BAB II DASAR TEORI
2.1 Pengertian Smart Antenna
Smart antenna merupakan susunan dari beberapa elemen antena yang
menggunakan pengolahan sinyal digital untuk mengoptimasi radiasi atau pola penerimaan secara adaptif dan otomatis [1]. Sistem seperti ini memungkinkan antena dapat mengubah pola radiasi atau penerimaan sesuai dengan tujuan sehingga meningkatkan kinerja sistem komunikasi wireless. Istilah smart antenna umumnya mengacu kepada antenna array yang dikombinasikan dengan pengolahan sinyal yang canggih, yang mana desain fisiknya dapat dimodifikasi dengan menambahkan beberapa elemen. Tujuan utama penggunaan teknologi pengolahan sinyal digital pada sistem smart antenna adalah untuk menentukan arah kedatangan sinyal serta besar weight untuk mengarahkan radiasi antena ke arah signal of interest (SOI) dan
null ke arah signal not interest (SNOI) [1].
Ide utama dari pengembangan smart antenna adalah memaksimumkan gain antena ke arah yang diinginkan dan pada saat yang sama membuat pola radiasi minimum ke arah sinyal yang mengganggu [1]. Adapun konfigurasi sistem smart
antenna secara umum ditunjukkan oleh Gambar 2.1.
Karena smart antenna dapat memfokuskan pancaran ke user yang diinginkan sementara interferensi dari sinyal yang tidak diinginkan ditolak, maka cakupan dari base station akan meningkat. Sistem smart antenna dibagi menjadi dua, yaitu switched beam system dan adaptive array system [1].
Gambar 2.1 Konfigurasi sistem smart antenna
2.2 Klasifikasi Smart Antenna
Secara umum, sistem smart antenna dibagi menjadi dua yaitu switched
beam system dan adaptive array system. Pada dasarnya, kedua jenis sistem smart antenna ini menggunakan prinsip yang sama dalam meningkatkan kualitas dan
kinerja dari sistem yaitu dengan meningkatkan gain sampai level maksimum ke arah dimana posisi pengguna berbeda sehingga meningkatkan level daya sinyal terhadap interferensi. Berikut uraian beberapa jenis smart antenna [1].
2.2.1 Switch Beam System
Switched beam system merupakan tipe smart antenna yang paling
sederhana. Switched beam system merupakan sistem yang menggunakan teknik yang paling sederhana dimana sistem ini hanya menggunakan fungsi dasar penyambungan antara beberapa antena direksional atau beberapa pola sorotan yang dihasilkan antena array. Sistem ini akan menyeleksi atau memilih salah satu beam atau pancaran yang memiliki daya keluaran yang paling besar [1]. Daripada membentuk pola radiasi yang direksional, switched beam system menggabungkan
output dari beberapa antena dengan tujuan untuk membentuk lebar sorotan yang
sempit (direksional).
Tujuan utama penggunaan switched beam system adalah untuk meningkatkan gain tergantung kepada lokasi dari user. Karena pancaran yang tetap,
user yang diinginkan mungkin tidak berada dalam cakupan dari pancaran utama
sehingga apabila terdapat sinyal pengganggu di sekitar main beam, maka desired
signal yang diterima oleh user lebih kecil dibandingkan dengan sinyal interferensi. Switched beam system terdiri dari beberapa pancaran tetap dengan arah yang
belum ditentukan, dimana pancaran yang akan dipilih adalah yang menerima sinyal dengan kualitas yang paling baik dari pengguna. Pancaran yang dihasilkan mempunyai lebar main lobe yang sempit dan side lobe yang kecil sehingga sinyal yang datang dari arah selain dari arah yang diinginkan akan diredam. Penggunaan lebar main lobe yang sempit akan mereduksi jumlah sumber interferensi yang tertangkap oleh pola radiasi antena. Pola radiasi switched beam system ditunjukkan oleh Gambar 2.2 [1].
2.2.2 Adaptive Array System
Teknologi adaptive array system menggunakan berbagai algoritma pengolahan sinyal untuk membedakan sinyal pengguna dengan sinyal interferensi berdasarkan arah kedatangan dari sinyal-sinyal tersebut. Sistem ini akan secara adaptif beradaptasi dengan lingkungan dimana sinyal berada. Berbeda dengan
switched beam system, adaptive array system akan menghasilkan pola pancaran
yang tidak tetap dimana pancaran yang dihasilkan dapat diarahkan sesuai dengan arah yang diinginkan [1].
Dengan menggunakan algoritma pengolahan sinyal digital (digital signal
processing), adaptive array system mampu secara efektif menemukan dan melacak
berbagai jenis sinyal secara cepat untuk mengurangi interferensi dan memaksimalkan penerimaan sinyal. Pola radiasi dari adaptive array system ditunjukkan oleh Gambar 2.3 [1].
Gambar 2.3 Pola radiasi adaptive array system
Karena kemampuannya untuk mengarahkan pancaran ke arah yang diinginkan serta menolak sinyal interferensi, kinerja adaptive array system lebih baik dibanding switched beam system. Adapun perbandingan coverage relatif dari
switched beam system, adaptive array system dan conventional sectoring
Adaptive array system lebih rumit jika dibandingkan dengan switched beam system karena sistem ini menggunakan algoritma adaptive beamforming yang
kompleks untuk menentukan arah kedatangan sinyal dengan cepat. Akan tetapi sistem ini membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan switched beam
system [1].
Gambar 2.4 Perbandingan coverage relatif dari sistem switched beam,
adaptive array dan conventional sectoring
2.3 Cara Kerja Smart Antenna
Smart antenna bekerja seperti berikut. Asumsikan bahwa ada seorang
pengguna mengirimkan sebuah sinyal ke base station. Kemudian masing-masing elemen dari susunan smart antenna pada base station akan menerima sinyal tersebut tetapi pada waktu yang berbeda dikarenakan jarak antara pengguna dan masing-masing elemen dari susunan berbeda yang satu dengan yang lain. Dengan menggunakan waktu tunda dan jarak antara elemen-elemen antena, lokasi dari pengguna tersebut dapat diperhitungkan [3]. Oleh karena itu, pengirim dapat mengirim sebuah sinyal ke lokasi yang tepat dari pengguna itu. Strategi ini dapat diaplikasikan untuk sistem dengan banyak pengguna juga. Sebuah penerima smart
Smart antenna mampu mengolah sinyal-sinyal yang diterima oleh susunan
antena atau yang dipancarkan oleh susunan antena dengan menggunakan susunan algoritma-algoritma yang sesuai untuk meningkatkan performa sistem wireless. Sebuah susunan antena terdiri dari seperangkat elemen-elemen antena terdistribusi (dipole, monopole, atau elemen-elemen antena directional) yang diatur dalam ukuran tertentu (linear, circular, atau rectangular grid) dimana jarak antara elemen dapat berbeda-beda. Sinyal-sinyal yang dikumpulkan oleh elemen-elemen individu digabungkan secara koheren yang meningkatkan kekuatan sinyal yang diinginkan dan mengurangi interferensi dari sinyal-sinyal yang lain. Sebab itu, sebuah smart antenna dapat dipandang sebagai kombinasi dari elemen-elemen antena regular atau conventional yang sinyal-sinyal pancar atau terimanya diproses menggunakan algoritma-algoritma adaptive beamforming [2].
.
Gambar 2.5 Diagram blok implementasi smart antenna
Gambar 2.5 menunjukkan sebuah implementasi umum dari sistem smart
antenna. Seperti yang ditunjukkan pada gambar, susunan-susunan antena memiliki input (masukan) atau output (keluaran) sebagai sinyal-sinyal RF dalam domain
analog. Sinyal-sinyal ini dilewatkan ke/dari front end analog Radio Frequency (RF) yang biasanya terdiri dari pengeras bunyi (suara) yang rendah, mixer (penggabung), dan penyaring analog. Pada mode menerima, sinyal-sinyal RF diubah ke domain digital dengan menggunakan Analog to Dogital Converters (ADCs) dan dalam
mode memancarkan, sinyal-sinyal digital baseband diubah ke RF dengan menggunakan Digital to Analog Converters (DACs). Perubahan ke bawah dari RF ke baseband atau perubahan ke atas dari baseband ke RF dapat melibatkan penggunaan sinyal-sinyal IF. Sinyal-sinyal baseband yang diterima dari masing-masing antena kemudian digabungkan menggunakan algoritma-algoritma smart pada bagian pengolahan digital. Karena itu, masing-masing elemen antena mempunyai sebuah rantai RF mulai dari elemen antena ke front end RF ke konversi digital untuk penerima dan sebaliknya untuk pengirim. Bagian pengolahan digital dapat diimplementasikan pada sebuah mikroprosesor atau sebuah DSP (Digital
Signal Processor) atau FPGA (Field Programmable Gate Array). Oleh karena itu,
implementasi algoritma smart biasanya adalah sebuah kode perangkat lunak (software) jika tidak diimplementasikan dalam sebuah ASIC (Application Specific
Integrated Circuit) atau FPGA.
2.4 Antenna Array
Salah satu cara untuk meningkatkan direktivitas antena adalah dengan memperbesar ukuran fisik antena. Adapun cara lainya adalah yaitu dengan mengubah konfigurasi antena tanpa memperbesar ukurannya. Dalam beberapa penggunaan sangat penting untuk mendesain sebuah antena dengan direktivitas yang baik (gain yang tinggi) untuk kebutuhan telekomunikasi jarak jauh. Salah satu cara efektif untuk membentuk elemen peradiasi secara geometris dan rangkaian listrik tanpa memperbesar ukuran masing-masing elemen yaitu dengan menggunakan antenna array. Susunan dari beberapa elemen antena disebut sebagai
Adapun tujuan membuat susunan antena, yaitu untuk mendapatkan diagram arah dengan pola tertentu (beamforming) dan mendapatkan diagram arah dengan pengendalian arah tertentu (beamsteering). Adapun konfigurasi dari sebuah antena
array linier sepanjang sumbu x ditunjukkan oleh Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Antena array linier
Medan listrik total dari sebuah array ditentukan oleh penjumlahan vektor medan listrik dari masing-masing elemen sesuai Persamaan 2.1 [3].
𝐸 = 𝐸1+ 𝐸2 = 𝑎̅𝜃𝑗ƞ𝑘𝐼0𝑙 4𝜋 { 𝑒−𝑗[𝑘𝑟1− 𝛽 2⁄ ] 𝑟1 𝑐𝑜𝑠𝜃1+ 𝑒−𝑗[𝑘𝑟2+ 𝛽 2⁄ ] 𝑟2 𝑐𝑜𝑠𝜃2} (2.1)
dimana 𝛽 adalah beda fasa antar elemen. Medan listrik sebuah antenna
array dapat berbentuk 2 dimensi atau 3 dimensi. Untuk array yang sama, ada
beberapa degrees of freedom yang dapat digunakan untuk membentuk pola sorotan sebuah antena, yaitu [3] :
1. Konfigurasi array secara geometris (linear, circular, planar dan spherical). 2. Amplitude excitation dari tiap elemen.
3. Phase excitation dari tiap elemen. 4. Pancaran relatif dari tiap elemen.
2.5 Linear Array
Linear array merupakan konfigurasi antena susun (array) yang paling
sederhana. Adapun contoh linear array yaitu dua elemen array dan N-elemen
linear array. Berikut uraian beberapa jenis linear array.
2.5.1 Dua Elemen Array
Adapun bentuk antena array yang paling mudah untuk dianalisis yaitu antena array dengan dua elemen array. Gambar 2.7 menunjukkan antena dipole yang disusun secara vertikal sepanjang sumbu y dengan jarak sebesar d [3].
Gambar 2.7 Dua elemen array
Field point terletak pada jarak r dari titik awal (origin) dimana 𝑟 ≫ 𝑑. Misalkan vektor r, r1, dan r2 paralel antara satu sama lainnya yang diberikan oleh
Persamaan 2.2 dan Persamaan 2.3. Maka, persamaan untuk medan listrik total diberikan oleh Persamaan 2.4 [3].
𝑟1 ≈ 𝑟 + 𝑑 2sin 𝜃 (2.2) 𝑟2 ≈ 𝑟 − 𝑑 2sin 𝜃 (2.3) 𝐸0 = 𝑗𝑘ƞ𝐼0𝐿𝑒−𝑗𝑘𝑟 4𝜋𝑟 sin 𝜃 . (2 cos ( 𝑘𝑑 sin 𝜃+ 𝛿 2 )) (2.4) dimana :
𝛿 = beda fasa antar dua elemen yang berdekatan L = panjang antena
𝜃 = sudut yang diukur dari sumbu z pada spherical coordinates d = jarak antar elemen
2.5.2 N – Elemen Linear Array
Adapun contoh linear array yang paling umum yaitu linear array dengan N elemen array. Misalkan tiap elemen mempunyai jarak antar elemen yang sama dan amplituda yang sama. Gambar 2.8 menunjukkan N – elemen linear array yang terdiri atas beberapa elemen isotropis [3].
Gambar 2.8 N – elemen linear array
Misalkan pada kondisi medan jauh dimana 𝑟 ≫ 𝑑, maka array factor dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan 2.5 [3].
𝐴𝐹 = 1 + 𝑒𝑗(𝑘𝑑 sin 𝜃+ 𝛿)+ 𝑒𝑗2(𝑘𝑑 sin 𝜃+ 𝛿)+ ⋯ . . + 𝑒𝑗(𝑁−1)(𝑘𝑑 sin 𝜃+ 𝛿) (2.5)
dimana 𝛿 adalah beda fasa antar elemen. Karena elemen isotropis mempunyai amplituda yang tetap, maka setiap perilaku dari array ditentukan oleh beda fasa antar elemen. Beda fasa tersebut sebanding dengan jarak antar elemen dalam panjang gelombang.
2.6 Circular Array dan Planar Array
Adapun contoh konfigurasi antena array lainnya yang dapat digunakan untuk membentuk pola sorotan antena yaitu uniform circular dan uniform planar
circular array. Gambar 2.9 menunjukkan konfigurasi uniform circular array dan
Gambar 2.10 menunjukkan konfigurasi uniform planar circular array [3].
Gambar 2.9 Uniform circular array
2.7 Konsep Adaptive Array
Adaptive array telah menjadi solusi terbaik untuk beberapa masalah
penerimaan yang umumnya melibatkan deteksi sinyal dan estimasi kedatangan sinyal. Alasan yang mendasari adalah konsep ini menawarkan direktivitas dan pembatasan sensitivitas, serta gain yang besar dan beamwidth yang lebih sempit. Adapun beberapa keuntungan dari penggunaan adaptive array, antara lain [3]: 1. Gain yang tinggi. Penambahan jumlah elemen akan meningkatkan gain.
2. Electronic beam scanning. Dengan menggunakan phase shifter pada tiap
elemen array, maka beam dapat digeser tanpa pergerakan mekanis.
3. Side lobe yang lebih kecil. Jika desired signal ditangkap oleh main lobe
sedangkan sinyal interferensi ditangkap oleh side lobe, maka pengecilan
side lobe secara relatif terhadap main lobe akan meningkatkan signal to interference ratio (SIR).
4. Multiple beams. Pencatuan pada array memungkinkan multiple main beam
secara bersamaan.
5. Adaptive nulling.
Sistem adaptive array meningkatkan penerimaan desired signal dalam komunikasi radar, sonar, seismik dan komunikasi wireless. Sistem ini secara otomatis dapat mendeteksi sinyal penganggu dan menekannya sehingga secara simultan meningkatkan penerimaan sinyal [3].
2.8 Alasan Penggunaan Smart Antenna
Masalah yang dihadapi para penyedia jasa telekomunikasi menyebabkan
1. Terbatasnya spektrum yang tersedia menyebabkan keterbatasan kapasitas. 2. Lingkungan propagasi gelombang radio dan mobilitas dari user
meningkatkan fading dan delay. 3. Terbatasnya umur perangkat mobile.
Sebagai tambahan, sistem komunikasi wireless dan seluler harus bisa mengatasi interferensi yang diakibatkan oleh frequency reuse. Adapun penyebab penurunan kualitas sistem komunikasi ditunjukkan pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Penyebab penurunan kualitas sistem komunikasi
Adapun penyebab penurunan kualitas suatu sistem komunikasi disebabkan oleh dua hal. Yang pertama adalah multipath fading, yang disebabkan oleh banyak nya lintasan yang ditempuh oleh sinyal yang dipancarkan untuk mencapai antena penerima, sehingga sinyal yang diterima oleh antena penerima akan melemah [1].
Penyebab yang kedua adalah delay spread yang diartikan sebagai penundaan atau keterlambatan penerimaan sinyal pada receiver akibat multipath. Ketika lebarnya penundaan melebihi kira-kira 10 persen dari durasi simbol, gangguan intersimbol yang signifikan dapat terjadi, sehingga membatasi kecepatan
data maksimum. Kelemahan yang ketiga adalah co-channel interference. Sistem selular membagi kanal-kanal frekuensi yang tersedia kedalam kumpulan-kumpulan kanal, menggunakan satu kumpulan kanal tiap sel, dengan penggunaan ulang frekuensi. Inilah yang menyebabkan co-channel interference. Untuk level gangguan co-channel yang ditentukan, kapasitas dapat dinaikkan dengan menyusutkan ukuran sel, tetapi dengan penambahan base station [1].
2.9 Propagasi Sinyal
Sampai saat ini, masalah kapasitas selalu dikaitkan dengan co-channel
interference dan keterbatasan kanal akibat pertambahan jumlah user [4]. Selain itu, multipath fading dan delay spread juga berperan dalam pengurangan kapasitas
sistem. Karena kemampuan smart antenna untuk beradaptasi dengan lingkungan, maka delay spread dan multipath fading dapat berkurang sehingga meningkatkan kapasitas.
Sinyal yang dipancarkan oleh perangkat mobile user bersifat
omnidirectional. Akibatnya, sinyal dapat terpantul oleh benda-benda seperti
gedung sehingga akan menyebabkan multiple delay di sisi penerima. Multiple delay ini tidak sesuai dalam fasa karena perbedaan panjang lintasan yang diukur dari letak
base station. Hal ini disebut sebagai multipath fading yang ditunjukkan pada
Gambar 2.12 [4].
Salah satu jenis fading adalah Rayleigh fading atau fast fading. Fading dapat berubah seiring waktu dan menyebabkan timbulnya fade zone. Gambar 2.13 menunjukkan fade zone yang terdapat dalam multipath environment [4]. Bagian yang lebih terang menunjukkan fade zone dalam lingkungan propagasi sinyal.
Gambar 2.12 Multipath environment
Gambar 2.13 Fade zone
Fade zone biasanya kecil dan selalu berubah setiap saat selama sinyal yang
diterima mengalami atenuasi (pelemahan) akibat perpindahan dari user. Area yang lebih terang menunjukkan fade zone dalam multipath environment.
2.10 Kelebihan dan Kekurangan Sistem Smart Antenna
Adapun kelebihan dari sistem smart antenna adalah sebagai berikut [4]: 1. Meningkatkan coverage
Dengan memfokuskan radiasi, maka cakupan dari base station akan semakin jauh. Sistem switched beam dapat meningkatkan cakupan base station sampai 200 persen, tergantung pada kondisi lingkungan dan perangkat yang digunakan.
2. Pengurangan interferensi co-channel
Smart antenna memiliki kemampuan agar dapat fokus memancarkan energi
dalam bentuk pola radiasi hanya ke arah yang diinginkan pengguna dan memiliki pola radiasi nulls ke arah yang tidak diinginkan. Oleh karena itu interferensi co-channel dapat diabaikan.
3. Peningkatan kapasitas.
Secara umum, smart antenna akan meningkatkan level daya sinyal dan mengurangi interferensi, sehingga meningkatkan SIR (signal to interference
ratio).
4. Tingkat keamanan yang tinggi.
Smart antenna membuat penyusup sult untuk mendapatkan koneksi karena
harus diposisikan dalam arah yang sama seperti yang terlihat oleh base
station.
5. Kompatibilitas
Teknologi smart antenna dapat diterapkan pada berbagai teknik multiple
access seperti pada SDMA (space division multiple access). Hal ini hampir
sesuai dengan semua metode modulasi dan bandwidth atau pita frekuensi. Selain memiliki kelebihan, smart antenna juga mempunyai kekurangan. Adapun kekurangan dari penggunaan smart antenna, yaitu karena adaptive array
station harus dilengkapi dengan teknologi pengolahan sinyal digital yang canggih.
Hal ini tentunya akan meningkatkan biaya.
2.11 Beamforming
Antenna array yang mengarahkan sorotan ke arah yang diinginkan dengan
cara menggeser fasa tiap elemen disebut juga sebagai phased array antenna [4]. Pola sorotan akan digeser oleh phase shifter dan biasanya digunakan pada berbagai frekuensi gelombang radio. Metode ini disebut juga electronic beamsteering karena adanya pergeseran fasa pada tiap elemen antena.
Phase array antenna modern sering disebut juga sebagai smart antena
dimana arah pancarannya dibentuk sesuai dengan arah yang diinginkan. Smart antena disebut juga sebagai digital beamformed (DBF). Karena menggunakan teknologi ini menggunakan pengolahan sinyal digital, maka proses pembentukan
beam disebut juga sebagai digital beamforming.
Pola radiasi dari antena ini akan dikendalikan oleh berbagai algoritma pengolahan sinyal tergantung kepada kriteria yang diinginkan. Adapun kriteria tersebut antara lain:
1. Maximizing signal to interference ratio (SIR).
SIR merupakan perbandingan antara sinyal yang diterima dengan sinyal interferensi. Semakin besar sinyal yang diterima, maka SIR akan semakin besar dan sebaliknya.
2. Minimizing mean square error (MSE)
Salah satu cara ntuk mengoptimasi array weight adalah dengan memperkecil nilai MSE antara array output dengan sinyal yang diterma. Dengan cara ini, pola
sorotan dapat diatur ke arah null dari sinyal interfereni sehingga akan meningkatkan perbandingan level sinyal terhadap interferensi.
Ada dua jenis beamforming, yaitu analog beamforming dan digital
beamforming. Adapun keuntungan digital beamforming dibandingkan analog beamforming, yaitu pergeseran fasa antar elemen dan bobot array dapat dilakukan
secara cepat dibandingkan analog beamforming. Adapun konfigurasi analog
beamforming dan digital beamforming ditunjukkan pada Gambar 2.14 [4].
Gambar 2.14 Konfigurasi beamforming : (a) analog beamforming (b) digital beamforming
2.12 Adaptive Beamforming
Adaptive beamforming adalah proses pembentukan pola sorotan adaptif
dengan menggunakan algoritma pengolahan sinyal digital. Adaptive beamforming merupakan teknik yang memanfaatkan array dari antena untuk mencapai penerimaan maksimum pada arah tertentu dengan memperkirakan kedatangan sinyal pada arah yang diinginkan dan menolak sinyal dari arah yang lain [5]. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan variasi pada bobot dari sensor yang ada pada
Adaptive beamforming dapat dilakukan dengan menggeser fasa dari tiap
elemn array sehingga sinyal yang dikirimkan atau diterima dari tiap elemen akan berbeda fasa dalam arah yang berbeda. Fasa antar elemen (interelement phase) dan amplitudo diatur untuk mengoptimalkan penerimaan sinyal [5].
Dalam beamforming adaptif, berat optimum secara iterasi dihitung dengan algoritma yang kompleks dengan kriteria yang berbeda. Ada dua tipe algoritma yang digunakan untuk adaptive beamforming, yaitu [6]:
1. Non-blind adaptive algorithm, yaitu algoritma yang menggunakan sinyal referensi untuk memodifikasi bobot array secara iteratif. Adapun contoh algoritma ini, yaitu algoritma Least Mean Square (LMS).
2. Blind adaptive algorithm, yaitu algoritma yang tidak memerlukan sinyal referensi untuk memodifikasi bobot array. Adapun contoh algoritma ini, yaitu Constant Modulus Algorithm (CMA).
2.12.1 Non- Blind Adaptive Algorithm
Non-blind adaptive algorithms adalah algoritma yang menggunakan sinyal
referensi (desired signal) untuk memodifikasi bobot array secara iterasi. Non-blind
adaptive algorithm memerlukan training sequence dari desired signal d(k) untuk
mengekstrak informasi dari desired user dari lingkungan sekitar. Adapun contoh
non-blind adaptive algorithm adalah algoritma LMS.
Algoritma Least Mean Square diperkenalkan oleh Widrow dan Hoff pada tahun 1959. Algoritma LMS menggunakan perkiraan gradient vector dari data yang ada. Berbeda dengan algoritma lainnya, algoritma LMS relatif sederhana dan tidak membutuhkan perhitungan fungsi korelasi. Misalkan Uniform Linear Array (ULA) dengan N elemen isotropis, maka bagian integral dari sistem adaptive beamforming
ini ditunjukkan oleh Gambar 2.15 [5]. Adapun output array antena y(t) diberikan oleh Persamaan 2.6 [5].
𝑦(𝑡) = 𝑠(𝑡)𝑎(Ѳ0) + ∑𝑁 𝑢𝑖(𝑡)𝑎(Ѳ𝑖) + 𝑛(𝑡)
𝑖=1 (2.6)
Gambar 2.15 Sistem adaptive beamforming algoritma LMS
S(t) menunjukkan kedatangan sinyal yang diinginkan pada sudut Ѳ0 dan 𝑢𝑖(𝑡) menunjukkan sinyal intererensi dengan sudut datang sebesar Ѳ𝑖 secara
berturut. 𝑎(Ѳ0) dan 𝑎(Ѳ𝑖) menunjukkan steering vector untuk sinyal yang
diinginkan dan sinyal interferensi. Besar weight vector diberikan oleh Persaman 2.7 [5].
𝑤(𝑛 + 1) = 𝑤(𝑛) + 1
2𝜇[−∇(𝐸{𝑒
2(𝑛)})] (2.7)
dengan 𝜇 adalah parameter step-size dimana (0 < µ < 1
𝜆𝑚𝑎𝑥). 𝜆𝑚𝑎𝑥 merupakan eigenvalue dari matriks korelasi R dan 𝑒2(𝑛) merupakan mean square error antara
output y(n) dan desired signal d(n) yang diberikan oleh Persamaan 2.8. Gradient vector dapat dihitung dengan Persamaan 2.9. Algoritma LMS menyederhanakan
kovarians matriks 𝑟 dan 𝑅 dalam bentuk Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 serta Persamaan untuk weight vector w(n + 1) ditunjukkan oleh Persamaan 2.12.
𝑒2(𝑛) = [𝑑∗(𝑛) − 𝑤ℎ𝑥(𝑛)]2 (2.8) ∇𝑤 𝐸({𝑒2(𝑛)}) = −2𝑟 + 2𝑅 𝑤(𝑛) (2.9) 𝑅(𝑛) = 𝑥(𝑛)𝑥ℎ(𝑛) (2.10) 𝑟(𝑛) = 𝑑∗(𝑛)𝑥(𝑛) (2.11) 𝑤(𝑛 + 1) = 𝑤(𝑛) + 𝜇𝑥(𝑛)𝑒2(𝑛) (2.12)
Mean square error, 𝑒2(n) merupakan salah satu kriteria adaptive
beamforming. Semakin kecil nilai MSE antara desired signal dan output, maka pola
lebar sorotan dapat diatur ke null sehingga akan meningkatkan level SIR (signal to
interference ratio).
2.12.2 Blind Adaptive Algorithm
Blind adaptive algorithm tidak memerlukan training sequence dari sinyal
referensi untuk menentukan besar weight vector yang diperlukan. Adapun contoh
blind adaptive algorithm, yaitu algoritma CMA. Beberapa adaptive algorithm
bertujuan untuk mengurangi error antara sinyal referensi dan array output. Dikatakan constant modulus karena sinyal yang ideal mempunyai amplituda yang konstan dalam berbagai kondisi lingkungan sinyal [7].
Constant modulus algorithm diperkenalkan oleh Dominique Godard. Ia
menggunakan fungsi dengan notasi p, sehingga optimum weight diberikan oleh Persamaan 2.13 [8].
𝐽𝐶𝑀𝐴 = 𝐸 [(|𝑦(𝑘)|2− 𝑅
dengan p adalah integer positif dan q juga merupakan integer positif . Rp dan error berturut-turut diberikan oleh Persamaan 2.14 [6] dan Persamaan 2.15 [6], dimana s(k) adalah zero memory estimate dari y(k).
𝑅𝑝 =
𝐸[|𝑠(𝑘)|2𝑝]
𝐸[|𝑠(𝑘)|𝑝] (2.14)
𝑒(𝑘) = 𝑦(𝑘)|𝑦(𝑘)|𝑝−2(𝑅
𝑝− |𝑦(𝑘)|𝑝) (2.15)
Adapun weight update dari algoritma CMA ditunjukkan oleh Persamaan 2.16 dimana µ adalah variabel step size.