• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELESTARIAN ALAM DALAM GEGURITAN RATNA WILIS OLEH: NI WAYAN DWI ARINI Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Pembimbing I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELESTARIAN ALAM DALAM GEGURITAN RATNA WILIS OLEH: NI WAYAN DWI ARINI Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Pembimbing I"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 PELESTARIAN ALAM DALAM GEGURITAN RATNA WILIS

OLEH:

NI WAYAN DWI ARINI wiknini@gmail.com

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Pembimbing I

Dra. Ni Made Sukerni, M.Ag.

Pembimbing II

Drs. I Made Wiradnyana, M.Hum.

Pembantu Dekan I Dharma Acarya

Dra.Ni Nyoman Perni, M.Pd.

ABSTRAK

Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali Tradisional yang masih ada dan berkembang dikalangan masyarakat Bali. Salah satunya adalah Geguritan Ratna Wilis. Geguritan Ratna Wilis menceritakan tentang bagaimana pentingnya menjaga kelestarian alam. Mengingat ajaran Tri Hita Karana yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan) maka peneliti sangat tertarik mengkaji lebih lanjut isi dari naskah tersebut. Mengingat keberadaan alam yang semakin tidak bersahabat seperti halnya banjir, tanah longsor, yang keberadaannya meresahkan masyarakat, oleh karena itu lewat karya sastra Geguritan Ratna Wilis masyarakat dapat memahami cara menjaga alam dan lingkungannya agar tetap lestari, seperti halnya tidak boleh menebang pohon sembarangan, tidak boleh memburu binatang yang patut dilestarikan seperti gajah, macan dan burung. Dengan adanya karya sastra tersebut, supaya masyarakat menjaga dan melestarikan alam lingkungannya. Seperti menjaga hutan, karena hutan sebagai sumber mata air selain itu hutan juga sebagai tempat satwa atau binatang-binatang.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini ada tiga permasalahan yang akan dibahas yakni: (1) Bagaimanakah Satuan Naratif yang membangun Geguritan Ratna Wilis ?, (2) Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang terkandung dalam Geguritan Ratna Wilis ?, (3) Bagaimanakah konsep pelestarian alam dalam Gaguritan Ratna Wilis ?. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Satuan Naratif yang membangun Geguritan Ratna Wilis.(2) nilai-nilai

(2)

2 pendidikan yang terkandung dalam Geguritan Ratna Wilis.(3) keterkaitan antara Geguritan Ratna Wilis dengan konsep pelestarian alam.

Teori yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah yakni: Teori Sosiologi Sastra, Teori Semiotika, dan Teori Nilai. Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data yakni: metode observasi, metode studi kepustakaan, metode pencatatan dokumen dan metode hermeneutika. Metode yang dipakai untuk menyajikan data yakni dengan reduksi data, display serta penyimpulan dan verifikasi. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan (1) Geguritan Ratna Wilis dibangun oleh satuan naratif yang utuh, seperti unit mukha, unit pratimukha, unit garbha, unit vimarśa, unit nirvahana, serta tema dan amanat. (2) Nilai pendidikan yang terkandung dalam Geguritan Ratna Wilis yakni (a) nilai etika, (b) nilai kesetiaan, (c) nilai religius. (3) Dari cerita dalam Geguritan Ratna Wilis tersebut dapat digunakan sebagai pedoman untuk kehidupan sesama masyarakat, terkait dengan konsep pelestarian alam yakni pelestarian lingkungan, dengan cara tidak membabat pohon-pohon yang ada di hutan sembarangan. Serta pelestarian fauna atau binatang dengan cara tidak memburu satwa langka yang patut dijaga dan dilestarikan.

Kata-kata Kunci: Pelestarian Alam, Geguritan Ratna Wilis. PENDAHULUAN

Keharmonisan hidup manusia tidak terlepas dari adanya hubungan timbal balik antara manusia dengan alam dan lingkungan. Ajaran Tri Hita Karana sebagai ajaran agama Hindu yang bersifat universal, adapun tiga penyebab keharmonisan atau kesejahteraan yaitu : hubungan manusia dengan Tuhan (Parhayangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan). Palemahan sebagai bentuk keharmonisan manusia dengan lingkungan, maka palemahan sebagai bagian dari Tri Hita Karana yang mengungkapkan hubungan antara manusia dengan lingkungan. Maka sebagai manusia perlu menjaga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya. Dengan adanya sikap peduli terhadap lingkungan diharapkan dapat memunculkan langkah nyata untuk melakukan upaya-upaya yang mencegah prilaku yang dapat merusak lingkungan.

Manusia hidup dan berkembang tidak hanya dalam komunitas sosial, tetapi juga dalam komunitas ekologis, yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dan terikat erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Makhluk yang menjalin ketergantungan timbal-balik saling menguntungkan dengan semua kehidupan lainnya, dan hanya melalui jaring kehidupan makhluk hidup bisa hidup dan berkembang menjadi diri sendiri. Tanpa alam, tanpa makhluk hidup lain, manusia tidak akan bertahan hidup, karena manusia hanya merupakan salah satu makhluk hidup di alam semesta. Jadi manusia tidak berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Manusia berada dalam alam dan terikat serta tergantung dari alam dan seluruh isinya.

Keberlangsungan hidup flora dan fauna tidak terlepas dari adanya bentuk pelestarian alam. Seperti diketahui pelestarian adalah usaha untuk tetap menjaga, menyayangi dan mempertahankan sumber daya alam. Apabila alam rusak, maka kehidupan manusia akan mengalami kekacauan. Seperti halnya pada saat ini musim kering atau kemarau yang melanda, selain menyebabkan manusia kekurangan air juga menyebabkan kebakaran hutan. Selain itu pembabatan hutan secara liar menyebabkan rusaknya ekosistem hutan. Kerusakan lingkungan dan dampak industrialisasi menyebabkan polusi udara. Pencemaran lingkungan yang terjadi dari limbah industri dan limbah rumah tangga. Penanggulangan dari berbagai macam bentuk

(3)

3 perusakan lingkungan, baik dari pembabatan hutan dan industrialisasi perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah.

Kesusastraan Bali merupakan warisan budaya Bali yang mengandung nilai-nilai masyarakat Bali sebagai pendukungnya. Dipandang dari segi jamannya, secara umum kesusastraan Bali dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu (1) kesusastraan Bali purwa (tradisional) yaitu kesusastraan yang telah diwarisi sejak jaman lampau dan lekat sekali kaitannya dengan pustaka suci agama Hindu yang berupa tembang, gancaran, dan palawakia. (2) kesusastraan Bali anyar (modern) yaitu kesusastraan Bali yang telah mendapat pengaruh dari kesusastraan nasional yaitu kesusastraan Indonesia yang terdiri atas satua bawak (cerpen), satua dawa (novel), puisi Bali anyar, lelampahan atau drama. Kesusastraan Bali purwa merupakaan warisan budaya Bali yang mengandung nilai-nilai tradisional masyarakat Bali pendukungnya. Seperti : geguritan, kekawin, kidung dll. Kesusastraan Bali anyar mengandung unsur-unsur yang banyak mendapat masukan dari sastra modern dewasa ini. Dalam hal ini kesusastraan yang dimaksud mencerminkan dinamika kehidupan sosial masyarakat Bali Modern (Granoka, 1981: 3).

Kesusastraan Bali purwa (tradisional) daerah Bali perlu dipelihara dibina, dan dikembangkan, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang sangat penting arti dan maknanya bagi kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Bali. Sehingga karya sastra tradisional merupakan warisan sejak jaman lampau yang mengandung berbagai lukisan kebudayaan, buah pikiran, budi pekerti, nasihat, hiburan dan termasuk kehidupan beragama.

Lewat karya sastra pengarang menuangkan ide dan gagasannya. Seperti halnya karya sastra berupa geguritan yang keberadaannya masih dijumpai dan dipakai dalam kegiatan upacara keagamaan di masyarakat. Salah satu pengarang yang masih aktif dalam menghasilkan karya sastra geguritan adalah I Nyoman Suprapta, adapun hasil karya yang beliau terbitkan dalam bentuk buku, yaitu Geguritan Pasek Badak, Geguritan Sarameya, Geguritan Lingga Acala, Geguritan Ajisaka, Geguritan Aji Saraswati, Geguritan Ratna Wilis, dan lain-lain. Salah satu dari geguritan yang dihasilkan oleh Bapak I Nyoman Suprapta, yang akan dipakai bahan kajian dalam penelitian ini adalah Geguritan Ratna Wilis. Geguritan Ratna Wilis sebagai suatu bentuk karya sastra yang menggunakan pupuh atau karangan cerita berbentuk tembang (pupuh), sehingga lebih mudah untuk ditembangkan dan diingat.

Adapun pupuh-pupuh yang dipakai untuk membangun Geguritan Ratna Wilis terdiri dari 10 jenis pupuh yakni : Pupuh Dangdang Gula, Pupuh Sinom, Pupuh Pucung, Pupuh Pangkur, Pupuh Maskumambang, Pupuh Durma, Pupuh Ginada, Pupuh Mijil, Pupuh Ginanti, dan Pupuh Semarandana. Dengan adanya pupuh-pupuh tersebut maka pesan-pesan yang ingin disampaikan bisa lebih mudah untuk dipahami. Geguritan Ratna Wilis menceritakan tentang bagaimana pentingnya menjaga kelestarian alam. Mengingat ajaran Tri Hita Karana yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan) maka peneliti sangat tertarik mengkaji lebih lanjut isi dari naskah tersebut. Mengingat keberadaan alam yang semakin tidak bersahabat seperti halnya banjir, tanah longsor, yang keberadaannya meresahkan masyarakat, oleh karena itu lewat karya sastra Geguritan Ratna Wilis masyarakat dapat memahami cara menjaga alam dan lingkungannya agar tetap lestari, seperti halnya tidak boleh menebang pohon sembarangan, tidak boleh memburu binatang yang patut dilestarikan seperti gajah, macan dan burung. Dengan adanya pemahaman secara langsung dari karya sastra tersebut, masyarakat diajak lebih menjaga dan melestarikan alam lingkungannya. Seperti menjaga hutan, karena hutan sebagai sumber mata air selain itu hutan juga sebagai tempat satwa atau binatang-binatang. Melihat isi yang terkandung dalam teks Geguritan Ratna Wilis, maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut. Dari

(4)

4 latar belakang di atas maka peneliti mengambil judul Pelestarian Alam dalam Geguritan Ratna Wilis. Sehingga pemahaman tentang pentingnya menjaga kelestarian alam dapat lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Maka ada beberapa masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini, sebagai berikut: Bagaimanakah konsep pelestarian alam dalam Gaguritan Ratna Wilis ?.

METODE Jenis penelitian

Hamidi (2005: 15) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif berproses secara induktif, yakni proses diawali dari upaya memperoleh data yang detail (riwayat hidup responden, life story, berkenaan dengan topik atau masalah penelitian), tanpa evaluasi dan interpretasi, kemudian dikatagorikan, diabstraksikan serta dicari tema, konsep atau teori yang baru.

Penelitian kualitatif merupakan suatu strategi penelitian yang menghasilkan data atau keterangan yang dapat dideskripsikan realitas sosial dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan bermasyarakat. Penelitian kualitatif ini diharapkan mampu memberikan keterangan yang valid tentang analisis unsur intrinsik dan nilai dalam Geguritan Ratna Wilis.

Data primer dalam penelitian ini adalah naskah Geguritan Ratna Wilis. Data sekunder dari penelitian ini diperoleh dari hasil penelitian serta buku-buku penunjang lainnya yang terkait dengan penelitian.

Metode Pengumpulan Data Metode Observasi

Pengamatan (observasi) adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Penyaksian terhadap peristiwa-peristiwa itu bisa dengan melihat, mendengar, merasakan, yang kemudian dicatat subyektif mungkin (Gulo, 2002: 117).

Metode observasi, yaitu mengadakan peninjauan secara cermat atau pengamatan langsung terhadap objek, dalam hal ini adalah naskah Geguritan Ratna Wilis. Dalam tahap ini dilakukan dengan teknik: 1). Pembacaan secara berulang-ulang dan menandai dan mencatat data-data yang terkait dengan analisis. 2). Data tersebut kemudian dipilah-pilah dalam unit-unit kecil untuk mempermudah proses analisis, itu yang termasuk ke dalam unit struktur instrinsik dan ekstrinsiknya.

Metode Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan suatu metode yang digunakan untuk mendapat suatu pengetahuan yang belum diketahui dengan jalan membaca buku-buku yang erat kaitannya dengan masalah yang akan dibahas, kemudian dilakukan pencatatan secara sistematis (Ekasana, 2002:9).

Informasi yang diperoleh dari metode kepustakaan adalah berupa data primer. Data primer merupakan sumber pokok dalam penelitian, yaitu mengenai Geguritan Ratna Wilis, serta memakai sumber-sumber lain yang dipakai untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Dalam penelitian kepustakaan peneliti menempuh beberapalangkah untuk mendapat sumber yang terkait dengan permasalahan yang diteliti sebagai berikut: 1) Membaca dan mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan topik yang diteliti, baik itu buku-buku dalam perpustakaan maupun koleksi pribadi. 2) Data-data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan dalam catatan secara sistematis seperti: mengenai kutipan yang penting dari berbagai buku-buku, skripsi, majalah sebagai bahan penulisan.

Metode Pencatatan Dokumen

Metode pencatatan dokumen adalah satu-satunya metode yang digunakan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mengumpulkan data yang sudah ada dalam dokumen

(5)

5 atau prinsip serta mengadakan pencatatan-pencatatan yang sistematis. Sehingga dalam penelitian ini mencari sumber-sumber berupa buku-buku, dokumen yang berkaitan dengan penelitian karya sastra geguritan kemudian dilakukan dengan teknik pencatatan-pencatatan secara sistematis. Metode Hermeneutika

Secara etimologis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Secara mitologis (ibid) hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan ilahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Jadi penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan (Kutha Ratna, 2009: 45)

Metode Hermeneutika digunakan dalam penilitian ini untuk menafsirkan nilai-nilai yang terkandung dalam Geguritan Ratna Wilis serta mengenai pelestarian alam dalam Geguritan Ratna Wilis. Metode Hermeneutika juga digunakan untuk menafsirkan serta mencari pesan atau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam Geguritan Ratna Wilis.

Metode Penyajian Data Reduksi Data

Mereduksi data adalah merangkum, memilih hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pola temuan. Reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan, keluasan, dan kedalaman wawasan yang tinggi. Peneliti hanya menggunakan data yang dianggap perlu dalam proses penyajian data. Reduksi juga dilakukan dengan membuat ringkasan data yang terdapat pada Geguritan Ratna Wilis.

Display

Dalam penelitian ini, penyajian data akan dibuat dalam bentuk uraian yang berbentuk naratif karena penelitian ini mengandung analisis karya sastra dan hasil penelitian setelah data direduksi akan dideskripsikan. Data yang disajikan dalam penelitian Geguritan Ratna Wilis adalah hasil atau analisis data yang sudah direduksi.

Penyimpulan dan Verifikasi

Berdasarkan reduksi dan display, peneliti kemudian mencari struktur, nilai-nilai pendidikan dan adanya keterkaitan antara Geguritan Ratna Wilis dengan Pelestarian Alam. Apabila ada data baru yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti, yang nantinya merubah kesimpulan sementara dan data tersebut telah didukung oleh bukti yang valid maka dilakukan perbaikan, sehingga akhirnya mendapatkan data final yang valid dan konsisten.

Metode Analisis Data

Metode Deskriptif Kualitatif

Metode deskriptif adalah suatu cara pengelolaan data yang dilakukan dengan cara menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan umum (Koentjaraningrat, 1981: 174).

Menyusun secara sistematis maksudnya adalah menunjukkan dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu atau teknik-teknik tertentu. Nenyusun secara nyata kebenaran yang diperoleh melalui metode pengumpulan data, kemudian data diuraikan sesuai dengan kenyataan yang ada sehingga menjadi jelas arti dan maksudnya.

Metode deskriftif kualitatif adalah penggambaran secara kualitatif fakta, data atau objek material yang bukan berupa rangkaian angka, melainkan berupa ungkapan bahasa atau wacana (apapun itu bentuknya) melalui interpretasi yang tepat dan sistematis (Wibowo, 2011)

(6)

6 Metode Deskriftif kualitatif digunakan dalam penelitian ini dalam Geguritan Ratna Wilis untuk menguraikan unsur instrinsiknya, serta memberikan suatu pemahaman mengenai kandungan isi geguritan yang berupa struktur dan nilai yang terkandung di dalamnya.

HASIL PENELITIAN Sinopsis

Diceritakan Prabu Munding Sari adalah seorang Raja bertahta di Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Beliau memeluk Agama Hindu. Setiap hari beliau menghaturkan yadnya sebagai wujud bhakti kepada para Dewata. Beliau adalah seorang Raja yang bijaksana dan mencintai seluruh rakyatnya, sehingga masyarakat yang hidup di Pajajaran menjadi damai dan sejahtera.

Suatu hari Prabu Munding Sari akan pergi ke hutan untuk berburu. Sebelum berangkat ke hutan, Sang Raja memaparkan apa tujuan beliau pergi berburu, beliau berburu sambil melihat secara langsung, baik atau buruk jagat yang dipimpinnya. Sebagai seorang Raja, Prabu Munding Sari juga memaparkan kepada rakyatnya bagaimana tata krama saat berburu. Tidak boleh memburu binatang yang patut dilestarikan seperti, burung, gajah, badak dan macan. Karena semua binatang tersebut langka sekali keberadaannya, maka harus dijaga dan dilestarikan. Binatang yang bisa diburu, yakni binatang yang selalu mengganggu dan merugikan rakyat. Seluruh kayu yang ada di hutan, jangan pernah ditebang sembarangan. Agar hutan tidak gundul atau lapang., jika seluruh kayu yang ada di hutan habis ditebang, tidak akan ada yang menyejukan jagat. Karena itu hutan yang ada di seluruh jagat, harus dilestarikan dan dijaga bersama-sama, agar rakyat semua aman dan selamat. Seperti itulah wejangan dari Raja Munding Sari kepada seluruh rakyatnya.

Sang Raja pun berjalan ke hutan dengan diiringi oleh rakyatnya semua. Tidak lama berjalan, tibalah beliau dan rakyatnya di hutan. Pada saat itu, Prabu Munding Sari melihat seekor kijang yang sedang asyik makan daun kemoning. Tertariklah Sang Raja ingin menangkap kijang itu hidup-hidup, baru akan dipegang tiba-tiba kijang itu lari menjauh. Sang Raja mengejar kijang itu tanpa ada rakyat yang mengikuti beliau, si kijang semakin jauh berlari menuju hutan angker. Sang surya sudah tegak menunjukkan waktu sudah siang, barulah rakyat ingat pada Sang Raja yang tidak kembali.

Diceritakan Sang Raja masih berambisi mengejar kijang itu. Sang surya sudah terbenam menunjukkan langit sudah gelap. Tanpa disadari si kijang berubah menjadi Detia, susunya besar, bertaring panjang, rambutnya awut-awutan dan matanya mendelik sangat menakutkan. Sang Prabu Munding Sari terkejut melihat Si Detia. Sang Prabu merasa di tipu Si Detia. Sang Raja berkeinginan untuk membunuh Si Detia, sebelumnya Sang Raja menanyakan nama Si Detia. Si detia menjawab dengan halus, Saya bernama Wana Pati. Saya sebagai Raja di tengah hutan agung, yang saya pakai rakyat adalah kelompok wong samar. Seperti tonya, gamang dan mamedi. Saya mengajak Tuan ke sini, karena saya ingin bertukar pikiran dengan Tuan. Sang Raja tidak terima dan menghunus keris pusakanya. Segera menusuk Si detia, tetapi sedikitpun tidak tersayat kulit Si detia. Prabu Munding Sari terkejut melihat Detia Wana Pati tidak tersayat sedikit pun.

Sang Raja Munding Sari menyerah dan mengakui kesaktian Si detia yang tidak bisa ditandingi. Detia Wana Pati tidak berkeinginan untuk membunuh Sang Raja. Tetapi Detia Wana Pati berkeinginan untuk menjadikan Sang Raja sahabat yang akan diajak bersama-sama menata jagat. Karena sekarang banyak masyarakat Jawa tidak memeluk Agama Hindu lagi dan adat istiadat sudah diremehkan sekali oleh masyarakat. Detia Wana Pati merafalkan kesaktiannya, mendadak hutan yang lebat berubah menjadi istana yang tak terhingga indahnya, yang dihiasi oleh mas dan permata. Juga terlihat rakyat laki dan perempuan, sama seperti manusia biasa.

(7)

7 Sang Raja merasa seperti mimpi melihat istana yang tak terhingga indahnya. Istana yang indah tersebut bernama Ratna Maya. Di dalam istana Sang Raja melihat wanita cantik yang berbusana serba hijau. Wanita tersebut bernama Ratna Wilis. Detia Wana Pati memberikan anaknya untuk dijadikan istri oleh Sang Prabu Munding Sari. Sang Raja tidak menolak, dengan syarat, bila sudah memiliki satu putra, Sang Raja ingin kembali ke Pajajaran. Detia Wana Pati tidak menolak permintaan Sang Raja, beliau senang sekali karena permintaannya dipenuhi.

Setelah lama menikah, hamillah Diah Ratna Wilis. Dan pada akhirnya, Diah Ratna Wilis melahirkan seorang anak wanita yang cantik seperti Dewi Ratih. Saat itu Prabu Munding Sari menagih janjinya untuk kembali ke Pajajaran. Diah Ratna Wilis menangis, meminta agar Sang Raja tidak meninggalkan dirinya dan merubah keputusannya untuk tidak kembali ke Pajajaran. Detia Wana Pati mengingatkan anaknya bahwa perjanjian itu sudah disepakati. Janji tidak boleh diingkari, jika ingkar janji itu hina sekali.

Detia Wana Pati pun mempersilahkan Sang Prabu Munding Sari kembali ke dunia manusia. Prabu Munding Sari boleh membawa anaknya, tetapi tidak boleh membawa Diah Ratna, karena Diah Ratna Wilis berwujud wong samar yang wujudnya halus. Tiba-tiba istana yang bagus dan Diah Ratna Wilis lenyap, kembali menjadi hutan angker. Dilihatlah anaknya ada di bawah pohon yang rimbun. Sang Raja terkejut menyaksikan keadaan itu, beliau segera mengambil anaknya dan segera berjalan pulang ke istana.

1. Konsep Pelestarian Alam dalam Geguritan Ratna Wilis. a. Pelestarian lingkungan

Lingkungan adalah kawasan hidup manusia, hewan dan tumbuhan yang mempengaruhi perkembangan kehidupan baik langsung maupun tidak langsung Rahmat (2012).

Pelestarian lingkungan adalah upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan dampak negatif yang ditimbulkan suatu kegiatan. Serta menjaga kesetabilan lingkungan untuk menjadi tempat hidup manusia, hewan dan tumbuhan.

Dalam Geguritan Ratna Wilis, dijelaskan salah satu dari Sad Kŗtih yakni Wana Kŗtih, yaitu upaya untuk melestarikan hutan. Karena itu di hutan umumnya dibangun Pura Alas Angker untuk menjaga kelestarian hutan secara niskala . di hutan juga ada upacara Pakelem ke hutan atau ke gunung. Dengan upacara tersebut umat hendaknya terdorong untuk membuat program-program aksi memelihara hutan.

Upaya pelestarian lingkungan dengan cara tidak menebang pohon yang ada di hutan sembarangan. Karena pohon di hutan sebagai penyerap air hujan, penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk bernapas serta sebagai penyejuk udara. Jika pohon ditebang sembarangan akan mengakibatkan terjadinya bencana seperti pencemaran (udara, air, dan tanah), banjir dan tanah longsor akibat perusakan hutan, juga bisa terjadi sebaliknya, kurangnya sumber mata air karena mengeringnya sumber-sumber air akibat hutan yang gundul. Bencana tersebut dapat dihindari dengan melakukan penanaman kembali pada hutan yang gundul, tidak menebang pohon sembarangan. Hal ini tampak pada kutipan (5).

(5) Saluir kayu/Eda malbal ngulah laku/Pang sing alas galang/Sing ada nayuhin gumi/Alas agung/Yening werdi jagat kerta (Pucung bait V)

Artinya:

Seluruh kayu yang ada di hutan/Itu semua kayu jangan sekali-kali dibabat seenaknya/Jangan paman seenaknya membabat kayu agar hutan tidak lapang/Bila kayu di hutan habis dibabat pasti tidak ada menyejukan jagat/Seluruh hutan lebat yang ada di jagat/Kalau hutan itu dilestarikan bersama-sama pasti rakyat aman dan selamat.

(8)

8 Dalam bait (5) di atas, Geguritan Ratna Wilis. terselip tendensi pengarang secara tersirat dalam bait geguritan. Menjelaskan bahwa menjaga lingkungan dengan menjaga dan melestarikan pohon-pohon yang ada di hutan.

Manusia hidup dari ada-Nya unsur-unsur alam. Setiap ada unsur alam yang diambil jangan sampai tidak kembali melestarikannya. Seperti setiap hari kita membutuhkan air dalam hidup ini. Setiap hari orang-orang juga membutuhkan tumbuh-tumbuhan untuk bahan makanan. Maka dari itu harus menjaga dan melestarikan lingkungan. Dengan melaksanakan upacara Bhuta yadnya, dan sebagai lanjutannya tidak membabat tumbuh-tumbuhan, menjaga sumber-sumber alam lainnya yang seharusnya dijaga kelestariannya (Wiana, 2006: 23).

Langkah pencegahan pada prinsipnya mengurangi pencemaran dari sumbernya untuk mencegah dampak lingkungan yang lebih berat. Di lingkungan yang terdekat, misalnya dengan mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan, menggunakan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle). Serta langkah pengendalian sangat penting untuk menjaga lingkungan tetap bersih dan sehat. Pengendalian dapat berupa pembuatan standar baku mutu lingkungan, monitoring lingkungan dan penggunaan teknologi untuk mengatasi masalah lingkungan.

Upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan hutan yakni: 1) menggalakkan penanaman pohon ataupun tanaman hias di sekitar lingkungan hidup. tanaman mampu memproduksi oksigen melalui proses fotosintesis. Rusaknya hutan akan menyebabkan berkuranggnya produksi oksigen bagi atmosfer berkurang, tumbuhan juga mengeluarkan uap air, sehingga kelembaban udara akan terjaga. 2) mengupayakan pengurangan emisi atau pembuangan gas sisa pembakaran, baik pembakaran hutan, asap knalpot kendaraan dan cerobong asap merupakan penyumbang terbesar kotornya udara. 3) mengurangi atau bahkan menghindari pemakaian gas kimia yang dapat merusak lapisan ozon. 4) menerapkan sistem tebang pilih dalam menebang pohon. 5) melarang pembabatan hutan secara sewenang-wenang. Serta 6) menerapkan sistem tebang-tanam dalam kegiatan penebangan pohon.

Menurut pandangan Agama Hindu pelestarian lingkungan dengan menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam, hubungan antara bhuana alit (manusia) dengan bhuana agung (alam semesta). Hidup di dunia memerlukan ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan lahir bhatin. Untuk mencapai tujuan itu manusia tidak bisa hidup tanpa bhuana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam, dengan melaksanakan upacara tumpek wariga (tumpek uduh, tumpek bubuh) untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan (Tim Penyusun Savitri, 2004: 46).

Tumpek Wariga adalah upacara untuk bersyukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Sangkara (Dewa tumbuh-tumbuhan), atas anugrah segala jenis tumbuh-tumbuhan untuk kehidupan dan kemakmuran manusia Ida Bagus Sudarsana dalam (Alit Udayana, 2009: 17).

Lingkungan hidup yang ideal hanya dapat tercapai apabila ketiga komponen lingkungan hidup itu ada dalam keseimbangan. Ketika salah satu komponen itu mendominasi yang lainnya, keseimbangan akan terganggu. Apabila itu terjadi kelestarian alam akan terganggu. Eksistensi tumbuh-tumbuhan sebagai bagian dari ekosistem mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan dengan komponen lainnya. Kehadirannya dalam ekosistem dapat dipengaruhi dan mempengaruhi , seperti sebuah hubungan timbal balik.

Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan biotik, abiotik, dan sosial. Biotik yakni makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan) sementara abiotik adalah bukan makhluk hidup (udara, tanah, air, gedung, jalan raya, rumah dan lain-lain). Lingkungan sosial adalah yang membentuk karakter kepribadian seseorang.

(9)

9 Dalam kitab Purāņa Bali dalam (Wiana, 2007: 67-68) ada disebutkan Şad Kŗtih yakni : 1) Atma Kŗtih, yaitu suatu upaya untuk melakukan pelestarian segala usaha untuk menyucikan Sang Hyang Atma dari belenggu Tri Guna. 2) Samudra Kŗtih, yaitu upaya untuk menjaga kelestarian samudra sebagai sumber alam yang memiliki fungsi yang sangat komplek dalam kehidupan umat manusia. 3) Wana Kŗtih, yaitu upaya untuk melestarikan hutan. Karena itu di hutan umumnya dibangun Pura Alas Angker untuk menjaga kelestarian hutan secara niskala . di hutan juga ada upacara Pakelem ke hutan atau ke gunung. Dengan upacara tersebut umat hendaknya terdorong untuk membuat program-program aksi memelihara hutan. 4) Danu Kŗtih, yaitu suatu upaya untuk menjaga kelestarian sumber-sumber air tawar di daratan seperti mata air, danau, sungai dll. 5) Jagat Kŗtih, yaitu upaya untuk melestarikan keharmonisan sosial yang dinamis (Desa Pakraman). dan 6) Jana Kŗtih, yaitu ngertiang manusia secara individu. Atma Krti membangun lingkungan rohani yang spiritual. Dengan lestarinya Sad Krtih, maka terwujudlah lingkungan hidup yang komplit untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir dan bhatin.

Wana Kŗtih sesuai dengan salah satu konsep Sad Kŗtih yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan melalui upaya menjaga dan memelihara pohon-pohon yang ada di hutan, agar tercipta keharmonisan dengan lingkungan, serta adanya kesadaran untuk selalu menjaga dan memelihara lingkungan sekitar.

b. Pelestarian Fauna atau binatang.

Hewan atau binatang adalah kelompok utama dari multiseluler, organisme eukariotik dari Animalia kingdom atau Metazoa. Hewan bisa juga disebut dengan fauna maupun satwa. Kata hewan berbeda dengan kata binatang. Hewan mengacu pada binatang jinak (peliharaan) sedangkan binatang biasanya mengacu pada mahluk (Hewan) liar dengan kata lain Binatang yakni makhluk bernyawa yang mampu bergerak (berpindah tempat) dan mampu beraksi terhadap rangsangan, tetapi tidak berakal budi.

Upaya pelestarian fauna atau binatang dengan cara tidak memburu hewan yang dilindungi,melindungi hewan-hewan langka, serta membudi dayakan hewan langka agar tidak punah keberadaannya. Fauna atau binatang yang ada sebagai penyeimbang ekosistem alam. Jika binatang semuanya punah, ekosistem alam akan terhenti, karena tidak adanya timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Hal ini tampak dalam kutipan (3) dan (4).

(3) Maha Prabu/Lantur ngicen panjak tutur/Tata krama paman/Maboros di alas sripit/Eda muru/Kedis ne patut werdiang (Pucung bait III)

Artinya:

Beliau Sang Raja Munding Sari/Selanjutnya,beliau memberi nasihat pada rakyatnya semua/Paman,sekarang saya paparkan bagaimana sepatutnya tata krama paman/Bagaimana tata krama Paman berburu, dengarkan sekarang petunjuk saya/Di hutan, jangan sekali paman semena-mena berburu/Jangan sekali paman memburu burung yang patut dilestarikan agar tidak punah.

(4) Apang weruh/Buron tusing dadi buru/Gajah Badak Macan/Patut jaga apang werdi/Ne kaburu/Buron ngusak asik panjak (Pucung bait IV)

Artinya:

Paman, agar pasti ketahui paman/Saya akan paparkan, mana binatang yang tidak boleh buru paman/Binatang yang tidak boleh diburu antara lain gajah,badak dan macan/Itu binatang yang langka sekali,paman patut menjaga dan melestarikan/dan binatang yang bias buru paman/Segala binatang yang selalu mengganggu rakyat itu patut diburu.

(10)

10 Dari kutipan (3) dan (4) di atas, pelestarian fauna atau binatang yakni upaya untuk melindungi dari kemusnahan makhluk yang bernyawa mampu beraksi terhadap rangsangan, tetapi tidak berakal budi serta menjaga keberadaan dan kelestariannya.

Menurut pandangan Agama Hindu, untuk menjaga keharmonisan/ keseimbangan alam, pelestarian fauna atau binatang umat hindu melaksanakan upacara tumpek uye (tumpek kandang) yang bertujuan untuk menjaga kelestarian hidup binatang (Tim Penyusun Savitri, 2004: 46).

Walaupun pelaksanaan upacara yadnya tumpek uye (tumpek kandang) tidak tersurat pelaksanaannya dalam bait-bait Geguritan Ratna Wilis. tetapi terselip tendensi pengarang secara tersirat dalam bait Geguritan Ratna Wilis.

Hubungan Tumpek Kandang dengan keseimbangan alam. Sejak semula Tumpek Kandang dipahami sebagai sebuah upacara yadnya yang disemangati oleh keinginan untuk menjaga harmoni dengan alam semesta, selain menjaga harmoni dengan Tuhan, dan sesama. Sebagai makhluk Tuhan, manusia wajib menjaga harmoni dengan binatang sebagai bagian dari alam. Sebelumnya sudah disinggung bahwa ketika manusia sudah mampu memandang segala makhluk (sarwa prani) sebagai bagian dari alam dan merupakan bagian dari sebuah kesatuan yang utuh, maka manusia itu sudah mencapai kesadaran hakiki atau kesadaran Brahman.

Kelestarian fauna merupakan hal yang mutlak diperhatikan demi keberlangsungan hidup manusia. Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga fauna (binatang) yakni dengan: 1) Mendirikan cagar alam dan suaka margasatwa. Serta 2) Melarang kegiatan pemburuan liar.

Hal ini sesuai dengan pendapat Alit Udayana (2008: 80) yang menyatakan bahwa Tuhan sejatinya sudah menciptakan mekanisme untuk menjaga keseimbangan alam. Ada rantai makanan, yang pada dasarnya adalah dalam rangka menjaga keseimbangan itu. Manusia hendaknya bersikap bijak dalam menjabarkan “konsep” dari Sang pencipta. Kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pengembangan binatang agar senantiasa mengacu kepada konsep keseimbangan.

c. Bentuk dan Fungsi Pelestarian Alam dalam Geguritan Ratna Wilis

Pelestarian alam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 820) yakni upaya pengelolaan sumber daya alam beserta ekosistem dengan tujuan mempertahankan sifat dan bentuk, perubahan yang terjadi dikendalikan oleh alam.

Pelestarian Alam dalam Geguritan Ratna Wilis dijelaskan oleh Pupuh Pucung. Pupuh Pucung memiliki watak kendor tanpa perasaan yang memuncak. Untuk cerita-cerita yang enak dan juga berisi tentang ajaran-ajaran (Tinggen, 1994: 35).

Prabu Munding sari sebagai seorang Raja menasihati rakyatnya betapa pentingnya menjaga dan melestarikan alam dengan cara tidak memburu hewan yang sudah langka keberadaannya seperti, badak, gajah, burung, dan macan, serta binatang yang bisa diburu adalah binatang yang mengganggu rakyat. Serta Prabu Munding sari menasihati rakyatnya agar tidak menebang pohon yang ada di hutan sembarangan. Karena fungsi dari keberadaan pohon-pohon yang ada di hutan dapat menjadi sumber kehidupan bagi makhluk disekitarnya, juga dapat menyejukkan bumi. Hal ini tampak dalam Pupuh Pucung bait III, IV, dan V.

(3) Maha Prabu/Lantur ngicen panjak tutur/Tata krama paman/Maboros di alas sripit/Eda muru/Kedis ne patut werdiang (Pucung bait III)

Artinya:

Beliau Sang Raja Munding Sari/Selanjutnya,beliau memberi nasihat pada rakyatnya semua/Paman,sekarang saya paparkan bagaimana sepatutnya tata krama paman/Bagaimana tata krama Paman berburu, dengarkan sekarang petunjuk saya/Di

(11)

11 hutan, jangan sekali paman semena-mena berburu/Jangan sekali paman memburu burung yang patut dilestarikan agar tidak punah.

(4) Apang weruh/Buron tusing dadi buru/Gajah Badak Macan/Patut jaga apang werdi/Ne kaburu/Buron ngusak asik panjak (Pucung bait IV)

Artinya:

Paman, agar pasti ketahui paman/Saya akan paparkan, mana binatang yang tidak boleh buru paman/Binatang yang tidak boleh diburu antara lain gajah,badak dan macan/Itu binatang yang langka sekali,paman patut menjaga dan melestarikan/dan binatang yang bisa buru paman/Segala binatang yang selalu mengganggu rakyat itu patut diburu.

(5) Saluir kayu/Eda malbal ngulah laku/Pang sing alas galang/Sing ada nayuhin gumi/Alas agung/Yening werdi jagat kerta (Pucung bait V)

Artinya:

Seluruh kayu yang ada di hutan/Itu semua kayu jangan sekali-kali dibabat seenaknya/Jangan paman seenaknya membabat kayu agar hutan tidak lapang/Bila kayu di hutan habis dibabat pasti tidak ada menyejukan jagat/Seluruh hutan lebat yang ada di jagat/Kalau hutan itu dilestarikan bersama-sama pasti rakyat aman dan selamat.

Berdasarkan kutipan bait (3), (4), dan (5) di atas Bentuk Pelestarian Alam dalam Geguritan Ratna Wilis dengan cara, tidak menebang pohon-pohon yang ada di hutan sembarangan, melindungi dan melestarikan binatang yang sudah langka keberadaannya seperti badak, gajah, burung dan macan. Fungsi pelestarian alam yakni agar binatang yang sudah langka tidak punah keberadaannya, serta pohon-pohon yang ada di hutan dapat menyejukkan bumi, dan terhindar dari bencana alam.

Dari 36 bait pupuh dalam Geguritan Ratna Wilis, bentuk dan fungsi pelestarian alam dijelaskan dalam 3 bait Pupuh Pucung (3), (4), dan (5). Dijelaskan dengan Prabu Munding Sari menasihati dan mengingatkan rakyatnya agar menjaga dan melestarikan alam.

Pelestarian alam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 820) yakni upaya pengelolaan sumber daya alam beserta ekosistem dengan tujuan mempertahankan sifat dan bentuk, perubahan yang terjadi dikendalikan oleh alam. wujud pelestarian alam dalam Geguritan Ratna Wilis dengan cara menjaga dan melestarikan binatang langka yang patut dilestarikan serta tidak menebang pohon-pohon yang ada di hutan sembarangan, agar tidak terjadi bencana alam. SIMPULAN

1. Konsep Pelestarian Alam dalam Geguritan Ratna Wilis

Pelestarian lingkungan dengan cara tidak menebang pohon yang ada di hutan sembarangan. Karena pohon-pohon yang ada di hutan sebagai penyerap air hujan, penghasil oksigen serta sebagai penyejuk udara. Dan untuk menjaga keharmonisan dengan lingkungan, dalam Agama Hindu melaksanakan upacara tumpek wariga (tumpek bubuh, tumpek uduh).

Pelestarian fauna atau binatang dengan cara tidak memburu binatang, melindungi dan membudi dayakan binatang-binatang langka. Jika binatang-binatang semua punah, ekosistem alam akan terrhenti, karena tidak adanya timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam Agama Hindu melaksanakan upacara tumpek uye (tumpek kandang) untuk melestarikan fauna atau binatang.

SARAN

Penelitian yang dilakukan terhadap Geguritan Ratna Wilis ini masih belum sempurna dengan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, sehingga memungkinkan masih banyak satuan naratif, nilai serta konsep pelestarian yang belum tersentuh. Dengan demikian, maka disarankan: 1) Agar lebih memperhatikan kajian teks semacam geguritan, karena disamping

(12)

12 merupakan warisan dari leluhur juga di dalamnya terkandung berbagai ajaran-ajaran keagamaan yang berguna bagi masyarakat khususnya generasi muda untuk dapat menjalani kehidupan sehingga dapat mengambil keputusan atau kebijakan. 2) Agar tidak melupakan manfaat dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam susastra Hindu sebagai bentuk ajaran Agama yang dapat diterapkan atau diaplikasikan dan dijadikan cermin dalam kehidupan sehari-hari. 3) Agar lebih meningkatkan penelitian dalam bentuk geguritan. Melalui penelitian ini diharapkan karya-karya sastra jenis geguritan yang berkaitan dengan satuan naratif, ajaran-ajaran Agama, pelestarian alam, adat-istiadat semakin banyak dikenal dan dijadikan pedoman dalam kehidupan ini.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, hanya atas asung wara nugraha-Nya I-Journal yang berjudul “Pelestarian Alam dalam Geguritan Ratna Wilis” dapat terselesaikan.

Tersusunnya karya tulis ini bukanlah hasil pemikiran sendiri, akan tetapi berkat dan dukungan berbagai pihak, maka melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Prof.Dr. I Made Titib, Ph.D, Rektor IHD Negeri Denpasar yang telah memberikan Fasilitas dan kemudahan yang diberikan di kampus;

2. Dr. Drs I Nyoman Linggih, M.Si, Dekan Fakultas Dharma Acarya yang telah memberikan bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

3. Dra. Ni Made Sukerni, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Agama sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah memberikan bantuan, kemudahan dan banyak memberikan bimbingan dan bantuan yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

4. Drs. I Made Wiradnyana., M.Hum, Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, nasihat, dan petunjuk-petunjuk sehingga skripsi ini dapat siselesaikan;

5. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Agama Fakultas Dharma Acarya atas ilmu yang diberikan dan sikap kekeluargaan yang memotivasi penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

Hasil penelitian ini jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang ada pada penulis, sehingga kritik dan saran yang kontruktif guna kesempurnaan penelitian ini sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Granoka, Ida Wayan oka. 1981. Skripsi. “Dasar-dasar Analisis Aspek Bentuk Sastra Paletan Tembang. Sebuah Pengkajian Puisi Bali. Dipergunakan dalam Lingkungan Intern Sastra Daerah”. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitin. Jakarta: PT. Gramedia Widiasastra Indonesia.

Hamidi. 2005. Metode Penelitian Kualitatif (Aplikasi Praktis, Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian).

Koentjaraningrat , 1979. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Koentjaraninggrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.

(13)

13 Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

____________________. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya.

Pudja, G. 1981. Sarasamuccaya. Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Departemen Agama R.I. Pudja, G dan Sudharta. Tjokorda Rai. 2002. Manawa Dharmaçastra. Jakarta: CV. Felita

Nursatama Lestari.

Rahmat. (2012). Pelestarian lingkungan. http//pandangankafy.blog spot.com/feeds/posts/default. Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Piśācarana. Denpasar: Pustaka Larasan.

Suprapta, I Nyoman. 2011. Ratna Wilis. Denpasar: Sanggar Sunari. Tinggen, I Nengah.1994.Aneka Sari.Singaraja:SPG Negeri Singaraja.

Udayana, Alit Gede I Dewa. 2008. Tumpek Kandang Kearifan Lokal Bali Untuk Pelestarian dan Pengembangan Sumber Daya Ternak. Denpasar: Pustaka Bali Post.

______________________. 2009. Tumpek Wariga Kearifan Lokal Bali Untuk Pelestarian Sumber Daya Tumbuh-tumbuhan. Surabaya: Paramita.

Wiana, Ketut. 2006. Menyayangi Alam Wujud Bhakti Pada Tuhan. Surabaya: Paramita. ___________. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita. Wibowo. (2011). Deskriptif kualitatif. http//respository.usu.ac.id/bits tream/

Referensi

Dokumen terkait

100.000 Penduduk Jumlah di suatu wila penduduk yah di pada wilayah kurun wakt dan pada u tertentu tahun yang sama x 100.000 lain kesehatan pelayanan sarana dan

Fungsi adalah peran sebuah unsur dalam satuan sintaksis yang lebih luas (Kridalaksana, 20011: 67). Dalam sebuah kalimat tidak selalu kelima fungsi sintaktis itu

Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul Pembelajaran Matematika dengan Media Lembar Kerja Siswa Berbasis Problem Solving Pada

Setelah data aplikasi adobe flash player di klik maka akan muncul kotak instalasi, pada kotak tersebut terdapat pilihan apakah Anda akan mengaktifkan fitur untuk

Satu kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa situasi-kondisi pertanian Indonesia pada skala nasional tidak memungkinkan bagi diberlakukannya gagasan kedaulatan

Gejala-gejala ini timbul dalam *3 jam pertama sesudah bayi lahir dengan gradasi yang berbeda-beda. !amun yang selalu ada ialah dispnea, sehingga dapat kita katakan baha kita

Tentu jika tidak ada keterangan terkait keberadaan buku yang jelas apakah dibaca atau dibawa oleh orang lain, maka hal ini akan menyulitkan pengguna membedakan antara buku

Nilai derajat keanggotaan tersebut akan menghasilkan suatu nilai keluaran setelah melalui logika pengambilan keputusan Fuzzy hingga didapatkan nilai keluaran yang masih