• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) REPUBLIK INDONESIA DAN DILEMA KONSTITUSIONAL DALAM SISTEM PARLEMEN. Piers Andreas Noak 1. Abstract

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) REPUBLIK INDONESIA DAN DILEMA KONSTITUSIONAL DALAM SISTEM PARLEMEN. Piers Andreas Noak 1. Abstract"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

3

DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) REPUBLIK INDONESIA DAN DILEMA KONSTITUSIONAL DALAM SISTEM PARLEMEN

Piers Andreas Noak1

Abstract

State institutional mechanisms and formats, shift of power in the Constitution of 1945, duties and responsibilities of the Council of Regional Representatives revolve on the monitoring and proposing the realization of national and regional relations and interests therein to the product law. Constitutionally legislation rights is fully given to the parliament, which is House of Representative and Council of Regional Representatives, in practice the authority of Council of Regional Representatives is limited as advisory council to the functions of House of Representative, the creation of Council of Regional Representatives is to play strong role and functions of bicameral parliament, just like every parliament in other countries allows the political representation of the people, where one is the political representation at the House of Representative (political representation) and the other reflects the territorial representation or regional (regional representation) at the Council of Regional Representatives to give wider functions for representation. In order to project the Council of Regional Representatives as organization that represents the duty as regional representatives, it is necessary that the Council of Regional Representatives used as a representative body with strong position, strategic, for the better of the state administration with check and balances, and to strengthen democracy as a principle of state administration law therefore Council of Regional Representatives needs to be reformed through constitution in order to be given the same role as of House of Representative in doing its constitutional rights such as representatives in countries like Europe and America.

Keywords : People’s Consultative Assembly (MPR), House of Representative (DPR), Council of Regional Representatives (DPD), representative.

1. Pendahuluan

Dewan Perwakilan daerah yang disingkat DPD, yang merupakan lembaga legislatif dalam sistem ketatanegaraan RI dalam melaksanakan tugas dan fungsinya banyak mendapat kendala serta dilema akibat lemahnya power yang diberikan oleh konstitusi. Selama ini para elite selalu memahami bahwa fungsi legislasi hanya terkait dengan fungsi pembuatan undang-undang dalam pengertian yang sangat sempit, oleh karena itu secara universal yang biasa dipahami sebagai lembaga legislatif adalah semua badan parlemen dalam berbagai forum, tetapi berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasca reformasi hanya DPR dan DPD saja, bahwa sebagian mengartikan lebih sempit makna dan hakekat kewenangan kepada DPD yakni lembaga yang memiliki fungsi dan kewenangan langsung dalam bidang pembuatan undang-undang itu hanya DPR, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai advisory council terhadap fungsi lembaga DPR.

1

(4)

4

Pembentukan DPD pada awalnya dimaksudkan dalam rangka reformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar yang terdiri atas lembaga DPR dan DPD, karena struktur bikameral dalam sistem parlemen seperti ini dapat diharapkan adanya perubahan mekanisme fungsi perwakilan yang secara konstitusional hak legislasi sepenuhnya diberikan kepada parlemen. Disamping proses legislasi yang diharapkan berlangsung dalam sistem double-check yang memungkinkan representasi perwakilan akan terwakili representasi seluruh rakyat Indonesia relatif dapat melewati suatu basis sosial yang kuat dimana yang satu merupakan cerminnan representasi politik di DPR (political representation) dan yang satu mencerminkan prinsip representasi wilayah teritorial atau regional (regional representation) di DPD.

Walaupun sistem parlemen yang sesuai UUD 1945 amandemen dimana parlemen melaksanakan fungsi tiga forum sekaligus tetapi dalam praktek hanya terdapat dua forum dan yang lebih efektif cuma satu forum saja yakni DPR. Dengan demikian sebagian anggota dewan telah berusaha untuk memfungsikan atau melemahkan sekaligus fungsi dan peran DPD dalam sistem parlemen Indonesia, hal ini diakibatkan dengan diberikan peran dan fungsi yang terbatas, tugas dan kewenangan yang sering terabaikan, penggalanngan aspirasi daerah tidak terlaksana dengan baik , mekanisme pembahasan hubungan pusat daerah serta otonomi daerah tidak berjalan dengan baik maka kalangan dewan berharap agar bagaimana semestinya mekanisme check and balance serta peran mewakili daerah dan daerah otonom bisa bersinergi dengan baik dan demokratis maka perlu pengaturan kembali mekanisme dan kedudukan DPR dalam sistem parlemen Indonesia agar fungsi legislagi selama ini yang dijalankan dalam dua forum dapat menjadi lembaga representatif yang tidak saja mewakili rakyat tetapi juga dapat mendukung aspirasi rakyat serta memberikan kewenangan yang kuat dalam sistem pengaturan kebijakan anggaran negara untuk semata mata kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Penolakan DPR dalam rapat rapat parlemen telah menjadikan rapat paripurna sebagai forum bersama DPR dan DPD, membuat kedua lembaga tersebut terlibat konflik kepentingan, yang bukan tak mungkin akan mengarah kepada krisis politik. Sementara keinginan DPD membuat rapat paripurna sebagai forum bersama, karena DPD sebagai wakil kewilayahan di parlemen, merasa perlu mendengarkan pidato presiden mengenai nota APBN dan keuangan, serta pembangunan kewilayahan di Indonesia yang disampaikan di hadapan anggota DPR, DPD, dan para gubernur, yang sedianya diundang oleh DPD.

Langkah DPD ini sejatinya mengarahkan peran dan fungsi parlemen dua kamar (bikameral) kuat, sesuatu yang bertolak belakang dari peran dan fungsi parlemen dua kamar

(5)

5

yang lemah sebagaimana yang diatur UUD 1945 Pasal 22D, serta beberapa pasal yang mengarahkan DPD hanya menjadi lembaga tinggi pelengkap penderita dari sistem politik di Indonesia. Keinginan DPD untuk menegaskan peran dan fungsi parlemen dua kamar (bikameral) yang kuat adalah sesuatu yang harus diperjuangkan anggota DPD. Meski disadari bahwa keberadaan DPD dalam konteks sekarang hanyalah metamorfosis dari Fraksi Utusan Daerah, yang di masa lalu tidak memiliki fungsi dan peran yang jelas.

Meski begitu, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam parlemen Indonesia, terlepas dari kuat atau lemahnya fungsi yang diemban oleh DPD, telah mampu memberikan stimulasi positif bagi kemajuan demokrasi di Indonesia. Sehingga apa pun kondisinya, secara prinsip DPD harus tetap dipertahankan dengan mendorong terjadinya penguatan terhadap lembaga tinggi tersebut, seperti berbagai fungsi parlemen di negara negara Eropah dan Amerika telah memfungsikan lembaga yang sama seperti DPD sebagai perwakilan negara bagian sebagai lembaga legislasi yang dapat membuat undang-undang atau undang-undang tertentu. Permasalahannya jika DPD memiliki tugas dan wewenang yang terbatas adalah sebuah realitas politik, namun realitas tersebut bukan sesuatu yang bersifat baku, melainkan masih mungkin dapat dilakukan perubahan yang sesuai dengan napas demokrasi. Keberadaan lembaga DPD ini praktis hanya memenuhi ketentuan konstitusi tetapi tidak mendatangkan manfaat, produknya tidak memiliki arti (meaningless). Lembaga ini tidak diberi wewenang oleh konstitusi sedikitpun sehingga tidak dapat membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling) maupun bersifat penetapan (beschikking). Rancangan undang-undang yang telah dihasilkan oleh DPD nasibnya digantungkan kepada lembaga DPR. Konstitusi sama sekali tidak memberinya sanksi jika DPR tidak menindaklanjuti RUU ataupun pengawasan yang disampaikan DPD. Sehingga kedudukannya tidak saja sebagai penunjang atau auxiliary legislator dari pada legislator sepenuhnya malainkan menjadikannya sebagai lembaga yang kuat dalam kedudukan sistem parlemen serta bagian dari trikameral parliamen Indonesia. 2. Makanisme Perwakilan Dalam Sistem Parlemen

Konsep perwakilan menurut Hanna Pitkin (1967:2) didalam bahasa latin klasik “represaentare maent simply to make present or manifest or to present again, and it was applied almost exclusively to inanimate objects” dengan kata lain, kata represaentare tidak memiliki kaitan sama sekali, misalnya saja orang atau kelompok orang yang mewakili orang lain. Perwakilan termasuk konsep yang sering diperdebatkan maknanya dalam ilmu politik, bahkan perdebatan itu terus berlangsung diawal abab ke dua puluh satu (Andeweg dan Thomassen, 2005; Mansbridge, 2003, dalam Kacung Marijan, 2010:41).

(6)

6

Perdebatan itu hanya pada apa yang harus dilakukan oleh para wakil ketika berhadapan dengan terwakili yaitu apakah mereka akan bertindak sebagai delegates ataukah sebagai trustees. Sebagai delegates para wakil hanya mengikuti apa yang menjadi pilihan dari para konstituennya, sementara itu sebagai trustees berarti para wakil mencoba untuk bertindak atas nama para wakil sebagaimana para wakil itu mencoba memahami permasalahan yang dihadapi oleh konstituennya. Diantara kedua pandangan itu terdapat pandangan yang lain yakni ketika para wakil bertindak sebagai politico, dimana para wakil bergerak secara kontinum antara delegates dan trustees (Kacung Marijan, 2010:40)

Menurut Pitkin kita tidak perlu mamadukan kedua pandangan seperti itu, menurut pandangan Pitkin yang terpenting adalah bagaimana membangun relasi yang baik antara para wakil dan terwakil sehingga para wakil tidak saja mendengar para konsituennya melainkan juga dapat mendukung dan melaksanakan semua kepentingan yang diharapkan oleh para konstituennya dengan kata lain disatu sisi para wakil harus bertindak sebagaimana dikehendaki oleh terwakil (the autonomy of the represented), sehingga akuntabel. Disi lain mereka juga harus memiliki kemampuan secara independen dari keinginan-keinginan para terwakil (the autonomy of representative)2.

Jika kita melihat ketidak samaan pemahaman memperbincangkan konsep perwakilan sebenarnya tidak hanya relasi antara kelompok wakil dan terwakili, paling tidak ada beberapa hal yang menjadi kajian keterwakilan yakni pertama, adanya sekolompok orang yang mewakili yang termanivestasi dalam bentuk lembaga perwakilan, organisasi atau gerakan. Kedua, adanya kelompok orang yang diwakili seperti konstituen atau klien. Ketiga, adanya sesuatu yang diwakili seperti pendapat, kepentingan, harapan dan berbagai perspektif dan konteks politik dan kekuasaan dimana suatu perwakilan itu dijalankan.

Dalam keadaan seperti ini, perwakilan politik berarti adanya relasi yang kuat serta keinginan dan harapan dari kepentingan terwakili maupun wakil syah dari kelompok yang mewakili yang bisa masuk dalam suatu kategori desain kelambagaan politik atau budaya politik yang dibangun dari keingian bersama para konstituennya. Karena berkaitan antara kepentinga wakil dan terwakil yang tidak bisa dilepaskan dari tranksaksi dan akuntabilitas. Baik semunya bisa terjadi pada saat pemilu ketika mereka memperbincangkan soal kepentingan atau kebijakan yang hendak diperjuangkan oleh para wakil. Pada saat yang sama semua pemilih juga bisa melakukan evaluasi apakah semua bentuk perwakilan dari transaksi

2

Argumen ini Pitkin lalu mengelompokkan perwakilan kedalam empat kategori yakni, pertama perwakilan formal, perwakilan deskriptif, perwakilan simbolik dan perwakilan subtantif. Sedang Jean Mansbridge mengelompokkan perwakilan kedalam empat kelompok yang berkaitan dengan relasi antara wakil dan terwakili adapun keempat kategori perwakilan tersebut adalah promissory, anticipatory, gyroscopic dan surrogacy.

(7)

7

politik kepentingan sudah dilaksanakan oleh para wakilnya atau tidak yang secara politik para wakil bisa dikatakan accountable manakala para pemilih memilihnya kembali.

Perwakilan politik yang accountable seperti sistem dua kamar di Indonesia yakni pemahaman legislatif yang sempit antara DPR dan DPD sebagai representasi rakyat, baik DPR maupun DPD tidak terkonstruksi secara demokratis yakni para anggota merupakan pilihan partai yang memiliki kemampuan dan kecakapan serta integritas dan tanggung jawab moral yang besar baru bisa dicalonkan dari partai untuk selanjuttnya dipilih oleh masyarakat secara demokratis. Agar konstruksi lembaga perwakilan lebih demokratis maka semua anggota parlemen harus dipilih melalui pemilu dan mereka yang mewakili parpol harus benar benar orang yang dapat dipercayai sebagai wakil dan memahami benar benar fungsi perwakilan dan dapat mengimplementasikan tugas dan tanggung jawab melalui berbagai kebijakan serta membawa aspirasi yang benar dan bertanggung jawab, dimana semua perwakilan daerah adalah mereka yang memiliki integritas memahami kebutuhan daerah serta mengoptimalkan otonomi bagi hubungan antara pusat dan daerah dan lebih koperatif dalam menggalan aspirasi yang berkembang saat ini.

Fungsi perwakilan yang sehari hari dijalankan oleh DPR dan DPD yang dituntut bekerja full time dan ritme setiap hari. Tetapi dalam sistem bikameral yang masih terbatas fungsi melaksanakan kebijakan strategis mengenai daerah, peran DPD sangat juga dibatasi dalam melaksanakan fungsi perwakilan seperti yang dikemukakan oleh Pitkin. Misalnya tidak bisa melakukan fungsi legislasi sebagaimana dimiliki DPR saat ini walaupun sudah ada lembaga DPD dalam ritme kerja dan performance yang terbatas sebagai lembaga perwakilan yang ada sebelumnya. Sistem semacam ini tidak lepas dari konstruksi sistem perwakilan sebagaimana terdapat dalam konstitusi amandemen, oleh karena itu sistem dua kamar sangat berbeda dengan fungsi dari semua lembaga legislatif di Indonesia yakni MPR, DPR dan DPD yang dappat dikatakan melaksanakan fungsi trikameral, sehinga perlu perubahan dan tata kerja sistem DPD lebih akuntable dangan mekanisme perwakilan yang dapat mengakomodasi kepetingan terwakil walaupun berasal dari non partai (independen).

3. Perbandingan Sistem Trikameral Parlemen Indonesia Dengan Negara Lain.

Dalam UUD 1945 setelah perubahan keempat, organ MPR juga tidak dapat dipahami lagi sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya dari pada lembaga negara yang lain atau sering dengan sebutan lembaga tertinggi negara. MPR sebagai lembaga negara sederajat levelnya dengan lembaga negara yang lainnya seperti DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam hubungan dengan fungsinya organ MPR dapat dikatakan bukanlah organ yang pekerjaannya

(8)

8

bersifat rutin. Meskipun diatas kertas, MPR sebagai lembaga negara memang terus ada tetapi dalam arti yang aktual atau nyata, organ MPR itu sebenarnya baru dapat dikatakan ada apabila (actual existence) pada saat kewenangan atau functie’nya sedang dilaksanakan. Kewenangannya itu adalah mengubah atau menetapkan Undang-undang dasar (UUD), memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden, memilih Presiden atau Wakil Presiden dan melantik Presiden atau Wakil Presiden.

Pada saat sebelum Amandemen UUD 1945, MPR mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan tunduk dan bertanggung jawab, dalam lembaga ini kedaulatan rakyat terjelma seluruhnya, dan lembaga ini merupakan pelaku sepnuhnya kedaulatan rakyat. Dari lembaga inilah mandat kekuasaan lembaga kenegaraan dibagi kepada lembaga tinggi lainnya yang kedudukan dibawah sesuai prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution of power).

Setelah perubahan UUD 1945, tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara sesuai doktrin pemisahan kekuasaan (separatioan of power) berdasarka prinsip check and balances antara cabang cabang kekuasaan negara, MPR mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya, jika kita lihat dari teori struktur parlemen didunia, yang dikenal secara umum hanyalah dua pilihan yaitu struktur parlemen satu kamar (unikameral) dan struktur parlemen dua kamar (bikameral).

Jika kita mengacu pada pendapat Montesguieu, fungsi kekuasaan yang terdiri atas tiga cabang tris politica yaitu legislature, executive dan judiciary. Sedangkan pendapat Frank Goodnow, kekuasaan negara dapat dibedakan antara fungsi pembuat kebijakan (policy making) dan fungsi pelaksana kebijakan (policy executing) yang dinamakan teori duo politica, namun baik menurut Montesguieu dan Goodnow yang dimaksud dengan fungsi legislatif atau legislature itu berkaitan dengan semua kegiatan yang dengan mengatasnamakan atau mewakili rakyat membuat kebijakan-kebijakan negara, inilah yang disebut sebagai fungsi legislatif atau legislature.

Pelembagaan fungsi legislature inilah yang disebut parlemen, diberbagai negara ada yang melembagakan dalam satu forum saja (unicameral atau monocameral) adapula yang dua forum (bicameral), bahkan ada pula negara negara yang mempunyai struktur parlemen multi kameral atau terdiri atas lebih dari dua kamar atau lebih dari dua institusi (Fatmawati, 2009), dimana salah satunya adalah Indonesia yang memiliki tiga institusi atau tiga forum parlemen sekaligus yaitu MPR, DPR dan DPD. DPR yang merupakan lembaga perwakilan

(9)

9

politik (political representattion)3, DPD merupakan perwakilan daerah dan MPR merupakan penjelmaan keseluruhan rakyat baik dari segi politik maupun kedaerahan.

Disamping fungsi lain, DPR berfungsi untuk membuat undang-undang, DPD memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang sedangkan MPR menetapkan UUD sebagai kebijakan tertinggi. Di berbagai negara, DPD atau yang disebut dengan nama lain seperti senate, biasanya berperan dalam pengambilan keputusan pembentuk undang undang atau undang-undang tertentu. Akan tetapi berdasarkan UUD 1945 amandemen keputusan-keputusan DPD sama sekali tidak menentukan dalam proses membentuk undang-undang itu, yang menurut Montesquieu badan pembentukan UUD juga dinamakan legislasi.

Oleh karena itu, dengan melihat pendapat Monstesquieu dan Goodnow tersebut diatas maka dapat kita katakan bahwa dalam struktur parlemen Indonesia dewasa ini terdapat tiga forum parlemen yang sama sama mempunyai fungsi legislasi dalam arti luas. Sehingga sering kita katakan struktur parlemen Indonesia dalam masa sekarang sebagai struktur parlemen trikameral dan tidak menganut prinsip unikameralisme, bukan pula bikameralisme melainkan trikameralisme. Untuk dengan adanya MPR, DPR dan DPD dalam sistem ketatanegaraan RI berdasarkan UUD 1945 merupakan satu kesatuan kelembagaan parlemen Indonesia yang memupunyai tiga forum perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan mengenai pembentukan undang-undang dan berbagai kebijakan strategis di parlemen sesuai dengan UUD 1945.

Tetapi dalam praktek, teori Montesquieu ini oleh sebagian sarjana dianggap utopis. Hal ini terbukti karena kenyataan bahwa tidak satupun negara di Eropah, dan bahkan Perancis sendiri yang tidak menerapkan teori itu seperti yang semula dibayangkan oleh Montesquieu. Oleh para sarjana, negara yang dianggap paling mendekati ide Montesquieu itu hanya Amerika Serikat yang memisahkan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan judikatif secara ketat dengan diimbangi mekanisme hubungan yang saling mengendalikan secara seimbang. Jika dikaitkan dengan prinsip demokrasi atau gagasan kedaulatan rakyat, maka dalam konsep pemisahan tersebut dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan ke dalam ketiga cabang kekuasaan negara itu secara bersamaan. Agar ketiga cabang kekuasaan itu dijamin tetap berada dalam keadaan seimbang, diatur pula mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yang biasa

3 Suatu lembaga perwakilan dipandang sebagai institusi yang memiliki legitimasi kuat dalam pembentukan

undang – undang, sementara penyelenggaraan negara dilaksanakan oleh lembaga eksekutif. Berbagai pola hubungan antara cabang kekuasaan negara tersebut mengarah kepada pencapaian pembagian kekuasaan yang seefektif mungkin agar prinsip demokrasi yang bersumber dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat dapat terselenggara dengan baik.

(10)

10

disebut dengan prinsip checks and balances yang mulai diterapkan disemua negara demokrasi.

Kalau kita membandingkan negara Eropah dan Amerika yang menganut sistem parlemen dua kamar, juga dikenal adanya forum persidangan bersama diantara dua kamar parlemen yang biasanya disebut sebagai joint session atau sidang gabungan yang seperti di parlemen Indonesia dikenal dengan sidang paripurna. Akan tetapi disidang bersama itu bukanlah lembaga-lembaga tersendiri seperti misalnya di Amerika Serikat terdapat the House of Representatives dan Senate. Keduanya disebut sebagai Congress of the United State America, jika disidang gabungan atau joint session diadakan maka namanya adalah persidangan kongres (Fatmawati, 2009).

Dalam konstitusi Belanda juga dinyatakan bahwa kekuasaan legislatif berada di Staten Generaal yang terdiri atas De Eerste Kamer dan de Tweede, oleh karena itu dalam kerangka pemikiran UUD 1945 beserta amandemennya, pada prinsipnya dapat dikatakan kekuasaan legislatif berada di Majels Permusyawaratan rakyat yang terdir atas anggota DPR dan DPD, karena UUD 1945 menentukan MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD dan kewenangan MPR secara tersendiri maka mau atau tidak MPR juga harus dipahami sebagai lembaga tersendiri dengan sifat kerja ad-hoc yang berkedudukan sederajat dengan semua lembaga negara lainnya.

Dalam konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa all legislative Power Vested in Congress which consist of the Senate and the House of Representative, segala kekuasaan legislatif berada di Kongres yang terdir atas House of Representative dan Senat (Asshiddigie, 2011:143). Akan tetapi dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 ketentuan mengenai MPR, dirumuskan secara berbeda, yaitu MPR terdiri atas Anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Sehingga lembaga MPR tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD dengan demikian lembaga MPR merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD yang merupakan forum kelembagaan representatif rakyat Indonesia.

Jika kita melihat pada pasal 3 UUD 1945 junto pasal 8 ayat (2) dan (3) MPR mempunyai kewenangan untuk (1) mengubah dan menetapkan Undang-undang dasar, (2) memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut undang-undang dasar, (3) memilih Presiden atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar, (4) mengadakan sidang MPR untuk pelantikan atau pengucapan sumpah jabatan Presiden dan wakil Presiden.

(11)

11

Melihat kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga MPR sama sekali tidak sama dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar kepada DPR ataupun DPD sehingga semua persidangan MPR yang dilaksanakan dalam rangka pengambilan keputusan sesuai jonto pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) tersebut bukanlah merupakan sidang gabungan antara DPR dan DPD melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sesuai Undang-Undang Dasar 1945 keberadaan MPR dalam sistem parlemen Indonesia merupakan institusi ketiga yang secara struktur memiliki kewenangan yang dapat dilaksanakan sewaktu waktu dan dapat dikatakan kalau Indonesia juga menganut sistem tiga kamar atau disebut (trikameralisme) (Asshiddiqie, 2010). Umumnya hampir di berbagai negara di dunia tidak ada yang menerapkan sistem tiga kamar, sehingga Indonesia bisa dikatakan sebagai satu satunya negara yang menerapkan sistem tiga kamar tersebut.

Meskipun MPR dapat dikatakan sebagai lembaga kamar ketiga dalam sistem parlemen Indonesia, namun sifat pekerjaan MPR tidak bersifat tetap melainkan bersifat adhoc. Sebagai organ negara MPR itu dikatakan ada jika fungsinya sedang berjalan (in action), sehingga kita dapat membedakan pengertian antara MPR in book dan MPR in action. Dari keempat kewenangan diatas tidak satupun bersifat tetap. Perubahan dan penetapan Undang-Undang dasar tentunya akan dilakukan sewaktu waktu saja setelah empat kali amandemen, dan kita belum dapat memperkirakan sepuluh sampai dua puluh tahun kedepan apakah akan ada pergantian Presiden karena ketentuan pasal tersebut. Dalam sejarah lebih dari dua abad pengalaman Amerika Serikat baru tercatat tiga kasus impeachment terhadap Presiden, ketiga kasus itu melibatkan Presiden Lindon Johnson, Presiden Nixon dan Presiden Bill Clinton.

Karena itu satu satunya kewengan MPR yang bersifat rutin dan dapat direncanakan adalah kegiatan persidangan untuk pelantikan Presiden dan wakil Presiden setiap lima tahun. Sedangkan dalam pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945 sidang MPR bersifat Fakultatif, pengucapan sumpah janji Presiden dan wakil Presiden dapat dilakukan dihadapan atau di dalam sidang MPR atau sidang DPR, jika MPR tidak dapat bersidang pengucapan sumpah janji dapat dilakukan di hadapat sidang atau rapat paripurna DPR, jika rapat paripurna DPR tidak dapat diselenggarakan, maka pengucapan sumpah janji Presiden atau Wakil Presiden cukup dilakukan di hadapan pimpinan MPR dan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Dengan demikian tidak satupun dari keempat kewenangan MPR itu bersifat tetap, sehingga memerlukan alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat tetap. MPR itu ada jikalau fungsinya berjalan atau bekerja (in action). Sehingga berdasarkan mekanisme

(12)

12

kelambagaan negara tidak ada kaharusan bagi MPR untuk diadakan pimpinan dan sekretariat tersendiri, karena UUD 1945 tidak mengamanatkan hal itu, artinya jika anggota parlemen menghendakinya dapat saja DPR sebagai pembentuk undang-undang dengan persetujuan Presiden mengadakan pimpinan MPR yang bersifat tersendiri itu atau malah meniadakan dan mengatur agar pimpinan MPR dirangkap secara ex-officio oleh pimpinan DPR atau pimpinan DPD.

Dalam mekanisme struktur dengan lembaga negara lainnya, baik pimpinan MPR, DPR maupun DPD sama sama tidak diatur dalam UUD 1945. Lembaga ini berbeda dari pimpinan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan yang secara tegas diatur, yakni bahwa ketuanya dipilih dari dan oleh anggotanya masing-masing. Karena itu, merupakan suatu keharusan konstitusional (konstitutional imperative) bahwa di dalam lembaga MA, MK dan BPK diadakan jabatan ketua, sedangkan di MPR, DPR dan DPD, dapat saja diatur dalam undang-undang bahwa pimpinannya hanya boleh dijabat oleh seorang koordinator, atau disebut juru bicara atau speaker, hanya saja untuk pimpinan DPR yang selama ini sudah biasa disebut sebagai ketua DPR dan wakil ketua DPR, sehingga bisa saja dikatakan sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa bahwa di DPR ada jabatan ketua dan wakil ketua DPR.

Setara dengan susunan DPR, didalam susnan kepemimpinan DPD tentunya dapat pula diadakan jabatan ketua dan wakil ketua seperti yang terdapat dalam susunan organisasi DPR. Karena itu, tidak salah jika pembentuk undang-undang sama sama mengadakan jabatan ketua dan wakil ketua, baik dalam susunan organisasi DPR maupun DPD. Akan tetapi untuk jabatan pimpinan MPR yang terpisah dari pimpinan DPR dan DPD serta adanya sekretarian jenderal MPR-RI yang juga tersendiri, terlepas dari sekretariat jenderal DPR dan sekretariat jenderal DPD seperti dewasa ini adalah dikarenakan dari akibat pengaturannya dalam undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Melihat mekanisme MPR, DPR dan DPD, maka kelompok konservatif yang selama ini menentang bikameralisme yang salah satunya diartikan dengan menghilangkan sama sekali keberadaan MPR sebagai penjelma rakyat Indonesia, padahal keberadaan dewan dan majelis tersebut merupakan penjelmaan langsung sila ke empat Pancasila yakni “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” kata permusyawaratan dinilai terjelma dalam pelembagaan MPR, sedangkan kata perwakilan tetap tercermin dalam pelembagaan DPR dan DPD (sesuai ide struktur parlemen bikameral) berarti menghilangkan keberadaan MPR sebagai pelembagaan prinsip permusyawaratan dalam sila ke empat.

(13)

13

Karena itu sebagai konsekwensi atas penetapan dan amandemen konstitusi ini pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang disepakati dalam perubahan keempat tahun 2002 adalah MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Karena adanya kata anggota dalam rumusan tersebut diatas berarti meskipun keanggotaannya dirangkat, institusi MPR sama sekali berbeda dan terpisah dari institusi DPR dan DPD, sebagai institusi yang terpisah, maka ketiga lembaga tersebut harus memiliki fungsi dan wewenang yang berbeda dalam melaksanakan tugas secara struktur dan fungsional, oleh karena itu tidak dapat dihindarkan untuk menyatakan bahwa MPR itu adalah lembaga atau kamar ketiga dari struktur parlemen Republik Indonesia (trikameral parliament). Dimana didalam nya terdapat anggota DPR dan DPD yang akan berfungsi sebagai lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasi masyarakat dan daerah secara otonom, karena dengan berfungsinya DPD dengan baik maka lembaga ini akan akuntable serta mandiri menggalang aspirasi dan mempertanggungjawabkan mandat kepada konstituennya.

Masih ada lagi sebab lain dengan diterimanya keberadaan pimpinan dan sekretariat jenderal yang terpisah itu maka persaingan kepentingan politik antar partai politik itu sendiri baik yang berada di dalam MPR maupun DPR atau diluar parlemen menjelang pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden, maka berbagai kelompok partai politik sedang disibukkan dengan agenda koalisi antar pendukung dan calon legislatif satu dengan yang lainnya. Karena itu dengan adanya pimpinan dengan sekretariat jenderal tersendiri itu semata-mata hanya untuk kepentingan elite dan dinansti kekuasaan patron yang selama ini belum bisa dipisahkan antara pemegang elite kekuasaan dengan profesional karier. Sehingga amandemen pada waktu yang merumuskan pasal-pasal yang menentukan adanya jabatan pimpinan MPR, DPR, dan DPD serta sekretariat jenderalnya semuanya dapat diterima dalam rangka kepentingan tersebut. Semuanya ini menjadikan kekuasaan tetap terpusat untuk menentukan sistem penempatan keanggotaan dalam lembaga legislatif menjadikan dominannya pimpinan parpol.

Dengan demikian dalam rangka konsolidasi sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945, serta penataan kelembagaan kenegaraan dimasa mendatang dapat diusulkan agar adanya lembaga pimpinan dan sekretariat jenderal di MPR hanya bisa berjalan selama sistem ketatanegaraan ini menuju proses demokrasi dan keterwakilan dapat mencerminkan semua unsur dalam masyarakat Indonesia, dan selanjutnya perlu diubah agar lebih efisien dan menghemat anggaraan negara yang bisa mengakomodasi sistem MPR, DPR dan DPD

(14)

14

sekaligus dalam tiga kamar forum perwakilan serta fungsi penataan kelembagaan sesuai dengan harapan konstituennya.

Dengan demikian kita bisa memahami bahwa Keberadaan MPR terdapat elemen konsepsi kenegaraan yang bersifat kombinatif antara tradisi liberal barat dengan sosialisme timur (Asshiddigie, 2011:140), dimana unsur anggota DPR mencerminkan prinsip demokrasi politik (political democracy) yang didasarkan atas prosedur perwakilan (political representation) dalam rangka menyalurkan aspirasi dan kepentingan seluruh bangsa dan negara, sedangkan dalam pembagian berdasarkan mekanisme konstitusi, DPD didasarkan atas otonomi, hubungan pusat daerah serta kebijakan penentuan anggaran demi terlaksannya fungsi keterwakilan dari presentasi kewilayahan yang juga merupakan sistem perwakilan fungsional yang dimaksudkan juga untuk menutupi dan mengatasi kelemahan demokrasi politik atau sistem perwakilan politik dari mekanisme proporsional representatif.

4. DPD dan Sistem Double-Check Dalam Parlemen Indonesia.

Pembentukan Dewan Perwakilan daeran (DPD) yang pada dasarnya sebagai reformasi struktur parlemen RI yang tadinya menjadikan dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD, dengan struktur bikameral dalan dua forum ini diharapkan semua proses legislasi dan mekanisme keterwakilan dapat diselenggarakan dalam sistem double check yang memungkinkan terakomodasinya representasi kepentingan seluruh rakyat yang secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas dengan memberikan kehadiran strategi multikulturalism bagi semua komponen bangsa yang tidak saja dilihat dari sudut otonomi melainkan dari sudut representasi politik di DPR (political representation) yang membuka ruang seluas luasnya bagi representasi teritorial atau regional (regional representation) di DPR.

Mekanisme bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar ini mendapat tantangan yang keras dari kelompok konservatif di panitai Ad Hoc perubahan UUD 1945 di MPR pada tahun 2002. Sehingga yang dipakai adalah rumusan sekarang yang tidak dapat disebut sebagai sistem bikameral sama sekali. Dalam ketentuan UUD 1945 dewasa ini, dapat kita lihat bahwa DPD tidak memiliki kewenangan membentuk undang-undang, DPD juga tidak berwenang secara penuh melakukan fungsi pengawasan, sehingga kedudukan DPD hanya bersifat auxiliary terhadap fungsi DPR sehingga DPD sejauh ini dapat disebutkan sebagai co-legislator dari pada co-legislator yang seharusnya (Reni Purnomowati, 2005)

Berdasarka ketentuan pasal 22D UUD 1945, Dewan Perwakilan daerah (DPD) mempunyai beberapa kewenangan sebagai berikut :

(15)

15

1. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan : Otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2. DPD ikut membahas :

- Rancangan undang-undang yang berkaitan denga otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan pemekaran penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

- Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rangcangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, rangcangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama.

3. DPD dapat melakukan pengawasan kontrol atas:

- Pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran dan belanja negara, pajak, pendidikan, agama serta lainnya.

- Menyampaikan hasil pengewasan itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Dengan demikian dapat kita lihat bahwa secara jelas fungsi DPD hanya sebagai co-legislator disamping DPR. Sifat tugasnya hanya menunjang (auxiliary agency) terhadap semua tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau hak legislasi DPD tidak memiliki hak kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali, padahal semua persyaratan dan dukungan untuk menjadikan anggota DPD jauh lebih berat dari pada menjadi anggota DPR, artinya jika dilihat dari proses perekrutan, kompetensi, integritas dan kapabilitas sebagai wakil daerah di pusat, DPD seharusnya juga mendapat hak dan kewenangan sebagai representatif yang tidak saja mewakili rakyat daerah tetapi juga dapat memberikan dukungan dan tanggung jawab dari apa yang diharapkan oleh para konstituannya, yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme senat di negara bagian Amerika Serikat dan parlemen Inggeris dalam dua kamar yaitu kamar pertama : The House of Lords dan kemar kedua : The House of Commons.House of commands di Belanda.

Mempertimbangkan sistem forum perwakilan di berbagai negara, Indonesia adalah negara kesatuan dimana para anggota DPD tidak seperti senator yang mewakili negara bagian

(16)

16

dalam sistem negara federal akan tetapi mewakili bagian-bagian daerah Indonesia maka adalah tidak tepat menempatkan DPD dalam posisi yang sangat kuat seperti itu, toh DPR juga mewakili daerah-daerah pemilihan dari seluruh Indonesia. Pada sisi lain dari kajian studi banding sistem perwakilan di berbagai negara ternyata bahwa sistem perwakilan seperti ini adalah lazim dipergunakan bahkan sebagian besar sistem perwakilan itu menggunakan sistem dua kamar yang memiliki kewenangan yang tidak sama. Menempatkan wakil-wakil daerah dalam suatu lembaga perwakilan yang secara formal sederajat dengan lembaga perwakilan dan lembaga negara yang lain pada tingkat nasional dianggap cukup untuk kepentingan daerah dan kepentingan merperkuat kesatuan nasional kita (national integrity).

Dari uraian di atas nampak jelas bahwa sistem perawikan yang kita anut bukanlah sistem bikameral akan tetapi masih sitem unikameral karena terdiri dari tiga kamar yaitu, DPR, DPD dan MPR, dimana anggota MPR adalah terdiri dari dari anggota DPR dan anggota DPD (bukan terdiri dari DPR dan DPD). Sedangkan dari sisi legislasi lebih tepat system perwakilan kita adalah system unicameral. Memperhatikan sistem perwakilan rakyat yang dianut setelah perubahan UUD 1945, telah mengandung semangat demokrasi yang cukup kuat. Hal ini terbukti dengan adanya penegasan mekanisme rekrutmen anggota lembaga perwakilan yang seluruhnya dipilih melalui mekanisme yang sangat demokratis yaitu seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum4.

Demikian juga tercermin dalam upaya memperkuat posisi lembaga perwakilan (DPR dan DPD) dengan menegaskan fungsi-fungsi lembaga perwakilan dalam bidang legislasi dan anggaran yang lebih tegas. Disampiung itu pemberian hak-hak DPR dan DPD yang dijamin UUD untuk mengawasi Presiden/pemerintah serta keterlibatan lembaga perwakilan dalam penentuan kejabakan administrasi pemerintahan tertentu, menunjukkan bahwa fungsi lembaga perwakilan telah menembus masalah-masalah administratif bahkan pada beberapa fungsi yudikatif yaitu menuntut pemberhentian Presiden setlah melalui penyeldikan oleh DPR serta penentuan hakim agung dan hakim konstitusi. Tetapi pada sisi lain, kewenangan MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dikurangi yaitu hanya pada fungsi legislasi pada

4

Antara sistem politik dan sistem konstitusi terdapat beberapa keterkaitan erat. Menurut Marnix VAN Damme sistem politik ialah lingkungan sosial ekonomi penyelenggaraan kekuasaan dan organisasi yang beroperasi di dalamnya serta gejala–gejalanya memberikan pengaruh terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Sedangkan sistem konstitusi ialah pembatasan secara formal dari penyelenggaraan kekuasaan yang sah yang dalam tingkatannya terdapat dalam atau berdasar pada konstitusi. Oleh karena itu jika membicarakan sistem politik dalam suatu negara maka memiliki keterkaitan sistem konstitusi.

(17)

17

tataran perubahan dan penetapan undang-undang dasar dan fungsi administratif dalam pelantikan Presiden serta pemilihan Presiden atau wakil presiden dalam hal-hal tertentu.

UUD 1945, memberikan kewenangan yang terbatas kepada DPD dalam bidang legislasi, anggaran serta pengawasan. Dalam bidang legislasi DPD hanya berwenang untuk mengajukan dan ikut membahas Rancangan Undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (pasal 22D ayat 2 dan 2). Walaupun disebutkan secara limitatif kewenangan DPD untuk mengajukan dan membahas RUU-RUU tersebut, namun kewenangan itu tidak terbatas pada lima macam RUU itu saja, tetapi lebih luas dari itu yaitu segala RUU yang ada kaitannya dengan kelima jenis substansi RUU yang telah disebutkan itu. Disamping itu, DPD juga berwenang memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama (pasal 22D ayat 2).

Keterlibatan DPD untuk memberikan pertimbangan dalam pembahasan RUU tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada DPD memberikan pandangan-pandangan dan pendapatnya atas RUU-RUU tersebut karena pasti berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah. Kewenangan bidang pengawasan yang diberikan kepada DPD hanya terbatas pada pengawasan atas undang yang terkait dengan jenis undang-undang yang ikut dibahas dan atau diberikan pertimbangan oleh DPD dalam pembahasannya. Hal ini dilamaksudkan sebagai kesenimabungan kewenangan DPD untuk mengawasi pelaksanaan berbagai RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Selain itu DPD juga diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan atas pengangkatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Latar belakang pemberian kewenangan ini disebabkan karena BPK itu adalah mengawasi penggunaan uang dari UU APBN yang ikut diberikan pertimbangan oleh DPD dalam pembahasannya.

Bagi para anggota DPD, semua kewenangan yang dirumuskan diatas tentunya kurang memadai sebagai wakil yang akan merepresentasikan suara rakyat, apalagi pengalaman selama lima tahun yang telah lewat, ternyata keberadaan lembaga DPD masih kurang dari yang diharapkan sebagai lembaga parlemen dalam sistem ketatanegaraan kita. Sehingga dengan demikian parlemen perlu mengadakan perubahan dan perbaikan sesuai prosedur konstitusional untuk mengoptimalkan kembali fungsi legislasi DPD, walaupun sangat sulit dalam mekanisme amandemen, namun dengan pengalaman selama lima tahun pertama fungsi DPD yang tidak berjalan secara optimal, otomatis akan menjadikan lembaga ini yang kurang

(18)

18

demokratis. Mekanisme mengoptimalkan kembali fungsi ini harus diperkuat dari sistem pemilu serta dukungan parpol dan berbagai lembaga independen yang secara politis melaksanakan fungsi dan kepentingan serta memperbaiki tatanan sosial demokrasi.

Dari segi moral dan etika , dalam situasi seperti ini dimana DPR dan DPD belum bisa berintegrasi dan bersinergitas terhadap pelaksaan semua fungsi DPD sesuai UUD 1945, sehingga untuk mengembalikan semua pencitraan tugas dan kewengan DPD dalam mekanisme konstitusional yang memberikan peran sebagai lambaga yang merepresentatifkan tugas sebagai wakil daerah maka langkah awal terhadap peraturan tata tertib DPR perlu dipertimbangkan untuk bisa menjadikan DPD sebagai lembaga demokrasi. Arah perbaikan ini akan ruang bagi fungsi parlemen secara demokratis dan bisa menyuarakan aspirasi daerah pada tingkat pusat.

Jika DPD kuat untuk penempatan dalam lembaga parlemen dimasa akan datang maka perlu dipertimbangkan amandemen UUD 1945 harus di dukung oleh parpol pemenang pemilu, DPD juga harus menjadikan dirinya sebagai wakil yang memiliki profile yang tidak memihak kepada kelompok atau kepentingan tertentu di parlemen. DPD juga harus memberikan kontribusi yang besar dalam melihat mekanisme tata kelola pemerintahan di daerah serta bentuk penyimpanag yang terjadi di daerah dan tidak menjadikan lembaga ini sebagai persaingan politik untuk menentukan posisi kekuasaan kedepan melainkan harus sebagai partner yang bekerja secara kooperatif dan demokratis.

4. Penutup

Lembaga parleman Indonesia setelah perubahan UUD 1945 terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Struktur kelembagaan tiga lembaga perwakilan rakyat tersebut jelaslah bahwa sistem perwakilan yang dianut bukan sistem bikameral akan tetapi suatu sistem yang khas Indonesia yang bersifat multikameral. Akan tetapi jika hanya melihatnya dari dua lembaga perwakilan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dapat disimpulkan bahwa kedua lembaga ini menunjukkan adanya sistem bikameral. Akan tetapi melihat fungsi dan kewenangan DPD yang sangat terbatas sistem perwakilan ini tidak menganut sistem bikameral murni (strong bicameralis).

Dalam Pemerintahan Demokrasi, sebuah efektifasi penyelenggaraan pemerintahan ditentukan oleh semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Termasuk dalam sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia yaitu distribution of power sehingga terjadi check and balances antar lembaga tinggi negara. Kualitas anggota DPD bisa dilakukan pada saat rekruitmen caleg di daerah masing-masing, tapi kenyataannya selama ini

(19)

19

banyak mempertimbangkan faktor elektabilitas ketimbang faktor kualitas. Selain itu, harus ada komitmen kuat dari setiap anggota DPR, seperti komitmen terhadap kepentingan rakyat, mematuhi kode etik dan etika politik misalnya disiplin dan taat terhadap aturan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, serta hadir dalam rapat-rapat yang diselenggarakan DPR dan DPD.

DPD sebagai institusi negara yang baru yang akan memberikan kesempatan kepada orang orang daerah agar dapat ikut mengambil kebijakan pada tingkat nasional yang khusus terkait dengan kepentingan Daerah, karena DPD akan memperkuat intgrasi nasional dalam bingkai multikulturaklisme, sesuai konstitusi paran DPD yang sangat terbatas dan sebagai komplementer pada fungsi legislasi dan pengawasan, karena fungsi ini DPD hanya ikut membahas dan tidak menetapkan sehingga indikator check and balance serta temuan lanjut mengenai penggunaan dan pengawasan anggaran daerah mendapat legitimasi yang lemah.

Karena itu, secara bersama sama kita semua wajib berjuang menjadikan Gerakan Politik Restorasi terhadap Amandemen UUD 1945 ini sebagai Gerakan Politik Bangsa yang Konstitusional, untuk memperjuangkan kepentingan bersama dalam rangka meluruskan garis perjuangan bangsa dan memberi kepastian tentang masa depan demokrasi, hukum dan HAM bagi pelaksanaan keterwakilan daerah di parlemen, harapannya DPD ke depan akan lebih fokus memperjuangkan aspirasi rakyat dan bebas dari intervensi penguasa maupun pengusaha, dengan demikian dapat terlibat secara penuh dalam membuat produk undang-undang yang dihasilkan bersama DPR murni untuk keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat.

Dari sisi kewenangan sebagai lembaga perwakilan rakyat, terdapat reduksi kewenangan MPR dibanding dengan sebelum perubahan dan penguatan terhadap lemabaga DPR sebagai representasi politik (politic representation) dan penguatan pada akomodasi keterwakilan daerah dengan dibentuknya DPD sebagai representasi daerah (regional representation). Posisi lembaga perwakilan secara keseluruhan ditempatkan pada posisinya sebagai lembaga yang cukup kuat dan independen, memiliki posisi strategis bagi jalannya sistem ketatanegaraan yang lebih baik dengan prinsip check and balances, serta memperkuat demokrasi sebagai salah satu asas hukum tatanegara. Dengan demikian DPD perlu diadakan perbaikan melalui reformasi atau penetapan peraturan tata tertib di Parlemen yang menjadikan lembaga ini bisa berfungsi dalam merepresentasikan suara daerah serta menentukan kebijakan dan peraturan dalam hak-hak anggaran yang diberikan kepada daerah tanpa menurangi eksistensi DPD menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

(20)

20

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly,2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta Timur.

Asshiddiqie, Jimly,2010. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly,2004. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH, UII Press, Yogyakarta.

Asshiddiqie,1998. Jimly, Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka.

Budiman, Aref, 2002. Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

The Asian Democracy Index Indonesia, 2011. Country Report, Centre for political studies, Faculty of Political and Social Science, Universitas Indonesia (Puskapol Fisip-UI) dan Centre for Democracy and Human Right (Demos) Demos Puskapol UI.

Fatmawati, 2009. Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral, Studi perbandingan Antar Indonesia dan berbagai negara. Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Ghoffar, Abdul, 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setal Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Kencana Prenada Madia Group. Jakarta.

Green Mind Community (GMC), 2002. Teori dan Politik Hukum Tata Negara, Yogyakarta. Janedri M. Gafar, 2003. Agung Djojosoekarto, at.al., Editor, Dewan Perwakilan Daerah

Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kerjasama Sekretariat Jenderal MPR dengan UNDP.

Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia, Penerbit, Prenada Medya Group, Jakarta. Mahfud,MD, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik

dan Kehidupan Ketatanegaraan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Moh.Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,

Cetakan Kedua, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta.

Mulyosudarmo, Soewoto, 2004. Perubahan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar HTN, HAN Jawa Timur. Malang.

Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, PT RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Perceraian yang diajukan oleh suami terhadap istrinya disebut dengan talak, akibat hukum perceraian talak sesuai dengan Pasal 41 (c) Undang-Undang Perkawinan, pengadilan

Platform electronic word of mouth (E-WOM) Female Daily sendiri dilihat dari empat construct atau dimensi, yaitu concern for others, expressing positive

“Langkah-langkah yang dilakukan oleh agen dan perusahaan dalam menangani pendaftaran peserta baru adalah sesuai prosedur dan SOP yang diberlakukan yaitu peserta

Prinsip Islam menekankan bahwa setiap aktivitas manusia diukur dengan fahala dan dosa, setiap yang berfahala tentu mengandung nilai ibadah, sementara ibadah manusia dalam

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa koefisien determinasi antara gaya kepemimpinan demokratis (x) dengan motivas kerja karyawan (y) adalah 0,205 yang artinya

An abused person can turn their guilt towards their abuser to free themselves of that horrible feeling, but they are still scarred by shame.. They continue to suffer in a torture

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan dan tanggapan pembelajaran fisika dengan model Cooperative Learning tipe FSLC dan SGD pokok bahasan getaran dan gelombang terhadap