• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. Dalam karya sastra tidak terlepas dari unsur-unsur pembangun yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. Dalam karya sastra tidak terlepas dari unsur-unsur pembangun yang"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Unsur Instrinsik

Dalam karya sastra tidak terlepas dari unsur-unsur pembangun yang menjadikan karya tersebut menjadi sempurna dan menarik untuk dibaca dan dinikmati. Usur-unsur pembangun sebuah novel banyak namun yang menjadi garis besarnya yaitu unsur instrinsik dan ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya. Unsur instrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, dan unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, serta unsur-unsur faktual yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur instrinsik sebuah novel merupakan unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai instrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Jika dilihat dari sudut pembaca, unsur inilah yang akan terlihat saat membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud untuk menyebut sebagian saja, misalnya peristiwa cerita, plot, penokohan tema, latar, sudut pandang, penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain sebagainya (Nurgiyantoro, 2014: 23).

Semua unsur instrinsik digunakan sebagai pembangun sebuah karya sastra. Karya sastra tanpa adanya unsur pembangun akan membuat sebuah cerita tidak menarik bagi pembaca. Unsur instrinsik terbagi menjadi beberapa bagian, salah satunya penokohan dan latar.

(2)

2.1.1 Penokohan

Penokohan dibutuhkan guna menghidupkan tokoh dalam cerita, tokoh ini akan membawa pembaca terbawa akan karakter. Bukan hanya penokohan yang terdapat dalam cerita, tetapi juga terdapat alur dalam cerita. Alur merupakan sebuah rangkaian peristiwa yang menggambarkan sebuah cerita. Selain itu, alur juga dapat mempengaruhi penokohan.

Nurgiyantoro (2014: 247) berpendapat bahwa penokohan dan karakterisasi sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan itulah yang mampu membangkitkan cerita dengan sebuah karya sastra terutama pada novel. Berbagai macam novel mempunyai cerita dengan tokoh yang berbeda karakter. Salah satu novel yang memusatkan perhatian pada tokoh yaitu novel Bayang Suram Pelangi karya Arafat Nur. Novel tersebut mempunyai cerita yang cukup menarik. Tokoh yang terdapat pada novel tersebut mampu membawa pembaca menafsirkar sebuah karya. Pada novel tersebut terdapat beberapa tokoh seperti Saidul, Pak Rusli, Aini, Mala, Zahra. Namun demikian, terdapat salah satu tokoh dari mereka sebagai tokoh utama dalam novel ini yaitu Saidul. Penokohan pada novel begitu banyak sehingga perlu diberikan batasan, batasan tersebut meliputi kelima tokoh tersebut. Kelima tokoh tersebut yang menjadi pusat penokohan dalam novel. Dalam hal ini bukan hanya penokohan saja yang terdapat pada novel, tetapi latar juga menjadi hal yang penting.

2.1.2 Latar

Menurut Staton (dalam Nurgiyantoro, 2014: 303) mengelompokkan latar dengan tokoh dan plot ke dalam cerita, karena ketiga hal itulah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasikan oleh pembaca secara factual dalam membaca

(3)

sebuah cerita fiksi. Pengelompokan tiga hal tersebut yang akan membentuk sebuah cerita dimana tokoh akan mengalami berbagai kejadian yang dipengaruhi oleh sebab akibat. Apa yang akan dialami tokoh tersebut dihadapkan pada kondisi sosial budaya masyarakat. Hal ini sesuai dengan cerita pada novel Bayang Suram Pelangi yang membahas mengenai tokoh yang sedang mengalami permasalahan sosial di lingkugannya. Permasalahan sosial pada novel tersebut mengarah pada konflik. Konflik yang terjadi menimbulkan berbagai peristiwa serta akibat dari peristiwa yang terjadi.

2.1.3 Alur

Menurut Staton (dalam Nurgiyantoro, 2014: 26) alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh pelaku dalam suatu cerita. Sebuah cerita tidak akan sepenuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur. Alur dapat dikatakan sebuah unggung cerita, karena alur memiliki dua elemen yang sangat penting. Dua elemen tersebut yakni konflik dan klimaks. Keduanya merupakan unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah plot atau alur cerita. Demikian pula dengan masalah kualitas dan kemenarikan sebuah cerita dalam novel. Konflik merupakan suatu dramatik yang mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan reaksi.

Dengan demikian dalam pandangan hidup yang normal, wajar, dan faktual, artinya bukan dalam cerita yang mengacu pada konotasi negatif atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Itulah sebabnya orang lebih memilih menghindari konflik dan mengharapkan kehidupan yang tenang. Klimaks

(4)

merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terseslesaikan. Klimaks juga merupakan suatu kondisi di mana konflik telah mencapai titik tertinggi, dan saat itu merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks juga sangat menentukan arah perkembangan alur cerita. Dalam klimaks, ada pertemuan antara dua atau lebih hal yang dipertentangkan dan hal inilah yang menentukan bagaimana permasalahan atau konflik akan diselesaikan.

2.1.4 Tema

Tema menjadi menjadi dasar pengembangan dalam seluruh cerita yang dibangun, yang bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Menurut Staton (dalam Nurgiantoro 2014: 35), mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna dari kehidupan. Melalui karya sastra pengarang memberikan makna tertentu dalam kehidupan. Pengarang biasanya mengajak kita merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya seperti kesedihan, kebahagiaan, dan lain-lain. Pengarang biasanya menganggap masalah itu penting, sehingga dia merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya seperti kesedihan, kebahagiaan, dan lain-lain. Tema juga dapat dikatakan sebagai ide yang mendasari suatu cerita sehingga mempunyai peranan sebagai pangkal seorang pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang telah diciptakan. Sebelum pengarang melaksanakan proses kreatif penciptaan sebuah karya sastra, maka ia harus memamhami tema apa yang akan dipaparkan dalam ceritanya. Sementara

(5)

pembaca baru akan memahami apa tema dari suatu cerita apabila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tersebut.

2.2 Sosiologi Sastra

Sosiologi merupakan suatu ilmu yang membahas mengenai masyarakat. masyarakat sendiri tidak terlepas dari fenomena sosial. Fenomena menimbulkan dampak yang besar bagi masyarakat. Sosiologi juga tidak terlepas dari karya sastra. Karya sastra dihasilkan dari fenomena masyarakat. Hubungan karya sastra dan sosiologi dapat dilihat dari pengarang. Pengarang merupakan masyarakat sosial yang sebagian besar karya sastra dihasilkan pengarang dari masyarakat.

Swingewood (dalam Wiyatmi, 2013: 6) menguraikan bahwa sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat dan merupakan studi mengenai lembaga-lembaga serta proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan sosiologi bukan hanya membahas perihal masyarakat saja melainkan mengenai lembaga-lembaga yang ada di sekitarnya. Lembaga tidak terlepas dari masyarakat dilihat dari fungsinya. Fungsi lembaga yaitu mengatur masyarakat agar tidak bertindak sewenang-wenang. Fungsi lain dari lembaga yaitu menjalin komunikasi antar masyarakat sekitar.

Menurut Wiyatmi (2013: 10), sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lainnya yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial, mendapatkan

(6)

gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, serta proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra mengenai masyarakat yang berhubungan dengan lembaga sosial. Lembaga sosial ini guna mengontrol masyarakat dalam kehidupan mereka. Apabila tidak ada lembaga sosial yang mengontrol dan mengatur masyarakat akan hidup dalam keegoisan masing-masing.

Dalam hal ini Wolf berpendapat (dalam Faruk, 2014: 4) bahwa sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan antara seni atau kesusastraan dan masyarakat. Pendapat Wolf secara garis besar sama dengan pendapat yang lain mengenai sosiologi yang berhubungan dengan masyarakat. Perbedaan pendapat terletak pada disiplin yang tidak berbentuk dan berdiri dengan studi-studi yang empiris atau berdasarkan pengalaman.

Bourdieu (dalam Suwardi, 2013: 13) seorang ahli sosiologi Perancis, menyebutkan hubungan antara sosiologi dan sastra sebagai pasangan yang lucu, mekanisme yang lebih banyak dianggap sebagai skeptis. Skeptisme ini muncul tentu saja dinggap wajar, sebab tokoh besar yang dikenal dengan konsep habitus tersebut belum tergoda memanfaatkan sumber sastra sebagai informasi berharga bagi sosiologi. Hubungan sosiologi dengan sastra memang tidak bisa dipisahkan, hal tersebut disebabkan sebuah karya sastra muncul lebih banyak berasal dari kehidupan sebenarnya manusia. Mengingat sosiologi memiliki arti apa yang ada dalam masyarakat.

(7)

Menurut Junus (dalam Suwardi, 2013: 15) sastra sebagai cermin itu memang ada yang menolak secara keseluruhan. Pasalnya, sebenarnya terfokus pada ihwal penafsiran belaka. Sastra dan seni memang hakikatnya mengundang tafsir. Bangunan mitos sastra memang tidak bisa direndahkan. Mitos sastra sebagai realisme sosial yaitu suatu hal yang sulit dibantah. Tentu saja, seniman dan sastrawan tidak semata-mata melukiskan keadaan yang sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa sesuai dengan kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini, terlihat jelas bahwa sastra adalah cerminan masyarakat. Namun, tidak semua cerminan masyarakat masih ada imajinasi penulis di dalamnya.

Dengan demikian berbagai penjelasan mengenai sosiologi sastra sudah diketahui menurut beberapa ahli. Di dalam sosiologi sastra terdapat berbagai macam pendekatan atau perspektif. Menurut Endraswara (2013: 80) sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif.

Perspektif pertamamenurut Endraswara (2013: 80) adalah perspektif teks sastradi mana peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong, diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosiologinya. Perspektif ini membahas sebuah karya sastra berdasarkan teksnya atau yang biasa disebut karya sastra. Karya sastra dapat dikatakan sebuah cerminan dari kehidupan masyarakat. Cerminan ini diangkat sebagai karya yang menceritakan kenyataan yang ada disertai imajinasi sebagai perasaan sang penulis. Seorang pengarang disebut sebagai makhluk sosial yang berada di masyarakat. perspektif ini meliputi isi, tujuan serta hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan sosial.

Pada perspektif kedua Endraswara (2013: 80) memaparkan mengenai perspektif biografis. Perspektif ini berdasarkan pengarang. Penelitian ini mengulas

(8)

mengenai latar belakang pengarang. Pengarang sebagai pencipta karya merupakan makhluk sosial yang keberadaannya berhubungan dengan status sosial. Status sosial ini berkaitan dengan ideologi, posisi, serta hubungan dengan pembaca. Biografis nantinya akan membahas mengenai asal pengarang, tempat tinggal, status, serta keaktifan sang pengarang dalam menghasilkan karya. Penelitian biografis ini akan membantu peneliti dalam menentukan gaya menulis. Gaya menulis ini bisa dipengaruhi oleh lingkungan serta imajinatif si penulis.

Pada perspektif ketiga Endraswara (2013: 80) menyertakan perspektif reseptif di mana dalam penelitian menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. Dapat dikatakan hal ini berkaitan dengan pembaca. Seorang pembaca sangat penting dalam menilai dan menikmati sebuah karya sastra. Sebuah karya sastradikatakan baik apabila memuaskan pembacanya. Pembuatan suatu karya sastra pastinya sudah dipikirkan siapa pembaca yang dituju. Pembaca yang dituju bisa secara umum maupun secara khusus. Secara umum dapat dilihat dari kalangan sastrawan serta secara umum adalah masyarakat luas. Pembaca juga dapat mengapresiasi sebuah karya sastra dengan menjadikannya penelitian atau analisis sebagai hasil karya sastra.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menganalisis novel Bayang Suram Pelangi karya Arafat Nur ini, penulis menganalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologi karya sastra. Sosiologi karya sastra yang dimaksud yaitu isi karya sastra, tujuan serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Pembahasan dan analisis difokuskan pada isi, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam novel Bayang Suram Pelangi itu sendiri yang berkaitan

(9)

dengan masalah realitas dan aspek kehidupan sosial yang terjadi dalam masyarakat yaitu tentang konflik sosial, penyebab terjadinya konflik sosial serta dampak konflik sosial yang terjadi pada tokoh Saidul, Rusli dan keluarganya.

2.3 Konflik

Zaman sekarang menuntut masyarakat untuk selalu berkembang dan memperbaiki diri merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan. Kecanggihan yang nampak sekarang ini terkadang membuat masyarakat lupa diri dengan apa yang sudah diturunkan dari nenek moyang. Kecanggihan juga dialami pada pemenuhan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat yang sangat beragam. Pemenuhan kebutuhan ini masyarakat dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan zaman. Pemenuhan kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat berupa fisik dan juga non fisik. Kebutuhan fisik berupa rumah, baju, sekolah dan lain sebagainya, sedangkan kebutuhan non fisik berupa kebutuhan jasmani dan rohaninya. Pemenuhan jasmani dan rohani yang ada pada manusia sering bergejolak seiring dengan perkembangan dan kebutuhan yang semakin banyak. Pemenuhan kebutuhan masyarakat apabila tidak terpenuhi makan akan muncul terjadinya konflik.

Soekanto (dalam Ahmadi, 2011: 281) menyebutkan bahwa konflik merupakan suatu proses sosial individual atau kelompok yang berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman maupun disertai kekerasan. Proses sosial terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai makhluk sosial. Konflik dapat dikategorikan ke dalam permasalahan sosial yang timbul disebabkan perbedaan hingga pertentangan atas masing-masing individu maupun kelompok. Konflik juga dapat berdampak pada

(10)

kekerasan apabila individu atau kelompok tidak dapat menahan emosinya. Selain itu, konflik juga dapat dihindari apabila satu sama lain saling menghormati.

Konflik yang muncul dalam masyarakat berasal dari dirinya sendiri maupun dari luar masyarakat itu sendiri. Dari dalam dirinya sendiri berasal dari tegangan-tegangan yang dialami masyarakat tersebut. Tegangan tersebut muncul apabila masyarakat mengalami sebuah kejadian yang menyulitkannya. Sedangkan konflik yang berasal dari luar masyarakat berupa hasutan yang diterima masyarakat dari orang lain. Sebenarnya orang lain memanfaatkan kondisi masyarakat tersebut sebagai kepentingannya pribadi. Selain itu, kelemahan yang dimiliki masyarakat terletak pada ketidakpuasan dengan yang dimiliki serta kurang percaya dengan Tuhan.

Menurut Robert (2014: 33), masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada nilai dan strukturnya baik secara revolusioner maupun evolusioner. Perubahan tersebut sering mengakibatkan perpecahan atau konflik dimana perubahan tersebut meliputi gerakan sosial seseorang. Gerakan sosial tersebut dipengaruhi oleh perbedaan kepentingan atau tujuan seseorang. Perbedaan kepentingan setiap masyarakat berbeda-beda. Munculnya perbedaan didasari pemikiran masyarakat yang beragam. Keberagaman sering menjadi pemicu suatu konflik. Konflik sosial bukan hanya terjadi dengan masyarakat lain, melainkan konflik tersebut bisa saja terjadi pada pribadi atau pola pemikiran yang belum dewasa. Pada dasarnya konflik dapat diredam apabila setiap masyarakat dapat mengontrol pola pemikiran dan emosinya. Emosi sering tidak terkontrol saat terjadinya konflik, sehingga muncullah berbagai dampak yang ditimbulkan. Bukan hanya perbedaan kepentingan saja yang dapat menicu konflik, melainkan sebuah pengakuan atas dirinya maupun kelompok untuk mencapai status sosial di masyarakat.

(11)

Menurut Watkins (dalam Chandra, 2012: 20) konflik terjadi bila terdapat dua hal. Pertama, konflik terjadi sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis atau operasional dapat saling menghambat. Secara potensial mempunyai arti memiliki kemampuan untuk menghambat. Sedangkan secara praktis artinya kemampuan bisa diwujudkan serta ada di dalam keadaan yang memungkinkan perwujudannya secara mudah. Perwujudan secara mudah ini memiliki arti apabila kedua belah pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat orang lain sebagai hambatan, maka konflik tidak bisa terjadi. Kedua, konflik bisa terjadi bila ada suatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak namun hanya satu pihak yang mungkin akan mencapainya.

Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Chandra, 2012: 15) mengungkapkan berbagai macam pandangan mengenai konflik yang ada dalam bukunya yang berjudul Interpersonal Conflict. Salah satu pengertian konflik menurut mereka yaitu hal yang abnormal karena hal yang normal adalah keselarasan. Mereka menganut pandangan ini pada dasarnya bermaksud menyampaikan bahwa suatu konflik hanyalah gangguan stabilitas. Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik merupakan gangguan yang harus diselesaikan secara cepat dan tidak boleh ditunda-tunda.

Berbagai pengertian konflik di atas juga selaras dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Nurgiyantoro (2014: 122) yang mengungkapkan bahwa konflik memiliki arti kejadian yang tergolong penting. Konflik ini bukan hanya terlihat pada dunia nyata saja namun juga dapat dilihat di dalam sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra tidak bisa terlepas dari konflik, misalnya saja cerita dalam

(12)

sebuah novel. Konflik selalu muncul di dalam novel sebagai bumbu dari sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra tidak dapat terlepas dari konflik, baikantar tokoh maupun pada dirinya sendiri. Di dalam sebuah karya sastra yang diteksnaratifkan harus memiliki konlik, apabila tidak terdapat maka cerita akan terlihat tenang dan tak ada cerita yang berarti ataupun menarik. Konflik pada dunia nyata mungkin sering dihindari oleh manusia karena ingin hidup tenang, namun berbeda dengan dunia fiksi semakin ia memiliki konflik maka akan digemari oleh pembacanya.

Sifat manusia yang pada dasarnya suka menggunjing dan berbicara mengenai seseorang merupakan hal yang wajar di dunia nyata. Hal ini karena antara satu dan lain orang memiliki perbedaan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa sebenarnya orang membutuhkan cerita mengenai masalah hidup dan kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan batinnya. Kebutuhan batin ini perlu dimiliki untuk memperkaya pengalaman jiwa seseorang. Pengarang yang memiliki sifat peka, reaktif dan menghayati kehidupan menyadari akan kebutuhan itu. Seorang pengarang yang peka akan mudah menciptakan sebuah karya sastra dengan melihat sekelilingnya. Seorang pengarang harus mampu memunculkan peristiwa-peristiwa yang ditemuinya, dimana peristiwa tersebut akan memunculkan konflik. Setelah itu, konflik yang muncul disusul peristiwa yang akan menimbulkan peningkatan hingga pada puncaknya. Dalam hal ini, konflik memiliki berbagai macam bentuk. Bentuk konflik dapat berbeda-beda sesuai dengan pendapat para ahli. Banyak bermunculan tokoh yang mengungkapkan mengenai konflik. Salah satu orang tersebut adalah Soejono Sokanto.

(13)

2.4 Bentuk-bentuk Konflik

Konflik dapat terjadi jika masyarakat tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat sangat beragam mulai dari fisik maupun rohaninya. Pemenuhan kebutuhan tersebut dibutuhkan masyarakat agar tetap hidup dan mampu bersosialisasi dengan baik. Namun demikian, jika masyarakat tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya maka akan timbulnya konflik. Konflik yang timbul berasal dari dalam maupun luar masyarakat tersebut. Konflik itu sendiri mempunyai bentuk-bentuk yang beragam. Menurut Ahmadi (dalam Mustamin, 2016: 107) dilihat dari segi bentuknya, konflik sosial mempunyai beberapa bentuk, antara lain sebagai berikut:

2.4.1 Konflik Pribadi

Menurut Ahmadi (dalam Mustamin, 2016: 117) konflik pribadi merupakan pertentangan yang terjadi secara perseorangan. Konflik pribadi merupakan konflik yang terjadi antar perorangan yang disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai suatu masalah. Masalah yang timbul dalam konflik ini adalah masalah sosial. Masalah sosial merupakan masalah yang ada di sekitar individu tersebut. Masalah ini dapat berakibat pada keberlangsungan sikap sosial individu tersebut terhadap masyarakat maupun individu lainnya. Tidak jarang terjadi bahwa dua orang sejak mulai berkenalan sudah saling tidak menyukai. Apabila permulaan yang buruk tadi dikembangkan, maka timbul rasa saling membenci. Masing-masing pihak berusaha memusnakan pihak lawannya. Berbagai makian diucapkan, penghinaan dilontarkan dan seterusnya sampai mungkin timbul suatu perkelahian fisik. Apabila perkelahian dapat dilerai untuk sementara, maka seolah-olah untuk seterusnya keduanya tidak mungkin berhadapan muka lagi.

(14)

Ahmadi (dalam Mustamin, 2016: 120) juga memaparkan bahwa konflik pribadi timbul atas dasar ketidaksukaan pada suatu hal yang ada pada diri lawannya. Ketidaksukaan ini menimbulkan terjadinya berbagai prasangka yang mungkin tidak baik. Prasangka nantinya akan menimbulkan kebencian. Kebencian tersebut akan membawa perdebatan antara dua pihak yang merasa bahwa dirinyalah yang paling benar satu sama lain. Perdebatan tidak akan bisa terselesaikan apabila salah satu dari pihak tidak dapat menurunkan egonya, karena ego merupakan sifat yang sulit dikontrol.

Selain itu, menurut Ahmadi (dalam Mustamin, 2016: 137) juga memaparkan bahwa konflik terjadi karena perbedaan pandangan antar individua tau masalah-masalah yang muncul. Pandangan seseorang dengan yang lainnya pastinya berbeda-beda menurut pemikiran masing-masing. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan konflik yang mempertahankan pemikirannya sendiri. Konflik pribadi sering terjadi pada kehidupan sehari-hari. Konflik pribadi juga timbul atas dasar keegoisan manusia itu sendiri. Keegoisan muncul dalam diri seseorang karena kecemburuan sosial antar masyarakat. Kecemburuan berimbas pada perilaku individu terhadap yang lain. Untuk mencegah kecemburuan ini perlu adanya dukungan lembaga masyarakat yang berperan sebagai penengah. Bukan hanya lembaga masyarakat saja melainkan perlunya menata pola pokir serta sikap emosi seseorang. Berpikir mengenai emosi merupakan bawaan sikap alam bawah sadar seorang individu. Setiap individu memiliki pengontrolan emosi yang berbeda-beda tergantung pada diri sendiri serta dorongan dari orang lain. Dorongan ini akan membantu seseorang untuk berpikir positif tanpa memikirkan hal negatif. Konflik pribadi dapat ditandai dengan adanya perbedaan pendapat dan prasangka.

(15)

2.4.2 Konflik Kelompok

Menurut Ahmadi (dalam Mustamin, 2016: 128) konflik kelompok merupakan pertentangan yang terjadi secara kelompok seperti pertentangan antara dua kelompok pelajar yang berbeda sekolah, antara kedua kesebelasan sepak bola dan lain-lain. Konflik kelompok biasanya dipicu oleh perbedaan kepentingan masing-masing kelompok. Konflik tersebut muncul atas dasar persaingan antar kelompok untuk mendapatkan pengakuan di masyarakat. Konflik juga dipicu oleh pemaksaan unsur-unsur tertentu, diskriminasi terhadap hak-hak kelompok, dan tidak adanya toleransi antar keberagaman.

Konflik kelompok dibagi menjadi beberapa bagian di antaranya konflik rasial, konflik antar kelas sosial, konflik politik, dan konflik budaya. Berikut pemaparan dari masing-masing bentuk konflik kelompok tersebut.

2.4.3 Konflik Rasial

Menurut Ahmadi (dalam Mustamin, 2016: 140) konflik yang terjadi di antara kelompok ras yang berbeda karena adanya kepentingan dan kebudayaan yang saling bertabrakan. Konflik ini terjadi karena perbedaan kepentingan antara satu orang dengan lainnya berbeda. Faktor budaya juga mempengaruhi konflik ini karena keberagaman budaya. Kepentingan ini terkait dengan tujuan masing-masing individu. Konflik ras sering terjadi di pedalaman karena minimnya pengetahuan yang menjadikan pemikiran sempit. Konflik juga menimbulkan perpecahan yang luas antar berbagai macam ras.

Hidup bersama antar ras bukan jaminan bahwa yang terlihat merupakan perdamaian. Kehidupan bersama seperti itu rawan timbulnya konflik antar ras karena pergeseran pemikiran. Terkadang yang terlihat baik belum tentu baik.

(16)

Begitu pula dengan ras ini, seperti di Indonesia yang kaya akan berbagai macam ras dan budaya. Sering pula terdengar berbagai pertengkaran baik hal kecil maupun besar. Pertengkaran ini berujung peperangan untuk merebutkan siapa yang layak untuk tetap tinggal dan siapa yang akan pergi. Tidak jarang peperangan ini menimbulkan korban jiwa dari kedua belah pihak. Percegahan masalah tersebut sering dilakukan tetapi tidak mengurangi permusuhan tersebut. Kunci dari perbedaan yaitu dengan menciptakan rasa toleransi antar sesame. Dimulai dari hal terkecil yang akan merubah perbedaan menjadi persatuan.

2.4.4 Konflik Antarkelas Sosial

Menurut Ahmadi (dalam Mustamin, 2016: 147) konflik yang muncul karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan di antara kelas-kelas yang ada di masyarakat. Perbedaan status sangat berpengaruh dalam munculnya konflik, ketimpangan sosial membuat masyarakat berselisih anatara kalangan atas dan bawah. Ketimpangan ini sering dimanfaatkan oleh kedua belah pihak.

Kalangan atas akan selalu menindas kalangan bawah untuk mencapai tujuannya. Lain halnya dengan kalangan bawah yang sering dimanfaatkan kalangan atas agar segala kebutuhannya dipenuhi. Konflik tersebut terjadi disebagian kalangan atas dan bawah. Perbedaan tersebut sering memicu konflik yang penyelesaiannya tanpa ujung. Konflik antar kelas sosial ini sering muncul di masyarakat, dominasi antara satu pihak membuat pihak yang lain merasa tertindas. Tidak ada yang pasti bagaimana kedua kelas sosial akan bersatu, karena semua tetap akan bergantung pada masing-masing pihak.

(17)

2.4.5 Konflik Politik

Menurut Ahmadi (dalam Mustamin, 2016: 157) konflik ini biasanya menyangkut golongan-golongan dalam satu masyarakat muapun antara negara-negara yang berdaulat. Konflik ini biasanya dilandasi oleh perbedaan kepentingan maupun ideologi kelompok politik. Perpecahan yang ditimbulkan juga berdampak pada masyarakat umum bukan hanya kalangan politik saja.

Politik tersebut menyangkut kepentingan kelompok yang besar, konflik ini juga berdampak pada perpecahan suatu kelompok. Perbedaan kepentingan juga berdampak pada konflik politik jika dilihat bukan hanya partai politik besar saja, melainkan pada hal yang terkecil juga dinamakan politik. Konflik politik terjadi guna merebutkan kekuasaan atau tahta yang lebih tinggi dari yang dimiliki suatu kelompok politik.

Secara sempit konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk memenangkan kebijakan umum dan pelaksanaannya, juga perilaku penguasa, beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan di antara partisipan politik. Selain itu konflik politik bukanlah konflik individu karena isu yang dipertentangkan dalam konflik politik adalah isu publik yang menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan satu orang tertentu.

Salah satu sumber konflik politik adalah adanya struktur yang terdiri dari penguasa politik dan sejumlah orang yang dikuasai. Struktur ini menyebabkan bahwa konflik politik yang utama adalah antara penguasa politik dan sejumlah orang yang menjadi obyek kekuasaan politik. Konflik yang hebat antara penguasa politik dengan rakyatnya sendiri karena ketidakmauan dan ketidakmampuan penguasa politik memahami dan membela kepentingan rakyatnya.

(18)

2.4.6 Konflik Budaya

Menurut Ahmadi (dalam Mustamin, 2016: 168) konflik budaya merupakan suatu pertentangan yang terjadi di dalam masyarakat akibat perbedaan budaya seperti pertentangan antara budaya timur dengan budaya barat. Perbedaan budaya juga menimbulkan adanya konflik. Perbedaan budaya muncul karena kurangnya toleransi atas keberagaman budaya yang terdapat pada masyarakat.

Konflik yang terjadi di lingkungan masyarakat dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat baik itu perubahan berupa perubahan nilai, perubahan norma, hingga dengan perubahan tingkah laku masyarakat. Perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak dapat terjadi begitu saja tanpa adanya faktor pendorong. Faktor tersebut meliputi adanya perubahan jumlah penduduk, penemuan-penemuan baru, serta adanya kebudayaan dari luar yang masuk. Konflik budaya sulit diselesaikan karena pihak-pihak yang berkonflik memiliki keyakinan yang berbeda. Konflik budaya semakin meningkan ketika perbedaan tersebut tercermin dalam politik.

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik

Konflik tidak akan muncul dengan sendirinya. Konflik bisa muncul karena ada dorongan baik dari dalam dirinya maupun yang ada dalam lingkungannya. Penyebab terjadinya konflik dalam diri manusia terjadi karena adanya faktor yang mendasarinya. Namun, terkadang faktor yang menyebabkan munculnya konflik berasal dari luar dirinya atau faktor eksternal. Penyebab timbulnya konflik dikarenakan kurangnya kontrol sosial pada masyarakat yang tidak diikuti dengan

(19)

tindakan para penegak hukum sehingga para pelanggar peraturan ini tidak akan merasakan ketakutan.

Faktor yang menyebabkan terjadinya konflik sosial sangat beragam dan telah dikemukakan oleh berbagai macam pendapat para ahli. Salah satu yang mengungkapkan mengenai faktor tersebut adalah Soekanto (2014: 99) di mana menurut beliau faktor yang mempengaruhi konflik terbagi menjadi tiga bagian yaitu perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan dan perubahan sosial.

2.5.1 Perbedaan Kebudayaan

Menurut Soekanto (2014: 99) sikap dan kepribadian seseorang dibentuk oleh keluarga dan lingkungan masyarakat, dan tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma yang sama. Apa yang dianggap baik oleh satu masyarakat belum tentu dianggap baik oleh masyarakat lainnya. Interaksi sosial atar individua tau kelompok dengan pola kebudayaan yang berlawanan dapat menimbulkan rasa amarah dan benci sehingga menyebabkan terjadinya konflik.

Pola kebudayaan akan mempengaruhi pola pemikiran serta pendirian dari kelompoknya ke kelompok lainnya. Kebudayaan yang beragam memicu terjadinya konflik dikarenakan berbagai pandangan antara satu dan lainnya. Apabila ada kebudayaan baru masyarakat akan mudah terpengaruh karena kurangnya pengetahuan. Seharusnya perbedaan bukan menjadi pemisah tetapi menjadi perekat toleransi. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa apa yang terlihat bersama bukan berarti tanpa pertikaian. Pertikaian dapat terjadi berawal dari hal terkecil. Meskipun terlihat kecil namun dampaknya sangat besar bagi semuanya. Sering terjadi kesalah pahaman mengenai perbedaan budaya sehingga menimbulkan konflik.

(20)

2.5.2 Perbedaan Kepentingan

Menurut Soekanto (2014: 99) setiap kelompok maupun individu mempunyai kepentingan yang berbeda pula. Perbedaan kepentingan itu dapat menimbulkan konflik di antara mereka. Kepentingan mempunyai sifat esensial yaitu kelangsungan hidup diri sendiri apabila individu mampu memenuhi kebutuhannya.

Kepentingan tersebut dapat dilihat baik secara fisik maupun batin. Misalnya saja secara batin dalam bentuk perhatian maupun kasih sayang. Sedangkan secara fisik bisa dalam bentuk membantu orang yang membutuhkan. Semua hal yang telah disebutkan tersebut merupakan kepentingan individu.

Hal ini berbeda dengan kepentingan kelompok yang harus mengacu pada ideologi kelompok tersebut. Setiap kepentingan juga mestinya memiliki dampak baik itu positif maupun negatif. Selain itu, perbedaan kepentingan menimbulkan cabang permasalahan lain seperti mementingkan salah satu pihak, berbeda tujuan dan perbedaan pandangan.

2.5.3 Perubahan Sosial

Menurut Soekanto (2014: 99) perubahan yang terlalu cepat yang terjadi pada suatu masyarakat dapat menggangu keseimbangan system nilai dan norma yang berlaku. Akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu dengan masyarakat. Perubahan tersebut terjadi secara lambat maupun cepat sehingga tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya.

Perubahan yang terjadi pada suatu lembaga kemasyarakatan akan diikuti oleh perubahan-perubahan pada lembaga sosial. Perubahan sosial yang terjadi secara cepat biasanya menimbulkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada dalam

(21)

proses penyesuaian diri. Perubahan sosial terjadi dalam bidang material dan immaterial karena keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Perubahan sosial terpengaruh oleh pola struktural serta proses sosialisasi antara anggota kelompok maupun anggota baru atau masyarakat pendatang.

2.6 Dampak Konflik

Suatu peristiwa yang terjadi pastinya akan menimbulkan dampak atau akibat. Dampak tersebut bersifat kecil maupun besar. Dari segi kecil adalah dirinya sendiri serta orang-orang disekitarnya, sedangkan dari segi besar adalah masyarakat luas yang tidak mengerti akan permasalahan tersebut namun diikut sertakan dalam permasalahan yang dihadapi. Dampak dari konflik dapat menimbulkan hal yang positif maupun negatif. Kedua hal tersebut tidak dapat dihindari dari suatu permasalahan atau konflik.

Menurut Soekanto (2014: 103) dampak sebuah konflik terbagi menjadi dua hal. Secara lebih jelas tidak membedakan dampak ke dalam hal positif maupun negatif. Dampak positif merupakan dampak baik yang ditimbulkan oleh konflik tersebut yang meliputi bertambahnya solidaritas in-group. Sedangkan dampak negatif merupakan dampak buruk yang timbul karena adanya konflik yang meliputi jatuhnya korban jiwa serta bermusuhan. Berikut pemaparan dampak positif dan dampak negatif.

2.6.1 Tambahnya Solidaritas In-group

Menurut Soekanto (2014: 103) bertambahnya solidaritas dalam suatu kelompok menandakan bahwa hal tersebut bersifat positif. Hal positif tersebut

(22)

membawa kerjasama yang kuat antara anggota kelompok. Kerjasama yang dibangun akan mempererat suatu hubungan. Konflik yang terjadi akan membuka pikiran seseorang atau kelompok untuk menentukan pilihan untuk terlibat dalam konflik atau tidak. Pilihan tersebut akan menentukan apakah seseorang itu memiliki solidaritas yang tinggi atau tidak.

Grup atau kelompok akan kokoh apabila anggotanya memiliki sikap solidaritas antar sesama. Terkadang anggota mempunyai ikatan yang kuat, apabila salah satu terlibat masalah maka anggota yang lain akan membantu sampai selesai. Ikatan tersebut terbangun seiring dengan kebersamaan yang telah dilalui bersama. Kebersamaan yang telah dilalui bersama menghasilkan perilaku dan pembentukan karakter yang positif sehingga berdampak baik terhadap kelompok yang berupa timbulnya jiwa sosial yang tinggi, pembelaan terhadap anggota dan memiliki jiwa yang besar dalam berkorban untuk sesama anggota kelompok.

2.6.2 Hancurnya Harta Benda dan Jatuhnya Korban

Menurut Soekanto (2014: 103) hal negatif yang terjadi saat menghadapi konflik yaitu hilangnya harta serta memakan korban jiwa. Konflik antar dua pihak tidak akan memikirkan benar atau salah. Mereka akan berkonflik sampai mendapatkan kedudukan atau status yang diinginkan. Berbagai macam cara dilakukan untuk mendapatkan apa yang diinginkan baik dengan sikap sportif maupun dengan kekerasan. Kekerasan saat berkonflik akan menimbulkan korban jiwa. Korban jiwa yang berkonflik tidak dapat dikatakan sedikit. Kelompok yang satu dan lainnya akan mempersiapkan sebuah strategi agar kelompoknya yang berjaya. Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan anggota yang meninggal.

(23)

Anggota yang berkonflik memiliki tekad untuk mempertahankan kelompoknya tanpa memikirkan dirinya sendiri.

Selain itu, dampak yang ditimbulkan tidak hanya korban yang berjatuhan dan hilangnya harta benda. Melainkan timbulnya rasa dendam yang berkepanjangan atas meninggalnya anggota keluarga mereka. Di samping itu, dampak yang timbul menjadikan dua kelompok saling bermusuhan dikarenakan salah satu dari mereka tidak ada yang mengalah dan menganggap bahwa dirinya selalu benar.

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan teknologi informasi yang semakin bersaing mendorong penggunaan dan pemanfaatan di berbagai aspek bidang, seperti pada perusahaan penyedia air bersih (PDAM)

Setelah dilakukan pengendalian secara mekanik terjadi penurunan populasi dan secara berangsur-angsur hama penggerek batang padi merah jambu musnah, sehingga

Demikian Pengumuman Penetapan Penyedia Barang hasil Pengadaaan Langsung Pengadaan Bahan Bangunan untuk Belanja Modal Sarana dan Prasarana Bidang Kehutanan Kegiatan

Untuk pembebanan pada model input beban yang digunakan adalah perbedaan gaya angkat dan gaya berat (superposisi) dengan kondisi batas sesuai dengan penjelasan sebelumnya, maka

Walaupun tengah persaingan banyak salon yang sangat ketat, usaha Beauty Salon masih mampu bertahan dengan meningkatkan kualitas dalam memuaskan pelanggan dengan mode/tren rambut

Posisi yang di sediakan adalah 40 posisi yakni dengan 8 posisi supir truk dan 32 posisi yang tidak sesuai dengan bidang, padahal dengan dana yang diajukan yakni senilai

Kami ingin mengetahui pelaksanaan proses pernbelajaran berbasis kompetensi pada mata diklat program produktif bidang keahlian Tata Busana, baik yang bersifat teori dzn

It is also observed that X13 (percentage of houseless population) and X26 (percentage of slum population) variables are positively closely correlate with total