• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

85

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan gel bioetanol. Beberapa jenis bahan pengental tersebut adalah Natrium Alginat, Guar Gum, Karagenan dan CMC. Sampel awal dibuat sebanyak empat formula dengan menggunakan bahan pengental yang berbeda dengan masing-masing sampel bervolume 100 ml. konsentrasi bahan pengental yang digunakan adalah 0,75% (b/v) atau 0,75 gram bahan pengental dalam 100 ml larutan gel bioetanol, sedangkan konsentrasi etanol yang digunakan adalah 70% (v/v) dengan penambahan air (aquades).

Konsentrasi 0,75% (b/v) CMC digunakan dalam penelitian tahap satu ini karena konsentrasi tersebut adalah konsentrasi umum yang digunakan pada makanan. Konsentrasi CMC yang biasa diaplikasikan ke dalam makanan sebagai penstabil atau pengental adalah antara 0,75% sampai 1,1% (Murray, 2000). Pada Gambar 11 diperlihatkan penampakan gel bioetanol dengan menggunakan beberapa bahan pengental.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 11. Penampakan gel bioetanol dengan menggunakan beberapa bahan pengental, (a) guar gum, (b) Natrium Alginat, (c) Karagenan, dan (d) CMC.

(2)

86 Dari hasil pembuatan gel bioetanol dengan guar gum (a) dan natrium alginat (b) pada gambar diatas dapat dilihat bahwa terjadi pemisahan fase cair dan padat gel bioetanol. Hal ini dapat terjadi dikarenakan perbedaan kepolaran antara bahan pengental tersebut dengan bioetanol. Guar gum dan natrium alginat pada umumnya digunakan sebagai bahan pengental untuk makanan yang berbasis air, dimana air merupakan senyawa yang polar sempurna. Menurut Nussinovitch (1997), alginat dapat berbentuk asam alginat ataupun kalsium alginat yang garamnya tidak larut dalam air pada konsentrasi tertentu. Lebih lanjut menurut Nussinovitch (1997), pelarut yang sangat baik bagi guar gum adalah air, sedangkan pelarut organik akan menghambat kelarutannya. Berbeda dengan air, etanol memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dari air karena pada molekul etanol terdapat rantai alkil yang bersifat non polar dan juga terdapat gugus hidroksi yang bersifat polar (O’Leary, 1976), sehingga bioetanol bersifat semi polar. Bahan pengental seperti guar gum dan natrium alginat tidak dapat menyatu dengan bioetanol meskipun pada awal proses pembuatan telah dicampur terlebih dahulu dengan air (aquades).

Untuk gel bioetanol dengan menggunakan karagenan dan CMC dapat menghasilkan bentuk yang homogen. Hasil pencampuran antara bioetanol dengan karagenan dan CMC dapat meningkatkan kekentalan larutan. Namun dari penampakan dapat dilihat bahwa gel bioetanol dengan CMC menghasilkan gel yang lebih jernih dan transparan dibandingkan gel bioetanol dengan karagenan. Menurut Glicksman (1969), pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan gliserin memperlambat kelarutan dari karagenan sehingga kelarutannya menjadi tidak sempurna yang kemudian akan mencegah terjadinya hidrasi (penyerapan air oleh molekul polimer) dan pelarutan karagenan. Selain itu, pembuatan gel bioetanol dengan menggunakan karagenan harus menggunakan air panas dengan suhu diatas 75oC (Glicksman, 1969).

Berbeda dengan karagenan, pembuatan gel bioetanol dengan CMC dapat dilakukan dengan menggunakan air dingin karena CMC juga dapat larut di air dingin (Murray, 2000). Berdasarkan hal tersebut, pembuatan gel bioetanol dengan menggunakan air dingin dapat mengurangi penguapan bioetanol pada saat proses produksinya sehingga kehilangan etanol akibat panas pada saat pembuatan dapat

(3)

87 dikurangi.

Selain itu, sampel gel bioetanol dengan menggunakan karagenan cenderung mengalami sineresis pada saat penyimpanan, sedangkan gel bioetanol dengan menggunakan CMC semakin baik konsistensinya selama penyimpanan. Hal ini karena bentuk larutan CMC menghasilkan gel yang bersifat pseudoplastis, yaitu bentuk jernih yang akan berkurang viskositasnya jika mengalami gaya gunting (shear forces), namun akan meningkat viskositas jika didiamkan dan disimpan tanpa pengadukan terus menerus (Nevell dan Zerogian, 1985). Dengan demikian bahan pengental yang tepat digunakan untuk formulasi gel bioetanol adalah CMC dan akan digunakan untuk pengujian selanjutnya.

B. PENENTUAN KONSENTRASI BIOETANOL

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, bahan pengental yang digunakan dalam penelitian utama adalah Carboxymethylcellulose (CMC). Tahap penentuan konsentrasi bioetanol bertujuan untuk mengetahui rentang konsentrasi bioetanol yang dapat melarutkan seluruh CMC yang ditambahkan serta menghasilkan gel bioetanol yang homogen.. Penentuan konsentrasi bioetanol dilakukan dengan dua perlakuan, yaitu perlakuan konsentrasi CMC (0,75% dan 1%) dan konsentrasi bioetanol (60%, 70% dan 80%).

Pelarutan CMC terhadap campuran bioetanol dan air tidak dapat dilakukan secara langsung. CMC tidak dapat langsung larut dalam pelarut organik sehingga harus dilarutkan terlebih dahulu kedalam air dan selanjutnya pelarut organik dapat ditambahkan (Nevell dan Zerogian, 1985). Dalam campuran gel bioetanol, CMC akan berikatan terlebih dahulu dengan air. Setelah terbentuk campuran CMC dan air yang homogen, air akan berikatan dengan bioetanol yang ditambahkan pada saat terakhir pencampuran. Selulosa eter, seperti halnya CMC meningkatkan viskositas larutan melalui ikatan hidrogen dengan molekul air. Ikatan antara rantai tulang punggung CMC dan molekul air mengakibatkan rantai polimer CMC akan memanjang dan menyebabkan peningkatan viskositas larutan (Van Arkel dalam Kennedy et al., 1990).

(4)

88 yang telah homogen dan meningkat viskositasnya. Molekul CMC akan berikatan secara langsung dengan air melalui ikatan hidrogen, sedangkan gugus hidroksi bioetanol yang bersifat polar akan diikat oleh molekul air. Ikatan hidrogen antara molekul air dan etanol dapat dilihat pada Gambar 12.

( Sumber : Harper et al., 1977) Gambar 12. Ikatan hidrogen antara molekul air dan molekul bioetanol.

CMC dapat larut dalam campuran air dan bioetanol pada proporsi tertentu sehingga besarnya konsentrasi bioetanol dan konsentrasi air sangat berpengaruh terhadap kelarutan CMC dalam pembuatan gel bioetanol. CMC merupakan bahan pengental yang umumnya digunakan dalam air, namun menurut Desmarais (1973), CMC mempunyai karakteristik yang partly soluble (larut sebagian) pada larutan etanol dan air. Jika konsentrasi bioetanol yang digunakan telalu banyak dan melebihi kemampuan CMC dalam melarutkan dan mengentalkan, maka konsistensi gel bioetanol yang dihasilkan akan terpisah menjadi dua bagian.

Selain berpengaruh terhadap kelarutan gel bioetanol, konsentrasi air dan bioetanol di dalam campuran juga mempengaruhi penampakan dan konsistensi gel bioetanol. Penampakan gel bioetanol dengan beberapa perlakuan konsentrasi bioetanol diperlihatkan pada Gambar 13 dan Gambar 14.

(5)

89 (a) (b) (c)

Gambar 13. Penampakan gel bioetanol dengan konsentrasi CMC 0,75% (b/v) dengan beberapa konsentrasi bioetanol (a) 80% (v/v), (b) 70% (v/v), dan (c) 60% (v/v)

(a) (b) (c)

Gambar 14. Penampakan gel bioetanol dengan konsentrasi CMC 1% (b/v) dengan beberapa konsentrasi bioetanol (a) 80% (v/v), (b) 70% (v/v) dan (c) 60% (v/v)

Pada hasil yang terlihat pada Gambar 13 dan Gambar 14, kecenderungan penampakan dan konsistensi gel bioetanol konsentrasi CMC 0,75% dan 1% pada beberapa konsentrasi bioetanol relatif sama. Pada konsentrasi bioetanol 80%, penampakan gel bioetanol mempunyai dua fase yang terpisah baik pada konsentrasi CMC 0,75% maupun 1% . Hal tersebut dapat terjadi karena CMC

(6)

90 tidak dapat mengikat semua bioetanol dengan konsentrasi yang tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, bioetanol pada konsentrasi 80% tidak dapat melarutkan atau mengikat seluruh konsentrasi CMC yang ada karena konsentrasi gugus hidrofobik dari bioetanol telah melampaui konsentrasi optimum sehingga larutan CMC dan air mengalami titik jenuh dan tidak lagi dapat mengikat bioetanol. Gel bioetanol yang relatif homogen terdapat pada konsentrasi 70% dan 60%. Konsentrasi bioetanol sebesar 70% dan 60% akan digunakan untuk pembuatan gel bioetanol dan analisis selanjutnya. Berdasarkan hasil tersebut, maka formulasi dan perlakuan gel bioetanol dilakukan pada konsentrasi bioetanol lebih rendah dari 80%, yaitu pada rentang 55-75%.

C. PENGARUH KONSENTRASI BAHAN PENGENTAL DAN BIOETANOL TERHADAP VISKOSITAS, RESIDU PEMBAKARAN DAN NILAI pH.

Setelah didapat konsentrasi bioetanol yang dapat digunakan untuk pembuatan gel bioetanol, taraf perlakuan diperbanyak dengan kombinasi acak lengkap dan kemudian dilakukan pengujian viskositas larutan gel bioetanol, uji pembakaran serta pengujian derajat keasaman untuk mengetahui karakteristik dan hubungan antara konsentrasi bahan pengental dan konsentrasi bioetanol terhadap viskositas, residu pembakaran dan derajat keasaman (pH).

Terdapat tiga taraf dalam perlakuan konsentrasi bahan yaitu 0,75%; 1% dan 1,25%, sedangkan untuk perlakukan konsentrasi bioetanol juga terdapat tiga taraf, yaitu 55%, 65% dan 75%. Penjelasan dari masing-masing pengujian tersebut di atas adalah sebagai berikut.

1. Uji viskositas

Viskositas gel bioetanol perlu diukur untuk mengetahui kekentalan dari gel bioetanol. Viskositas dari gel bioetanol mempengaruhi sifat fisiknya yang dalam aplikasinya sangat menentukan cara penggunaan maupun pengemasan dan transportasinya. Peningkatan viskositas larutan juga ditujukan untuk meningkatkan tegangan permukaan agar dalam aplikasinya sebagai bahan bakar

(7)

91 rumah tangga, gel bioetanol dapat digunakan secara lebih aman.

Menurut Robinson (2006), nilai viskositas dari gel bioetanol berpengaruh kepada mudah tidaknya bahan bakar tersebut untuk tumpah ataupun menguap selama penyimpanan dan pembakaran. Namun viskositas juga berpengaruh terhadap pembakaran bahan bakar di dalam wadah pembakaran pada kompor. Tabel 4 dan diagram pada Gambar 15 memperlihatkan nilai viskositas gel bioetanol.

Tabel 4. Nilai Viskositas Gel Bioetanol

No. Sampel Viskositas (cp) Standar Deviasi

1 CMC 0,75%-Bioetanol 55% 238.34 30.64 2 CMC 0,75% - Bioetanol 65% 1730.00 42.43 3 CMC 0,75% - Bioetanol 75% 1570.00 202.70 4 CMC 1,00% - Bioetanol 55% 1091.25 77.19 5 CMC 1,00% - Bioetanol 65% 4958.34 1048.87 6 CMC 1,00% - Bioetanol 75% 4333.33 141.42 7 CMC 1,25%-Bioetanol 55% 3600.00 1367.08 8 CMC 1,25% - Bioetanol 65% 8816.67 824.96 9 CMC 1,25% - Bioetanol 75% 1856.67 956.95

Gambar 15. Diagram Viskositas Gel Bioetanol Terhadap Konsentrasi CMC dan Konsentrasi Bioetanol

(8)

92 Gambar 15 memperlihatkan bahwa viskositas tertinggi terdapat pada formula CMC 1,25% dengan Bioetanol 65%, sedangkan viskositas terendah terdapat pada formula CMC 0,75% dan Bioetanol 55% . Dengan konsentrasi CMC yang sama, viskositas mempunyai nilai tertinggi pada konsentrasi bioetanol 65%.

Viskositas maksimum gel bioetanol terdapat pada konsentrasi bioetanol 65% pada setiap konsentrasi CMC (0,75; 1 dan 1,25%). Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi bioetanol 65%, CMC dapat mengentalkan campuran dengan optimal. Pada konsentrasi bioetanol rendah, viskositas juga bernilai rendah dengan konsentrasi CMC yang sama. Viskositas akan meningkat pada konsentrasi 65%, namun akan menurun kembali saat konsentrasi bioetanol menjadi 75%.

Landoll (1982) mengemukakan bahwa viskositas maksimum pada larutan CMC, air dan bioetanol diperoleh pada saat rantai hidrofobik dari bioetanol (rantai alkil) mencapai konsentrasi optimum dimana viskositas akan semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi rantai alkil bioetanol pada larutan.

Berdasarkan uji Analisis Ragam (Anova), diketahui bahwa perlakuan konsentrasi CMC dan konsentrasi bioetanol berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas gel bioetanol, begitu pula interaksi perlakuan konsentrasi CMC dan bioetanol (P<0,05). Konsentrasi CMC dan Bioetanol mempengaruhi nilai viskositas melalui mekanisme pengikatan komponen gel bioetanol (CMC, air dan Bioetanol) yang sangat bergantung adanya gugus hidrofobik pada bioetanol yang menghasilkan viskositas optimum pada konsentrasi bioetanol tertentu.

Nilai viskositas dari setiap perlakuan berbeda secara nyata pada setiap konsentrasi bioetanol (55%, 65% dan 75%) dan setiap perlakuan konsenrasi CMC (0,75%, 1% dan 1,25%). Nilai viskositas gel bioetanol tertinggi terdapat pada konsentrasi bioetanol 65%. Hal tersebut terjadi pada setiap perlakuan konsentrasi CMC. Nilai viskositas gel bioetanol berkisar antara 238,335 cP hingga 8816.665 cP. Sebagai perbandingan, viskositas terendah gel bioetanol menyerupai viskositas minyak pelumas motor yang mempunyai viskositas 140-420 cP, sedangkan viskositas tertinggi gel bioetanol menyerupai viskositas madu, yaitu 8.000-10.000 cP (http://www.graco.com/LCC/etoolbox/viscosity.html, 2009). Keseluruhan nilai viskositas gel bioetanol pada rentang tersebut dapat

(9)

93 diaplikasikan untuk kompor bioetanol tanpa sumbu karena masih dapat mengalir dan dituang ke dalam wadah pembakaran yang terdapat di dalam kompor.

2. Residu Pembakaran

CMC merupakan bahan pengental yang dibuat dari selulosa dan mempunyai bobot molekul tinggi (Murray, 2000). Sebagai pengental, CMC mengikat cairan dalam kondisi dingin ataupun hangat. Dalam gel bioetanol, CMC dapat mengikat air dan etanol dalam proporsi tertentu. Hasil pembakaran gel bioetanol dengan CMC akan menyisakan residu pembakaran berupa larutan gel yang sudah tidak dapat terbakar dan sisa pembakaran berwarna kehitaman (karbon). Sisa pembakaran akan bertambah selama waktu pembakaran. Karbon yang berwarna kehitaman merupakan sisa dari komponen CMC yang terdapat pada campuran gel bioetanol yang terbakar dan tidak ikut menguap.

Dalam uji pembakaran gel bioetanol dihasilkan api yang cenderung tidak stabil karena tidak mempunyai perantara dalam pembakaran, misalnya sumbu kompor. Selain itu, terdapat dua warna api pembakaran yang dihasilkan yaitu api biru dan api biru kemerahan. Berikut ini adalah penampakan uji bakar dan residu pembakaran gel bioetanol dengan menggunakan CMC (Gambar 16).

(a) (b) Gambar 16. Penampakan Pembakaran Gel Bioetanol (a), dan Residu Pembakaran

Gel Bioetanol (b).

Api biru akan muncul pada saat awal pembakaran, sedangkan api kemerahan akan muncul setelah pembakaran berjalan cukup lama. Warna api

(10)

94 mengindikasikan komponen yang terbakar dalam gel bioetanol. Api biru menandakan terbakarnya komponen bioetanol dan lidah api yang terbentuk relatif stabil, sedangkan api kemerahan menandakan pembakaran tidak sempurna dari bioetanol bercampur CMC yang terdapat pada gel bioetanol dan menghasilkan api yang cenderung tidak stabil. Semakin banyak konsentrasi CMC maka api yang berwarna kemerahan akan semakin banyak muncul pada saat pembakaran.

Gel bioetanol memiliki tipe api difusi yaitu api yang yang dihasilkan tanpa perantara dan pembakaran terjadi karena percampuran bahan bakar dengan oksigen. Api difusi cenderung membakar lebih lambat dan dapat menghasilkan jelaga jika jarak antara bahan bakar dengan alat pemasakan terlalu dekat sehingga tidak terdapat cukup oksigen untuk pembakaran yang sempurna (Llyod dan Visagie, 2007).

Menurut Lloyd dan Visagie (2007), pembakaran tidak sempurna pada aplikasi bahan bakar rumah tangga dapat menghasilkan emisi hidrokarbon dan komponen sisa pembakaran. Tabel 5 dan Gambar 17 memperlihatkan nilai residu pembakaran gel bioetanol.

Tabel 5. Jumlah Residu Pembakaran Gel Bioetanol

No. Sampel Residu Pembakaran (%) Standar Deviasi

1 CMC 0,75%-Bioetanol 55% 45.78 2.41 2 CMC 0,75% - Bioetanol 65% 31.95 2.24 3 CMC 0,75% - Bioetanol 75% 14.69 0.12 4 CMC 1,00% - Bioetanol 55% 45.99 1.15 5 CMC 1,00% - Bioetanol 65% 29.64 0.99 6 CMC 1,00% - Bioetanol 75% 15.42 0.46 7 CMC 1,25%-Bioetanol 55% 47.14 2.00 8 CMC 1,25% - Bioetanol 65% 30.85 0.58 9 CMC 1,25% - Bioetanol 75% 12.49 2.45

(11)

95 Gambar 17. Diagram Jumlah Residu Pembakaran Gel Bioetanol

Dari hasil tersebut di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi bioetanol yang digunakan semakin sedikit residu pembakaran yang dihasilkan setelah gel bioetanol dibakar hingga padam. Residu pembakaran gel bioetanol terdiri dari komponen CMC yang berikatan dengan air. Campuran ini adalah bagian yang sudah tidak dapat terbakar setelah semua bioetanol habis menguap oleh panas.

Dalam aplikasi gel bioetanol, residu adalah hal yang tidak diinginkan dalam pemakaian bahan bakar rumah tangga alternatif. Oleh karena itu, residu yang dihasilkan harus seminimum mungkin. Dalam pembakaran jumlah yang sedikit, sisa pembakaran berwarna hitam tidak terlalu banyak terbentuk. Namun, jika pembakaran dilakukan dalam skala yang lebih besar, maka sisa pembakaran yang berwarna hitam akan semakin banyak terbentuk.

Semakin sedikit jumlah CMC dan semakin tinggi konsentrasi bioetanol, semakin sedikit residu pembakaran yang terbentuk. Residu pembakaran yang berjumlah paling banyak terdapat pada konsentrasi bioetanol 55%. Pada konsentrasi bioetanol 55%, residu pembakaran berkisar antara 45-47% karena 45% dari gel bioetanol adalah air yang berikatan dengan CMC dan tidak habis terbakar dan tertinggal sebagai residu. Jumlah residu pembakaran terus menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi bioetanol. Jumlah residu paling rendah

(12)

96 terdapat pada konsentrasi bioetanol 75%, yaitu berkisar antara 12-15%. Dengan jumlah air yang lebih sedikit, maka jumlah residu pembakaran juga sedikit. Hal ini terjadi pada semua konsentrasi CMC.

Jumlah air yang menguap saat pembakaran sangat sedikit sehingga jumlah residu pembakaran mendekati konsentrasi air yang terkandung dalam gel bioetanol. Hal tersebut terjadi karena ikatan antara air dengan CMC lebih kuat dibandingkan dengan ikatan air dengan bioetanol sehingga meskipun terdapat panas pembakaran, air dalam gel bioetanol hanya sedikit yang ikut menguap karena terikat oleh CMC. Semakin tinggi konsentrasi air yang terkandung dalam gel bioetanol, semakin tinggi pula residu pembakaran yang dihasilkan. Selain itu, CMC sebagai polimer dengan bobot molekul tinggi adalah bahan pengental yang sulit menguap selama pembakaran dan mengikat air menjadi residu yang tidak dapat terbakar.

Hasil Analisis Ragam (Anova) menyatakan bahwa, jumlah residu pada tiap konsentrasi bioetanol (55, 65 dan 75%) berbeda secara nyata. Konsentrasi bioetanol sangat berpengaruh terhadap jumlah residu pembakaran gel bioetanol. Sebaliknya, konsentrasi CMC (0,75; 1 dan 1,25%) tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah residu yang dihasilkan dari pembakaran gel bioetanol, begitu pula dengan interaksi antara konsentrasi CMC dan konsentrasi bioetanol yang juga tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah residu pembakaran. CMC hanya berperan sebagai pengikat air dalan larutan gel bioetanol, sehingga jumlah air yang terkandung menentukan jumlah residu pembakaran yang dihasilkan. Jadi, dapat dikatakan bahwa jumlah residu pembakaran bioetanol hanya dipengaruhi oleh konsentrasi bioetanol, sedangkan konsentrasi CMC tidak memberi pengaruh yang signifikan.

3. Nilai pH

Derajat keasaman gel bioetanol diukur dengan pengujian pH. Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan aplikasi gel bioetanol yang lain. Dengan mengetahui derajat keasaman dari gel bioetanol, penanganan akan lebih mudah dilakukan baik untuk pengemasan, transportasi ataupun aplikasi lain yang mungkin dilakukan dengan menggunakan gel bioetanol. Berdasarkan hasil

(13)

97 pengujian derajat keasaman (pH), nilai pH gel bioetanol berkisar antara 6,9 dan 7,3. Hal ini berarti bahwa gel bioetanol dengan menggunakan CMC sebagai bahan pengental mempunyai derajat keasaman yang netral.

Dalam pembuatan gel bioetanol dengan menggunakan bahan pengental CMC tidak menggunakan zat asam atau basa tertentu untuk meningkatkan viskositas larutan sehingga hasil yang diperoleh juga relatif mempunyai derajat keasaman yang netral. Perbandingan nilai pH dari setiap formulasi gel bioetanol dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 18.

Tabel 6. Nilai pH Formulasi Gel Bioetanol

No. Sampel Nilai pH Standar Deviasi

1 CMC 0,75%-Bioetanol 55% 7.14 0.02 2 CMC 0,75% - Bioetanol 65% 6.98 0.19 3 CMC 0,75% - Bioetanol 75% 7.22 0.01 4 CMC 1,00% - Bioetanol 55% 7.02 0.01 5 CMC 1,00% - Bioetanol 65% 7.03 0.04 6 CMC 1,00% - Bioetanol 75% 7.32 0.11 7 CMC 1,25%-Bioetanol 55% 7.02 0.04 8 CMC 1,25% - Bioetanol 65% 7.12 0.07 9 CMC 1,25% - Bioetanol 75% 7.17 0.17

(14)

98 Dari semua gel bioetanol yang dibuat, formula dengan 0,75% CMC dan 65% Bioetanol mempunyai nilai pH paling rendah (6,98), sedangkan formula CMC 1% dan Bioetanol 75% mempunyai nilai pH paling tinggi (7,315). Namun, perbedaan nilai pH antar formula gel bioetanol tidak berbeda secara signifikan berdasarkan uji Analisis Ragam (Anova). Hal tersebut dikarenakan pada proses pembuatan gel bioetanol tidak dilakukan penambahan asam atau basa serta mempergunakan bahan baku yang bersifat netral. Selain itu, baik konsentrasi CMC maupun konsentrasi Bioetanol juga tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH formula gel bioetanol secara keseluruhan, sehingga tidak diperlukan penanganan khusus bagi gel bioetanol dalam aplikasinya karena derajat keasaman yang netral.

D. WATER BOILING TEST DAN SPECIFIC FUEL CONSUMPTION

Water Boiling Test (WBT) adalah pengukuran waktu yang dibutuhkan

bahan bakar untuk mendidihkan satu satuan air. Menurut Robinson (2006), WBT dapat menunjukkan efekivitas bahan bakar sekaligus mengukur kinerja kompor dalam mendidihkan satu satuan air. Berdasarkan hasil pengujian jumlah residu pembakaran yang dilakukan sebelumnya, sampel formula gel bioetanol yang digunakan adalah sampel dengan konsentrasi bioetanol 65% dan 75% karena untuk sampel dengan konsentrasi 55% menghasilkan residu pembakaran yang paling tinggi. Perangkat WBT dibuat sederhana dengan menggunakan kompor bioetanol sebagai wadah pembakaran gel bioetanol untuk mendidihkan satu liter air pada suhu ruang.

Selama proses pengujian WBT, terdapat beberapa fenomena pembakaran gel bioetanol. Kelebihan air yang terkandung dalam gel bioetanol mengakibatkan kondensasi uap air di bagian bawah panci pemasakan. Kondensasi tersebut pada jumlah tertentu dapat mengganggu proses pemanasan dan dalam jumlah yang berlebihan dapat memadamkan api dari bahan bakar. Menurut Lloyd danVisagie (2007), beberapa jenis bahan bakar yang mengandung air dalam jumlah yang besar akan mengalami kondensasi selama proses pemasakan sampai suhu mencapai 600C. Hal tersebut berarti pada suhu antara 20oC dan 60oC bahan bakar

(15)

99 mengahsilkan nilai kalor yang lebih tinggi (higher heating value), sedangkan nilai kalor yang lebih rendah (lower heating value) dicapai pada suhu di atas 60oC.

Dari pengujian Water Boiling Test (WBT) didapat dua parameter efektivitas pembakaran gel bioetanol, yaitu Water Boiling Test (WBT) dan Spesific

Fuel Consumption (SFC). WBT adalah waktu yang dibutuhkan oleh bahan bakar

untuk mendidihkan satu liter air, sedangkan Specific Fuel Consumption (SFC) adalah banyaknya bahan bakar yang habis digunakan untuk mendidihkan satu liter air (Robinson, 2006). Gambar 19 memperlihatkan diagram perbandingan nilai rata-rata WBT dan SFC dari masing-masing formula gel bioetanol.

Gambar 19. Diagram Nilai Rata-rata WBT dan SFC dari Formula Gel Bioetanol

Hasil pada Gambar 19 menunjukkan bahwa nilai waktu WBT yang paling singkat adalah pada formula CMC 1%-Bioetanol 75% dan CMC 0,75%-Bioetanol 65% dengan waktu selama 30,18 menit. Hasil yang diharapkan dari pengujian di atas adalah formula yang dapat mendidihkan air dengan waktu yang relatif singkat, maka semakin singkat waktu pendidihan maka semakin efektif kinerja dari bahan bakar tersebut. Menurut Robinson (2006), waktu efektivitas pendidihan tergantung dari efisiensi termal yang terdapat pada perangkat uji, dimana efisiensi termal merupakan kombinasi dari efektivitas pembakaran dan perpindahan panas pada saat pendidihan. Dari semua hasil nilai waktu WBT, kisaran waktu yang dibutuhkan untuk mendidihkan satu liter air adalah 30-34 menit.

(16)

100 sampel yang diuji tidak berbeda secara nyata. Perlakuan konsentrasi CMC tidak berpengaruh signifikan terhadap WBT, sedangkan nilai WBT pada konsentrasi bioetanol 65% tidak berbeda secara signifikan dengan konsentrasi bioetanol 75% atau WBT pada konsentrasi bioetanol 65% dan 75% relatif sama.

Pada pengukuran SFC, diharapkan nilai yang rendah karena nilai SFC yang rendah mengindikasikan efisiensi pemakaian bahan bakar. Menurut Wahyuni (2008), pengurangan bobot bahan bakar yang besar memberikan laju pembakaran yang tinggi. Semakin besar laju pembakaran maka waktu nyala juga semakin cepat dan waktu pemasakan juga makin singkat.

Gambar 19 juga memperlihatkan bahwa nilai SFC terendah terdapat pada formula CMC 1% dan Bioetanol 65% (42,26 gram/liter air), sedangkan nilai SFC tertinggi terdapat pada formula CMC 1,25% dan bioetanol 65% (50,86 gram/liter air). Nilai SFC dari semua formula berkisar antara 42-50 gram gel bioetanol/liter air dan secara grafik tidak terlihat kecenderungan nilai SFC tertentu terhadap perlakuan konsentrasi CMC ataupun konsentrasi bioetanol.

Hasil Analisis Ragam (Anova), menunjukkan bahwa konsentrasi CMC maupun konsentrasi bioetanol tidak berpengaruh nyata terhadap nilai SFC dan tidak ada interaksi konsentrasi CMC dan bioetanol yang berpengaruh terhadap nilai SFC dengan signifikan. Jadi jumlah gel bioetanol yang diperlukan untuk mendidihkan satu liter air relatif sama untuk konsentrasi bioetanol 65% dan 75%.

Dari nilai waktu WBT dan SFC yang telah diperoleh, dapat dihitung nilai

Fuel Consumption Rate (FCR) atau Laju Konsumsi Bahan Bakar. FCR adalah

jumlah bahan bakar yang habis per satuan waktu selama proses pembakaran yang dalam hal ini adalah gram gel bioetanol yang habis setiap menit selama pembakaran. Gambar 20 menunjukkan perbandingan nilai Fuel Consumption Rate (FCR) dari gel bioetanol.

(17)

101 Gambar 20. Nilai Fuel Consumption Rate (FCR) Gel Bioetanol

Nilai FCR didapat dari perbandingan nilai SFC dengan nilai waktu WBT. Semakin lama waktu WBT maka semakin kecil nilai FCR, sebaliknya semakin besar nilai SFC maka semakin besar nilai FCR. Dari hasil yang diperoleh, nilai FCR tertinggi terdapat pada formula CMC 1,25%-bioetanol 65% (1,48 gram/menit/liter air) dan nilai FCR terendah terdapat pada formula CMC 1%-bioetanol 65% (1,35 gram/menit). Nilai FCR pada keseluruhan sampel tidak berbeda nyata.

Berdasarkan penelitian Llyod dan Visagie (2007), gel bietanol yang telah dijual secara komersial di Afrika Selatan mempunyai nilai FCR sebesar 3,05 gram/menit. Berdasarkan data tersebut, gel bioetanol yang menggunakan CMC sebagai bahan pengental mempunyai FCR yang lebih rendah. Perbedaan nilai FCR dipengaruhi oleh jenis bahan pengental yang digunakan, dimana CMC menrupakan polimer yang berbobot molekul tinggi, sukar menguap dan mampu mengikat air dan bioetanol dengan baik. Dengan demikian untuk membakar dan menghabiskan sejumlah gel bioetanol dengan CMC membutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan penggunaan bahan pengental lain. Selain itu, bobot molekul CMC yang tinggi juga mengakibatkan terhambatnya pembakaran pada saat pemasakan. Selain itu, perbedaan desain kompor yang digunakan dalam pengujian juga mempengaruhi nilai FCR gel bioetanol. Kompor yang digunakan

(18)

102 dalam penelitian ini merupakan bentuk sederhana yang belum terdapat modifikasi desain sehingga efisiensinya juga belum optimal.

E. NILAI KALOR (CALORIFIC VALUE)

Pengukuran nilai kalor dilakukan untuk mengetahui nilai energi pembakaran yang terdapat dalam bahan bakar. Alat yang digunakan untuk mengukur nilai energi gel bioetanol adalah Adiabatic Bomb Calorimeter. Alat tersebut mengukur nilai kalor dengan membakar sempurna bahan bakar yang diukur pada suhu pembakaran tersebut. Pengukuran suhu pembakaran tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai kalor (joule) per satuan bobot bahan bakar.

Robinson (2006) menjelaskan bahwa bahan bakar yang akan diukur nilai energinya dibakar di dalam Bomb Calorimeter yang kemudian didinginkan kembali sampai suhu ruang. Energi yang digunakan untuk mendinginkan bahan bakar sama dengan energi yang terkandung di dalam bahan bakar. Menurut Llyod dan Visagie (2007), gel etanol yang digunakan sebagai bahan bakar pada umumnya mempunyai Lower Heating Value (LHV) yang rendah. Kandungan air dalam bahan bakar gel bioetanol mempunyai dampak yang cukup signifikan meskipun berjumlah sedikit.

Pada penelitian ini, tidak semua sampel diukur nilai kalornya. Pemilihan sampel yang diukur nilai kalor dilakukan berdasarkan tingkat perbedaan nilai WBT yang cukup besar (selisih kurang lebih satu menit WBT) dengan asumsi nilai kalor selama penyimpanan tidak berubah. Tabel 7 memperlihatkan nilai WBT rata-rata gel bioetanol.

Tabel 7. Data Sampel Yang Dipilih Untuk Pengujian Nilai Kalor

Sampel Simbol Nilai WBT

CMC 0,75% - Bioetanol 65% A2B1 30.18* CMC 1,00% - Bioetanol 65% A2B2 31.25* CMC 1,25% - Bioetanol 65% A2B3 34.38* CMC 1,25% - Bioetanol 75% A3B3 33.02* *sampel yang dipilih untuk pengujian nilai kalor

(19)

103 Sampel yang dipilih untuk pengukuran nilai kalor adalah (1) CMC 0,75% dan Bioetanol 65%, (2) CMC 1% dan Bioetanol 65%, (3) CMC 1,25% dan Bioetanol 65%, serta (4) CMC 1,25% dan bioetanol 75%. Dari keempat sampel tersebut, nilai kalor yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai kalor gel bioetanol komersial yang telah diaplikasikan sebagai bahan bakar di Afrika Selatan. Hasil pengujian nilai kalor dari keempat sampel di atas diperlihatkan pada Gambar 21.

Gambar 21. Diagram Nilai Kalor Gel Bioetanol

Diagram pada Gambar 20 menunjukkan bahwa nilai kalor tertinggi terdapat pada formula CMC 1,25% dan bioetanol 75% (17,23 MJ/kg), sedangkan nilai kalor paling rendah terdapat pada formula CMC 0,75% dan Bioetanol 65% (15,15 MJ/kg). Meskipun demikian, ketiga sampel yang mempunyai konsentrasi bioetanol 65% mempunyai nilai kalor yang hampir sama, yaitu sekitar 15 MJ/kg. Nilai kalor yang lebih tinggi diperoleh pada konsentrasi bioetanol yang lebih tinggi pula. Nilai kalor diperngaruhi juga oleh komposisi karbon terikat pada suatu bahan bakar. Semakin tinggi karbon terikat yang dimiliki oleh suatu bahan bakar, maka nilai kalornya juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan dalam pembakaran dibutuhkan karbon yang akan bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan kalor (Lloyd dan Visagie, 2007).

(20)

104 Menurut penelitian Robinson (2006), nilai kalor gel etanol komersial di Afrika Selatan adalah 16,4 MJ/kg (LHV), sedangkan nilai kalor gel etanol pada penelitian Lloyd dan Visagie (2007) adalah 16,1 MJ/kg (LHV) yang mempunyai konsentrasi etanol sebesar 70%. Berdasarkan hal tersebut, dari keempat sampel gel bioetanol yang diuji, sampel dengan konsentrasi bioetanol 75% memenuhi kriteria gel bioetanol komersial. Untuk gel bioetanol dengan konsentrasi 65% mempunyai nilai kalor yang lebih rendah dari gel bioetanol komersial karena konsentrasi bioetanol yang juga lebih rendah (65%).

Berdasarkan parameter jumlah residu pembakaran dan nilai kalor yang telah diukur, formulasi gel bioetanol yang baik adalah formula dengan kandungan 75% bioetanol, sedangkan untuk konsentrasi CMC tidak berpengaruh nyata terhadap daya bakar gel bioetanol. Oleh karena itu, formulasi yang terbaik dari gel bioetanol adalah formula dengan konsentrasi 75% (v/v) bioetanol dengan konsentrasi CMC terkecil, yaitu 0,75% (b/v).

Gambar

Gambar  13.  Penampakan  gel  bioetanol  dengan  konsentrasi  CMC  0,75%  (b/v)  dengan beberapa konsentrasi bioetanol (a) 80% (v/v), (b) 70% (v/v), dan  (c) 60% (v/v)
Tabel  4  dan  diagram  pada  Gambar  15  memperlihatkan  nilai  viskositas  gel  bioetanol
Tabel 6. Nilai pH Formulasi Gel Bioetanol
Gambar 21. Diagram Nilai Kalor Gel Bioetanol

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian-penelitian tentang opini audit going concern yang dilakukan diindonesia antara lain dilakukan Santosa dan Wedari (2007), yang menggunakan 5 variabel penelitian,

Beberapa pokok kebijakan ekonomi makro yang akan dilaksanakan dalam tahun 2005 mencakup; ( i ) memaksimalkan implementasi Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2003 tentang Paket

Sifat manusia yang selalu diliputi rasa tidak puas menjadi pemicu perkembangan penelitian dari pengamatan ground base menuju penjelajahan di angkasa untuk mendekati

Penelitian yang dilakukan oleh Roose, et al (2001) juga mengkonfirmasikan definisi yang sama terkait relational capital yakni seluruh nilai yang merepresentasikan

Berdasarkan Berit a Acara Penet apan Pemenang seleksi Umum Nomor : 059/ PPBJ-DPUPE/ LS/ 2013 Tanggal 24 mei 2013, Kami Panit ia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas

Berdasarkan Berit a Acara Penet apan Pemenang seleksi Umum Nomor : 058/ PPBJ-DPUPE/ LS/ 2013 Tanggal 24 mei 2013, Kami Panit ia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas

Bersubsidi dari Lini I sampai Lini IV sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian

Mapping of topsoil properties using Visible, Near-Infrared and Short Wave Infrared (VNIR/SWIR) hyperspectral imagery requires large sets of ground measurements for calibrating