• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 pasal 31, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 pasal 31, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENGANTAR

Yogyakarta berhasil meraih penghargaan dari UNESCO dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam ajang Inclusive Education Award sebagai kota yang berhasil melaksanakan pendidikan inklusif (Kedaulatan Rakyat, 4 September 2012). Pemerintah pusat mengakui bahwa Kota Yogyakarta mempunyai komitmen yang tinggi mengenai pendidikan yang ramah anak, non diskriminasi, dan menjunjung tinggi etika multi kultural sehingga layak mendapat predikat inclusive city (Widodo, 2012).

Proses Kota Yogyakarta dalam mengelola pendidikan inklusi hingga dipandang pantas menerima penghargaan tersebut tidaklah sederhana. Sejak disyahkannya Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta No 47 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2008) dan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta No 188/Des/0026 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, 2009), pendidikan inklusi mulai dilaksanakan secara intensif (Susanto, 2013; Irenewaty, 2008). Sebagai implikasinya, sekolah-sekolah yang mempunyai siswa ABK mendapatkan SK penunjukan sebagai Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi (SPPI). Sekolah-sekolah yang mendapatkan SK SPPI pada mulanya adalah TK ABA Nitikan, SD Tumbuh, SD TD Ibu Pawiyatan, SD Tamansari 1, SD Karanganyar, SD Giwangan, SD Muhammadiyah Pakel, SD Bangunrejo 2, SD IT Bias, SD Muhammadiyah Miliran, SMP Muhammadiyah 5, SMP TD Ibu Pawiyatan, SMK Muhammadiyah 3, SMK Muhammadiyah 4, dan SMK Muhammadiyah 2. Menurut Susanto (2012), hingga tahun 2012, terdapat 31 sekolah inklusi di Kota Yogyakarta mulai dari jenjang PAUD hingga SMA/SMK. Upaya yang telah berhasil dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta ini sangat mendukung perwujudan education for all sebagaimana tertuang dalam landasan yuridis, baik di lingkup nasional maupun internasional. Model pendidikan sebelumnya adalah pemisahan yang jelas antara pendidikan khusus dan pendidikan reguler yang membatasi kesempatan dan akses bagi ABK terhadap lingkungan sosial dan kurikulum (UNESCO, 1994; UN, 2009).

(2)

Pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 pasal 31, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 70 tahun 2009 (Widiasti, 2013; Aznam, Oktafiana, & Utami, 2013; Irenewaty, 2008; Susanto, 2013) . Sementara itu, gerakan inklusi di kancah dunia telah diinisiasi jauh lebih awal melalui konferensi-konferensi internasional yaitu Human Rights and Convention of The Rights of The Children tahun 1989 (Rosada & Oktafiana, 2013), The Publication of The Standard Rules on Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities by The United Nations tahun 1993 (Widiasti, 2013), Salamanca Statement tahun 1994 (Mayor, 1994; Irenewaty, 2008; Susanto, 2013), dan Seminar Agra tahun 1998 (Widiasti, 2013). Segala upaya yang telah dilakukan semua pihak pada lingkup lokal, regional. nasional dan internasional merupakan sebuah gerakan inklusi untuk perubahan dan layanan pendidikan yang lebih baik.

Implementasi pendidikan inklusi menemui banyak kendala. Salah satu faktor yang menghambatnya adalah faktor guru. Sikap para guru reguler yang sudah terbiasa mengajar anak normal memberikan kontribusi penghambat bagi kesuksesan praktik pendidikan inklusi (Avramidis, Bayliss, & Burden, 2000; Boer, Pijl, & Minnaert, 2010). Selain itu, guru reguler menunjukkan sikap negatif terhadap potensi ABK dibandingkan guru dari latar belakang pendidikan luar biasa (Brady & Woolfson, 2008; Woolfson & Brady, 2009)

Menurut hasil penelitian Ishartiwi (2010) di Yogyakarta, salah satu permasalahan yang muncul adalah belum semua guru regular memiliki kompetensi memberikan layanan pada ABK. Guru juga masih menganggap bahwa keberadaan ABK akan mempengaruhi ketuntasan hasil belajar akhir tahun sehingga guru memindahkan ABK ke SLB menjelang ujian nasional. Hal senada tentang guru juga disampaikan Susanto (2012) dalam penelitiannya bahwa terdapat timpang tanggung jawab antara guru kelas dengan guru pendamping khusus (GPK). Guru kelas merasa anak berkebutuhan khusus yang ada di kelasnya adalah tanggung jawab GPK termasuk materi pembelajarannya. Sementara itu, GPK merasa perlu adanya integrasi pembelajaran ABK dengan

(3)

siswa reguler. Hal ini pada akhirnya berujung pada hubungan yang kurang harmonis antara guru kelas dan GPK.

Terkait hasil penelitian (Parwoto, 2007) menunjukkan bahwa sekolah menerima anak berkebutuhan khusus sebagai calon siswa baru, namun guru-guru berkasak-kusuk tentang sejumlah kesulitan bila anak berkebutuhan khusus itu diterima. Sekolah juga merekayasa agar anak berkebutuhan khusus tidak jadi diterima di sekolah tersebut. Hal ini menunjukkan adanya sikap pesimis para pendidik dalam mengupayakan layanan pendidikan terbaik bagi ABK.

Widiasti (2013) juga menyebutkan bahwa guru dalam penelitiannya secara terbuka mengungkapkan ketidaksediaan dalam mengajar dan menangani ABK jenis dan gradasi tertentu. Hal ini menunjukkan sikap guru yang kurang positif yang berarti guru belum menunjukkan kesiapan. Ketidaksiapan guru tersebut diakui karena kurang adanya pengalaman. Guru sebagai pihak yang terlibat langsung dalam interaksi dengan ABK perlu mempersiapkan diri untuk mampu menerima dan menangani siswa dengan berbagai keunikan dan hambatannya.

Berdasarkan interaksi peneliti dengan para guru sekolah inklusi di Daerah Istimewa Yogyakarta selama 9 tahun terakhir saat peneliti bekerja sebagai guru di sebuah sekolah inklusi, teramati bahwa belum semua guru menerima kebijakan inklusi ini secara terbuka dan lapang dada. Banyak guru masih memandang kebijakan inklusi sebagai beban dan tambahan pekerjaan. Guru menjadi tambah sibuk, tidak bisa santai, dan terpengaruh proses pembelajaran di kelas. Terlebih lagi, beban di sekolah ini mempengaruhi kehidupan pribadi guru. Hasil wawancara peneliti dengan ketua Forum Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi (FSPPI) Kota Yogyakarta (Muhaimin, S.Ag.) pada tanggal 24 Februari 2014 juga menunjukkan bahwa masalah utama kesiapan guru terletak pada kesiapan hati dan mental untuk menerima ABK menjadi bagian dari proses pembelajaran di kelas. Guru masih merasa terbebani dengan hadirnya ABK di kelasnya. Beban yang dirasakan lebih pada tanggung jawab baru yang harus diemban serta anggapan bahwa ABK tersebut akan mengganggu pencapaian tujuan pembelajaran. Hasil wawancara ini senada dengan hasil penelitian Namrata

(4)

(2011) yang menyebutkan bahwa beliefs guru yang didasari hati penuh cinta dapat mempengaruhi perilaku dan capaian akademik siswa.

Hasil wawancara peneliti dengan salah seorang GPK dinas yang diperbantukan di sekolah inklusi (Ibu N), menyatakan bahwa masih banyak guru yang merasa terbebani dengan kebijakan inklusi di Kota Yogyakarta. Latar belakang pendidikan para guru yang tidak semuanya dari pendidikan keguruan atau pendidikan luar biasa membuat guru tidak memiliki target pencapaian yang tinggi dalam pendampingan ABK. Tak jarang juga guru marah atau jengkel saat performansi siswa ABK yang didampinginya tidak sesuai yang diharapkannya, seperti tidak konsentrasi, lambat dalam melakukan perintah guru, berperilaku aneh, mengganggu teman, dan lain sebagainya.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa guru merupakan salah satu kendala dalam implementasi pendidikan inklusi. Penerbitan SK dari Dinas Pendidikan ke sekolah-sekolah untuk menjadi sekolah inklusi mempengaruhi iklim sekolah dan juga kondisi psikologis guru. Guru akan mempersepsi situasi di mana sekolahnya yang selama ini berisi anak normal saja, kini harus menerima ABK yang sama sekali asing baginya. Guru juga memiliki perasaan-perasaan yang beragam dalam menghadapi ABK. Persepsi seseorang terhadap pengalaman hidup yang terdiri evaluasi kognitif dan evaluasi afektif ini disebut sebagai kesejahteraan subjektif (Ariati, 2010). Guru akan melakukan evaluasi kognitif dan evaluasi afektif berkait dengan pendidikan inklusi yang kini dihadapinya. Artinya, kebijakan inklusi di sekolah tempat guru bekerja mempengaruhi aspek psikologis guru yaitu kesejahteraan subjektif.

Terdapat dua pendekatan teori yang digunakan dalam kesejahteraan subjektif yaitu Bottom up Theories dan Top down Theories (Diener, 1984). Bottom up Theories memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif, teori ini beranggapan perlunya mengubah lingkungan dan situasi yang akan mempengaruhi pengalaman individu, misalnya: pekerjaan yang memadai, lingkungan rumah yang aman, pendapatan/gaji yang layak, dan sebagainya.

(5)

Sementara itu, Top down theories beranggapan bahwa kesejahteraan subjektif yang dialami seseorang tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang positif. Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara yang digunakan untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.

Diener (2000) mengenalkan teori evaluasi, dimana kesejahteraan subjektif ditentukan oleh cara individu mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami. Hal ini melibatkan proses kognitif yang aktif karena menentukan bagaimana informasi tersebut akan diatur. Cara-cara yang digunakan untuk mengevaluasi suatu peristiwa, juga dipengaruhi oleh temperamen, standar yang ditetapkan oleh individu, mood saat itu, situasi yang terjadi dan dialami saat itu serta pengaruh budaya. Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan kerja, minat, dan hubungan. Reaksi afektif dalam subjective well-being (SWB) yang dimaksud adalah reaksi individu terhadap kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan.

Dari penggambaran di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah kebijakan dari sistem yang memiliki otoritas kepada lembaga di mana seseorang bekerja, dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif seseorang. Dalam konteks pendidikan inklusi, kesejahteraan subjektif guru menjadi terganggu akibat ditunjuknya sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi. Kesejahteraan diri yang selama ini sudah mapan menjadi terganggu akibat ada hal baru yang datang dan menuntut tanggung jawab lebih besar. Penelitian ini akan berfokus pada top down theories yaitu hal yang mempengaruhi cara pandang guru dalam mempersepsi lingkungan. Kondisi kesejahteraan subjektif guru akan baik adanya jika guru mampu menginterpretasi pengalaman hidup secara lebih positif. Cara memandang pengalaman hidup secara positif dapat tercapai bila guru dalam kondisi penuh cinta pada diri sendiri dan orang lain (kondisi penuh cinta empatik).

(6)

Chan (2013) juga menegaskan bahwa kebersukuran, pemaafan, dan pandangan terhadap kebahagiaan mempengaruhi kesejahteraan subjektif seseorang yang mana hal ini dapat diraih ketika seseorang telah mengenali dirinya secara utuh.

Pedagogi pendidikan guru telah mencapai pemahaman akan pentingnya peran psikologi dalam pendidikan, antara lain psikologi transpersonal, psikologi positif, serta psikoterapi dengan pendekatan dinamis (Korthagen, 2004). Sekitar pertengahan abad 20, model pendidikan guru dilakukan dengan performance-based dan competency performance-based. Model ini banyak dilakukan karena konkret dan kriteria perilaku yang diamati dapat digunakan sebagai dasar pemberian pelatihan bagi guru baru (Korthagen, 2004). Dalam perkembangan di tahun-tahun berikutnya, model ini menghasilkan model yang berfokus pada proses-produk yang menunjukkan upaya untuk mengidentifikasi perilaku mengajar berkorelasi tinggi dengan hasil belajar siswa. Dengan demikian, kompetensi-kompetensi tertentu harus dikuasai oleh guru.

Lowyck (1978) menekankan bahwa perilaku mengajar hanya dapat dipahami ketika konteks asli dari perilaku mengajar dilibatkan dalam proses interpretasi. Sementara itu, model performance-based dan competency based sangatlah rigid dan secara pedagogi kurang tepat. Hal ini semakin menunjukkan bahwa di beberapa belahan dunia, model pendidikan guru belum menunjukkan paradigma baru, model pendidikan yang digunakan masih berfokus pada kompetensi semata (Korthagen, 2004).

Sekitar tahun 1970, muncul paradigma baru yaitu Humanistic Based Teacher Education (HBTE). Model ini menekankan pada martabat seorang individu yaitu bahwa peran utama digunakan sebagai pertumbuhan personal (Maslow, 1968, menggunakan istilah aktualisasi diri). Kehadiran paradigma HBTE ini semakin menunjukkan kelemahan model pendidikan guru yang berfokus pada kompetensi terstandarisasi.

Dalam perkembangannya, kedua model pendidikan guru ini yaitu competency based dan pendidikan yang berfokus pada penemuan self guru, mengundang kontroversi (Korthagen, 2004). Selain itu, ketika para pembuat kebijakan berfokus pada pentingnya keluaran dari peningkatan kompetensi,

(7)

sementara itu para peneliti lebih menekankan pada karakter personal guru seperti antusiasme, fleksibilitas, atau kecintaan pada siswa. Kemudian hal ini semakin mengerucut dalam dikotomi klasikal.

Hidayati (2013) menyebutkan bahwa psikoanalisa merupakan mahzab pertama yang memandang manusia secara pesimistis karena konflik intrapersonal dan trauma psikologis di masa lalu sehingga berkembang menjadi diri dengan gangguan neurotis dan psikotis. Kemudian berkembang mahzab berikutnya yaitu behaviorisme. Aliran ini memandang manusia sebagai mesin yang berespon atas stimulasi lingkungan secara otomatis. Berdasarkan hukum belajar yang menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu perilaku yang mendasarkan pada sesuatu yang terukur dan terlihat, aliran ini tidak menerima pandangan yang bersifat abstrak termasuk pengaruh masa lalu. Selanjutnya, perkembangan psikologi berjalan maju dengan munculnya pandangan humanistik eksistensialisme yang memandang manusia berpotensi untuk berkembang dan menjadi individu utuh. Konsep diri yang sehat digambarkan sebagai individu yang mampu mengaktualisasikan diri, bukan sebagai individu yang yang tercetak oleh respon-respon pasif atau terjebak dalam pengalaman masa lalu yang tidak dapat diubah. Aliran humanistik ini lah yang mendasari perkembangan pandangan psikologi transpersonal.

Psikologi humanistik dan psikologi transpersonal memiliki perbedaan dalam fokus pengkajian (Hidayati, 2013). Psikologi humanistik lebih menggali potensi manusia untuk peningkatan hubungan antar manusia. Sementara itu, psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif-transendental serta pengalaman luar biasa dari potensi spiritual ini. Psikologi transpersonal juga dapat disebut sebagai “Psikologi Spiritual”atau Orientasi Spiritual” (Rueffler, 1995).

Psikologi transpersonal mengkaji tentang potensi tertinggi yang dimiliki manusia, dan melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari kesatuan, spiritualitas, serta keadaan transendensi (Hidayati, 2013; Prabowo, 2008). Assagioli seorang psikiater Italia yang merupakan perintis psikologi transpersonal percaya bahwa aspek psikoanalitik tidak lengkap dalam memahami manusia sebab

(8)

untuk mampu memahami diri sendiri maupun orang lain, seseorang memerlukan pengalaman estetika, insipirasi dan kesadaran yang lebih tinggi (Assagioli, 1973; Firman & Gila, 2002). Berdasarkan pemahaman tentang transpersonal itu, Assagioli mengembangkan model psikosintesis sebagai pioner utama dalam memahami pendekatan psikologi transpersonal.

Psikosintesis merupakan bentuk psikologi transpersonal yang mengarahkan integrasi dimensi-dimensi spiritual dalam kesadaran. Psikosintesis adalah konsep yang dinamis tentang kehidupan psikologis yang saling terkait antara berbagai kekuatan dalam diri kita, yang berbeda satu sama lain dan terkesan saling berlawanan. Konsep ini menganggap adanya pusat spiritual dalam diri setiap individu, serta menggunakan metode tertentu yang memungkinkan pusat tersebut bergerak secara harmonis dan kreatif sehingga energi kehidupan dapat terekspresi secara sadar dan alami di dalam kehidupan. Model kesadaran jiwa yang paling penting dalam konsep ini adalah tentang “Jati Diri” dan “Diri Transpersonal” (Rueffler, 1995).

Prinsip utama psikosintesis adalah penguatan kehendak diri, pengendali dorongan-dorongan, dan membangkitkan pertumbuhan spiritual (Assagioli, 1965; Firman & Gila, 2007; Rueffler, 1995). Psikosintesis menggunakan kekuatan dari cinta tanpa syarat sebagai bentuk kekuatan spiritual dari manusia untuk memungkinkan dinamika kehidupan psikologis manusia yang berbeda dan terkesan saling berlawanan dapat bergerak harmonis dan kreatif. Empathic Love adalah kekuatan utama dalam konsep psikosintesis yang digunakan di psikoterapi. Firman dan Gila (2007) menyatakan bahwa psikosintesis terapi bukan sebuah teknik atau metode terapi tetapi sebuah konsep yang membantu manusia untuk mencintai seluruh dirinya dan apa pun yang terjadi di dunia ini secara utuh.

Empathic Love adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat memahami dan mulai mengembangkan cinta pada keseluruhan kepribadiannya. Seseorang dapat menerima dan mencintai bahkan dapat bertanggungjawab terhadap kesehatan dan pertumbuhan pribadinya dalam setiap pengalaman hidupnya. Seseorang akan memiliki kemampuan untuk memiliki "cinta tanpa pamrih" dalam semua aspek kepribadian. Seseorang tersebut tidak akan memihak tetapi

(9)

memahami dan menghormati semua, merangkul semuanya. Penyembuhan yang luar biasa dan pertumbuhan dari munculnya Empathic Love adalah "Aku" sebagai keseluruhan pribadi sehingga terbentuk "Saya hidup, penuh kasih dan berserah diri" (Firman & Gila, 2007).

Empathic Love adalah pemersatu dari pusat diri yang otentik untuk menemukan diri sendiri sebagai “Aku” yang penuh kasih, empatik dan pribadi yang utuh. Individu lebih menyadari segala potensi diri, seolah-olah esensi ini telah menjadi lebih kuat karena cinta. Empatik adalah kekuatan untuk memfasilitasi kekuatan cinta untuk perkembangan diri. Proses empati digunakan untuk masuk ke dalam diri individu sendiri dengan mau merasakan apa yang mereka rasakan, dan bahwa merekalah yang paling memahami dirinya sendiri. Setelah mereka mampu merasakan apa yang dirasakannya, kemudian individu diajak untuk memahami bahwa merekalah yang mampu mengontrol dirinya sendiri (Firman & Gila, 2007).

Tanpa Empathic Love, saat individu melihat apa yang ia miliki dan apa yang dilakukan, serta saat ia digunakan sebagai objek kebutuhan dan tuntutan lingkungan, landasan bahwa “diri sebagai kontrol” akan melemah. Individu akan kehilangan rasa untuk menjadi subjek dalam satu kesatuan dengan yang lain dan dunia. Pengalaman individu sendiri akan dilihat sebagai objek yang terpisah dan terasing dari orang lain dan dunia. Individu kemudian merasakan putus asa untuk menjalankan tugas untuk terus bangkit sebagai objek yang terpisah dari dunia, yang bagaimanapun juga individu menjadi seseorang yang seharusnya merasa memiliki dan merasa aman. Kenyataannya bahwa tujuan hidup adalah untuk menemukan eksistensi diri sendiri (Firman & Gila, 2002; Firman & Gila, 2007).

Hal yang lebih dalam, ketika individu tidak melihat dan tidak mencintai siapa dirinya, individu mengalami pengabaian emosional, penelantaran, dan isolasi, dan akhirnya menghadapi kemungkinan ketiadaan pribadi sendiri. Diancam dengan pemusnahan pribadi, individu tidak dapat merangkul dan menghubungkan (merasakan) potensi dirinya, tapi malah dipaksa untuk memotong dan mendistorsi potensi ini untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang tidak berempati. Dengan cara ini individu didominasi oleh tuntutan

(10)

lingkungan kemudian memasuki keadaan yang mendalam dan sering tersembunyi dan terasing dari diri sendiri dan orang lain/lingkungan.

Dalam konteks dunia pendidikan, salah satu unsur utama yang harus dimiliki seorang guru di sekolah inklusi berdasarkan Onion Model (Korthagen, 2004) adalah beliefs. Kompetensi guru ditentukan oleh keyakinan-keyakinannya, misalnya jika seorang guru percaya bahwa perhatian dan kekuatan perasaan kepada siswa bukanlah hal yang penting, maka guru tersebut tidak akan mengembangkan kompetensi yang menunjukkan pemahaman empatik.

Perhatian internasional mulai percaya akan pentingnya beliefs ini sejak sekitar tahun 1980. Para peneliti kemudian mempelajari perilaku guru dan bagaimana ini dilatihkan, penekanannya pada pentingnya mengetahui apa yang guru pikirkan dan apa keyakinan-keyakinan mereka (Clark, 1986). Keyakinan-keyakinan guru dalam pembelajaran menentukan aksi mereka, sebuah poin yang seringkali dilihat dalam banyak pendekatan perilakuan. Banyak penulis (Feirman, 1983) menyatakan bahwa guru sendiri menghabiskan waktunya bertahun-tahun di sekolah sebagai siswa. Selama masa ini, mereka mengembangkan keyakinan-keyakinan mereka tentang pengajaran yang mana sebagian besar bertentangan dengan apa yang mereka pelajari saat menjadi guru.

Terdapat tujuh konsep utama yang perlu dilatihkan kepada seseorang sebagai bentuk terapi Empathic Love yaitu Disidentification; Personal Self or I; Will-Good, Strong, and Skillful; The Ideal Model; Synthesis; The Superconscious or Higher Unconscious; dan Transpersonal Self or Self. Ketujuh konsep ini akan dituangkan dalam modul Empathic Love dengan alur: 1) latihan visualisasi, relaksasi, dan balancing; 2) pengenalan dan penjelajahan diri; 3) pengenalan dan penjelajahan luka; 4) penyadaran dan penerimaan akan semua pengalaman hidup; 5) penerimaan terhadap berbagai kelemahan diri dalam rangka menemukan kekuatan dan kebebasan; 6) menyadari, menerima, dan melakukan afirmasi terhadap kehendak; 7) menemukan aspirasi hidup dan rencana hidup; 6) penyatuan sub kepribadian dan 8) penemuan diri yang utuh untuk aktualisasi diri (Firman &Gila, 2002, 2007, 2010; Assagioli, 1973).

(11)

Proses pelatihan empathic love akan banyak melibatkan proses dialog dalam diri seperti meditasi, relaksasi, dan visualisasi. Pada penelitian-penelitian terdahulu, mindfulness meditation terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan individu serta efektif sebagai tritmen bagi kesehatan mental dan gangguan neurologis (Campanella, Crescentini, Urgesi, & Frabbo, 2014). Perhatian ilmu pengetahuan tentang mindfulness meditation ini telah berkembang pesat selama dua dekade terakhir dan hal ini telah menunjukkan dampak besar bagi kesejahteraan psikologis individu (Brown, Ryan, & Creswell, 2007).

Alur proses pelatihan Empathic Love menggunakan tujuh konsep psikositesis dengan pendekatan transpersonal di atas akan mengantarkan individu pada pengenalan diri yang utuh. Diri yang utuh, empatik, dan penuh cinta, akan menggiring seseorang pada pemaknaan pengalaman hidup secara lebih positif sehingga kesejahteraan subjektifnya meningkat. Dalam rangka memberikan alternatif solusi atas permasalahan di atas yaitu guru sebagai salah satu kendala implementasi pendidikan inklusi, maka pelatihan empathic love ini dapat diberikan pada guru di sekolah inklusi. Guru akan difasilitasi untuk menemukan keutuhan diri sehingga memiliki kemampuan untuk mempersepsi segala pengalaman secara lebih positif, baik secara kognitif maupun afektif. Guru di sekolah inklusi akan menerima kebijakan inklusi sebagai sebuah pengalaman yang harus dialami sehingga guru lebih siap menerima kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran di kelasnya. MacFarlane & Wolfson (2013) meneliti tentang hubungan antara sikap guru terhadap perilaku siswa. Guru yang menunjukkan keyakinan positif dan kontrol diri yang tinggi lebih mampu menunjukkan perilaku yang menerima ABK dalam praktek pembelajaran inklusi. Norma-norma subjektif yang dipegang guru juga mempengaruhi guru tersebut dalam menjalankan praktik pendidikan inklusi (MacFarlane & Woolfson, 2013).

Sebelum melakukan studi utama, peneliti terlebih dahulu melakukan studi kancah yang betujuan untuk mengetahui karakter subjek penelitian, pengetahuan tentang pendidikan inklusi, harapan dan refleksi terhadap pendidikan inklusi, serta upaya-upaya yang telah dilakukan oleh para Guru Pendamping Khusus (GPK) dalam melangsungkan pendidikan inklusi. Partisipan pada studi kancah adalah 20

(12)

Guru Pendamping Khusus (GPK) dari 20 sekolah inklusi di Kota Yogyakarta mulai dari jenjang KB/TK hingga jenjang SMA/SMK.

Instrumen pengukuran dalam studi ini menggunakan opened-ended questionnaire yaitu kuesioner “Saya dan Sekolah Inklusi”. Kuesioner ini terdiri dari 13 pertanyaan yang mencakup 4 pertanyaan identitas diri (lama bekerja, latar belakang pendidikan dan pemilihan jurusan, dan pilihan menjadi GPK), 4 pertanyaan pengetahuan (pengetahuan tentang inklusi, ABK, jenis kebutuhan khusus anak, dan pengembangan kurikulum di sekolah inklusi), 2 pertanyaan berkait dengan ranah afeksi (harapan dan refleksi terhadap pendidikan inklusi), serta 3 pertanyaan berkait dengan perilaku (hambatan/kendala sebagai GPK, upaya yang telah dilakukan, dan kerjasama yang sudah dijalin dengan unsur lain di sekolah).

Kuesioner “Saya dan Sekolah Inklusi” dianalisis secara kualitatif dengan memberikan koding dan menghasilkan gambaran pelaksanaan pendidikan inklusi di Kota Yogyakarta khususnya pada kompetensi tenaga kependidikan sebagai berikut:

Para peserta pada studi ini memiliki pengalaman menjadi Guru Pendamping Khusus antara 1-13 tahun. Latar belakang pendidikan GPK Kota Yogyakarta tidak semuanya dari jurusan pendidikan atau psikologi. Jurusan pendidikan lain pun memungkinkan seseorang untuk menjadi GPK. Sekolah atau Dinas Pendidikan juga tidak secara mutlak mensyaratkan latar pendidikan tertentu untuk menjadi GPK.

Berkaitan dengan proses pemilihan jurusan pendidikan, sebagian besar GPK memilih jurusan pendidikan atau pendidikan luar biasa karena motivasi internal. Mereka memilih jurusan berdasarkan keinginan/ kemauan/ minat/ panggilan pribadi serta kepedulian terhadap kondisi ABK dan dunia pendidikan. Namun beberapa GPK juga menyatakan bahwa akhirnya kuliah di jurusan tersebut karena faktor eksternal seperti menuruti keinginan orangtua, kesalahan teknis saat menulis kode jurusan, dan asal mendaftar tanpa pertimbangan masa depan.

(13)

Menjadi GPK adalah pilihan hidup mereka yang telah mereka tentukan sejak mereka berminat masuk ke jurusan kuliahnya. Namun beberapa GPK menyatakan bahwa menjadi GPK sebenarnya bukanlah pilihan hidupnya. Kondisi saat ini yang sudah berkecimpung di dunia pendidikan inklusi adalah keterlanjuran yang harus dinikmati. Hasilnya, ada yang kemudian merasa senang dan mendapatkan pembelajaran, namun ada juga yang tetap meletakkan posisi GPK ini sebagai batu loncatan hingga mencapai tujuan hidup yang sesungguhnya diinginkan.

Sudut pandang pemahaman GPK tentang inklusi sangatlah bermacam-macam, ada pandangan tentang anak, pengetahuan, lembaga, wadah, kondisi, atau tentang pendidikan, layanan, sasaran, proses, dan sistem. Pemahaman ini merujuk pada pengertian narrow inclusion yaitu pemahaman sempit tentang inklusi. Inklusi ini hanya memandang konsep anak berkebutuhan khusus dan cenderung hanya melihat kekurangan anak sebagai partisipan di pendidikan reguler. Belum banyak GPK mampu melihat konsep wide inclusion dimana inklusi adalah sebuah gambaran keberagaman yang nyata di masyarakat seperti agama, kultur, latar belakang sosial ekonomi, dan kebutuhan khusus. Selain itu, ABK sebenarnya tidak hanya yang kompetensi rendah saja karena anak dengan giftedness merupakan kebutuhan khusus anak juga.

GPK mengetahui macam ABK dengan menyebutkan kebutuhan khusus anak. Sebagian besar GPK masih melihat kekurangan atau ketunaan anak, sedikit sekali yang melihat setiap kondisi keunikan anak apalagi anak dengan kebutuhan khusus atas (gifted). Beberapa guru bahkan tidak memahami konsep ABK atau tidak bisa menyebutkan kebutuhan khusus anak. Baginya, kebutuhan khusus anak terletak pada layanan dan fasilitas pendukung.

Terdapat beberapa pendapat GPK berkaitan dengan pengembangan kurikulum. Pertama, kurikulum sekolah inklusi sama saja seperti sekolah reguler. Kedua, kurikulumnya sama, hanya saja pelaksanaan untuk mencapai standar pendidikan tidaklah sama dengan anak normal. Ketiga, kurikulum di sekolah inklusi harus dimodifikasi atau disesuaikan dengan kemampuan/kondisi anak dalam rangka memenuhi kebutuhan sesuai karakter anak.

(14)

Pandangan GPK tentang ABK banyak berfokus pada kekurangan ABK dan memandang ABK sebagai objek yang membutuhkan pendampingan dan layanan khusus. Namun terdapat pandangan yang positif tentang ABK bahwa setiap anak memiliki keistimewaannya masing-masing yang dapat berkembang. ABK harus diterima apapun adanya karena seberapa pun kemampuan yang dimiliki, pasti ada aspek yang dapat dikembangkan secara optimal.

Harapan-harapan yang disampaikan GPK berangkat dari keluhan atau perasaan kurang terhadap kondisi saat ini. Harapan-harapan tersebut menyangkut anak yaitu ABK, kebijakan dan sistem pendidikan inklusi, pembuat kebijakan yakni pemerintah, sarana prasarana, guru dengan pemberian pelatihan dan status kepegawaian yang lebih pasti, dan kebutuhan pengakuan dan penghargaan dari semua pihak.

GPK mengemukakan refleksi positif dan refleksi negatif. Sebagian besar refleksi GPK berkaitan dengan anak dan proses pendampingannya. Selain itu, proses di sekolah inklusi juga melibatkan proses perjalanan spiritual dan olah rasa. Hambatan dan kendala GPK dalam melangsungkan pendidikan inklusi meliputi minimnya pengetahuan tentang inklusi dan ABK seperti pengembangan kurikulum, penanganan terapi, dan kebutuhan asesmen anak. Selain itu, hubungan antara GPK dengan guru kelas/guru mata pelajaran kurang sinkron dalam mendampingi ABK. Guru kelas reguler dan guru mata pelajaran dipandang kurang menunjukkan penerimaan, dukungan, pemahaman, dan kesadaran yang mempengaruhi proses pendampingan anak. Akhirnya muncul label anak reguler dan anak inklusi yang didampingi oleh gurunya masing-masing. Masalah waktu juga menjadi kendala yang menghambat bagi GPK yaitu sulitnya membagi waktu untuk semua ABK yang didampingi.

GPK berpendapat bahwa inklusi akan sukses jika didukung oleh semua pihak terutama kepala sekolah dan orangtua. Kepala sekolah yang cederung menuntut GPK dan orangtua yang cenderung pasrah tentang anaknya menjadi GPK merasa terbebani. Komunikasi kemudian menjadi kendala baru bagi GPK seiring sikap orangtua yang tidak sepenuhnya terbuka. Fasilitas yang kurang

(15)

memadai dan tidak adanya ruang khusus untuk mendampingi ABK menjadi kendala teknis bagi GPK.

Setiap GPK mampu melihat keberhasilannya dalam mendampingi ABK, sekecil apapun itu. Upaya yang telah GPK lakukan dilihat sebagai hal yang membantu ABK berkembang sesuai kebutuhannya masing-masing. Keberhasilan ABK meliputi aspek kognitif (akademik), emosi, sosial, dan perilaku. Ada juga GPK yang menggunakan pendekatan spiritual yaitu dengan mendoakan ABK yang didampinginya supaya dapat berkembang lebih baik lagi.

Unsur utama di sekolah inklusi antara lain kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, dan GPK. Semuanya musti bekerjasama secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan bersama untuk memfasilitasi ABK. Beberapa GPK menyatakan sudah bekerjasama dengan guru kelas dan kepala sekolah. Namun, kenyataan yang masih dihadapi antara lain: kurangnya suntikan semangat dari kepala sekolah, pemahaman guru kelas dan penerimaan terhadap ABK masih perlu ditingkatkan, kurang adanya koordinasi dengan guru mata pelajaran, serta kurangnya pendampingan dari guru kelas/guru mata pelajaran kepada ABK yang kesulitan mengikuti pelajaran. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya koordinasi dan kerjasama sudah dibangun namun belum secara sistematis sehingga masih menemui banyak kendala.

Hasil studi kancah tersebut menunjukkan bahwa masih kurangnya kualitas implementasi pendidikan inklusi di Kota Yogyakarta khususnya kompetensi tenaga kependidikan. Guru sebagai unsur utama dalam pendidikan belum sepenuhnya memahami inklusi serta belum memiliki persepsi positif tentang inklusi dan anak berkebutuhan khusus. Dalam praktiknya, hal ini kemudian mempengaruhi cara pandang guru terhadap kebijakan inklusi. Cara pandang guru (evaluasi kognitif) banyak ditentukan oleh kondisi-kondisi di luar dirinya. Kondisi pendidikan inklusi yang masih jauh dari ideal membentuk cara pandang guru yang negatif pula, padahal sebenarnya evaluasi kognitif dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai individu untuk mempersepsi kondisi yang ada. Sebagaimana disebutkan Diener (2000), untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.

(16)

Berkaitan dengan kesiapan guru, ketika individu telah melakukan evaluasi kognitif yang membentuk penilaian tentang kebijakan inklusi dan anak berkebutuhan khusus yang dihadapinya, maka guru akan berperilaku sesuai penilaian atau persepsinya tersebut. Perilaku yang ditunjukkan guru tersebut merupakan kesiapan dalam melangsungkan pendidikan inklusi. Widiasti (2013) menyebutkan bahwa kesiapan merupakan kemauan dan kemampuan dalam mempraktekkan tingkah laku tertentu sebagai respon terhadap situasi baru.

Secara jelas hasil studi kancah tersebut dapat dilihat dari bagan 1: Bagan 1: Bagan Peta Pemikiran dan Hubungan Teoritis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah empathic love therapy efektif meningkatkan kesejahteraan subjektif dan kesiapan guru di sekolah inklusi. Melalui empathic love therapy, apakah guru akan lebih sejahtera dan siap menjadi guru di sekolah inklusi dalam memfasilitasi anak berkebutuhan khusus.

KONDISI: - Pengalaman sedikit - Pemilihan jurusan

tidak sesuai keinginan - Menjadi GPK bukan pilihan hidup - Pemahaman sempit tentang inklusi - Pengetahuan sedikit tentang ABK - Pemahaman kurang tentang kurikulum - Pandangan negatif tentang ABK - Harapan yang

menuntut pihak di luar dirinya

- Hubungan yang kurang harmonis antar unsur sekolah inklusi - Waktu terbatas - Fasilitas kurang memadai SWB (Bottom Up): Kesejahteraan ditentukan oleh lingkungan SWB (Top Down): Persepsi, keyakinan, dan

sifat kepribadian yang difokuskan untuk mempersepsi lingkungan

EMPATHIC LOVE THERAPY

KESIAPAN: kemauan dan kemampuan dalam mempraktekkan tingkah laku tertentu sebagai

respon terhadap situasi baru PERILAKU

Referensi

Dokumen terkait

Verifikasi perilaku daya berkecambah benih pepaya selama penyimpanan secara deskriptif menunjukkan adanya kesesuaian data hasil aktual dan dugaan (Gambar 2). Dari

Pengendalian internal yang memadai yaitu didalamnya terdapt unsur-unsur pengendalian yang diharapkan dapat menjamin kelancaraan proses pemberian kredit dan dapt melindungi hak

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur pemerintahan desa, berfungsi

Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat

Sekiranya pemain tidak didaftarkan sebelum tarikh akhir, atau jika pemain baru menyertai pasukan anda, mereka tidak akan dibenarkan bermain sehingga butiran mereka diserahkan

Kode 1902 : Kontrol risiko, yaitu tindakan individu untuk mengerti, mencegah, mengeliminasi atau mengurangi ancaman kesehatan yang telah dimodifikasi, meningkat dari 2

Sub kelompok teori ini berpendapat bahwa kinerja keuangan perusahaan yang tinggi akan membuat perusahaan memiliki keuntungan yang besar dan dana berlebih untuk