• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS AFLATOKSIN PADA JAGUNG YANG DIMURNIKAN DENGAN SOLID PHASE EXTRACTION SILIKA DAN DIDETEKSI SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS AFLATOKSIN PADA JAGUNG YANG DIMURNIKAN DENGAN SOLID PHASE EXTRACTION SILIKA DAN DIDETEKSI SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS AFLATOKSIN PADA JAGUNG YANG

DIMURNIKAN DENGAN SOLID PHASE EXTRACTION

SILIKA DAN DIDETEKSI SECARA KROMATOGRAFI

CAIR KINERJA TINGGI

(Analysis of aflatoxins in corn which purified with SPE silica

and detected with HPLC)

R.WIDIASTUTI,INDRANINGSIH dan R.FIRMANSYAH

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRACT

Analysis of aflatoxins in corn or corn basal diet feed is necessary due to its occurrence could threat animal health. A determination of aflatoxins in corn using a solid phase extraction (SPE) silica cartridge for purifying the extract and detected with an HPLC was validated. The result showed satisfaction characteristic performance. Meanwhile the analysis result on 16 corn showed that 15 samples were positive for aflatoxin content. However, those results showed that in general the aflatoxin contamination in corn samples were still under the maximum tolerance level for feed.

Key Words: Aflatoxin, Feed, HPLC

ABSTRAK

Analisis aflatoksin dalam jagung maupun pakan ternak berbahan jagung sangat perlu dilakukan karena keberadaanya dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi ternak. Metoda analisis aflatoksin pada jagung yang menggunakan solid phase extraction (SPE) silika untuk pemurnian ekstrak dan dideteksi secara KCKT telah divalidasi. Hasil menunjukkan bahwa performa karakteristik telah memenuhi syarat validasi. Sedangkan hasil analisis pada 16 sampel jagung menunjukkan bahwa 15 diantaranya positif terdeteksi adanya aflatoksin. Namun, kontaminasi aflatoksin dalam sampel jagung tersebut secara umum masih di bawah ambang batas maksimum yang diijinkan dalam pakan.

Kata Kunci: Aflatoksin, Pakan, KCKT

PENDAHULUAN

Aflatoksin merupakan metabolit sekunder

Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang

banyak ditemukan pada jagung, kacang tanah, kedelai, beras dan komoditas hasil pertanian lainnya mulai saat tanam, panen, penyimpanan di gudang maupun pada saat pengolahan. Kondisi iklim di Indonesia sangat mendukung tumbuhnya kapang Aspergillus sp serta terbentuknya aflatoksin.

Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak diketahui dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa aflatoksikosis (BAHRI et al.,

1995), menurunnya kekebalan terhadap penyakit, penurunan produksi telur yang menyebabkan kerugian ekonomi (OSWILER,

1976). Di samping itu, aflatoksin yang

dikonsumsi oleh hewan ternak dapat menimbulkan residu pada produk ternak yang dihasilkan seperti aflatoksin M1 pada susu (ROUSSI et al., 2002) maupun telur (TRUCKSESS

dan STOLOFF, 1984). Oleh karena aflatoksin

bersifat karsinogenik, maka IARC (International Agency Research on Cancer) pada tahun 1988 mengklasifikasikan aflatoksin sebagai bahan karsinogenik kelas I dan AFM1 dalam grup 2B (IARC, 1998).

Mengingat bahaya aflatoksin tidak hanya bagi hewan dan manusia, maka analisis aflatoksin sangat penting dalam menentukan aman tidaknya bahan pakan (jagung) ataupun pakan yang menggunakan jagung untuk dikonsumsi hewan ternak. Adapun ambang batas maksimum aflatoksin yang diijinkan dalam jagung maupun pakan yang telah

(2)

ditetapkan oleh SNI (Standar Nasional Indonesia) tentang pakan No.01-3930-1995 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) serta Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional, PP dan Keppres untuk pakan itik petelur 20 ppb, ayam pedaging dan petelur 50 ppb, babi 50 ppb, konsentrat ayam pedaging dan petelur 50 ppb dan konsentrat sapi perah maupun sapi potong 200 ppb (SUPARTO, 2004).

Keberhasilan analisis dengan satuan kuantitas yang sangat kecil sangat tergantung kepada metoda analisis yang digunakan yang dapat diuji dari parameter validitas seperti presisi, akurasi dan linearitas serta batas minimum deteksi. Masalah utama dalam analisis aflatoksin adalah turut terekstraknya pengotor yang dapat mengganggu proses identifikasi dan kuantifikasi dengan alat kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) sehingga memerlukan pemurnian lebih lanjut pada tahapan ekstraksi. Penggunaan

immunoaffinity column (IAC) adalah cara

pemurnian yang saat ini paling banyak digunakan (SCOTT dan TRUCKSESS, 1997),

namun harganya cukup mahal. Penggunaan kolom solid phase extraction (SPE) seperti florisil (CASTRO dan VARGAS, 2001) adalah

alternatif yang lebih ekonomis dan tetap dengan penggunaan pelarut organik yang lebih ekonomis dan praktis.

Deteksi aflatoksin yang dikembangkan dalam penelitian ini diadopsi dari metode PARK et al. (1994) dan AOAC (2000)

menggunakan SPE silika pada tahapan pemurnian dan dilanjutkan dengan penetapan kadar aflatoksin menggunakan KCKT. Selanjutnya metoda analisis aflatoksin tersebut diaplikasikan untuk mengetahui tingkat kontaminasi aflatoksin dalam 16 sampel jagung yang dikoleksi di beberapa lokasi di Jawa Tengah pada tahun 2005.

MATERI DAN METODE Ekstraksi, pemurnian dan identifikasi dan kuantifikasi dengan KCKT

Pengembangan metoda analisis aflatoksin dalam sampel jagung maupun pakan dilakukan

berdasarkan metoda PARK (1994) dan AOAC

(2000) yang dimodifikasi dan ditetapkan secara KCKT. Sebanyak 50 gram sampel ditimbang seksama dan dimasukkan ke dalam tabung

blender, kemudian ditambahkan 200 mL

metanol : air (85 : 15) selanjutnya diblender selama 3 menit dengan kecepatan tinggi, lalu disaring dan filtratnya diambil sebanyak 40 mL. Filtrat kemudian dimasukkan kedalam corong pisah dan ditambahi 40 mL larutan NaCl 10%, dan 25 mL heksan serta dikocok selama 1 menit. Larutan dibiarkan beberapa saat sampai terpisah menjadi dua lapisan. Lapisan atas dibuang, dan lapisan bawah diekstrak dengan 25 mL kloroform sebanyak dua kali dan diambil lapisan bawah dan disaring mengunakan kertas saring Whatman 41 yang telah ditambahkan Na2SO4 anhidrat

dan ditampung kedalam labu florentin. Larutan tersebut diuapkan menggunakan rotavapor (Buchi, Labortechnik AG, Switzerland) dengan suhu ± 50°C hingga kering.

Ekstrak yang telah kering kemudian dilarutkan dengan 3 ml diklorometan dan dimasukkan kedalam syringe plastik yang telah dilengkapi dengan kolom solid phase

extraction (SPE) silika (Varian Assoc. Inc,

USA) yang sebelumnya telah dibasahi dengan 3 mL heksan dan 3 mL diklorometan. Kolom tersebut dibilas dengan 1 ml diklorometan, 3 nL heksan, 3 mL eter anhidrat, dan 3 ml diklorometan. Kemudian dielusi dengan 10 ml kloroform: aseton (9:1), ditampung dalam vial, dan dikeringkan dengan nitrogen evaporator.

Selanjutnyua eluat yang sudah kering diderivatisasi dengan 200 µl heksan dan 50µl asam trifluoroasetat (TFA), didiamkan selama 15 menit, kemudian dikeringkan kembali dan dilarutkan dengan fase gerak dan siap disuntikkan ke KCKT (Hitachi, Inc, Japan) yang dilengkapi dengan fluoresen detektor pada panjang gelombang eksitasi 365 nm dan panjang gelombang emisi 425 nm, kolom µ-BondapakTM C

18 (3,9 x 300 mm) (Waters,

Millipore, USA) dan Guard-Pak µ-BondapakTM

C18 (10 um, 125Å) (Waters, Millipore, USA)

dengan fasa gerak campuran metanol/asam asetat/air (15/20/65) pada kecepatan alir 1,0 ml/menit. Kuantifikasi aflatoksin dihitung dengan menghitung luas area pada waktu retensi dari masing-masing aflatoksin dibandingkan terhadap standar dan dihitung

(3)

secara otomatis serta memperhitungkan faktor pengenceran dan bobot sampel.

Validasi metode (HARMITA, 2004)

Validasi adalah proses evaluasi produk atau metode analisis untuk menjamin pemenuhan persyaratan suatu produk atau metode analisis. Metoda tersebut divalidasi dan diukur berdasarkan parameter-parameter utama yaitu uji perolehan kembali (recovery) metoda ekstraksi, linearitas, presisi, dan batas deteksi.

Pengujian pada sampel lapang

Sebanyak 16 sampel jagung dikumpulkan dari berbagai pasar tradisional, poultry shop dan KUD di berbagai lokasi di Jawa Tengah pada bulan Agustus dan November tahun 2005 Berat sampel minimum untuk setiap sampel adalah 250 gr. Selanjutnya, jagung maupun sampel pakan digiling, dihomogenkan dan disimpan pada -20o C hingga saat dianalisis

menggunakan metoda yang telah divalidasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan pelarut organik metanol dalam proses ekstraksi adalah paling aman dibandingkan pelarut organik lain seperti

asetonitril yang toksik. Selanjutnya penggunaan

solid-phase extraction (SPE) silika cartridge

untuk pemurnian ekstrak aflatoksin sangat menghemat banyak waktu dan bahan kimia dibandingkan cara konvensional dengan ekstraksi sistem cair-cair sebagaimana metoda yang dikemukakan BLANEY et al. (1984) yang

yang membutuhkan bahan kimia yang banyak dan waktu analisis yang sangat panjang. Prinsip kerja SPE tersebut adalah menahan senyawa polar (dalam hal ini aflatoksin) dari senyawa pengganggu non polar. Kemudian senyawa aflatoksin tersebut dielusi dengan pelarut yang lebih polar. Kromatogram hasil pemisahan aflatoksin dalam sampel dengan fasa gerak campuran metanol: asam asetat: air (15 : 20 : 65) pada kecepatan alir 1,0 ml/menit dapat dilihat pada Gambar 1. Keempat jenis aflatoksin terpisah dengan baik dengan kisaran waktu 4,81 hingga 9,23 menit.

Validasi metode

Validasi adalah proses evaluasi produk atau metode analisis untuk menjamin pemenuhan persyaratan suatu produk atau metode analisis. Prasyarat untuk memenuhi persyaratan ini adalah berfungsinya dengan baik dan terbukti kebenaran fungsi instrumen dan metode analisis.

Gambar 1. Kromatogram pemisahan aflatoksin dalam sampel jagung dengan penambahan 40 ng/g AFB1, 20

(4)

Hasil uji perolehan kembali (recovery) menunjukkan derajat kedekatan hasil analis dengan konsentrasi analit yang sebenarnya (akurasi) dan dilakukan dengan penambahan berbagai konsentrasi standar untuk masing-masing aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) dan ditunjukkan pada Tabel 1.

Hasil rata-rata uji perolehan kembali untuk aflatoksin B1 adalah 100,45%, aflatoksin B2 98,52%, aflatoksin G1 75,24% dan aflatoksin G2 102,66%. Hasil tersebut telah memenuhi syarat yang ditetapkan Commision Directive 98/53/EC (EC, 1998) yaitu uji perolehan kembali untuk penambahan > 10 ng/g adalah 80 hingga 110%.

Sedangkan hasil uji linearitas yang bertujuan untuk melihat korelasi antara respon instrumen pada 5 tingkatan konsentrasi standar, uji presisi yang bertujuan untuk melihat repeatibilitas dengan melakukan pengujian

sampel yang sama dab diperoleh dengan menyuntikkan standar dalam 5 ulangan serta limit deteksi yang merupakan konsentrasi standar terendah yang dapat terdeteksi dapat dilihat pada Tabel 2.

Performa karakteristik lainnya untuk mendeteksi aflatoksin berupa uji linearitas dengan nilai 0,9999 yang mendekati 1, uji presisi dengan nilai ≤ 2,00 telah memenuhi syarat validasi. Dengan terpenuhinya persyaratan uji validasi suatu metoda, maka pengembangan metoda di atas dapat diterapkan untuk menganalisis aflatoksin dalam jagung maupun pakan karena pakan menggunakan sekitar 70% jagung. Sedangkan untuk menentukan ada tidaknya kontaminan dapat dilihat dari nilai deteksi limitnya, apabila berada di bawah nilai tersebut, maka sampel akan dinyatakan sebagai tidak terdeteksi.

Tabel 1. Hasil uji perolehan kembali (recovery)

AF Kons. AF yang ditambahkan (ng/g) Rec. 1 (%) Rec. 2 (%) Rec. 3 (%) Rata-rata (%) Rata-rata total (%) B1 10 20 40 84,33 102,66 126,42 86,70 65,02 118,73 74,52 136,70 108,94 81,85 101,46 118,03 100,45 B2 5 10 20 100,73 91,70 103,91 98,69 87,25 100,05 94,78 106,89 102,67 98,07 95,28 102,21 98,52 G1 50 100 200 69,36 68,55 93,58 69,22 73,12 68,75 76,80 76,39 81,92 71,79 72,35 81,42 75,24 G2 15 30 60 104,98 90,25 122,06 99,92 89,07 97,84 102,29 99,41 118,12 102,40 92,91 112,67 102,66

Tabel 2. Performa karakteristik analisis aflatoksin dalam jagung dengan KCKT

Parameter AFB1 AFB2 AFG1 AFG2

Uji linearitas (r2) 0,9999 0,9999 0,9998 0,9998

Uji presisi (% area) 2,00 0,72 1,43 0,93

Perolehan kembali (%) 100,45 98,52 75,24 102,66

(5)

Penetapan kadar aflatoksin pada sampel jagung lapang

Keberadaan aflatoksin dalam pakan tenak dapat menyebabkan pertumbuhan yang terhambat dan kerusakan pada organ hati, karena aflatoksin bersifat hepatotoksik dan karsinogenik, serta menjadi penyebab terjadinya aflatoksikosis.

Hasil analisis penetapan kadar aflatoksin pada 16 sampel lapang yang dikumpulkan dari beberapa lokasi di Jawa Tengah pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel.2. Data menunjukkan bahwa dari 16 sampel jagung diperoleh 15 (93,75%) diantaranya positif mengandung total aflatoksin dengan kisaran 0,18 hingga 50,81 ng/g dengan perincian 11 diantaranya positif mengandung AFB1 dengan kisaran kadar antara 1,18 hingga 34,00 ng/g, 14 sampel posiitif terhadap AFB2 dengan kisaran antara 0,10 hingga 17,65 ng/g, 10 sampel positif terhadap AFG1 dengan kisaran antara 0,75 hingga 42,12 ng/g, dan 2 sampel positif terhadap AFG2 dengan kisaran antara 1,59 hingga 1,74 ng/g.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara umum sampel masih di bawah nilai ambang batas maksimum yang diijinkan untuk digunakan untuk pakan ternak menurut ketentuan SNI yaitu 50 ng/g dan hanya 1 sampel (6,25%) yang melebihi 50 ng/g yaitu dengan kadar total aflatoksin sebesar 50,81 ng/g. Mengingat penggunaan dalam pakan ternak hanya sekitar 70%, maka sampel-sampel jagung tersebut masih aman apabila digunakan untuk pakan ternak.

Hasil analisis aflatoksin pada jagung tidak jauh berbeda bila dibandingkan laporan terakhir yang dikemukakan BAHRI et al. (2005) pada sampel yang berasal dari propinsi Lampung dan Jawa Timur. Hanya saja, perlu disarankan agar jagung tersebut terutama bila diperuntukkan untuk pakan ternak tidak disimpan dalam waktu yang terlalu lama, karena iklim di Indonesia dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan kapang penghasil aflatoksin, terutama apabila jagung juga mengandung kadar air yang tinggi.

Tabel 3. Hasil analisis sampel jagung

Konsentrasi aflatoksin (ng/g) Kode sampel

AFB1 AFB2 AFG1 AFG2 Total AF

1 1,18 0,10 1,62 tt 2,90 2 3,83 0,18 17,09 tt 21,10 3 4,70 0,90 22,32 1,74 29,67 4 10,76 1,02 22,51 tt 34,29 5 8,74 2,15 7,15 tt 18,05 6 tt tt 12,26 tt 12,26 7 tt 3,51 tt tt 3,51 8 33,53 2,89 6,55 tt 42,97 9 8,12 0,56 42,12 tt 50,81 10 34,00 3,61 11,93 tt 49,56 11 tt 0,16 0,75 tt 1,21 12 3,55 0,42 tt tt 3,97 13 tt tt tt tt tt 14 6,59 17,65 tt 1,59 25,82 15 1,53 3,09 tt tt 4,62 16 tt 0,18 tt tt 0,18

(6)

KESIMPULAN

Untuk menganalisis aflatoksin pada jagung yang digunakan untuk pakan ternak dapat dilakukan ekstraksi dengan pelarut organik yang aman (metanol) dan pemurnian menggunakan SPE silika menghasilkan kromatogram yang sangat baik dengan hasil validasi yang memenuhi syarat.

Hasil analisis terhadap 16 sampel jagung dari lapang menunjukkan bahwa 15 diantaranya (93,75%) diantaranya positif mengandung total aflatoksin dengan kisaran 0,18 hingga 50,81 ng/g. Namun secara keseluruhan hasil tersebut masih aman untuk dikonsumsi hewan ternak karena masih di bawah ambang batas maksimum yang diijinkan dalam pakan ternak (50 ng/g).

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih ditujukan kepada rekan-rekan di laboratorium Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Semarang, Wonogiri dan Blora serta Kepala Dinas Pertanian Kota Salatiga atas ijin dan bantuannya dalam mengumpulkan sampel di lapang.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC, 2000. AOAC Official Method 993.17. Aflatoxins in corn and peanuts. Thin layer chromatographic method. 49.2.15. Natural Toxins. 26th. Ed. Chapter 49. p. 16.

BAHRI, S.,R. MARYAM dan R. WIDIASTUTI. 2005.

Cemaran Aflatoksin pada Bahan Pakan dan Pakan di Beberapa Daerah Propinsi Lampung dan Jawa Timur. JITV 10(3): 236 – 241.

BAHRI, S., R. MARYAM, R. WIDIASTUTI dan P.

ZAHARI. 1995. Aflatoksikosis dan Cemaran Aflatoksin pada Pakan Serta Produk Ternak. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 7 – 8 Nov. 1995. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 95 – 107.

BLANEY, B.J., C.J.MOORE and S.L.TYLER. 1984.

Mycotoxins and Fungal Damage in Maize Harvested During 1982 in Far North of Queensland, Australia.

CASTRO, L. and E.A.VARGAS.2001. Determining aflatoxins B1, B2, G1 and G2 in maize using florisil clean up with thin layer chromatography and visual and densitometric quantification. Ciênc. Tecnol. Aliment., Jan./Apr. 2001. 21(1): 115 – 122.

IARC, 1998. List of IARC Evaluation. Diunduh dari http://www-old.itcilo.org/actrav-english/telear n/osh/kemi/iarc-htm (28 Agustus 2008). OSWEILER,G.D.,T.L.CARSON,W.B.BUCK and G.A.

VAN GELDER. 1976. Clinical and Diagnostic Veterinary Tocixology. 3rd Edition. Kendall/

Hunt Publishing Co.

PARK,D.L.,M.W.TRUCKESS,S.NESHEIM,M.STACK

and R. NEWELL. 1994. Solvent-efficient thin

layer chromatographic method for the determination of aflatoxins B1, B2, G1 and G2 in corn and peanut products: Collaboarative study. J. AOAC Int. 77(3): 637 – 646.

ROUSSI, V, A.GOVARIS, A. VARAGOULI and N.A.

BOTSOGLOU. 2002. Occurrence of aflatoxin

M(1) in raw and market milk commercialized in Greece. Food Addit Contam. 19(9): 863 – 868.

SUPARTO,D.A. 2004. Situasi Cemaran Mikotoksin

pada Pakan di Indonesia dan Perundang-Undangannya. Pros. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 131 – 142. TRUCKSESS, M.W. and L. STOLOFF. 1984.

Determination of Aflatoxicol and Aflatoxin B1 and M1 in Eggs. J. AOAC. 67: 312 – 320.

Gambar

Gambar 1. Kromatogram pemisahan aflatoksin dalam sampel jagung dengan penambahan 40 ng/g AFB1, 20  ng/g AFB2, 200 ng/g AFG1 dan 60 ng/g AFG2 pada volume pengen ceran 2 ml
Tabel 1. Hasil uji perolehan kembali (recovery)  AF  Kons. AF yang  ditambahkan (ng/g)  Rec
Tabel 3. Hasil analisis sampel jagung

Referensi

Dokumen terkait

Sudut bias dalam prisma lebih kecil dari pada sudut jatuh dari udara.. Sinar bias yang keluar dari prisma mendekati garis

2. Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, serta menemukan sesuatu melalui

Masyarakat kuno telah mengenal perdagangan dan pelayaran sejak ribuan tahuan yang silam, bahkan disinyalir perdagangan dan pelayaran sudah ada sejak manusia mengembangkan

Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi adalah dengan menggunakan kuisioner (angket). Kuisioner ini terdiri dari butir-butir pertanyaan atau

Dalam Tafsir Jalalain: (Allah mengunci mati hati mereka) maksudnya menutup rapat hati mereka sehingga tidak dapat dimasuki oleh kebaikan (begitu pun pendengaran

The resulting position is an ersatzist version of presentism that admits merely non-present entities as abstracta deprived of physical existence.. Ersatzist presentism both escapes

Dimana dalam form akad tersebut terdapat perjanjian tertulis mengenai pemberian kuasa/perwakilan ( wakalah ) antara pihak pertama (KSP) dengan pihak kedua (anggota) yang

kalstamų veikų recidyvas negali būti savarankiška daugeto forma todėl, kad kai asmuo pa- daro vieną nusikalstamą veiką atlikdamas bausmę ar atidėjus jos vykdymą, jis teisiamas ne