MAKALAH
SISTEM NEUROBEHAVIOR II “ASKEP HALUSINASI“
DISUSUN OLEH :
CAHYO SANG WAHYU | 1211016 FLORI JULIANT PELLO |
RISKI ANGGER BIANSAH |
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PATRIA HUSADA BLITAR
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga makalah “Askep Halusinasi” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tidak menemui hambatan yang berarti. Untuk memperoleh suatu ilmu pengetahuan maka dilakukan pembuatan suatu makalah yang dapat dipakai dan dipelajari sebagai ilmu pengetahuan dalam suatu pembelajaran. Makalah ini disusun berdasarkan pengkajian dan asuhan keperawatan yang menyangkut tentang halusinasi. Penyusunan makalah ini secara aktif melibatkan Dosen yang membidangi mata ajar ini, kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih.
Tujuan pembuatan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas kuliah dan untuk sarana belajar dan pengetahuan bagi mahasiswa. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam pembelajaran serta mutu pendidikan saat ini dan di masa yang akan datang.
Akhirnya, demi penyempurnaan Makalah ini kami sangat mengharapkan adanya masukan atau saran yang bersifat membangun agar memperoleh hasil yang diharapkan. Blitar, Mei 2014 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...2 DAFTAR ISI...3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...4 1.2 Tujuan...4 1.3 Manfaat...4 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi ...5 2.2 Rentang Respon...5
2.3 Macam – macam Halusinasi...6
2.4 Etiologi...7
2.5 Patofisiologi...7
2.6 Proses terjadinya halusinasi...9
2.7 Tanda dan gejala...12
2.8 Mekanisme Koping...14
2.9 Penatalaksanaan...14
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian ...17
3.2 Diagnosa...20
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan...28 4.2 Saran...28 DAFTAR PUSTAKA ……….29
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.
1.2 Tujuan
1. Memahami Definisi Halusinasi 2. Memahami etiologi dari halusinasi 3. Memahami klasifikasi halusinasi 4. Memahami tanda dan gejala halusinasi
5. Memahami patofisiologi klien dengan halusinasi 6. Memahami penatalaksanaan klien dengan halusinasi 7. Memahami askep klien dengan halusinasi
8. Mengetahui bagaimana diagnosa halusinasi 1.3 Manfaat
1. Paham tentang definisi halusinasi 2. Mengetahui etiologi dari halusinasi 3. Mengetahui klasifikasi halusinasi 4. Mengetahui tanda dan gejala halusinasi 5. Mengetahui patofisiologi halusinasi
6. Mengetahui penatalaksanaan klien dengan halusinasi 7. Mengetahui askep klien dengan halusinasi
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Definisi
Halusinasi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang mendekat ( yang
diprakarsai secara internal dan eksternal) disertai dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan, distorsi atau kelainan respon terhadap stimulus ( A. Mary & Towsend. 1995, hal. 156).
Halusinasi adalah perasaan yang salah yang tidak diikuti oleh stimulus eksternal yang nyata yang dapat meliputi lima perasaan ( Kaplan, Saclok dan Gret. 1994 dalam buku Mary & Towsend Man ARNp cs Psikiatric Mental Healt Nursing).
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa halusinasi adalah keadaan seseorang yang mengalami persepsi yang salah dari lima perasaan, merasa ada stimulus, padahal sebenarnya tidak ada stimulus yang nyata. 2.2 Rentang Respon
Respon Adaptif Respon neurologic Respon Maladaptif 1. Pikiran logis. 2. Persepsi akurat. 3. Emosi konsisten dengan pengalaman. 4. Perilaku sesuai. 5. Hubungan sosial. 1. Perilaku kadang menyimpang. 2. Ilusi. 3. Reaksi emosional berlebihan atau kurang 4. Perilaku ganjil/tidak lazim. 5. Menarik diri. 1. Kelainan pikiran/delusi halusinasi. 2. Ketidakmampuan untuk mengalami emosi. 3. Ketidakteraturan 4. Isolasi sosial.
2.3 Macam – macam Halusinasi
a. Halusinasi pendengaran ( akustik auditorik )
Misal : suara manusia, hewan, mesin, kejadian alamiah, musik, padahal tidak ada sumbernya
b. Halusinasi penglihatan (visual optik)
Misal : melihat sesuatu tak bersinar atau berbentuk (orang, binatang atau barang lain yang dikenalnya berwarna atau tidak) padahal tidak ada
c. Halusinasi penciuman (alfaktorik)
Misal : individu mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau mayat dll padahal tidak ada
d. Halusinasi kecap (gustatorik)
Biasanya terjadi bersamaan halusinasi bau hirup. Misal : individu merasa mengecap suatu rasa dimulutnya
e. Halusinasi singgungan (taktil)
Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau menyentuh
f. Halusinasi kinestetik
Misal : badan penderita bergerak dalam suatu ruangan atau merasa anggota badannya bergerak
g. Halusinasi visceral
Misal : perasaan tertentu timbul didalam dirinya h. Halusinasi hipnogenik
Terdapat pada seseorang yang normal tepat sebelum tidur persepsi sensorik bekerja salah
i. Halusinasi hiproponik
Seperti pada hipnogonik tetapi terjadi tepat sebelum bangun tidur, setelah itu pula terdapat pengalaman halusinoforik dalam impian yang normal.
j. Halusinasi histerik
Timbul pada neurosa histerik karena konflik emosional, keadaan tersebut sering merupakan perilaku yang didasari pengalaman psikologis dari dalam individu tersebut
2.4 Etiologi
2.4.1 Faktor predisposisi ( Stuart and Sundeen, 1995 ) a. Biologi
1. Hambatan perkembangan otak kortek frontal, temporal dan lembek, jejak yang mungkin timbul adalah hambatan dalam belajar, bebicara, daya ingat dan mungkin muncul perilaku menarik diri atau kekerasan.
2. Pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal, neonatur dan kanak-kanak.
b. Psikologis
1. Ibu / pengasuh yang lemas, overprotektif dengan tidak sensitif.
2. Pola asuh yang tidak adequat. 3. Konflk perkawinan.
4. Koping dalam menghadapi stress tidak konstruktif. 5. Ketidakmampuan menggapai cita.
c. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, perasaan tidak aman, gelisah, bingung, ketakutan, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak mampu membedakan nyata dan tidak nyata
d. Social Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress
2.4.2 Faktor presipitasi
Adanya rangsangan lingkungan yang sering sebagai pencetus yaitu kurangnya partisipasi klien dalam kelompok, dimana sepi ( isolasi ) suasana tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh zat haludinogenik. Berbagai streson dapat menimbulkan halusinasi. Hubungan interpersonal masalah psikososial dapat meningkatkan cemas dan stess serta akhirnya timbul halusinasi.
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan.
Faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah: a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku. c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
2.5 Patofisiologi
2.6 Proses terjadinya halusinasi
Adapun beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya halusinasi antara lain : 1. Keadaan afek / perasaan seseorang
2. Waham atau defisi
3. Indera yang kurang dirangsang 4. Kerusakan otak
Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang sungguh terjadi, karena rangsangan pada panca indera ( misal bunyi angin didengarnya seperti memanggilnya, bayangan daun seperti pencuri ). Ilusi sangat dipengaruhi oleh emosi pada waktu tertentu dan biasanya bersatukan dapat mengoreksi sesudahnya ilusi itu dapat dibedakan dari halusinasi, dari pikiran, hubungan dan dari diorientasi. Gangguan somato sensorik ada reaksi konfersi adalah suatu gangguan yang sering trejadi secara simbolik menggambarkan suatu konflik yang emosional dibedakan dari gangguan psikologik dan dilakukan secara sadar dari gangguan heurologik.
Jika sudah pasti bahwa reaksi itu sudah merupakan reaksi konfersi, baru dicatat dan dicantumkan jenis reaksi itu, misalnya :
a Anestesi
Anestesi adalah kehilangan indra peraba pada kulit, tetapi tidak sesuai dengan anatomi syaraf
b Prostesia
Prostesia adalah indera peraba yang berubah, umpamanya seperti ditusuk-tusuk jarum, ada semut berjalan merasa panas atau kebal pada kulit
c Gangguan penglihatan d Perasaaan nyeri e Makrupsia
Makrupsia ialah bentuk kehilangan dari sebenarnya begitu besar sehingga mengerikan terdapat pada neurosa histerik
f Inkrupsia
Inkrupsia ialah benar-benar kehilangan lebih kecil, ganti-ganti dengan makropsia pada histeria atau dapat timbul pada Delirium Treatment.
Halusinasi terjadi karena adanya persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya klien menginterpretasikan suatu yang nyata tanpa stimulus atau rangsangan dari luar (eksternal). 2.6.1 Tingkatan halusinasi ada 4 tahap (Gail Wisacan 2, Stuart and Sandra 1
Sundeen, hal : 328). a. Tahap I :
Secara umum bersifat menyenangkan, memberirasa aman, tingkat kecerdasan sedang, karakteristik :
2. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menmenghilangkan rasa cemas.
3. Pikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontrol 4. Non psikotik.
b. Tahap II :
Menyalahkan, kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman eksternal dan internal, secara umum halusinasi menyebabkan rasa antipati, karakteristik :
1. Pengalaman sensori menakutkan.
2. Mulai merasa kehilangan kontrol dan klien takut apabila ada orang yang mendengar.
3. Merasa dilecehkan. 4. Menarik diri. c. Tahap III :
Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman sensori tidak dapat ditolak lagi, karakteristik :
1. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori. 2. Kesepian bila pengalaman sensori berakhir.
3. Terbiasa dengan halusinasinya dan tidak berdaya. d. Tahap IV :
Menguasai, tingkat kecemasan panik, dipengaruhi oleh delusi atau waham, Karakteristik :
1. Pengalaman sensori menakutkan atau mengancam.
2. Dapat berlangsung selama beberapa jam atau hari (jika tidak ada intervensi terapiutik).
2.6.2 Menurut Gail Stuart and Sundeen ada beberapa jenis halusinasi yaitu : 1. Halusinasi pendengaran / aditory
Mendengar suara atau bunyi, paling sering suara orang. Suara dapat berkisar dari suara yang sederhana sampai suara yang membicarakan klien, memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan / visual
Melihat gambaran yang jelas atau samar, penglihatan dapat berupa sesuatu yang menyenagkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penciuman / alpalutory
Mencium bau yang muncul dari sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak menciumnya.
Merasakan makan sesuatu yang tidak nyata, merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan.
Menurut jenisnya tanda gejala halusinasi antara lain ;
No. Jenis halusinasi Data obyektif Data subyektif 1. 2. 3. 4. 5. Halusinasi pendengaran Halusinasi penglihatan Halusinasi penghirupan Halusinasi pengecapan Halusinasi perabaan
Berbicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, menyendengkan telinga kearah tertentu, menutup telinga
Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan kepada sesuatu yang tidak jelas Menghirup, seperti sedang membaui buah-buahan tertentu, menutup hidung Sering meludah-ludah Menggaruk-garuk permukaan kulit Mendengar suara-suara yang mengajaknya bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya Melihat bayangan, sinar, geometris, kartun, hantu, atau monster
Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu menyenangkan
Merasakan seperti darah, urin, feses
Mengatakan adanya serangga dipermukaan kulit, merasa seperti tersengat listrik 2.7 Tanda dan gejala
Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
1. Bicara sendiri. 2. Senyum sendiri. 3. Ketawa sendiri.
4. Menggerakkan bibir tanpa suara. 5. Pergerakan mata yang cepat 6. Respon verbal yang lambat 7. Menarik diri dari orang lain.
8. Berusaha untuk menghindari orang lain.
9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah. 11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa
detik.
12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori. 13. Sulit berhubungan dengan orang lain. 14. Ekspresi muka tegang.
15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat. 17. Tampak tremor dan berkeringat.
18. Perilaku panik. 19. Agitasi dan kataton. 20. Curiga dan bermusuhan.
21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan. 22. Ketakutan.
23. Tidak dapat mengurus diri.
24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Nasution (2003), seseorang yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:
1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai. 2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara. 3. Gerakan mata abnormal.
4. Respon verbal yang lambat. 5. Diam.
6. Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
7. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya, peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah.
8. Penyempitan kemampuan konsenstrasi. 9. Dipenuhi dengan pengalaman sensori.
10. Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
11. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada menolaknya.
12. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain. 13. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. 14. Berkeringat banyak.
15. Tremor.
16. Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk. 17. Perilaku menyerang teror seperti panik.
18. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain. 19. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan agitasi. 20. Menarik diri atau katatonik.
21. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks. 22. Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dan penglaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologik menurut Stuart and Sundeen 1995 adalah :
1. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas, mempunyai energi sedikit untuk aktifitas hidup sehari-hari.
2. Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
3. Menarik diri 2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik. Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. 2. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat
masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan.
3. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
4. Melaksanakan program terapi dokter. Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
5. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada. Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga
dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
6. Memberi aktivitas pada pasien. Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
7. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan. Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugas lain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian
a. Faktor predisposisi.
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
b. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
c. Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan. d. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
e. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
f. Faktor genetik
Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
h. Prilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata, meliputi :
1. Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. 2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
4. Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5. Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya. i. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
k. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi c. Isolasi sosial : menarik diri
3.2.2 Data yang perlu dikaji
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1) Data Subyektif :
1. Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
2. Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
3. Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya. 2) Data Objektif :
1. Mata merah, wajah agak merah.
2. Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
3. Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
4. Merusak dan melempar barang-barang. b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
1) Data Subjektif
1. Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata
2. Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata
3. Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus
4. Klien merasa makan sesuatu
5. Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
6. Klien takut pada
suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar
7. Klien ingin memukul/melempar barang-barang
2) Data Objektif
1. Klien berbicar dan tertawa sendiri
2. Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu
3. Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu
4. Disorientasi
c. Isolasi sosial : menarik diri 1) Data Subyektif
Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab dengan singkat ”tidak”, ”ya”.
2) Data Obyektif
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul, menyendiri/menghindari orang lain, berdiam diri di kamar, komunikasi kurang atau tidak ada (banyak diam), kontak mata kurang, menolak berhubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi tidur seperti janin (menekur)
3.3 Intervensi dan Rasional pada diagnose prioritas 1 No Diagnosa
Keperawatan
Rencana Tindakan Keperawatan
Rasional
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
1. Risiko tinggi menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan halusinasi dengar. Tujuan Umum : Klien mampu mengendalikan diri sehingga klien tidak menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Tujuan Khusus: 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
1.1 Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, klien mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Klien dapat menyebutkan waktu, isi, frekuensi timbulnya
1.1.1 Bina hubungan saling percaya. - Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal - Perkenalkan diri dengan
sopan
- Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
- Jelaskan tujuan interaksi - Jujur dan menepati janji - Tunjukkan sikap empati dan
menerima klien pa adanya. - Beri perhatian pada klien
dan perhatikan kebutuhan dasaranya
2.1.1 Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
Hubungan saling percaya merupakan dasar terjadinya komunikasi terapeutik antara perawat dan klien
Mengurangi waktu kosong bagi klien sehingga dapat mengurangi frekuensi halusinasi.
No Diagnosa Keperawatan
Rencana Tindakan Keperawatan
Rasional
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
2. Klien dapat mengenal halusinasinya halusinasi. - 5 menit/jam - 10 menit/jam - 15 menit/jam
2.1.2 Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya bicara dan tertawa tanpa stimulus
2.1.3 Bantu klien mengenal halusinasinya
a. Jika menemukan klien yang sedang halusinasi tanyakan apakah ada suara yang didengar
b. Jika klien menjawab ada lanjutkan apa yang dikatakan c. Katakan bahwa perawat
percaya klien mendengar suara itu namun perawat itu tidak mendengar dengan nada bersahabat tanpa menuduh. d. Katakan bahwa klien lain juga
Peran serta aktif klien sangat menentukan efektifitas tindakan keperawatan yang dilakukan
Upaya untuk memutus halusinasinya perlu dilakukan oleh klien sendiri agar halusinasinya tidak berlanjut.
No Diagnosa Keperawatan
Rencana Tindakan Keperawatan
Rasional
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
Klien dapat mengungkap-kan perasaan terhadap halusinasinya
Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya.
Klien dapat menyebutkan cara baru.
ada seperti klien, katakan bahwa perawat akan membantu klien.
2.1.4 Diskusikan dengan klien : a. Situasi yang menimbulkan
halusinasi
b. Waktu terjadinya halusinasi dan frekuensinya (pagi, siang, sore, malam dan jika sendiri atau sedih).
2.2.1 Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah/ takut/ sedih/ senang) beri kesempatan mengungkapkan perasaannya. 3.1.1 Identifikasi bersama klien
cara tindakan yang dilakukan
Tindakan yang dilakukan biasanya merupakan upaya mengatasi halusinasi.
Dengan halusinasi yang terkontrol oleh klien maka resiko kekerasan tidak akan
No Diagnosa Keperawatan
Rencana Tindakan Keperawatan
Rasional
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Klien dapat memilih mengatasi halusinasi seperti yang telah didiskusikan.
Klien dapat melaksanakan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan halusinasinya.
Klien dapat mengikuti terapi aktivitas kelompok.
jika terjadi halusinasi.
3.2.1 Diskusikan cara baru memutus/ mengontrol timbulnya halusinasinya. a. Katakan “saya tidak mau
dengar kamu”.(pada saat halusinasi terjadi)
b. Menemui orang lain entah itu teman, perawat, untuk bercakap-cakap mengatakan halusinasi yang didengar. c. Membuat jadwal kegiatan
sehari-hari agar halusinasi tidak sempat muncul.
d. Meminta keluarga/ teman/ perawat menyapa jika tampak berbicara sendiri.
terjadi.
Memberikan kesempatan pada klien untuk memutus tindakan peningkatan harga diri
Dapat meningkatkan harga diri klien
No Diagnosa Keperawatan
Rencana Tindakan Keperawatan
Rasional
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
5. Klien dapat memanfaat kan obat dengan baik. Klien dapat mendemostrasikan penggunaan obat dengan benar
Klien dapat informasi tentang manfaat dan efek samping obat.
Klien memahami akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi.
Klien dapat menyebutkan prinsip 5 benar penggunaan obat.
3.3.1 Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap. 3.4.1 Beri kesempatan untuk
melakukan cara yang telah dilatih, evaluasi hasilnya dan beri pujian jika berhasil. 3.5.1 Anjurkan klien mengikuti
terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi persepsi.
5.1.1 Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya
5.2.1 Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek samping obat yang dirasakan.
melupakan halusinasinya Untuk memastikan bahwa
klien minum obat secara teratur
Dengan berbicara pada dokter tentang manfaat dan efek samping obat maka klien tidak selalu tergantung pada perawat
Dengan konsultasi klien dapat mengetahui manfaat dari obat-obat yang diberikan
Dengan mengetahui 5 benar melatih klien untuk teliti
No Diagnosa Keperawatan
Rencana Tindakan Keperawatan
Rasional
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
5.3.1 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi.
5.4.1 Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar.
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan keperawatan terhadap pasien, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi ditemukan adanya perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan pendekatan secara terus menerus, membina hubungan saling percaya yang dapat menciptakan suasana terapeutik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan.
2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan halusinasi, pasien sangat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai sistem pendukung yang mengerti keadaaan dan permasalahan dirinya. Disamping itu perawat / petugas kesehatan juga membutuhkan kehadiran keluarga dalam memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama dalam memberi perawatan pada pasien. Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa peran serta keluarga merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan klien.
4.2 Saran
1. Dalam menangani kasus halusinasi hendaknya perawat melakukan pendekatan secara bertahap dan terus menerus untuk membina hubungan saling percaya antara perawat klien sehingga tercipta suasana terapeutik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan.
2. Bagi keluarga klien hendaknya sering mengunjungi klien dirumah sakit, sehingga keluarga dapat mengetahui perkembangan kondisi klien dan dapat membantu perawat bekerja sama dalam pemberian asuhan keperawatan bagi klien
Budi Anna Keliat, SKP, Mapp, Se, Dkk. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : ECG.
Carpente LJ. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 6. Jakarta : ECG. Direktorat Kesehatan Jiwa, Petunjuk klinik asuhan keperawatan pasien gangguan
jiwa Schizofrenia, 1998.
Maramis W.F. Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi VI. Surabaya : Airlangga University Press.
PPDEJ – III. 1998. Diagnosa gangguan jiwa. Jakarta