• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kondisi umum perairan Selat Sunda

Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa sehingga perairan ini merupakan pertemuan antara perairan Samudera Hindia dan Laut Jawa. Selat Sunda dipengaruhi oleh angin musim tenggara dan musim barat laut. Angin musim tenggara terjadi pada bulan April - September, sedangkan untuk musim barat laut terjadi pada bulan Oktober - Maret. Bulan April - Mei angin yang bertiup berkecepatan 2-8 m/detik dari arah utara dan timur. Sedangkan untuk angin yang bertiup dari barat daya cenderung ke barat pada bulan Desember, ke arah barat pada bulan Januari, dan angin dari arah barat laut cenderung ke barat pada bulan Januari dengan kecepatan bervariasi antara 5-10 m/detik (Birowo 1983 in Amri 2002).

Selama musim barat umumnya gelombang cukup besar yaitu sekitar 0,5 m sampai 1,5 m bahkan bisa mencapai 1,5-2 m pada bulan Desember dan Januari. Sedangkan untuk musim timur ketinggian gelombang biasanya antara 0,5-1 m, dan bisa kurang dari 0,5 m pada bulan April, Mei, dan Juni. Di Selat Sunda pergerakan massa airnya merupakan kombinasi pasang surut dan arus musiman. Pada waktu-waktu tertentu arus perairan akan terasa kuat, akan tetapi sirkulasi air antara Laut Jawa dan Samudera Hindia lemah (0,5 x 106 m3/detik). Sepanjang tahun arah alirannya ke barat daya (S. Hindia), dan pada bulan November arahnya kadang berubah ke timur laut (Wyrtki 1961 in Amri 2002).

Rata-rata suhu permukaan air laut Selat Sunda yaitu 29,32 0C pada bulan Mei, 30,01 0C pada bulan Juni, 29,19 0C pada bulan Juli, dan 27,28 0C pada bulan Agustus (Amri 2002). Menurut Birowo & Uktolseja (1981) in Amri (2002), suhu permukaan laut perairan Selat Sunda akan relatif tinggi pada musim peralihan dan akan lebih rendah pada musim barat dan timur. Rendahnya suhu di musim timur karena tingginya evaporasi, angin yang kuat, dan kelembapan udara yang rendah sehingga energi evaporasi lebih tinggi dari pada radiasi matahari yang diterima. Hal inilah yang menyebabkan pendinginan permukaan laut. Rendahnya suhu dimusim barat disebabkan karena masukan air hujan dan masukan massa air tawar dari timur laut yang dingin (Birowo & Uktolseja 1981 in Amri 2002).

(2)

4.1.2. Kondisi umum Labuan

Labuan terletak di wilayah Kabupaten Pandeglang yang berada pada bagian Barat Daya Provinsi Banten. secara geografis Kabupaten Pandeglang terletak antara 60 21’ – 70 10’ LS dan 1040 48’ – 1060 11’ BT dengan batas administrasinya sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Serang, sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Lebak, sebelah Selatan dengan Samudera Hindia, dan sebelah Barat dengan Selat Sunda. Perairan pesisir Pandeglang mempunyai iklim yang lebih dingin dibandingkan dengan daratannya. Rata-rata curah hujan dikawasan ini 3250 mm/tahun. Kisaran suhu diperairan ini antara 250 C – 300 C dengan kelembapan mencapai 80%-90%. Curah hujan terbesar akan terjadi pada bulan Desember dan Januari yang seringkali disertai dengan badai dan angin kencang.

Angin Musim Barat Laut terjadi selama bulan Desember – Februari dan Angin Musim Tenggara terjadi antara bulan Juni – Agustus. Sedangkan pada bulan Maret - Mei menampilkan periode transisi dari angin Musim Barat Laut ke Tenggara, dan bulan September – November adalah peralihan antara musim tenggara ke angin musim barat laut. Selama peralihan ini angin bertiup kencang kearah timur yang menyebabkan hujan besar. Sifat pasang surut di perairan pandeglang adalah mixed semi diurnal (campuran kearah ganda), yaitu mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Berdasarkan data kedalaman survei lapang dan informasi data kedalaman perairan dari peta (LPI) daerah Labuan (Amri 2002), diperoleh informasi bahwa kedalaman perairan Labuan berkisar antara 0-70 m.

4.1.3. Kondisi perikanan tembang di PPP Labuan Banten

Hasil tangkapan ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai Labuan pada umumnya didominasi oleh sumberdaya ikan pelagis dengan hasil tangkapan utamanya yaitu ikan tongkol, banyar, tembang, selar, tenggiri, dan cumi. Komposisi hasil tangkapan ikan di PPP Labuan pada tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 3.

(3)

Gambar 3. Komposisi tangkapan ikan Pelagis dari hasil tangkapan nelayan di PPP Labuan, Banten (berdasarkan data berat)

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa komposisi hasil tangkapan terbesar yaitu ikan tongkol sebesar 47% dan komposisi hasil tangkapan terendah yaitu ikan selar sebesar 1%. Komposisi tangkapan ikan tembang merupakan tangkapan ketiga terbesar di PPP Labuan yang ditangkap dengan menggunakan jaring Purse Seine dengan alat bantu lampu (obor).

4.1.4. Hasil tangkapan ikan tembang

Hasil tangkapan atau produksi ikan tembang berasal dari data sekunder yang didapat dari Kantor PPP Labuan Banten periode 2002 - 2011 yang disajikan pada Gambar 4. Dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan tembang tahun 2002 – 2011 mengalami fluktuasi.

Gambar 4. Hasil produksi ikan tembang periode 2002 – 2011

banyar 24% tenggiri 2% selar 1% tongkol 47% cumi 9% tembang 17% 1.342 27.000 154.913 27.119 2.440 391.649 16.429 27.964 0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 pro duks i ( kg ) tahun

(4)

Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa untuk hasil tangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2009 sebesar 391.649 kg dan untuk hasil tangkapan terendah terdapat pada tahun 2002 sebesar 1.342 kg.

4.1.5. Upaya penangkapan (effort)

Upaya penangkapan (effort) ikan tembang berasal dari data sekunder yang didapat dari Kantor PPP Labuan Banten periode 2002 - 2011 yang disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Upaya penangkapan ikan Tembang periode 2002-2011

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat mengenai upaya penangkapan ikan tembang periode 2002 - 2011 yang mengalami fluktuasi. Jumlah trip terbanyak terdapat pada tahun 2009 sebanyak 2.472 trip dan jumlah trip terendah berada pada tahun 2002 sebanyak 15 trip.

4.1.6. Tangkapan per satuan upaya

Besaran atau nilai dari Tangkapan per satuan upaya (TPSU) menggambarkan tingkat produktivitas dari upaya penangkapan (effort). Nilai TPSU semakin tinggi menunjukkan bahwa tingkat produkstivitas alat tangkap yang digunakan semakin tinggi pula. Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa sepanjang tahun 2002-2011 hasil tangkapan per satuan upaya ikan tembang mengalami fluktuasi.

15 180 958 176 19 2472 217 295 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 ef fo rt ( tri p) tahun

(5)

Gambar 6. Tangkapan per satuan upaya ikan tembang tiap tahun

Nilai tangkapan per satuan upaya tertinggi terdapat pada tahun 2005 yaitu sebesar 161,7046 kg per trip dan untuk nilai tangkapan per satuan upaya terendah terdapat pada tahun 2010 sebesar 75,7097 kg per trip.

4.1.7. Pola musim penangkapan

Analisis pola musim penangkapan ikan tembang di Labuan Banten menggunakan metode moving average (rata - rata bergerak) dengan menghitung nilai IMP pada setiap bulan. Pergerakan nilai IMP ikan tembang dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Gambar 7. Nilai rata–rata IMP Ikan Tembang tahun 2002–2007

Berdasarkan nilai rata – rata indeks musim penangkapan (IMP) pada tahun 2002–2007 (Lampiran 3) musim penangkapan terjadi pada bulan Juli, Agustus,

89,4667 150,0000 161,7046 154,0852 128,4211 158,4341 75,7097 94,7932 0,0000 50,0000 100,0000 150,0000 200,0000 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 TPS U ( kg /t ri p) tahun 0 50 100 150 200 250 IM Pi BULAN

(6)

September, Januari, Februari, dan Mei. Musim biasa (bukan musim penangkapan) terjadi pada bulan Oktober, November, Desember, April, dan Juni. Sedangkan untuk musim paceklik terjadi pada bulan Maret. Terjadi perbedaan pergerakan nilai IMP ikan tembang antara tahun 2002 – 2007 dengan tahun 2009 – 2011 seperti yang terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Nilai rata – rata IMP Ikan Tembang tahun 2009 – 2011

Berdasarkan nilai rata – rata indeks musim penangkapan (IMP) pada tahun 2009-2011 (Lampiran 5) musim penangkapan terjadi pada bulan Oktober, November, Februari, Maret, April, dan Juni. Musim biasa (bukan musim penangkapan) terjadi pada bulan Juli, Agustus, September, dan Mei dan untuk musim paceklik terdapat pada bulan Desember dan Januari.

4.1.8. Daerah penangkapan

Daerah penangkapan ikan tembang yang didaratkan di PPP Labuan, Banten diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan setempat khususnya nelayan yang menangkap ikan tembang dengan menggunakan jaring purse seine dengan alat bantu lampu (obor). Penentuan dari daerah penangkapan ini biasanya berdasarkan pada pengetahuan atau tradisi sebelumnya secara turun-temurun. Keberadaan ikan dapat diketahui oleh nelayan berdasarkan gejala alam yang ada seperti gemericik air, warna air yang biru kehijauan, serta banyaknya gerombolan burung diatas permukaan air. Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui persebaran ikan berdasarkan musim penangkapannya. 0 50 100 150 200 250 IM P BULAN

(7)
(8)

Tabel berikut menampilkan ukuran panjang dan TKG ikan tembang yang diplotkan berdasarkan bulan dan lokasi penangkapan.

Tabel 2. Matriks sebaran spasial, temporal, ukuran panjang dan TKG ikan tembang tahun 2011. Kriteria Bulan 4 5 6 7 8 9 10 Lokasi Penangkapan P. Legundi v v P. Rakata v v v

P. Liwungan, Tanjung lesung v v v v v v v

P. Oar, Sumur v v v

P. Papole v v v v v

P. Panaitan, P. Peucang v v v v v

P. Sebesi, P. Sertung v

Tanjung Alang-alang v v

Selang Kelas Panjang

100-107 j

108-115 j & b j

116-123 j & b j & b b

124-131 j & b j & b j & b b

132-139 j j & b j & b j & b j & b b

140-147 j & b j & b j & b j & b j & b

148-155 j & b j & b j & b j & b j & b j & b

156-163 j & b j & b j & b j & b j & b

164-171 j & b b j & b j & b j & b

172-179 b b j & b 180-187 b b TKG betina I 21,82 3,92 79 7,32 8,57 II 20 19,6 21 56,1 62,86 35,14 III 45,45 17,7 29,3 28,57 64,86 IV 12,73 58,8 2,44 V 4,88 TKG jantan I 38,64 12,2 92,1 9,26 1,82 II 18,18 18,4 7,89 33,3 5,45 4,76 III 29,55 59,2 29,6 85,45 68,25 IV 13,64 10,2 27,8 7,27 20,63 V 6,35

Keterangan : v = keberadaan ikan tembang pada bulan ke- j = ikan tembang jantan, b = ikan tembang betina * = bukan bulan penelitian

(9)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat mengenai lokasi penangkapan ikan tembang di Selat Sunda. Selang kelas ikan tembang yang tertangkap umumnya berkisar antara 100 – 187 mm dari TKG 1 sampai 5. Pada bulan Maret dan Mei tidak tersedia data mengenai selang kelas panjang dan TKG ikan dikarenakan penelitian dilakukan saat bulan terang, sehingga tidak ada operasi penangkapan ikan tembang pada saat tersebut.

4.1.9. Bioekonomi

Analisis bioekonomi dengan pendekatan biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan dalam salah satu upaya menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan tembang di PPP Labuan Banten. Hasil analisis menggunakan model surplus produksi Walters-Hilbron diperoleh nilai parameter biologi (K, q, r) dan nilai parameter ekonomi (p, c) seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi

Parameter satuan Nilai

Koefisien kemampuan alat tangkap (q) kg/trip 0,0002 Daya dukung perairan (K) kg/tahun 789.204,5000 Laju pertumbuhan intrinsik (r) kg/tahun 0,6439

Harga (p) Rp/kg 2.427,7780

Biaya (c) Rp/trip 26.433,0470

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa koefisien kemampuan alat tangkap ikan tembang (q) sebesar 0,0002 kg/trip, yang berarti bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan purse seine akan mempengaruhi peningkatan hasil tangkapan sumberdaya tembang sebesar 0,0002 kg/trip. Daya dukung perairan (K) sebesar 789.204,5000 kg/tahun, yang berarti bahwa lingkungan mendukung produksi sumberdaya ikan tembang sebesar 789.204,5000 kg/tahun dari aspek biologinya seperti kelimpahan makanan, pertumbuhan populasi, dan ukuran ikan. Laju pertumbuhan intrinsik (r) sebesar 0,6439 kg/tahun, yang berarti bahwa sumberdaya ikan tembang ini akan tumbuh secara alami tanpa gangguan dari gejala alam maupun kegiatan manusia dengan koefisien sebesar 0,6439 kg/tahun. Harga ikan tembang per kg nya didapat Rp 2.427,7780 dan biaya

(10)

penangkapannya sebesar Rp 26.433,0470 per trip. Dari hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi maka dapat ditentukan hasil analisis parameter bioekonomi diberbagai rezim seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil perhitungan bioekonomi ikan tembang dalam berbagai rezim

variabel MEY MSY Open access (OA) Aktual

Yield (kg) 126.550,74 127.042,39 29.646,19 80.797,00

Effort (trip) 1.361 1.452 2.723 539

Rente (Rp) 271.249.909,80 270.056.289,79 0 181.919.678,83

Nilai yield (hasil tangkapan), effort, dan keuntungan yang didapat dari ketiga rezim memiliki nilai yang berbeda-beda, sedangkan untuk kondisi aktual merupakan kondisi yang terjadi pada saat ini yaitu rata-rata data hasil tangkapan dan upaya tangkapan dari tahun 2002 – 2011.

4.2. Pembahasan 4.2.1. Hasil tangkapan

Pelabuhan perikanan pantai Labuan merupakan pelabuhan perikanan yang hasil tangkapannya berasal dari Selat Sunda. Sumberdaya perikanan yang berasal dari Selat Sunda ini meliputi ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar, udang, rajungan, dan cumi – cumi. Untuk PPP Labuan sendiri lebih didominasi oleh ikan tongkol, ikan kembung, ikan tembang, ikan selar, ikan tenggiri, dan cumi. Persentase ikan tembang terdapat pada urutan ketiga disebabkan karena ikan tembang bukan merupakan tangkapan utama nelayan di PPP Labuan, Banten.

Hasil tangkapan di PPP Labuan menunjukkan fluktuasi setiap tahunnya. Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa hasil tangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2009 sebesar 391.649 kg dan hasil tangkapan terendah terdapat pada tahun 2002 sebesar 1.342 kg. Tingginya hasil tangkapan pada tahun 2009 dikarenakan data yang tercatat untuk hasil tangkapan ikan tembang di PPP Labuan berasal dari semua TPI yang tersedia di PPP Labuan. Pada tahun-tahun sebelumnya di dapatkan hasil yang sedikit karena hasil tangkapan tidak tercatat untuk setiap bulannya. Pada tahun 2010 terjadi penurunan hasil tangkapan yang sangat drastis, hal ini

(11)

disebabkan oleh pengumpulan data hasil tangkapan sudah dibedakan berdasarkan besarnya ukuran kapal serta jenis tangkapan. Untuk TPI baru khusus untuk kapal yang berukuran besar seperti kapal purse seine yang berukuran lebih dari 12 GT, sedangkan untuk TPI lama dikhususkan untuk pendaratan ikan demersal serta untuk TPI pasar dikhususkan untuk mendaratkan ikan-ikan pelagis kecil.

Peningkatan dan penurunan hasil tangkapan ikan tembang juga disebabkan oleh adanya perubahan musim yang tidak menentu di PPP Labuan itu sendiri. Perkiraan cuaca diperoleh dengan pengamatan sendiri berdasarkan berbagai gejala alam, seperti angin besar, gelombang tinggi, dll. Musim merupakan faktor yang sangat berbengaruh pada aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Pada musim penghujan atau musim barat, nelayan pada umumnya tidak pergi melaut. Mereka tidak melakukan aktivitas berlayar karena arah gerak angin yang kurang menguntungkan untuk proses penangkapan ikan, selain itu juga diikuti cuaca yang kurang mendukung dengan turunnya hujan yang biasanya juga disertai badai di tengah laut. Pada musim ini biasanya ikan jarang didaratkan di PPP Labuan.

Selain perkiraan cuaca, hal lain yang menyebabkan naik turunnya angka hasil tangkapan yaitu kurangnya kesadaran dari nelayan untuk melaporkan hasil tangkapan mereka ke tempat pendaratan ikan setempat karena ingin mendapatkan keuntungan yang besar sehingga hasil tangkapan nelayan ini tidak tercatat di kantor TPI Labuan. Hal inilah yang menyebabkan hasil tangkapan tahunan di PPP Labuan mengalami fluktuasi.

4.2.2. Upaya penangkapan

Operasi penangkapan kapal purse seine dengan ukuran kapal 6 - 24 GT di Selat Sunda khususnya di PPP Labuan, Banten selama musim timur dapat melakukan operasi penangkapan selama 3-5 hari termasuk perjalanan menuju fishing ground dan kembali ke PPP Labuan. Namun untuk operasi penangkapan kapal obor (alat bantu penangkapan) yang berukuran 0 – 5 GT melakukan operasi penangkapan dalam satu hari adalah sekali sehari (one day fishing), sehingga upaya penangkapannya identik atau sama dengan jumlah kapal yang beroperasi saat itu.

(12)

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa upaya penangkapan ikan tembang mengalami fluktuasi seiring dengan naik turunnya hasil tangkapan ikan tembang (Gambar 4). Semakin tinggi upaya tangakapan maka semakin tinggi pula hasil tangkapan yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perikanan tembang di PPP Labuan belum mengalami tangkap lebih (overfishing). Tinggi rendahnya upaya penangkapan ini juga disebabkan oleh periode bulan dimana pada dasarian ke-1 merupakan periode bulan terang (Amri 2002). Pada saat periode ini nelayan yang menangkap ikan tembang tidak melakukan operasi penangkapan karena pada saat bulan terang ikan–ikan pelagis kecil seperti tembang yang menyukai cahaya terang akan tersebar diseluruh perairan sehingga nelayan cenderung untuk tidak melaut pada kondisi ini karena hasil tangkapan yang didapat lebih cenderung sedikit dibandingkan dengan bulan gelap. Namun, untuk sebagian nelayan ada juga yang mengganti alat tangkap nya (purse seine) dengan alat tangkap lain pada saat bulan terang.

4.2.3. Tangkapan per satuan upaya

Tangkapan per satuan upaya mencerminkan ketersediaan dan kelimpahan ikan yang sangat penting dalam pengelolaan perikanan (Mandelssohn R & Curry P. 1989). Menurut Widodo & Suadi (2006), kecenderungan kelimpahan ikan relatif selang beberapa tahun sering dapat diukur dengan menggunakan data hasil tangkapan per satuan upaya yang diperoleh dari suatu perikanan atau dari penelitian penarikan contoh. Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa TPSU ikan tembang mengalami fluktuasi dengan nilai yang berbeda-beda. Fluktuasi ini dapat disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan dan kelimpahan ikan di perairan.

Berdasarkan nilai TPSU tahunan terjadi peningkatan mulai dari tahun 2002 hingga 2005, hal ini menggambarkan pada masa ini kelimpahan ikan tembang cukup banyak dan musim yang bersahabat dengan nelayan sehingga mendorong banyak nelayan untuk melaut. Widodo & Suadi (2006) menyatakan bahwa semakin banyak ikan disuatu daerah maka semakin banyak unit alat tangkap menangkap ikan per jam, paling tidak bila data TPSU dirata-ratakan selama musim penangkapan atau per tahun.

(13)

Penurunan nilai TPSU dari tahun 2005-2007 diduga disebabkan oleh kelimpahan ikan yang cenderung menurun karena sudah ditangkap pada tahun-tahun sebelumnya. Namun bila dilihat nilai upaya tangkapan pada tahun-tahun tersebut (Gambar 5), upaya tangkapan malah mengalami penurunan juga. Hal ini diduga karena banyaknya nelayan-nelayan pendatang yang melakukan penangkapan disekitar perairan Labuan namun tidak tercatat di PPP Labuan tersebut, sehingga mempengaruhi nilai dari tangkapan per satuan upayanya.

4.2.4. Pola musim penangkapan

Analisis pola musim penangkapan bertujuan untuk melihat musim atau waktu penangkapan ikan tembang yang tepat sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam operasi penangkapan ikan (Dajan 1984 in Bahdad 2006). Indeks musim penangkapan (IMP) ikan tembang dihitung dengan memakai data tangkapan per satuan upaya (TPSU) bulanan ikan tembang di Labuan Banten. Data tersebut diturunkan dari data 2002 - 2007 dan 2009 – 2011, kemudian dihitung dengan rata-rata bergerak dan setelah itu dilakukan perhitungan dengan prosedur yang berlaku. Kriteria yang dipakai untuk menentukan musim penangkapan ikan tembang adalah jika IMP lebih besar dari 100%. Nilai IMP juga mengindikasikan kehadiran ikan di perairan tersebut. Jika nilai IMP lebih dari 100% maka kehadiran ikan diperairan tersebut cukup melimpah dibandingkan kondisi normal. Apabila nilai IMP dibawah 100% maka jumlah ikan dibawah kondisi normal. Selain musim penangkapan dapat diketahui pula musim paceklik yang ditentukan dengan nilai IMP kurang dari 50%.

Berdasarkan Gambar 7 musim penangkapan ikan tembang adalah pada bulan Juli – September, Januari, Februari, dan Mei. Selain bulan-bulan tersebut diduga bukan merupakan musim penangkapan ikan tembang karena nilai IMP berkisar antara 50% – 100% yaitu pada bulan Oktober – Desember, April, dan Juni. Sementara untuk musim paceklik yaitu pada bulan Maret karena nilai IMP berada dibawah 50%.

Menurut Amri (2002) angin yang berhembus di perairan Indonesia terutama adalah angin musim (monsoon) yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah yang masing-masing disebut angin musim Barat dan musim Timur, sedangkan

(14)

diantara dua kali perubahan musim tersebut terdapat dua kali musim peralihan yaitu musim peralihan Barat – Timur dan musim peralihan Timur – Barat. Bulan November – Januari adalah musim angin di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagian selatan. Pada saat itu terjadilah pusat tekanan tinggi di atas daratan Asia dan pusat tekanan rendah di atas daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin berhembus dari Asia menuju Australia, yang di Indonesia umumnya dikenal sebagai angin Musim Barat (West monsoon). Sebaliknya pada bulan Mei – Juli terjadi pusat tekanan tinggi diatas daratan Australia dan pusat tekanan rendah diatas daratan Asia hingga di Indonesia berhembuslah angin musim Timur (East monsoon). Musim peralihan I (Barat – Timur) terjadi pada bulan Februari – Maret, sedangkan untuk musim peralihan II (Timur – Barat) terjadi pada bulan Agustus – Oktober. Dinamakan musim peralihan karena arah angin pada periode ini tidak menentu.

Apabila dikaitkan dengan musim perairan di Indonesia maka musim penangkapan ikan tembang di Labuan Banten untuk periode 2002 – 2007 terjadi di semua musim. Pada musim peralihan II terjadi pada bulan Agustus dan Oktober, pada musim barat terjadi pada bulan Januari, pada musim peralihan I bulan Februari, dan musim timur terjadi pada bulan Mei dan Juli. Berdasarkan Gambar 7 juga dapat dilihat bahwa musim paceklik (IMP < 50%) terjadi pada bulan Maret dimana pada musim ini masih dipengaruhi oleh angin barat. Nilai IMP yang kecil juga diduga karena pada bulan tersebut tidak tercatat adanya operasi penangkapan di TPI Labuan (Lampiran 3).

Musim penangkapan tertinggi terdapat pada bulan September yang ditandai dengan tingginya nilai IMP pada bulan ini dikarenakan pada saat itu kecepatan arus di Laut Jawa berkurang menjadi 20 cm/s dengan arah dominan ke barat laut (Selat Karimata), sehingga kecepatan arus yang memasuki Selat Sunda juga mulai berkurang dibandingkan bulan Agustus (Amri 2002). Dalam penelitiannya, Amri (2002) juga mencatat bahwa untuk curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei – September, dan pada bulan- bulan tersebut terjadi peningkatan upaya penangkapan yang ditandai dengan banyaknya kapal-kapal mini purse seine yang tersebar di Selat Sunda seperti di perairan Tanjung Lesung, P. Panaitan, P. Rakata, Teluk Labuan, dan Sumur. Selain itu , Voulgaridou & Stergiou (2003) in Giannoulaki et al. (2006) mengungkapkan bahwa ikan-ikan pelagis kecil seperti ikan teri dan ikan

(15)

sarden banyak tertangkap pada musim panas di Laut Aegea dan Ionia (Timur Laut Mediterania).

Pola musim penangkapan ikan tembang periode 2002 - 2007 dengan periode 2009 – 2011 memiliki persamaan dan perbedaan. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa musim penangkapan ikan tembang terjadi pada bulan Oktober, November, Februari – April, dan bulan Juni. Musim biasa (bukan musim penangkapan) terjadi pada bulan Juli – September, dan Mei. Untuk musim paceklik terjadi pada bulan Desember dan Januari. Apabila melihat pengelompokkan musim yang dilakukan oleh Amri (2002) mengenai kondisi oseanografi perairan Selat Sunda maka terdapat persamaan di kedua periode tersebut, dimana musim penangkapan ikan tembang terjadi pada saat musim peralihan II. Perbedaan dari kedua periode yaitu untuk periode 2002 -2007 pada penelitian ini, musim paceklik berada pada bulan Maret sedangkan untuk periode 2009 – 2011 berada pada bulan Desember dan Januari. Pada periode 2002 – 2007 musim paceklik terjadi pada bulan Maret diduga karena tidak tercatanya hasil tangkapan dan upaya tangkapan di TPI Labuan banten pada saat itu sehingga mempengaruhi hasil perhitungan IMP. Sedangkan untuk periode 2009 – 2011 dikarenakan musim yang terjadi adalah musim barat, sehingga curah hujan yang terjadi di perairan Selat Sunda cukup tinggi. Ketika curah hujan tinggi, hasil pemetaan (Gambar 9) memperlihatkan bahwa keberadaan nelayan purse seine lebih tersebar ke Pulau Rakata, Lampung bagian barat (P. Legundi), dan P. Peucang. Ikan tembang tersebar di sekitar pulau ini karena sifat dari ikan pelagis itu lebih menyenangi daerah-daerah yang terlindungi dan tenang. Dengan adanya curah hujan yang tinggi maka perairan sekitar akan menjadi subur dan langsung berpengaruh terhadap produktivitas perairan (Nanlohy 1997), sehingga nelayan banyak yang beroperasi didaerah tersebut dan mendaratkan hasil tangkapannya ke daerah Lampung atau Binuangen karena lebih dekat dengan daerah tangkapan.

Melihat dari pola musiman yang ditunjukkan oleh Gambar 8, sangat sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Amri (2002) mengenai kondisi oseanografi perairan Selat Sunda. Ikan tembang akan tertangkap pada bulan Maret (peralihan I) dengan menunjukkan pola menaik pada saat memasuki musim timur dan akan menurun ketikan berakhirnya musim peralihan II (Oktober) yang selanjutnya mencapai titik terendah pada musim barat (Januari) (Lampiran 6).

(16)

4.2.5. Daerah penangkapan

Daerah penangkapan ikan tembang di Selat Sunda yang diamati dalam penelitian ini (berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat) adalah seluruh perairan Selat Sunda yang menjadi daerah operasional alat tangkap purse seine dengan alat bantu yang biasa disebut penganak (obor). Lokasi tersebut meliputi perairan Teluk Labuan, Tanjung Lesung, Sumur, Panaitan, Rakata, Ujung Kulon, Sebesi, Tanjung alang-alang, P. Peucang, dan Lampung (Gambar 9). Umumnya daerah penangkapan berada dalam radius yang dapat ditempuh dalam 1 hari operasi penangkapan (one day fishing). Pemilihan daerah penangkapan ditentukan berdasarkan kondisi perairan serta kemungkinan adanya keberadaan stok ikan yang menjadi tujuan penangkapan dari kapal purse seine.

Penyebaran daerah penangkapan ikan pelagis kecil di Selat Sunda diamati berdasarkan lokasi dan hasil tangkapan ikan setiap bulannya. Hasil tangkapan yang tinggi merupakan daerah penangkapan yang baik yang ditemukan pada bulan bersangkutan, ditandai dengan tingginya nilai IMP pada bulan tersebut. Umumnya lokasi ini kembali didatangi keesokan harinya sampai jumlah hasil tangkapan dilokasi tersebut mencapai jumlah yang dinilai tidak ekonomis lagi sehingga penangkapan berpindah ke lokasi lain.

Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat juga bahwa dari hasil wawancara dengan nelayan, ternyata nelayan sudah bisa mengelompokkan daerah penangkapan berdasarkan musim walaupun terkadang tidak sedikit dari nelayan itu berpindah tempat ke tempat yang gerombolan ikannya lebih besar. Untuk musim penangkapan ikan dan musim biasa (musim peralihan dan musim timur) operasi penangkapan ikan masih disekitar pulau-pulau yang tidak jauh dari Labuan seperti P. Papole, Tg. Lesung, P. Panaitan, dan Tg. Alang-alang. Musim barat merupakan musim dimana curah hujan sangat tinggi (Amri 2002) sehingga gelombang yang dihasilkan sangat besar maka ikan-ikan pelagis kecil cenderung mencari tempat yang tenang seperti di P. Peucang, P. Rakata, dan P. Legundi. Keberadaan gunung aktif ditengah selat, pulau-pulau kecil, dan juga pertemuan dua masa air yang berbeda akan menjadikan wilayah ini secara geologis maupun oseanografi sangat menarik sehingga secara spesifik akan mempengaruhi populasi, jenis, sebaran, dan kelimpahan populasi perikanan pelagis menjadi meningkat (Wijopriono & Genisa AS 2001).

(17)

Melihat dari hasil pemetaan (Gambar 9) dan juga matriks sebaran spasial (Tabel 3), pada bulan April-Oktober sumberdaya ikan tembang tersebar di sekitar daerah P. Papole, Tg. Lesung, dan Sumur. Berdasarkan penelitian pendahuluan mengenai reproduksi ikan tembang dapat diketahui bahwa untuk bulan-bulan tersebut ikan tembang yang tertangkap mewakili semua ukuran panjang dan TKG ikan. Hal ini disebabkan karena pada bulan-bulan tersebut merupakan akhir dari musim peralihan I dan awal memasuki musim timur, dimana kondisi lingkungan memungkinkan untuk kegiatan penangkapan. Menurut LIPI (1998) in Hidayat (2000) di Laut Jawa dan Selat Sunda daerah penangkapan terjadi pada musim timur dan pada September-November daerah penangkapan akan merata di seluruh pantai Utara Jawa.

Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai reproduksi ikan tembang di PPP Labuan, Banten diketahui bahwa ikan tembang bersifat partial spawner. Namun, dari hasil matriks berdasarkan TKG ikan tembang yang tertangkap belum bisa dipastikan mengenai pola pemijahan ikan tembang ini karena data yang tersedia hanya beberapa bulan saja. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian lanjutan mengenai reproduksi ikan tembang selain bulan Maret-Oktober. Berdasarkan persentase TKG jantan dan betina pada bulan April, Juni , September, dan Oktober merupakan persentase TKG III dan IV terbesar yang tersebar disekitar P.Papole, P. Panaitan, dan Tg. Lesung. Persentase TKG I dan II yang terbesar terdapat pada bulan Juli dan Agustus yang tersebar didaerah P. Liwungan, Tg. Lesung, dan P. Panaitan. Diduga ikan-ikan yang tersebar didaerah ini masih belum matang gonad dan berukuran kecil (Tabel 3) karena berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ikan betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang 133,74 mm yang berada pada selang kelas 132-139 mm dan untuk ikan jantan mancapai matang gonad pertama kali pada ukuran panjang 153,34 mm yang berada pada selang kelas panjang 148-155 mm. Apabila hal seperti ini tetap berlanjut maka untuk tahun-tahun kedepannya bisa mengarah terjadinya tangkap lebih untuk ikan dengan ukuran yang kecil, sehingga dapat menyebabkan growth overfishing yaitu ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (Widodo & Suadi 2006). Hal ini bisa

(18)

dicegah dengan pembatasan upaya penangkapan, pengaturan mata jaring, dan menutup musim atau daerah penangkapan.

Pembatasan musim atau daerah penangkapan agak sulit untuk dibatasi mengingat masih banyaknya ikan-ikan yang tertangkap memiliki TKG III dan IV selama bulan penelitian. Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai reproduksi ikan tembang diketahui juga bahwa ikan tembang mengalami puncak pemijahan pada bula Juni. Berdasarkan kondisi Tabel 4 dapat dilihat bahwa kondisi aktual masih berada dibawah kondisi pemanfaatan MEY, untuk itu perlu adanya penambahan upaya penangkapan agar didapatkan keuntungan yang maksimum, namun tetap mengarah kepada penangkapan ikan yang sudah berukuran besar (sudah pernah mengalami matang gonad). Agar ikan-ikan yang tertangkap dalam ukuran besar maka dilakukan pengaturan mata jaring (mesh size) ikan disetiap lokasi penangkapan kecuali pada bulan Juli, karena pada bulan Juli ikan-ikan yang banyak tertangkap adalah ikan yang masih juvenil (TKG 1 dan 2). Pada saat musim timur (Mei-Juli), ikan-ikan yang tertangkap masih berukuran kecil karena diduga pada saat itu ikan-ikan besar berada pada perairan yang lebih dalam. Pada umumnya semakin besar ukuran ikan dan semakin tua ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu yang lebih rendah di perairan yang lebih dalam (Amri 2002).

4.2.6. Bioekonomi

Analisis bioekonomi ditujukan untuk menentukan tingkat pengusahaan maksimum bagi pelaku perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak dapat lepas dari faktor harga dan biaya penangkapan yang mempengaruhinya. Analisis bioekonomi melalui pendekatan ekonomi dan biologi merupakan salah satu alternatif pengelolaan yang dapat diterapkan untuk mengoptimalisasikan sumberdaya perikanan tembang secara berkelanjutan.

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui mengenai hasil perhitungan bioekonomi ikan tembang dalam berbagai rezim. Dengan mengetahui hasil bioekonomi ini dapat diketahui status pemanfaatan ikan tembang di perairan Selat Sunda yang dilihat dari perbandingan tingkat pemanfaatan kondisi aktual dengan tingkat pemanfaatan pada kondisi MSY, MEY, dan open access. Apabila kondisi aktual

(19)

melebihi kondisi MEY dan MSY maka kondisi perikanan sudah mengalami overfishing baik secara ekonomi maupun biologi. Berdasarkan kondisi aktualnya maka kondisi perikanan ikan tembang di perairan Selat Sunda belum mengalami overfishing baik secara biologi maupun ekonomi.

4.2.7. Rezim pengelolaan perikanan open accsess

Pengelolaan open access (akses terbuka) merupakan bentuk pengelolaan yang lazim pada sumberdaya ikan, begitupun juga dengan ikan tembang di PPP Labuan Banten yang saat ini masih dalam pengelolaan akses terbuka. Open access merupakan suatu kondisi dimana siapa saja dapat berpartisipasi dalam melakukan penangkapan ikan tanpa harus memiliki sumberdaya perikanan tersebut, dimana dalam prinsip pengelolaannya tidak menganut satu kepemilikan tetapi lebih kepada penguasaan bersama yang tidak memiliki aturan-aturan pemanfaatan sehingga setiap individu dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut secara bebas.

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 4) dapat diketahui bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pada kondisi open access cenderung akan merusak kelestarian sumberdaya ikan yang ada, hal ini ditunjukkan oleh jumlah effort yang sangat tinggi dibandingkan dengan effort pada kondisi MSY dan MEY yaitu sebesar 2.723 trip per tahun. Karena sifat dari rezim ini terbuka dan bebas maka untuk mendapatkan hasil tangkapan yang diinginkan maka pelaku perikanan akan terus menambah jumlah effort sesuai dengan yang mereka inginkan juga. Apabila dibiarkan maka kondisi ini akan memberikan akses negatif terhadap sumberdaya secara langsung seperti gejala tangkap lebih (overfishing) dan mengarah pada kelangkaan sumberdaya. Hasil tangkapan yang didapat pada rezim pengelolaan open acces yaitu sebesar 29.646,19 kg per tahun dan menghasilkan keuntungan yang sama dengan nol (TR=TC). Apabila dibiarkan dalam waktu yang lama maka kondisi ini menjadi tidak efisien secara ekonomi karena keuntungan yang diperoleh akhirnya akan sama dengan nol dimana biaya akan lebih besar dari pada penerimaan akibat stok ikan tembang yang semakin sedikit.

(20)

4.2.8. Rezim pengelolaan perikanan MSY

Rezim pengelolaan maximum sustainable yield (MSY) merupakan rezim pengelolaan dengan pengusahaan sumberdaya yang mengedepankan aspek produksi lestari. Rezim pengelolaan MSY menggunakan pendekatan biologi dengan indikator tingkat tangkapan maksimum yang lestari. Menurut Fauzi (2004) inti pendekatan penguasaan sumberdaya adalah setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus tersebut dipanen tidak lebih dan tidak kurang maka stok ikan akan mampu untuk bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Kondisi pengelolaan MSY menghasilkan produksi yang paling maximum yaitu sebesar 127.042,39 kg per tahun, artinya hasil tangkapan tertinggi yang dapat ditangkap tanpa mengancam kelestarian sumberdaya ikan tembang yang terdapat di perairan Selat Sunda. Produksi pada titik ini disebut sebagai titik MSY karena setelah titik ini produksi akan menurun kembali hingga mencapai nol dengan titik upaya maksimum

4.2.9. Rezim pengelolaan perikanan MEY

Menurut Widodo & Suadi (2006) Jumlah orang yang memiliki minat (interest) untuk memaksimumkan keuntungan sangat jarang bila dibandingkan dengan mereka yang ingin meningkatkan hasil tangkapan. Kenyataannya orang akan lebih mudah diajak untuk menangkap lebih banyak ikan dibandingkan mengejar nilai-nilai ekonomi yang abstrak. Beberapa keuntungan penggunaan model MEY yakni model ini sangat fleksibel dan dapat diadaptasikan untuk analisis cost and benefits bagi nelayan komersial, rekreasional, para pengolah, konsumen, dan lainnya yang kegiatan usahanya berkaitan dengan perikanan. Selain itu konsep ini dapat diaplikasikan terhadap setiap model biologi dan berbeda dengan konsep MSY, dimana MEY tidak berdasarkan konsep equilibrium. Kelemahan yang paling menonjol dari penggunaan net economic yield sebagai tujuan pengelolaan yaitu model ini bergantung pada harga ikan yang tertangkap serta satuan biaya penangkapan yang bervariasi dari tahun ke tahun.

Berdasarkan hasil analisis bioekonomi (Tabel 4) untuk rezim MEY ikan tembang diperoleh nilai rente tertinggi sebesar Rp 271.249.909,80 per tahun. Nilai

(21)

ini merupakan indikator keuntungan tertinggi yang dapat diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya ikan tembang di PPP Labuan Banten, dengan kata lain kondisi ini terjadi akibat pengelolaan yang sudah efisien. Pemanfaatan sumberdaya ikan pada kondisi MEY ini nampak lebih bersahabat dengan lingkungan karena upaya penangkapan yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan MSY dan open acces serta hasil tangkapan yang tidak jauh berbeda dari hasil tangkapan lestari dan memberikan tingkat rente ekonomi yang lebih besar dibanding pemanfaatan pada kondisi open access dan MSY. Bila dibandingkan dengan kondisi aktual pun nilai ini masih jauh untuk dapat dicapai. Oleh sebab itu, berdasarkan hasil analisis bioekonomi hal ini dapat menjelaskan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan tembang yang ideal adalah pada tingkat keuntungan maksimum yang diperoleh nelayan dengan 1.361 trip per tahun dengan hasil tangkapan 126.550,74 kg per tahun.

4.2.10. Implikasi bagi pengelolaan ikan tembang

Mengamati berbagai pola kebijakan yang selama ini diterapkan terlihat kecenderungan bahwa pengelolaan perikanan di negara berkembang seperti halnya Indonesia mengarah kepada growth oriented dengan produksi hasil perikanan diharapkan terus meningkat dari waktu ke waktu. Pola pengelolaan seperti ini tidak menutup kemungkinan bahwa produksi perikanan akan menuju atau melebihi titik MSY. Apabila pola pemanfaatan berlebihan, pada gilirannya akan mengakibatkan terkurasnya sumberdaya perikanan itu sendiri. Pemanfaatan yang berlebihan juga seringkali diperburuk oleh rezim pengelolaan perikanan dengan akses terbuka yang akan mengakibatkan hilangnya rente sumberdaya.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kondisi perikanan tembang di PPP Labuan, Banten belum mengalami kondisi overfishing. Kondisi aktual yang didapatkan dalam model bioekonomi menunjukkan bahwa upaya penangkapannya masih berada dibawah kondisi MEY dan MSY, sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi atau status pemanfaatan perikanan tembang di PPP Labuan, Banten belum mengalami economical overfishing maupun biological overfishing. Namun apabila kondisi MEY dan MSY dibandingkan dengan hasil tangkapan tiap tahunnya dari tahun 2002-2011 maka untuk tahun 2009 kondisi

(22)

pemanfaatan perikanan tembang sudah overcapacity karena upaya aktual pada tahun 2009 sudah melebihi upaya MEY dan MSY.

Boer dan Azis (2007) melakukan penelitian mengenai gejala tangkap lebih perikanan pelagis di perairan Selat Sunda dan mengatakan bahwa sudah terlihat adanya gejala lebih tangkap ikan pelagis kecil di perairan Selat Sunda. Berdasarkan penghitungan maka kondisi perikanan tembang di PPP Labuan belum mengalami overcapacity maupun gejala lebih tangkap. Hal ini dikarenakan adanya sifat dapat pulih (renewable) pada sumberdaya perikanan. Selain itu perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai status pemanfaatan perikanan tembang di daerah pelabuhan perikanan selain di PPP Labuan, Banten agar dapat mengetahui status pemanfaatan ikan tembang di perairan Selat Sunda.

Nilai rente ekonomi tertinggi dihasilkan pada kondisi MEY yaitu sebesar Rp 271.249.909,80 dengan upaya penangkapan yang masih berada dibawah kondisi MSY maupun OA, sehingga untuk penangkapan yang ideal dapat dilakukan pada kondisi MEY. Agar di dapatkan hasil yang optimal maka perlu adanya penambahan upaya perikanan sesuai dengan kondisi pemanfaatan yang telah ditentukan, namun masih diperlukan adanya peraturan upaya penangkapan mengingat kondisi perikanan yang berkembang di Indonesia adalah open access.

Berdasarkan hasil tangkapan ikan yang tertangkap, diketahui bahwa ikan-ikan masih banyak ikan-ikan kecil atau ikan-ikan yang belum mencapai matang gonad (Tabel 3), oleh karena itu dalam upaya penambahan upaya penangkapan harus diarahkan kepada penangkapan ikan yang sudah melewati ukuran pertama kali ikan matang gonad (> , yaitu dengan adanya pengaturan mesh size ikan. Jika dilihat dari TKG nya, ikan tembang yang tertangkap pada bulan Juli masih berada pada TKG I dan II, sehingga aktivitas penangkapan perlu dikontrol dan dijaga secara baik agar dapat memberikan kesempatan untuk memijah terlebih dahulu kepada ikan sebelum tertangkap agar tidak mengganggu proses rekruitmen individu baru didaerah penangkapan tersebut.

Gambar

Gambar 3. Komposisi tangkapan ikan Pelagis dari hasil tangkapan nelayan di PPP  Labuan, Banten (berdasarkan data berat)
Gambar 5. Upaya penangkapan ikan Tembang periode 2002-2011
Gambar 7. Nilai rata–rata IMP Ikan Tembang tahun 2002–2007
Gambar  8. Nilai rata – rata IMP Ikan Tembang tahun 2009 – 2011
+5

Referensi

Dokumen terkait

 Melakukan penelitian dan pengenalan aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat sebagai bagian terpadu dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata...

Beberapa daerah penghasil madu hutan yang terkenal di Indonesia diantaranya pulau Sumbawa, Provinsi Riau (Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo), Provinsi Kalimantan

Secara umum pola arus pasang surut hasil simulasi model hidrodinamika menunjukkan bahwa pada kondisi menuju surut pola arus didominasi oleh aliran yang bergerak dari celah

Penelitian ini membahas tentang “Strategi Pemasaran Usaha Kecil Menengah (UKM) Golla Kambu/Baye”, yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana strategi yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penambahan isolat bakteri heterotrof yang disemprotkan pada pakan dapat meningkatkan kesehatan ikan nila salin melalui

Kegiatan MOPD merupakan agenda rutin awal tahun tiap sekolah, dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 2014 sampai 17 Juli 2014, yang bertujuan untuk memperkenalkan lingkungan

Seluruh teman-teman khususnya kelas VI MEA (Produksi) dan Jurusan Teknik Mesin di Politeknik Negeri Sriwijaya pada umumnya yang telah banyak membantu,

Pemberian ALG merupakan pilihan utama untuk penderita anemia aplastik yang berumur diatas 40 tahun; (b) terapi imunosupresif lain : pemberian metilprednisolon dosis tinggi