) namun tidak semuanya aktif beroperasi. Dari Tabel 2 terlihat bahwa kapasitas industri kayu gergajian yang masih aktif adalah 12.240 m /tahun. Kapasitas industri 3 tersebut lebih rendah dibandingkan jumlah produksi kayu di Kabupaten Pati pada tahun 2007 (yaitu sebesar 13.855 m ). Kondisi ini merupakan 3 salah satu pendorong terjadinya perdagangan kayu antar kabupaten. Di lokasi studi, selain dijual ke depo kayu dan industri di Kabupaten Pati, kayu sengon juga dikirim ke industri dan depo kayu di Kabupaten Temanggung.
Kabupaten Temanggung merupakan tujuan penjualan kayu dari para pedagang perantara dari Kabupaten Pati. Pada tahun 2013, jumlah industri peng olahan kayu di K abupaten Temanggung adalah 82 unit industri yang memproduksi berbagai jenis produk. Jenis produk yang dihasilkan antara lain: kayu gergajian, barecore,
plywood, moulding, komponen furnitur, furnitur, flooring dan veneer. Total kapasitas industri yang khusus mengolah log menjadi kayu gergajian adalah 444.288 m /tahun. Rincian untuk masing-3 masing kapasitas dan jenis produk disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Industri kayu primer di Kabupaten Pati
Table 2. Primary wood processing industries in Pati Regency
Unit (Unit) Tipe produk(Product type) Kapasitastotal, m3/tahun(Total capacity,m3/year) Keterangan(Note)
5 Furniture, sawn timber 2.350 Tidak aktif
2 Sawn timber 2.240 aktif, non sengon
2 Furniture, moulding 7.200 aktif, non sengon
3 Sawn timber 10.000 aktif, sengon
Sumber (Source): Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati (2013).
Tabel 3. Industri berbasis kayu di Kabupaten Temanggung
Tabel 3. Wood based industries in Temanggung Regency
Tipe produk(Product type) Kapasitas total, m3/tahun(Total capacity, m3/year)
Sawn timber 444.288
Barecore 21.000
Sawn timberdan plywood 2.000
Sawn timber/molding building materials 2.000
Furniture component 1.800
Flooring 32.200
Furniture 4.000
Plywood 108.200
Veneer 5.250
Veneer dan plywood 3.200
Sumber (Source): Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung (2013).
Gambar 4. Rantai nilai kayu sengon di Kabupaten Pati, 2013.
Figure 4. Timber value chain of sengon wood in Pati Regency, 2013.
Petani individu (Individual growers) Penebas (Middlemen) Depo kayu (Timber depots) Industri (Industries) Kelompok petani (Group ofgrowers)
Petani (Farmers) Pedagang perantara (Brokers) Prosesor (Processors)
Informan(Informant)
Rantai nilai tipe 2(Value chain model 2 ) Rantai nilai tipe 1(Value chain model 1)
B. Rantai Nilai Kayu Sengon
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, terda-pat dua model rantai nilai kayu sengon yang berasal dari Kabupaten Pati, yaitu model 1 dan model 2 (Gambar 4). Pada rantai nilai kayu sengon model 1, petani menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri kepada penebas (middleman). Penebas dapat membeli langsung ke petani atau dapat juga memperoleh informasi terlebih dahulu dari
belantik mengenai petani yang akan menjual kayu. Belantik dalam hal ini berperan sebagai informan,
baik bagi penebas maupun bagi petani. Penebas selanjutnya menjual kayu dalam bentuk log ke depo kayu dan depo kayu menjual kembali kayu, baik dalam bentuk log atau sudah berbentuk
balken ke industri pengolahan kayu lanjutan.
Penjualan kayu sengon dari petani di Kabupaten Pati umumnya terjadi melalui rantai nilai kayu model 1.
Selain model 1, saat ini terdapat juga rantai nilai kayu sengon model 2. Pada model 2, penjualan ka-yu sengon dilakukan oleh kelompok tani langsung ke industri pengolahan kayu. Dalam hal ini,
kelom-pok tani memperoleh pendampingan dari Trees 4
Trees (T4T). T4T merupakan pendamping yang
berhasil mempertemukan industri barang jadi sengon dengan petani hutan rakyat sengon sehingga terbentuk rantai nilai kayu sengon yang lebih pendek. Penebangan dan pemotongan dikerjakan oleh kelompok petani. Industri pengolahan kayu yang bertindak sebagai pembeli tersebut merupakan kelompok perusahaan yang terdiri dari industri kayu lapis dan industri papan sambung yang produknya diekspor dan memiliki sertifikat Controlled Wood dari Forest Stewardship Council (FSC).
C. Identifikasi Pelaku dan Aktivitasnya
Usaha kayu rakyat sengon melibatkan banyak pelaku, mulai dari petani, informan, penebas, pemilik chainsaw, pemilik truk, depo kayu dan industri. Setiap aktor dalam setiap level melakukan berbagai aktivitas yang dapat menambah nilai tambah dari kayu sengon. Aktivitas yang dilakukan oleh setiap pelaku di masing-masing rantai nilai kayu sengon secara ringkas disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Pelaku dan aktivitasnya dalam rantai nilai kayu sengon di Kabupaten Pati
Table 4. Actors and their activities in sengon wood value chain in Pati Regency
Pelaku(Actors)
Aktivitas(Activities) Rantai nilai model1
(Value chain model 1)
Rantai nilai model2 (Value chain model 2) Petani, individu
(Grower, individual)
- Menanam dan memelihara pohon
- Menjual kayu dalam bentuk pohon
- Menanam dan memelihara pohon
- Menjual kayu dalam bentuk log
Kelompok tani didampingi T4T (Group of growers assisted
by T4T)
- Inventarisasi pohon
- Memanen kayu
- Grading log
- Menjual log
- Mengangkut kayu ke industri (biaya pengangkutan ditanggung industri)
Penebas,
kadang-kadang bekerjasama dengan pemilik
chainsawdan sopir/pemilik truk (Middleman, some times
associated with chainsaw owner and truck driver/owner)
- Membeli pohon
- Surveilokasi, kondisi pohon
- Memanen kayu
- Grading log
- Menjual log
- Mengangkut kayu ke depo
Depo kayu (Timber depot) - Membeli log - Grading log - Pengolahan log
- Menjual logdan kayu gergajian Industri
(Industries)
- Membeli log/balken - Grading log
- Pengolahan log/balken - Menjual produk olahan
- Membeli log dan kayu gergajian - Grading log
- Pengolahan logdan kayu gergajian - Menjual produk olahan
D. Distribusi Nilai Tambah
Dari hasil perhitungan diketahui bahwa distribu-si nilai tambah para pelaku yang terlibat dalam rantai nilai kayu sengon rakyat dari Kabupaten Pati adalah tidak merata. Pada rantai nilai kayu sengon model 1 diketahui bahwa keuntungan per m bahan baku 3 terbesar diperoleh oleh petani (Rp 358.552 atau sekitar 46,28%), disusul oleh industri plywood (Rp 213.750/m bahan baku atau sekitar 27,59%) dan 3 penebas (Rp 156.981/m bahan baku). Penerima 3 keuntungan yang terkecil adalah depo kayu (5,87% atau Rp 45.455/m bahan baku).3
Apabila nilai tambah petani dan industri per m 3 bahan baku dibandingkan, maka nilai tambah terbe-sar diperoleh oleh petani, namun keuntungan terse-but baru dapat dinikmati petani setelah menunggu selama kurang lebih enam tahun (umur rata-rata ka-yu sengon yang ditebang di Kabupaten Pati). Se-mentara keuntungan yang diperoleh pelaku lainnya termasuk industri dapat dinikmati dalam kurun waktu yang cepat (mingguan atau bulanan). Industri memperoleh nilai tambah cukup tinggi karena me-reka memiliki informasi dan akses pasar. Penebas memperoleh nilai lebih tinggi dibandingkan depo karena aktivitas yang dilakukan lebih kompleks dan memiliki risiko tinggi di lapangan, sedangkan depo kayu hanya melakukan grading log dan sebagian mengolah menjadi kayu gergajian.log
Keuntungan yang diperoleh petani pada rantai nilai kayu sengon model 2 adalah Rp 382.172 per m3 bahan baku atau meningkat sekitar 7% diban-dingkan pendapatan petani pada rantai nilai model 1. Keuntungan tersebut akan bertambah tinggi apa-bila premium price (di bawah skema controlled wood
dari industri yang sudah disepakati yaitu sebesar Rp 100.000/m3 log) diberikan ke petani. Dalam hal ini, keuntungan petani akan meningkat menjadi Rp 482.172 per m 3 log. Peningkatan keuntungan tersebut (sebesar 7%) terjadi karena petani/ kelompok tani memiliki akses langsung ke industri sehingga meskipun petani mengeluarkan biaya untuk kegiat-an penebangan namun keuntungan yang diperoleh lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan. Nilai tambah yang semula dinikmati penebas bergeser dinikmati oleh petani langsung. Pada rantai nilai kayu sengon model 2, kelompok petani membantu petani untuk melakukan inventarisasi, penebangan dan pengukuran (log
grading). Biaya yang dikeluarkan oleh kelompok
adalah Rp 10.000/m 3log dan penerimaan dari petani
untuk kelompok adalah Rp 16.000/m 3log sehingga keuntungan kelompok adalah Rp 6.000/m bahan 3 baku berupa log. Keuntungan kelompok tersebut selanjutnya akan dinikmati kembali oleh anggota kelompok tani.
Meskipun terjadi ketidakseimbangan distribusi nilai tambah antar pelaku dalam rantai nilai kayu se-ngon dari Kabupaten Pati, nilai tambah yang di-peroleh telah mencerminkan upaya yang dilakukan oleh masing-masing pihak dalam meningkatkan ni-lai tambah. Hal ini telah menjadi faktor pendorong bagi berkembangnya kayu sengon dari hutan rakyat di Kabupaten Pati. Faktor lain yang berpengaruh terhadap besarnya distribusi nilai tambah adalah risiko yang dihadapi oleh masing-masing pihak dan penguasaan informasi pasar. Adapun biaya yang dikeluarkan, penerimaan dan keuntungan yang diperoleh pada kedua model rantai nilai kayu sengon yang dikaji disajikan pada Tabel 5.
Ketidakseimbangan distribusi nilai tambah ini tidak hanya terjadi pada rantai nilai kayu sengon. Hal yang sama juga terjadi pada rantai nilai mebel jati di mana yang memperoleh nilai tambah terbesar adalah pengecer internasional (46,7%), sedangkan petani hanya memperoleh nilai tambah sebesar 5,6% (Purnomo, 2006). Pada rantai nilai mebel mahoni Jepara, retailer domestik mem-peroleh nilai tambah tertinggi yaitu 49,83% dan petani memperoleh nilai tambah sekitar 7,38% (Parlinah et al., 2011). Meskipun terjadi ketidak-seimbangan distribusi nilai tambah, semua kegiatan yang diusahakan oleh para pelaku dalam rantai nilai mebel kayu mahoni Jepara telah sesuai dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan dan layak untuk diusahakan.
E. Peluang dan Tantangan dalam Pengem-bangan Hutan Rakyat
Berdasarkan hasil wawancara dengan para pela-ku yang terlibat dalam rantai nilai kayu sengon dari Kabupaten Pati, terdapat peluang dan tantangan yang selama ini masih dihadapi dalam bisnis ini. Beberapa faktor pendorong yang dapat menjadi peluang untuk lebih mengembangkan usaha hutan rakyat kayu sengon, antara lain:
1. Permintaan bahan baku kayu yang tinggi dari in-dustri pengolahan dapat menjadi faktor insentif bagi petani untuk tetap menyediakan pasokan kayu dengan terus melakukan penanaman.
2. Pohon yang diperlakukan petani sebagai tabung-an dapat menjadi faktor pendorong bagi pettabung-ani untuk terus melakukan penanaman karena de-ngan adanya pohon sebagai tabude-ngan dapat di-ambil sewaktu-waktu oleh petani.
3. Adanya insentif harga premium dari industri un-tuk kayu yang dihasilkan dari skema controlled
wood.
Adapun faktor-faktor yang menjadi tantangan dalam upaya untuk lebih mengembangkan usaha hutan rakyat kayu sengon, antara lain:
1. Meskipun informasi harga diketahui oleh petani, namun untuk dapat mengakses pasar (pembeli) merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh petani. Hal ini berhubungan dengan kapasitas petani yang masih kurang serta adanya hambatan untuk masuk dalam suatu rantai nilai.
2. Kurangnya pengetahuan petani dalam menaksir volume kayu serta petani yang sifatnya subsisten menyebabkan bargaining power dari petani lebih rendah ketika berhadapan dengan pembeli. Kondisi ini menyebabkan petani lebih bersifat
price taker.
3. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi ka-yu di bawah skema controlled wood selama ini
ma-sih diberikan oleh pihak ketiga yaitu industri dengan difasilitasi oleh pendamping. Perlu kehatihatian dalam menerapkan skema ini agar
premium price yang diberikan dapat
meng-kompensasi biaya yang dikeluarkan. Di samping itu, perlu peningkatan kapasitas dari petani dan kelompok tani untuk menerapkan skema ini. F. Pilihan Strategi Peningkatan Nilai Tambah
bagi Petani
Nilai tambah yang diterima oleh para pelaku da-lam rantai nilai kayu sengon dari Kabupaten Pati telah mencerminkan upaya yang dilakukan oleh masing-masing pihak. Namun demikian, perlu upaya untuk lebih meningkatkan nilai tambah yang diperoleh petani agar usaha hutan rakyat dari kayu sengon yang sudah berkembang saat ini dapat lebih ditingkatkan.
Berdasarkan peluang dan tantangan yang diha-dapi, terdapat beberapa pilihan strategi yang dapat diterapkan untuk lebih mendorong usaha pengem-bangan hutan rakyat sekaligus meningkatkan pen-dapatan petani. Beberapa pilihan strategi tersebut adalah:
Tabel 5. Biaya, penerimaan dan keuntungan dalam rantai nilai kayu sengon di Kabupaten Pati tahun 2013
Table 5. Costs, revenues and profits in sengon wood value chain in Pati Regency in 2013
Pelaku dalam rantai nilai (Actor in the
value chain)
Biaya (Cost)
(Rp per m3) Harga penjualan
(Selling price) (Rp per m3 produk) (Rp per m3product) Rendemen (Recovery factor) (%) Penerimaan (Revenue) (Rp per m3 baku) (Rp per m3raw material) Keuntungan (Profit) (Rp per m3bahan baku) (Rp per m3raw material)
Biaya inisial unit (Initial unit
cost)
Biaya tambahan unit
(Added unit
cost)
Rantai nilai model 1 (Value chain model 1 ): Petani, individu (Grower, individual) 27.214 0 385.766 100 385.766 358.552 Penebas (Middleman) 385.766 135.681 678.427 100 678.427 156.981 Depo kayu (Timber depot) 678.427 26.118 750.000 100 750.000 45.455 Industri plywood (Plywood industries) 750.000 461.250 2.850.000 50 1.425.000 213.750 Jumlah (Total) 774.737
Rantai nilai model 2 (Value chain model 2 ): Petani, individu (Grower, individual) 27.214 85.000 494.386 100 494.386 382.172
1. Membangun informasi pasar untuk mencipta-kan akses pasar.
2. Peningkatan kapasitas dan kemampuan petani terkait penaksiran volume pohon maupun volu-me pohon/ha dan perbaikan sistem silvikultur untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kayu.
3. Peningkatan kapasitas kelompok tani sehingga dapat membuat “moving up strategies” di mana pe-tani yang tergabung di dalamnya tidak hanya berperan sebagai penjual pohon berdiri tetapi berperan sebagai penjual log ke industri. Selain hal tersebut perlu meningkatkan bargaining power
melalui penguatan kelompok tani.
4. Menjalin kerjasama kemitraan antara petani de-ngan industri yang menerapkan skema controlled
wood sehingga keuntungan yang diperoleh petani
lebih baik.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
Perkembangan hutan rakyat telah mendorong berkembangnya sektor perdagangan dan industri pengolahan kayu. Produksi kayu yang tinggi pada suatu wilayah (kabupaten) telah mendorong perda-gangan kayu, tidak hanya di dalam kabupaten tetapi juga lintas kabupaten. Semakin tingginya perminta-an kayu dari depo dperminta-an industri kayu akperminta-an menjadi peluang bagi pengembangan usaha hutan rakyat yang melibatkan banyak pelaku, mulai dari hulu sampai ke hilir.
Bagian keuntungan (nilai tambah) yang diper-oleh petani pada rantai nilai kayu sengon model 2 (petani menjual langsung kayunya ke industri), da-pat meningkatkan penghasilan sekitar 7% diban-ding keuntungan petani yang diperoleh pada rantai nilai kayu sengon model 1. Namun demikian, ke-untungan tersebut baru dapat dinikmati oleh petani setelah menunggu enam tahun sejak investasi, se-dangkan keuntungan pelaku lain dapat diperoleh dalam waktu relatif singkat (mingguan atau bulan-an). Ketidakseimbangan distribusi nilai tambah yang terjadi pada kedua rantai nilai kayu sengon disebabkan oleh perbedaan aktivitas yang dilaku-kan, risiko yang dihadapi dan penguasaan informasi pasar.
B. Saran
Pengembangan usaha kayu rakyat seyogyanya menjadi peluang bagi petani untuk meningatkan ni-lai tambah dari usaha penanaman kayu. Untuk lebih meningkatkan nilai tambah bagi petani, b e b e r a p a p i l i h a n s t r a t e g i y a n g d a p a t dipertimbangkan yaitu: membangun informasi untuk menciptakan akses pasar, peningkatan kapasitas dan kemampuan peta-ni, peningkatan kapasitas dan kemampuan kelom-pok tani agar dapat berperan sebagai penjual ke industri dan log
membangun kemitraan antara industri dan petani.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Australian Centre for International Agricultural Research
(ACIAR), di mana tulisan ini merupakan bagian dari penelitian dengan dukungan pendanaan dari Project No. FST/2008/030 “Overcoming Constraints
to Community-based Commercial Forestry in Indonesia”.
DAFTAR PUSTAKA
Australian Centre for International Agricultural Research. (2012 . Membuat rantai nilai lebih )
berpihak pada kaum miskin: buku pegangan bagi praktisi analisis rantai nilai. (ACIAR
Monograph No. 148 . Canbera Australian ) : Centre for International Agricultural Research.
Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik. (2004). Potensi hutan rakyat Indonesia 2003. Ja-karta: Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. (2007).
Statistik Kehutanan Provinsi Jawa Tengah 2006.
Semarang: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. (2010).
Statistik Kehutanan Provinsi Jawa Tengah 2009.
Semarang: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. (2012).
Statistik Kehutanan Provinsi Jawa Tengah 2011.
Semarang: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. (2013a).
Data sebaran hutan rakyat Provinsi Jawa Tengah ta-hun 2004-2011. Semarang: Dinas Kehutanan
Provinsi Jawa Tengah.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah. (2013b).
Data IUIPHHK kapasitas produksi 2.000 s/d 6.000 m per tahun Provinsi Jawa Tengah bulan Ja-3 nuari 2013. Semarang: Dinas Kehutanan
Pro-vinsi Jawa Tengah.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati. (2010). Laporan tahunan 2010. Pati: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Pati. (2013). Data industri primer hasil hutan kayu
di Kabupaten Pati per tahun 2012. Pati: Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati. Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabu-paten Temanggung. (2013). Daftar industry
pengolahan hasil hutan Kabupaten Temanggung, Januari 2013. Temanggung: Dinas Pertanian
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung.
Gereffi, G., Humprey, J., Kaplinsky, R., & Stur-geon, T.J. (2001). Introduction: globalisation, value chains and development. IDS Bulletin,
32(3), 1-8.
Irawanti, S., Suka A P., & Ekawati S. 2012 . Man-, . , ( ) faat ekonomi an peluang pengembangan d hutan rakyat sengon di Kabupaten Pati. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 9, (3 ), 126-139.
Kaplinsky R & Morris M. , . , (2000 . ) A handbook for
value chain research. Diunduh dari September
2007).
Kaplinsky, R., Memedovic, O., Morris, M., & Read-man, J. (2003). The global wood furniture value
chain: what prospects for upgrading by developing countries. Viena: United Nations Industrial
Development Organization.
Lastini T. 2012 . , ( ) Tipologi desa hutan rakyat: kasus di
Kabupaten Ciamis (Disertasi . Institut ) Pertanian Bogor, Bogor.
Parlinah, N., Purnomo, H. & Nugroho, B. (2011). Distribusi nilai tambah pada rantai nilai mebel mahoni Jepara. Jurnal Penelitian Sosial
dan Ekonomi Kehutanan, 8(2), 93-109.
Porter, M.E. (1985). Competitive advantage: creating
and sustaining superior performance. New York:
The Free Press.
Purnomo H. 2006 . Teak furniture and business , ( ) responsibility: a global value chain dynamics approach. Economics and Finance in Indonesia , 54(3) 411-443.,
Rohadi, D. (2012). Analisis persepsi dan strategi petani
dalam usaha tanaman kayu rakyat (studi kasus usa-ha tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta an d Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan) (Disertasi . Institut Pertanian Bogor) , Bogor.
Sturgeon T J. 2001 . , . ( ) How do we define value chains and productio networks? IDS Bulletin,
32(3), 9-18.
Susanty, S.L. (2000). Strategi peningkatan produktivitas
berdasarkan analisis nilai tambah pabrik minyak goreng sawit (Tesis). Institut Pertanian Bogor,
SALURAN PEMASARAN KAYU PERTUKANGAN JENIS
BAMBANG LANANG
(
Michelia champaca
) YANG MENGUNTUNGKAN
PETANI DI SUMATERA SELATAN
(
Favorable Marketing Channel of Bambang Lanang Michelia champaca / forFarmers in South Sumatra
)
Sri Lestari, Bondan Winarno Bambang Tejo Premono, &
Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km 6 5 Puntikayu Palembang, ; , Indonesia; e-mail:
Diterima 7 Januari 2015 direvisi 13 Maret 2015 disetujui 18 Mei 2015
ABSTRACT
This research aim tos study marketing actors, pattern of marketing channels and marketing efficiency of bambang lanang wood in Lahat and Empat Lawang Regencies, South Sumatra Province. Data collection was conducted through interview with respondents.The respondents were the actors in the marketing activities of bambang lanang wood. The respondents were purposively selected. The data w as analyzed qualitatively and quantitatively. The results of research showed that the actors involved in marketing of bambang lanang wood are farmers, chainsaw men, traders, timber depot sill/furniture industr and end consumers. , ies In the study areas, five marketing channels of bambang lanang wood are found Among the five patterns of the marketing channel, the quite high farmer's share (40.91%) occured at . marketing channel pattern 1 (farmers – chainsaw men – traders – timber depot – sill/furniture industries and end consumers), pattern 2 (farmers – chainsaw men – timber depot – sill/furniture industries and end consumers) and pattern 3 (farmers – traders – timber depot – sill/furniture industries and end consumer). The most efficient marketing channel s i pattern 2. The farmers need to be given information on efficient marketing channel which is favourable for them.
Keywords: ambang lanangB wood, marketing channel, farmer.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pelaku pasar, pola saluran pemasaran dan tingkat efisiensi pemasaran kayu bambang lanang di Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara dengan responden. Sebagai responden adalah aktor dalam rantai pemasaran kayu bambang lanang. Responden dipilih secara purposive. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku pasar dalam rantai kegiatan pemasaran kayu pertukangan jenis bambang lanang adalah petani (produsen), penggesek kayu, pengumpul kayu, pemilik depot kayu, industri kusen/furniture dan konsumen pengguna. Di lokasi penelitian ini ditemukan lima pola saluran pemasaran kayu bambang lanang. Di antara kelima pola saluran pemasaran tersebut, farmer's share yang cukup tinggi (40,91%) terjadi pada saluran pemasaran pola 1 (petani – penggesek kayu – pedagang pengumpul – depot kayu – industri kusen/furniture dan konsumen akhir), pola 2 (petani – penggesek kayu – depot kayu – industri kusen/furnituredan konsumen akhir) dan pola 3 (petani – pedagang pengumpul – depot kayu – industri kusen/furnituredan konsumen akhir). Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran pemasaran pola 2. Petani perlu diberikan informasi tentang pola saluran pemasaran efisien yang menguntungkan baginya.
Kata kunci: Kayu bambang lanang, saluran pemasaran, petani.
I. PENDAHULUAN
Mi-Kayu pertukangan jenis bambang lanang (
chelia champaca) sudah dikenal luas oleh masyarakat
di Provinsi Sumatera Selatan, khususnya Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang. Beberapa petani menanam kayu bambang lanang dengan pola monokultur dan sebagian besar dari
mereka menanam dengan pola agroforestri, dicampur dengan tanaman lain atau sebagai batas kebun. Jenis tanaman yang dikembangkan dengan pola agroforestri bersamaan dengan bambang lanang adalah tanaman perkebunan seperti kopi, coklat dan karet atau tanaman buah seperti durian. Kayu bambang lanang dikenal masyarakat sebagai jenis kayu pertukangan dengan kualitas cukup baik,
Akan tetapi, bagi petani yang memiliki cukup modal dan tidak terdesak oleh kebutuhan hidup maka dalam menjual kayunya memiliki pilihan kepada siapa mereka akan menjual, apakah kepada pemilik depot kayu, kepada pengrajin furniture, atau kepada lembaga pemasaran lainnya. Petani yang bersangkutan juga memiliki pilihan kapan waktu yang tepat untuk menjual kayunya agar memperoleh harga yang lebih menguntungkan petani itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari saluran pemasaran kayu bambang lanang yang terjadi di masyarakat sebagai upaya untuk mengetahui saluran pemasaran yang paling menguntungkan bagi petani produsen kayu bambang lanang.
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di dua kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang. Di kedua kabupaten tersebut, kayu pertukangan jenis bambang lanang banyak dikembangkan, dimanfaatkan dan diperjual belikan.- Waktu penelitian adalah bulan Mei sampai dengan Juli 2012.
B. Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data primer dan se -kunder. Data primer dikumpulkan dengan cara ob-servasi langsung dan wawancara terhadap respon-den, yang terdiri dari: petani penanam kayu bam-bang lanang, pengumpul kayu, penggesek kayu, pe-milik depot kayu, pepe-milik industri penggergajian, dan pemilik industri furniture. Data primer yang di-kumpulkan antara lain pelaku pemasaran: (petani kayu, penggesek kayu pedagang pengumpul kayu, , pemilik depot kayu dan pemilik industri kusen atau
furniture), harga jual, harga beli, pola saluran pema -saran, biaya pemasaran dan keuntungan.
Petani bambang lanang yang menjadi responden dipilih secara sengaja (pur posive
sampling). Pelaku pemasaran yang menjadi
responden selanjutnya dipilih dengan metode
snowball sampling. Responden penggesek kayu dan
pedagang pengumpul dipilih berdasarkan informasi dari petani yang telah menjual kayunya. Selain itu responden pedagang pengumpul juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk membangun
rumah, bahan baku pembuat pintu, kusen, an jendela dan furniture seperti lemari pakaian, lemari hias, kursi dan meja. Oleh karena itu permintaan kayu jenis bambang lanang semakin meningkat dan sebagai konsekuensinya har ga- nya pun semakin tinggi.
Pemasaran yang mudah merupakan salah satu insentif bagi masyarakat pengembang kayu bam-bang lanang di Provinsi Sumatera Selatan, titik ke-mudahan tersebut dimungkinkan karena pada umumnya pembeli (pedagang pengumpul, penggesek, pemilik IPKH atau pemilik depot kayu) akan datang sendiri ke desa-desa untuk membeli ka-yu. Akan tetapi, besarnya nilai keuntungan yang ti-dak menentu di tingkat petani merupakan salah satu disinsentif bagi pengembangan kayu bambang la-nang. Ditambah lagi adanya invasi dari perkebunan kelapa sawit yang menurut pemahaman banyak pi-hak lebih menguntungkan dari sisi ekonomi, meng-akibatkan beberapa petani kayu beralih pada kelapa sawit.
Dalam sistem pemasaran kayu bambang lanang, terdapat beberapa lembaga pemasaran kayu yang terlibat, mulai dari produsen (petani kayu) sampai kepada konsumen akhir, sehingga perlu diketahui tingkat efisiensi pemasaran yang terjadi di lapangan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menge-tahui efisiensi pemasaran dari beberapa jenis pro-duk (Andayani, 2005; Mukson et al., 2005; Dewi, 2006; Hutabarat, 2006; Effendi, 2007; Hanum, 2007; Setiorini, 2008; Rosmawati, 2011; dan Effen-di, 2011). Penelitian tersebut masing-masing mela-kukan analisis terhadap saluran pemasaran yang ada, sehingga akhirnya diketahui saluran pemasaran yang paling efisien dan dinilai paling menguntung-kan. Pada umumnya, hasilnya mengungkapkan bah-wa semakin pendek dan sederhana, saluran pema-saran akan semakin efisien. Lebih lanjut Agea et al. (2005) dan Islam et al.(2014) mengungkapkan bah -wa untuk membantu petani sebagai produsen kayu perlu dibentuk koperasi atau asosiasi lokal yang in-dependen agar dapat secara signifikan mengurangi keberadaan pedagang perantara yang biasanya lebih mengendalikan harga.
Pada umumnya, dalam sistem pemasaran kayu yang terjadi di masyarakat, petani selaku produsen akan menjual kayunya dalam bentuk pohon berdiri. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani karena untuk melakukan pema-nenan kayu membutuhkan biaya yang cukup besar.