• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hutan Mangrove di RPH Cibuaya BKPH Cikiong 5.1.1. Sejarah kawasan

Kawasan Hutan RPH Cibuaya pada awalnya merupakan kawasan hutan alam yang di dominasi oleh warakas dan api api. Sejak Tahun 1960an masyarakat mulai masuk dan menggarap lahan hutan mangrove untuk dijadikan tambak. Pada tahun 1966 kondisi hutan mangrove di RPH Cibuaya masih sangat gelap dan rapat. Sepanjang jalan menuju lokasi juga masih banyak semak yang tinggi yang dikenal dengan warakas atau paku laut (Acrostichum sp). Pada saat itu, hanya beberapa orang yang tinggal di sekitar hutan untuk melakukan budidaya perikanan tambak. Keberadaan satwa liar seperti burung dan ular masih sering terlihat dan masuk ke dalam rumah masyarakat (Marta pers comm. 2006). Kerusakan ekosistem mangrove mulai muncul pada tahun 1965 yang disebabkan banyaknya perambahan oleh masyarakat untuk tambak (Saidi pers comm. 2006).

Pada awalnya belum ada kesepakatan dan perjanjian yang jelas antara penggarap dengan pemerintah (Departemen Kehutanan) dalam pengelolaan hutan mangrove yang diperuntukan tambak. Sehingga masyarakat yang ada pada saat itu memanfaatkan hutan tanpa ada batas-batas tertentu. Akibatnya terjadi kerusakan yang cukup besar pada ekosistem mangrove.

Pada tahun 1970 dibuat percobaan penanaman jenis Bakau sebanyak dua hektar, dan pada tahun 1977 dilakukan penanaman secara luas di RPH Cibuaya untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove (Saidi pers comm. 2006). Pada tahun 1978 terjadi pemindahan pengelolaan hutan dari Departemen Kehutanan ke Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, yang sekarang pengelolaannya di bawah wilayah RPH Cibuaya, BKPH Cikiong.

Kemudian demi pengelolaan hutan mangrove yang lestari, disusun suatu perjanjian kontrak kerjasama antara Perhutani dengan penggarap dengan pedoman Perhutanan Sosial, pola empang parit (sylvofishery) pada Tahun 1989. BKPH Cikiong memiliki jumlah petani penggarap (pesanggem) sebanyak 1.500 orang, dengan luas lahan garapan ±6.600 ha (Laporan BKPH Cikiong, 1998). Pada tahun 1988 pesanggem yang sebelumnya mengelola lahan dengan tidak beraturan,

(2)

menjadi mengelompokan diri membentuk suatu wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) Payau.

Pada tahun 1998 terjadi kerusakan hutan yang besar, karena masuknya masyarakat dan merusak hutan tanpa memperhatikan dampak ekologi di masa mendatang. Hal itu terjadi karena tekanan ekonomi masyarakat yang tinggi. Pada tahun 1999-2000 terjadi kekeringan sehingga penanaman mangrove tidak berhasil. Puncak kerusakan hutan mangrove di lokasi ini terjadi pada tahun 2002. Lahan tambak dan hutan mangrove terendam banjir selama 3 bulan, mengakibatkan kematian vegetasi yang sangat tinggi. Maka Perhutani melakukan reboisasi pada tahun 2002 dan 2006. Rehabilitasi kawasan hutan yang dilakukan sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan, karena adanya perbedaan kepentingan antara sosial ekonomi dan kelestarian hutan payau.

5.1.2. Lahan mangrove RPH Cibuaya

Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 599/Kpts-II/1997, luas kawasan hutan BKPH Cikiong adalah 8.749,25 ha. Kawasan ini terbagi atas hutan tetap seluas 7.823,25 ha dan Hutan cadangan seluas 926 ha. Berdasarkan bagan kerja KPH Purwakarta tahun 2004, kawasan hutan BKPH Cikiong dibagi kedalam lima resort dengan salah satunya Resort Cibuaya dengan luas 1583,47 ha. Pada tahun 2005 terjadi pengukuhan ulang, karena pergeseran batas alam, maka mendapat tambahan dari RPH Pakis seluas 123,88 ha, sehingga luas RPH Cibuaya menjadi 1707,35 ha (Tabel 5).

Tabel 5. Data luasan mangrove RPH Cibuaya Kelompok Hutan Cikiong No Petak Luas (Ha) Fungsi

Hutan Kelas Hutan Jenis Hutan Tahun Tanam Keterangan 1 43 260,80 HL TK - - 50,00 HL Bakau/api 1981 2 46 95,25 HL TK - - 35,00 HL Bakau/api 1981 3 47 162,60 HL TK - - 25,00 HL Bakau/api 1980 4 48 62,40 HL TK - - 9,00 HL Bakau/api 1989 5 49 141,70 HL TK - - 10,00 HL Bakau/api 1989 6 50 82,80 HL TK - - 5,00 HL Bakau/api 1989 7 51 51,10 HL TK - - 8 52 91,60 HL TK - - 9 53 65,54 HL TK - -

(3)

No Petak Luas (Ha) Fungsi Hutan Kelas Hutan Jenis Hutan Tahun Tanam Keterangan 10 54 209,70 HL TK - - 15,00 HL Bakau/api 1989 11 55 139,60 HL TK - - 25,00 HL Bakau/api 1983 12 56 6,50 HL TK - - 4,00 HL KU I. Bakau/api 2005 6,00 HL KU I. Bakau/api 2001 13 57 45,00 HL TK - - 14 58 52,76 HL TK - - 18 Ha. Sengketa 34.76 Ha. abrasi 1.707,35 Sumber : BKPH Cikiong, 2006

Dari tabel di atas untuk petak 58 dengan luas 52,76 ha dalam kondisi bermasalah yaitu 34,76 ha terkena abrasi, karena proses alam sedangkan 18 ha lagi dalam status sengketa dengan hak pengguna lain dalam hal ini masyarakat.

5.1.3. Lahan mangrove yang digunakan tambak

Sebagian besar wilayah RPH Cibuaya untuk perhutanan sosial pola empang parit. Berdasarkan daftar Penggarap PHBM payau tahun 2006 di RPH Cibuaya, hutan payau untuk tambak dikelola oleh 194 pesanggem seluas 1286,86 ha atau 75,37% dari total luas wilayah RPH Cibuaya (Lampiran 1).

Luasnya kawasan hutan payau RPH Cibuaya digunakan untuk tambak sebesar 75,37% menunjukkan bahwa hampir seluruh kawasan hutan digunakan untuk tambak. Sehingga sistem pengelolaan kawasan di RPH Cibuaya adalah sistem perhutanan sosial berbentuk tambak dengan sistem empang parit.

5.1.4. Lahan mangrove yang dikonversi ke penggunaan lain (tidak digunakan untuk tambak)

Wilayah RPH Cibuaya digunakan untuk tambak dengan sistem empang parit, tetapi beberapa bagian dimanfaatkan untuk pemukiman, saluran air, kali, tanggul empang dan pinjam pakai (Pertamina). Beberapa bagian yang lain tidak dapat digunakan sebagai tambak, karena sedang dalam sengketa dan abrasi. Data ini disajikan dalam Tabel 6.

(4)

Tabel 6. Data penggunaan lahan selain untuk tambak.

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Keterangan

1 Pemukiman 10,01

2 Saluran, kali, tanggul empang 362,20 3 Pinjam pakai (Pertamina) 21,74

4 Sengketa 18,00

5 Abrasi 34,76 Disebabkan gejala Alam

Jumlah 446,71 24,63%

Sumber : BKPH Cikiong, 2004

Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan di RPH Cibuaya selain untuk tambak sebesar 446,71 ha atau 24,63% dari total luas wilayah RPH Cibuaya. Lahan yang dalam kondisi abrasi harus segera dilakukan rehabilitasi dan untuk mengurangi abrasi maka harus dilakukan rehabilitasi mangrove di tepi pantai, sehingga abrasi tidak akan semakin luas. Sedangkan lahan yang dalam masalah sengketa harus segera dicari solusi yang terbaik bagi kedua pihak yang bersengketa, sehingga lahan tersebut dapat dikelola sesuai dengan tujuan Perhutani.

5.1.5. Pengelolaan tambak sistem empang parit

Perum Perhutani membuat suatu kebijakan pengelolaan mangrove yaitu suatu sistem pengelolaan bersama masyarakat yang dikenal dengan silvofishery atau Mina Wana Tani. Kebijakan ini diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan oleh masyarakat karena kebijakan tersebut memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat di sekitar kawasan.

Sasaran kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara umum menurut Nuryanto (2003) diarahkan pada empat aspek, yaitu:

1) Mengurangi tekanan terhadap ekosistem hutan mangrove dalam bentuk: a. Pengawasan yang ketat terhadap penebangan liar, perburuan liar dan

ancaman kerusakan hutan lainnya,

b. Menindak penambak liar yang beroperasi, c. Melakukan penataan kawasan,

2) Revitalisasi fungsi ekosistem hutan mangrove dalam bentuk:

a. Melakukan penghutanan kembali (reforestation) daerah yang telah rusak tegakan mangrovenya,

(5)

b. Menata dan memperbaiki aliran pasang surut di dalam kawasan yang sudah terganggu,

3) Mengembangkan manfaat sosial ekonomi kawasan dalam bentuk:

a. Menata dan memperbaiki sistem budidaya perikanan yang ada dengan sistem mina hutan,

b. Mengembangkan program wisata alam ekosistem hutan mangrove yang menarik dan profesional,

4) Merumuskan kembali sistem kelembagaan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang menjamin adanya sinergisme antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung fungsi ekologi dan ekonomi kawasan.

Pemanfaatan kawasan mangrove menjadi tambak di lokasi RPH Cibuaya dilakukan dengan sistem tambak tumpangsari pola empang parit, dengan tujuan untuk perlindungan terhadap tanaman mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Pola ini menggambarkan lahan yang efektif untuk memelihara ikan merupakan saluran keliling atau caren dengan lebar maksimal 10 m, sedangkan di bagian tengah ditanami pohon bakau atau mangrove. Untuk kelestarian mangrove pihak Perhutani juga menentukan jarak tanam vegetasi mangrove sebagai upaya rehabilitasi yaitu 3 x 3 m.

Sistem empang parit ini diatur dalam sebuah perjanjian kerjasama antara Perhutani dengan pesanggem, yang di dalammya berisi hak dan kewajiban masing masing pihak. Beberapa data yang berkaitan dengan pengelolaan tambak sistem empang parit yaitu luas tambak, kelas tambak, umur tambak, jumlah tenaga kerja, status tambak, dan upaya konservasi yang dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat data pengelola tambak sistem empang parit yang tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7. Contoh data pengelolaan sistem empang parit. No Responden Luas Garapan (Ha) Kelas Tambak Umur Tambak (Th) Jumlah Tenaga Kerja Kontrak Atas Nama Upaya konservasi 1 1 4 3 25 2 milik sendiri 2 2 5,4 4 27 2 milik sendiri 3 3 4 2 27 2 milik sendiri 4 4 2 4 15 1 milik sendiri 5 5 4 3 31 2 milik sendiri 6 6 6 4 11 2 milik sendiri

(6)

No Responden Luas Garapan (Ha) Kelas Tambak Umur Tambak (Th) Jumlah Tenaga Kerja Kontrak Atas Nama Upaya konservasi 7 7 6 3 15 3 milik sendiri

8 8 5 1 11 2 milik sendiri Memelihara

tanaman 9 9 10 4 27 3 milik sendiri 10 10 5 4 27 2 milik sendiri 11 11 6 3 44 2 milik sendiri 12 12 6 4 12 2 milik sendiri 13 13 4 4 11 2 milik sendiri 14 14 4 4 15 1 milik sendiri

15 15 4 2 16 1 milik sendiri Memelihara

tanaman 16 16 5 4 25 2 milik sendiri 17 17 1,8 4 5 1 milik sendiri 18 18 2 4 26 1 milik sendiri 19 19 3 4 18 2 milik sendiri 20 20 4 4 20 2 milik sendiri 21 21 5 3 11 2 milik sendiri 22 22 0,75 3 6 1 milik sendiri 23 23 5 4 20 3 milik sendiri 24 24 5 4 15 3 milik sendiri 25 25 2 4 5 2 milik sendiri 26 26 5 2 16 2 milik sendiri 27 27 3 4 13 2 milik sendiri 28 28 4 3 1 2 Alih kontrak 29 29 5 3 11 2 milik sendiri 30 30 4 2 15 2 milik sendiri

Hasil wawancara menunjukan adanya keragaman dalam status hak pengelolaan tambak setiap orang (pesanggem) dilihat hal berikut : (a). Untuk luas lahan yang digarap terdapat perbedaan untuk setiap pesanggem dengan luas garapan terendah sebesar 0,75 ha dan yeng terluas sebesar 10 ha, hal ini disebabkan perbedaan kemampuan setiap pesanggem dalam membayar uang sewa usaha tambak; (b). Lahan yang dikelola mempunyai perbedaan kelas pada beberapa pesanggem, karena adanya perbedaan penutupan vegetasi mangrove di setiap lahan tambak. Sesuai kesepakatan bahwa kelas tambak di RPH Cibuaya dibagi menjadi 4 kelas, dengan kelas I memiliki penutupan vegetasi yang terbesar (80-100)%, sedangkan kelas 4 memiliki penutupan vegetasi paling sedikit (<40%) dari luas tambak; (c). Lamanya pesanggem mengelola tambak (umur tambak) juga berbeda dengan lama mengelola terlama 27 tahun, dan paling singkat baru 1 tahun.; (d). Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan tambak setiap lahan tambak per pesanggem rata rata 2 orang saja, karena biasanya setiap lahan

(7)

tambak dikelola oleh suami dibantu istri dan anak.; (e). Status kepemilikan tambak hampir seluruhnya (96,67%) milik sendiri, atau dikelola atas nama sendiri dan hanya satu orang (3,33%) yang statusnya alih kontrak, karena pesanggem mengelola tambak tapi masih atas nama orang lain; dan (f). Upaya konservasi yang dilakukan oleh pesanggem hanya dilakukan oleh 2 orang saja (6,66%) yaitu dengan memelihara dan menjaga mangrove dan juga melakukan penyulaman atau penanaman secara sukarela di lahan tambaknya, dan sebanyak 28 orang ( 93,33 %) tidak melakukan usaha konservasi karena mereka beranggapan bahwa mereka tidak mempunyai tanggung jawab langsung terhadap tanaman mangrove, karena yang bertanggung jawab pada tanamannya adalah pihak Perhutani. Ini terjadi karena tidak dimasukkannya kewajiban rehabilitasi mangrove oleh pesanggem pada setiap lahan tambaknya. Ini menunjukan upaya konservasi yang dilakukan masyarakat sangat kurang bahkan tidak ada, maka pihak Perhutani sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap kelestarian ekosistem mangrove melakukan upaya-upaya konservasi dengan membentuk Pusat Percobaan

Silvofishery (PPS).

PPS pada awalnya adalah lahan garapan masyarakat yang mengelola tambak, namun dicabut hak kepemilikannya karena melakukan pelanggaran (terlibat dalam suatu tindakan politik). Kemudian lahan tersebut dijadikan sebagai lahan percobaan penanaman dan upaya rehabilitasi hutan mangrove serta percobaan metode-metode penanaman baru.

PPS berdiri sejak tahun 1992 dengan sebutan BIPSP (Badan Informasi Perhutanan Sosial Payau), yang bertujuan:

1) tempat uji coba metoda, teknologi budidaya ikan dalam habitat payau dan kombinasi lainnya,

2) sebagai tempat penelitian, pengembangan pola dan jenis tanaman serta flora fauna hutan payau,

3) sebagai lokasi penyuluhan Perhutanan Sosial Payau, khususnya dalam penerapan silvofishery.

Selanjutnya pada Tahun 1995 dengan Petunjuk Kerja

No.22/PK/Binhut/II/1995 BIPSP ditetapkan menjadi PPS. RPH Cibuaya terdapat PPS yang terletak pada petak 43 dengan luas lahan 57,80 ha dengan jenis tanaman

(8)

bakau (Rhizophora spp.) yang ditanam pada tahun 1978 dan tahun 2000 hingga sekarang. PPS dikuasai sepenuhnya oleh Perhutani, namun karena di dalamnya dilaksanakan silvofishery, Perhutani meminta beberapa masyarakat menjaga dan memelihara ikan dan udang yang ditanamnya tanpa merusak vegetasi.

Sistem sylvofishery yang diterapkan di wilayah RPH Cibuaya didasarkan pada Pedoman Pelaksanaan Perhutanan Sosial pada hutan payau tahun 1994, pola Mina Wana Tani atau pengelolaan tambak dengan sistem silvofishery yang diwajibkan adalah pola empang parit yang disempurnakan. Pola empang parit yang disempurnakan merupakan pengembangan dari pola empang parit tradisional. Perbedaanya terletak pada pintu air untuk pemeliharaan yang terdiri atas 3 (tiga) buah pintu, yaitu 2 buah pintu masuk dan 1 buah pintu keluar. Ditambah lagi dengan saluran air pasang surut bebas untuk hutan.

Masyarakat mendukung kegiatan yang dilakukan Perhutani di PPS, karena menganggap akan mendatangkan keuntungan. Sebab uji coba penanaman dan metoda-metoda baru secara tidak langsung dilakukan di lahan tambak mereka. Jika penanaman yang dilaksanakan di PPS berhasil baik, penggarap akan

menerima bila penanaman dilanjutkan ke lahan tambak mereka, namun jika tidak berhasil maka penggarap tidak merasa dirugikan karena tidak mengganggu budidaya tambak mereka sama sekali. Sampai saat ini PPS dirasakan belum mampu mencapai tujuan pelestarian hutan mangrove. Seperti terlihat pada Gambar 2 berikut ini menunjukan kondisi mangrove di PPS.

(9)

Gambar 2. Hutan mangrove di Pusat Percobaan Silvofishery (PPS) Tahun 2006 masih baik (a); dan rusak (b)

Vegetasi mangrove di Pusat Percobaan Silvofishery (PPS) tidak seluruhnya baik, hanya sekitar 30% dari luas PPS (57,80 Ha) yang vegetasi mangrovenya masih bagus (Gambar 2a), sedangkan 70% sisanya rusak (sama seperti vegetasi pada lahan garapan masyarakat). Gambar 2b menunjukkan kerusakan vegetasi di PPS. Vegetasi mangrove di PPS yang masih bagus berada di dekat sungai, sedangkan vegetasi pada lahan yang lebih jauh dari sungai banyak yang rusak. Menurut petugas lapang, hal ini dikarenakan salinitas air lebih baik pada lahan yang dekat dengan sungai. Rehabilitasi lahan kawasan hutan yang terus dilakukan sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Faktor penyebabnya adalah adanya perbedaan kepentingan antara sosial ekonomi dan kepentingan kelestarian hutan payau. Selain itu, adanya faktor lain seperti hama tanaman yang menyerang daun muda, hewan peliharaan yang memakan pucuk daun muda, panas matahari dan pupuk serta akar tanaman yang mengapung atau tidak menancap sempurna di dalam tanah.

Selain mengawasi dan membina penggarap dalam pemanfaatan lahan hutan, Perhutani juga mempunyai rencana penanaman setiap tahunnya. Rencana tanaman disusun dalam Renstra dan dilaksanakan dalam jangka waktu satu tahun ke depan. Pada Tahun 2005, rencana tanam yang telah dilaksanakan sebesar 201 ha untuk 5 resort di BKPH Cikiong. Tahun 2006 dilaksanakan penanaman seluas 215 ha, dan rencana penanaman untuk tahun 2007 adalah seluas 75 ha. Luas lokasi penanaman tergantung dari pihak KPH yang menentukan kebijakan dan dilaksanakan secara berangsur dengan lokasi penanaman disesuaikan dengan kondisi lapangan yang

(10)

dibutuhkan. Saat ini penanaman lebih difokuskan pada tepi-tepi sungai dan mengurangi penanaman di dalam empang (tambak) karena tingkat keberhasilan penanaman di dalam empang rendah.

Jenis vegetasi yang ditanam disesuaikan dengan lokasi penanaman. Dalam empang diupayakan jenis bakau (Rhizophora spp.) yang merupakan jenis yang paling cocok ditanam pada lahan berlumpur, sedangkan tepi sungai lebih sesuai jenis api-api (Avicenia spp.). Hal tersebut disesuaikan gengan sifat dari masing-masing jenis vegetasi mangrove dimana api-api berada pada urutan pertama jika dilihat dari tepi laut.

5.2. Penutupan Lahan yang Bervegetasi Mangrove di RPH Cibuaya 5.2.1. Kesesuaian persentase vegetasi mangrove berdasakan kelas tambak

Kawasan hutan lindung mangrove RPH Cibuaya dikelola dalam bentuk perhutanan sosial, yaitu sistem empang parit yang pengelolaannya diberikan pada masyarakat dan terikat dalam perjanjian kesepakatan dengan pihak Perhutani. Salah satu perjanjiannya yaitu mengenai status kelas tambak yang ditentukan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada di tambak. Ketentuan persentase vegetasi mangrove per kelas tambak dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Persentase vegetasi mangrove berdasarkan kelas tambak

No Kelas Persentase Vegetasi Magrove (%)/Ha

1 I 80-100

2 II 60-80

3 III 40-60

4 IV < 40

Sumber : BKPH Cikiong, 2005

Pengkelasan tambak sangat berkaitan dengan kinerja rehabilitasi mangrove dan upaya-upaya konservasi yang harus dilakukan untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Kelas tambak juga berkaitan dengan sewa antara pesanggem dan Perhutani yang disesuaikan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada di tambak. Maka diperlukan pengkelasan yang tepat dan sesuai antara aturan dan kondisi di lapangan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

(11)

Maka dilakukan penelitian kesesuaian kelas tambak, yang diukur berdasarkan panjang penutupan lahan oleh vegetasi mangrove per kelas tambak. Penelitian dilakukan dengan mengambil unit contoh berdasarkan luas lahan yang digunakan tambak dengan intensitas sampling 5%, karena kondisi ekosistem yang seragam jadi diasumsikan dapat mewakili. Unit contoh adalah luas tambak per kelas tambak yang diambil secara acak. Penelitian dilakukan pada 12 pesanggem dengan kelas dan luas tambak yang berbeda sehingga dianggap mewakili kelas dan luas keseluruhan, dengan total luas penelitian adalah 71,93 ha. Rekapitulasi perhitungan hasil pengukuran tersaji pada Tabel 9.

Dari Tabel 9 dapat dilihat pengambilan contoh dilakukan pada setiap kelas tambak yaitu kelas I; 1 orang (8,33%), kelas II; 2 orang (16,67%), kelas III; 3 orang (25%) dan kelas IV; 6 orang (50%). Unit contoh dari kelas IV lebih banyak dari kelas lainnya sebesar 50%, karena jumlah pesanggem kelas IV paling banyak dari kelas lainnya.

Pada lahan tambak yang diamati hanya jenis Rhizophora mucronata yang ditemukan dan menutupi lahan tambak. Hasil perhitungan menunjukan contoh 1 (kelas I) mempunyai kerapatan terbesar yaitu 15104,23 ind/ha, hal ini menunjukan bahwa banyaknya individu per ha pada Kelas I lebih banyak dari kelas lainnya. Sedangkan kerapatan terendah ada pada contoh 10 dan 11(kelas IV), sebesar 0,00 karena tidak ditemukan vegetasi mangrove di lahan tambak. Kerapatan suatu jenis sangat mempengaruhi dominansi jenis tersebut, dominansi tertinggi pada kelas I sebesar 71,98%, dan yang terendah pada contoh 10 dan 11 (kelas IV) sebesar 0, karena tidak ditemukannya vegetasi. Frekuensi yang terbesar adalah pada contoh 2 (kelas II) sebesar 100% ini menunjukan bahwa vegetasi mangrove tersebar merata. Sedangkan yang terendah pada contoh 10 dan 11 (kelas IV) sebesar 0% karena tidak ada ditemukan vegetasi.

(12)

Tabel 9 . Rekapitulasi Perhitungan penutupan lahan berdasarkan pesanggem.

No Unit

Contoh

Luas

(ha) Kelas Jenis Tanaman

Kerapatan (ind/ha) Dominansi (%) Frekuensi (%) INP (%) Total Penutupan (%) 1 1 5 1 Rhizophora mucronata 15104,23 71,98 85,00 300,00 80,50 2 2 4 2 Rhizophora mucronata 8847,72 54,60 100,00 300,00 63,19 3 3 4 2 Rhizophora mucronata 8220,21 54,98 92,00 300,00 62,80 4 4 6 3 Rhizophora mucronata 7968,32 35,30 66,67 300,00 41,76 5 5 4 3 Rhizophora mucronata 6373,44 40,15 88,24 300,00 43,15 6 6 4 3 Rhizophora mucronata 6947,97 50,59 92,59 300,00 53,11 7 7 4 4 Rhizophora mucronata 5600,99 39,43 86,67 300,00 40,77 8 8 7 4 Rhizophora mucronata 7834,56 28,08 75,00 300,00 29,03 9 9 5 4 Rhizophora mucronata 4686,94 23,76 80,00 300,00 24,36 10 10 7 4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 11 11 10 4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 12 12 11,93 4 Rhizophora mucronata 7292,75 13,23 72,45 300,00 13,76 Jumlah 71,93 78877,12 412,09 838,62 3000,00 452,43 48

(13)

Hasil pada Tabel 9 juga menunjukan total penutupan lahan untuk masing masing contoh berdasakan kelas tambak. Penutupan lahan terluas diperoleh pada contoh 1 (kelas I) sebesar 80,5%, artinya 80,5 % luas tambak masih bervegetasi mangrove. Sedangkan yang terendah pada contoh 10 dan 11 (kelas IV) sebesar 0%, artinya semua luas tambak tidak bervegetasi mangrove.

Data hasil penelitian menunjukan adanya kesesuaian antara total penutupan lahan per kelas tambak yang sebenarnya dengan aturan yang ada di kontrak, jumlah penutupan lahan yang sesuai sebanyak 95,83% dan hanya 4,17% yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, data disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Rekap kesesuaian penutupan lahan berdasar kelas tambak

Penutupan vegetasi

<aturan =aturan >aturan Jumlah No Kelas Unit

contoh

Total penutupan

lahan (%) satuan % satuan % satuan % satuan %

1 I 1 80,5 1 100 1 100 1 63,19 2 II 2 62,8 2 100 2 100 1 41,76 2 43,15 3 III 3 53,11 3 100 3 100 1 40,77 2 29,03 3 24,36 4 0 5 0 4 IV 6 13,76 5 83,3 1 16,7 6 100 Jumlah 11 383,3 1 16,7 12 400 Rata rata 95,83 4,18

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelas I, II, dan III terdapat kesesuaian antara luas penutupan lahan dalam kontrak dengan luas penutupan lahan yang sebenarnya dilapangan, dengan persentase 100%, artinya pengkelasan pada kelas I, II, dan III sudah benar dan tepat. Sehingga pada kelas I, II, dan III tidak ada pihak yang akan dirugikan baik penggarap (pesanggem) maupun Perhutani.

Pada kelas IV luas penutupan lahan yang sesuai dengan kondisi di lapangan sebesar 83,3%, artinya pengkelasan pada lahan tersebut sudah benar. Tapi ada yang tidak sesuaian data penutupan lahan di lapangan dengan aturan pada kontrak sebesar 16,67 %, yaitu pada contoh 7 atas nama Bapak Dali. Hasil pengukuran menunjukan bahwa luas penutupan lahan lebih besar dari aturan, dengan luas sebesar 40,77%, sedangkan pada aturan dijelaskan bahwa kelas IV luas penutupan <40%. Karena luas penutupan lahan lebih besar dari sebenarnya,

(14)

maka pesanggem dirugikan, sebab seharusnya tambak masuk pada kelas III bukan kelas IV.

Indikator pengkelasan pada tambak, tidak hanya berdasarkan luas penutupan vegetasi saja, tapi indikator lain seperti pasang surut air laut, aksebilitas, kadar garam dan lainnya. Sehingga untuk kasus tambak Bapak Dali, walaupun luas penutupan vegetasinya lebih besar dari sebenarnya tetapi memiliki kelebihan berupa pasang surut bagus, diapit dua sungai, dan aksesibilitas baik, maka dimasukan pada kategori kelas IV (Mendon pers comm. 2006). Dengan adanya ketentuan seperti itu maka pengkelasanya telah sesuai dengan kontrak.

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Perhutanan Sosial pada hutan payau tahun 1994, pola Mina Wana Tani atau pengelolaan tambak dengan sistem

silvofishery yang diwajibkan adalah pola empang parit yang disempurnakan.

Bentuk tambak Kelas I (luas tambak 20%), sangat sesuai dengan pola yang ditetapkan, yaitu bagian caren (tempat pemeliharaan ikan) berada di tepi lahan dengan rabak (tegakan mangrove) berada di tengah lahan tambak. Begitu juga bentuk tambak Kelas II, III dan IV, hanya saja jumlah tegakan yang ada lebih sedikit. Berikut ini contoh lokasi tambak kelas I, II, III dan IV disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk pengelolaan lahan tambak Kelas I (a); Kelas II (b); Kelas III (c);dan Kelas IV (d).

a b

(15)

Hasil penelitian menunjukan adanya kesesuaian antara hasil lapangan dengan kontrak. Tapi ada hal yang harus diperhatikan dengan melihat hasil lapangan bahwa ditemukan tambak dengan kondisi penutupan lahan 0 % pada kelas IV sebesar 33,33% dari luas lahan yang digunakan tambak. Kondisi ini menunjukan telah terjadi kerusakan pada ekosistem mangrove baik secara sengaja oleh manusia mapun oleh gajala alam. Hal ini menunjukan tidak berjalannya atau tidak dilaksanakannya upaya upaya konservasi terhadap ekosistem mangrove.

Dalam perjanjian yang ada saat ini, tidak ada kewajiban bagi pesanggem untuk melaksanakan rehabilitasi, mereka hanya diwajibkan untuk memelihara tanaman yang ada dan melakukan penyulaman tanaman mangrove yang mati. Situasi dilapangan menunjukan kondisi sebaliknya, banyak mangrove yang ditanam malah dicabuti, yang masih hidup ditebang untuk kayu bakar. Artinya sistem pengkelasan hutan mangrove menjadi disinsentif bagi keberhasilan reboisasi hutan lindung mangrove. Ini terbukti dari hasil wawancara dengan pak Mendon (mandor senior) menjelaskan banyaknya lahan areal tambak yang turun kelas jika dibanding tahun sebelumnya .

Kondisi mangrove di RPH Cibuaya dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data dalam Lampiran 1 dapat diketahui bahwa luas tambak yang paling besar adalah tambak kelas IV sebesar 903,85 Ha (70,23%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi mangrove di daerah tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah karena hutan yang bervegetasi mangrove kurang dari 40%.

Dari hasil penelitian menunjukan kecendrungan dari pesanggem untuk turun kelas, hal ini dapat dilihat dari besarnya penutupan lahan setiap pesanggem lebih mendekati batas bawah setiap kelasnya. Sehingga dalam jangka panjang tidak menutup kemungkinan semua kelas tambak yang ada di RPH Cibuaya hanya kelas empat. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi kelestarian ekosistem mangrove di PRH Cibuaya dan akan menyulitkan upaya rehabilitasi lahan mangrove. Maka diperlukan peninjauan kembali pengkelasan tambak di RPH Cibuaya. Hasil penelitian Helmi Yudiarsafran Zuna (1998) ” Bahwa Komposisi luasan optimal tambak tumpangsari adalah tambak (54%) dan hutan (46%).

(16)

Persentase ini menunjukan secara ekologi maupun ekonomi sama-sama menguntungkan.

5.2.2. Upaya rehabilitasi lahan mangrove

Keberadaan hutan mangrove di RPH Cibuaya merupakan lahan bagi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dan menjadi sumber penghasilan. Adanya masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai lahan budidaya ikan dan udang dalam tambak menjadikan hutan mangrove kehilangan fungsi alaminya sebagai habitat berbagai jenis ikan, kepiting dan habitat satwaliar lain. Pemanfaatan secara berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan mangrove yang cukup parah. Untuk itu diperlukan usaha rehabilitasi untuk memperbaiki keadaan hutan mangrove.

Upaya yang ditempuh Perhutani dalam memperbaiki hutan mangrove dimulai dengan dilakukannya penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat mengenai pentingnya ekosistem hutan mangrove. Kemudian Perhutani melakukan penanaman kembali lahan budidaya yang tidak bervegetasi. Dimulai dari Pusat Percobaan Silvofishery (PPS), Perhutani mencoba memberikan beberapa contoh penanaman bibit bakau dengan jarak tanam tertentu. Kronologis upaya rehabilitasi yang dilakukan Perum Perhutani di BKPH Cikiong (Mendon pers comm. 2006) adalah sebagi berikut:

a). Tahun 1970 : Percobaan penanaman jenis bakau sebanyak 2 ha b). Tahun 1977-1978 : Penanaman secara luas di RPH Cibuaya untuk

menjaga ekosistem mangrove.

c). Tahun 1995 : Penanman di Pusat Percobaan Silvofishery d). Tahun 2002 : Penanaman pada lahan yang terkena banjir e). Tahun 2005 : Penanaman 201 Ha untuk wiayah BKPH Cikiong f). Tahun 2006 : Penanaman 215 ha untuk wilayah BKPH Cikiong g). Tahun 2007 : Rencana tanaman 75 ha.

Menurut Kepala BKPH Cikiong, tingkat keberhasilan penanaman bibit bakau di lokasi penelitian hanya 30%. Bibit bakau yang ditanam dengan jarak tanam 3 m x 3 m tersebut mengalami kematian cukup besar karena beberapa faktor, antara lain:

(17)

1. Serangan hama

Bibit bakau yang telah ditanam dapat mengalami gangguan oleh hama baik pada daun maupun batang. Hama ini merusak daun-daun muda yang pada akhirnya mengakibatkan kematian. Perhutani sendiri tidak dapat mengontrol secara teliti, jika diketahui ada tanaman yang mati maka petugas akan menyulam dengan bibit baru.

2. Gangguan hewan

Bibit-bibit tidak hanya ditanam di bagian dalam lahan garapan saja, tetapi ada bibit yang ditanam ditepi tanggul. Bibit ini sering dimakan oleh hewan peliharaan penambak (kambing) yang digembalakan di sekitar lahan tambak. Hewan ini memakan pucuk-pucuk daun muda yang baru tumbuh sehingga tanaman tidak dapat bertahan lama.

3. Panas matahari dan pupuk

Bibit bakau yang ditanam di lahan garapan yang tidak bervegetasi cenderung mengalami kematian lebih cepat karena panas matahari yang mengenai tanaman muda. Menurut penggarap, adanya pemakaian pupuk yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan kondisi tanah tidak stabil dan pupuk tersebut memberikan rasa dingin pada bagian bawah air, sementara pada bagian permukaan air mengalami pemanasan oleh matahari. Hal ini yang menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh hingga besar.

4. Akar tidak menancap di tanah

Nuryanto (2003) menyatakan bahwa akar mangrove tidak menancap di tanah sebagai akibat kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter sehingga bibit akan terapung, atau juga dapat disebabkan pencabutan tanaman yang sengaja dilakukan beberapa penggarap yang lahannya tidak mau ditanami dengan tanaman baru. Petugas jarang melihat langsung penggarap yang mencabut tanaman, hanya dijumpai akar tanaman yang tidak menancap secara sempurna pada tanah.

Nuryanto (2003) menyatakan bahwa kendala yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi di daerah tambak adalah kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter. Pada kedalaman ini bibit bakau akan terapung, tidak akan mampu mencapai media tumbuh yang berupa lumpur. Pengurugan kolam tidak mungkin ditinjau

(18)

dari aspek pembiayaan dan sumber tanah yang sejenis. Selanjutnya ia menyatakan, suatu jalan pemecahan yang mungkin dilakukan adalah dengan cara menanam bibit bakau dalam bumbung bambu. Bumbung bambu tersebut diisi lumpur kemudian ditanami bibit bakau dan ditancapkan di kolam-kolam.

Pada lahan tambak Kelas IV, upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh pihak Perhutani sangat besar karena hampir 100% lahan digunakan sebagai lahan budidaya tambak ikan dan udang dengan penutupan lahan sampai 0%. Namun untuk melaksanakan penanaman tersebut, baik Perhutani maupun masyarakat mengalami kesulitan karena keberhasilan pertumbuhan vegetasi sangat kecil yaitu sekitar 30%. Jika penanaman dilakukan sebanyak 1100 bibit untuk tiap hektar lahan, maka keberhasilan tumbuh hanya 330 bibit saja. Dari tingkat keberhasilan yang rendah tersebut, pertumbuhan tanaman muda seringkali mengalami gangguan, baik karena serangan hama maupun mati karena panas yang tinggi. Kematian tanaman juga disebabkan adanya hewan peliharaan (kambing) yang memakan pucuk-pucuk daun muda yang berada di sisi tanggul, selain itu karena penggunaan pupuk yang sangat tinggi sejak dahulu, maka kondisi tanah tidak baik. Berikut ini salah satu contoh rehabilitasi mangrove yang dilakukan Perhutani pada lahan PPS, yang secara pengkelasan masuk pada kelas IV, dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Contoh upaya rehabilitasi pada lahan tambak.

Kegiatan rehabilitasi bukan hanya dilakukan pada lahan tambak kelas IV tapi harus dilakukan di setiap kelas tambak, sehingga kelestarian mangrove di

(19)

RPH Cibuaya dapat terjaga, maka manfaat ekonomis dari tambak sejalan dengan terjaganya fungsi ekologis dari mangrove.

Kesulitan yang dialami dalam upaya merehabilitasi hutan mangrove memaksa pihak Perhutani mengupayakan cara terbaik dalam penanaman bakau. Upaya yang sedang dijalankan Perhutani lebih memfokuskan penanaman bibit bakau pada tepi-tepi sungai, saluran-saluran air dan tanggul, dan mengurangi penanaman dalam tambak. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan baik dan meningkatkan keberhasilan rehabilitasi baik sekarang maupun jangka panjang, sehingga kelestarian ekosistem mangrove di RPH Cibuaya dapat terjaga. Selain itu Perhutani harus memasukkan pelaksanaan rehabilitasi dalam perjanjian kontrak, sehingga rehabilitasi menjadi tanggung jawab bersama.

5.3. Besarnya nilai sewa tambak yang sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh hutan lindung mangrove di RPH Cibuaya adalah berupa tambak dengan kondisi hutan mangrove sangat bervariasi. Tambak dikelola oleh pesanggem yang terikat dalam suatu perjanjian dengan Perum Perhutani. Salah satu isi perjanjiannya adalah masalah sewa. Sistem sewa antara perum perhutani dan pesanggem didasarkan pada kelas tambak yang ditentukan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada tambak, dan luasan hutan yang dijadikan tambak. Di RPH Cibuaya pengelolaanya terdiri dari empat kelas. Yaitu kelas I, II, III, dan IV.

Kelas tambak ditentukan oleh Seksi Perencana Hutan (SPH) berdasarkan kriteria-kriteria khusus yang ditetapkan (jumlah vegetasi pada lahan tambak, pasang surut dan lebar empang). Pengkelasan dapat berubah (menjadi lebih kecil atau besar) jika keadaan di lapangan sudah tidak sesuai dengan ketentuan kelas yang ditetapkan sebelumnya. Jika vegetasi di suatu lahan semakin berkurang maka SPH dapat menurunkan kelas lahan tersebut dan menaikkan harga sewa lahannya. Semakin rendah kelas, semakin mahal harga sewa yang harus dibayarkan penggarap setiap tahunnya. Harga sewa yang ditetapkan untuk Kelas I

(20)

saat ini sebesar Rp. 95.400/ha/tahun, Kelas II sebesar Rp. 112.000/ha/tahun, Kelas III sebesar Rp. 129.000/ha/tahun dan Kelas IV sebesar Rp. 179.000/ha/tahun.

Besarnya harga sewa di RPH Cibuaya telah mengalami perubahan dari tahun 1988-2004, berdasarkan hasil wawancara dengan pak Mendon (mandor senior) bahwa perubahannya dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11..Perkembangan sewa tambak berdasarkan tahun.

No Tahun Kelas Besarnya sewa (Rp)/ha/thn

1 70.000 2 50.000 1 1988 (KTH yang mengelola)*) 3 35.000 1 70.000 2 50.000 2 1992 (Perhutani yang mengelola) 3 35.000 1 36.000 2 50.000 3 1999**) 3 72.000 1 95.400 2 112.000 3 129.000 4 2004 - sekarang 4 179.000 Keterangan :

*). Pada tahun 1988, kelas 1 adalah yang bervegetasi paling sedikit.

**). Pada tahun 1999 sampai sekarang, kelas 1 adalah yang bervegetasi paling banyak.

Tambak di RPH Cibuaya dikelola oleh pesanggem, dengan jumlah penggarap yang mengelola sebanyak 194 orang, untuk kelas (1) 3 orang, kelas (2) 17 orang, kelas (3) 30 orang dan kelas (4) 144 orang. Hal ini menunjukan besarnya minat masyarakat untuk mengelola tambak sangat tinggi, karena hal ini ditunjang dengan besarnya pendapatan yang dihasilkan dari usaha tambak cukup besar.

Menurut Feblita (2006), bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat relatif cukup karena kebutuhan pertahun yang dihitung berdasarkan standar upah minimum regional Karawang sebesar Rp 2.400.000/tahun. Hal ini terlihat dari besarnya pendapatan rata-rata tahunan pesanggem pada kelas IV sebesar Rp.38.323.318 dan rata-rata tahunan/ha sebesar Rp 1.532.932,00, dengan asumsi pendapatan dalam panen tahap II tahun ini sama.

(21)

Dari data di atas dapat diasumsikan bahwa sesungguhnya usaha tambak ini menguntungkan, sehingga setiap orang (pesanggem) mempunyai kemampun dan kemauan membayar lebih tinggi (Willingnes to pay/WTP) untuk biaya sewa yang berlaku. Maka dilakukan pengambilan contoh pada 30 orang pesanggem dengan daftar responden tersaji pada Lampiran 2. Unit contoh yang diambil per kelas tambak adalah kelas (I) 1 orang (3,33%), kelas (II) 4 orang (13,33%), kelas (III) 8 orang (26,66%) dan kelas (IV) 8 orang (56,66%).

Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan Metode Valuasi Contingensi (MVC) dengan metode bertanya menggunakan pendekatan metode tawar menawar (MTM), maka responden diberi pertanyaan dengan terlebih dahulu diberi titik awal berapa biaya yang bersedia dibayar/ha yang lebih tinggi dari harga sekarang. Untuk memudahkan responden besarnya nilai uang diganti dengan persen. Titik awal penawaran yang diajukan adalah 10% (Tabel 12). Tabel 12. Rekapitulasi besarnya kemauan membayar sewa tambak

Besarnya kenaikan sewa /Ha

No Unit

Contoh Kelas Luas (ha) % Rp

1 1 3 4 10% 12900 2 2 4 5,4 10% 17900 3 3 2 4 10% 11200 4 4 4 2 10% 17900 5 5 3 4 10% 12900 6 6 4 6 5% 8950 7 7 3 6 5% 6450 8 8 1 5 5% 4770 9 9 4 10 5% 8950 10 10 4 5 5% 8950 11 11 3 6 5% 6450 12 12 4 6 5% 8950 13 13 4 4 5% 8950 14 14 4 4 5% 8950 15 15 2 4 5% 5600 16 16 4 5 5% 8950 17 17 4 1,8 5% 8950 18 18 4 2 5% 8950 19 19 4 3 5% 8950 20 20 4 4 5% 8950 21 21 3 5 5% 6450 22 22 3 0,75 5% 6450 23 23 4 5 5% 8950 24 24 4 5 5% 8950 25 25 4 2 5% 8950 26 26 2 5 5% 5600 27 27 4 3 5% 8950 28 28 3 4 5% 6450

(22)

Besarnya kenaikan sewa /Ha

No Unit

Contoh Kelas Luas (ha) % Rp

29 29 3 5 5% 6450

30 30 2 4 5% 5600

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa besarnya kemauan mereka membayar lebih sewa adalah 5% dan 10 % dari sewa yang telah disepakati sebelumnya. Lima orang (16,66%) bersedia membayar 10% dan lima belas orang(83,33%) bersedia membayar 5%. Harga 5% merupakan nilai penawaran terendah yang diajukan, sehingga peminatnya lebih banyak jika dibandingkan dengan nilai 10% yang merupakan titik awal penawaran yang disetujui.

Pada perbandingan setiap kelas, untuk kelas I yang memilih (5%) sebanyak 100%, kelas II yang memilih (10%) sebesar 25% dan (5%) sebesar 75%, kelas III yang memilih (10%) sebesar 25% dan (5%) sebesar 75%, dan untuk kelas IV yang memilih (10%) sebesar 11,76% dan (5%) sebesar 88,24%. Besaran persen yang diperoleh kemudian diterjemahkan dalam angka nominal seperti pada tabel diatas, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung WTP menggunakan metode statistik secara regresi.

Besarnya kemauan membayar (WTP) sewa usaha tambak yang lebih besar dari perjanjian yang sekarang berlaku, sehingga diperoleh harga sewa yang baru yang sesuai dengan nilai WTP dari pesanggem, tersaji pada Tabel 13 s.d Tabel 16.

Tabel.13.Besarnya sewa kelas 1

No Unit Contoh Luas Garapan (ha) Besarnya kenaikan (Rp/ha) Rataan Simapangan Deviasi Besarnya Kisaran harga (y) Besar sewa/Ha Besar sewa yang baru/Ha 1 1 5 4770 4.770 0 y = 4.770 95.400 100.170

Tabel.14. Besarnya sewa pada kelas 2

No Unit Contoh Luas Garapan (ha) Besarnya kenaikan (Rp/ha) Rataan Simapangan Deviasi Besarnya Kisaran harga (y) Besar sewa/Ha Besar sewa yang baru/Ha 1 1 4 11200 7.000 69,64 Y1=6.930,36 Y2=7.069,64 112.000 118.930,36 < Y< 119.069,64 2 2 4 5600 3 3 5 5600 4 4 4 5600

(23)

Tabel.15.Besarnya sewa kelas 3 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) Besarnya kenaikan (Rp/ha) Rataan Simapangan Deviasi Besarnya Kisaran harga (y) Besar sewa/Ha Besar sewa yang baru/Ha 1 1 4 12900 8.062,5 88,88 Y1=7.973,62 Y2=8.151,38 129.000 136.973,62 < Y< 137.151,38 2 2 4 12900 3 3 6 6450 4 4 6 6450 5 5 5 6450 6 6 0,75 6450 7 7 4 6450 8 8 5 6450

Tabel.16. Besarnya kenaikan sewa kelas 4

No Unit Contoh Luas Garapan (ha) Besarnya kenaikan (Rp/ha) Rataan Simapangan Deviasi Besarnya Kisaran harga (y) Besar sewa/Ha Besar sewa yang baru/Ha 1 1 5,4 17900 10.002,94 92,28 Y1=9.910,66 Y2= 10.095,22 179.000 188.910,66 < Y < 189.095,22 2 2 2 17900 3 3 6 8950 4 4 10 8950 5 5 5 8950 6 6 6 8950 7 7 4 8950 8 8 4 8950 9 9 5 8950 10 10 1,8 8950 11 11 2 8950 12 12 3 8950 13 13 4 8950 14 14 5 8950 15 15 5 8950 16 16 2 8950 17 17 3 8950

Dari data di atas menunjukan bahwa semua responden (100%) mempunyai kemampuan dan kemauan membayar lebih (WTP) untuk setiap kelas tambak/hektar yang mereka garap dari nilai sewa sekarang. Besarnya kenaikan sebagai berikut : untuk kelas 1 sebesar Rp 4.770/ha, kelas II sebesar Rp.6.930,36/ha dan Rp.7.069,64/ha. Untuk kelas III sebesar Rp.7.976,62/ha dan Rp.8.151,38/ha. dan untuk kelas IV sebesar Rp.9.910,66/ha dan Rp.10.095,22/ha. Besarnya WTP menunjukan besarnya keinginan pesanggem untuk tetap mengelola hutan lindung mangrove dengan pola tambak empang parit.

(24)

Besarnya sewa tambak berdasrakan kemauan membayar (WTP) dari pesanggem adalah lebih tinggi dari nilai sewa yang ada dalam kontrak perjanjian sekarang. Sehingga besarnya nilai sewa yang baru untuk kelas I sebesar Rp. 100.170/ha, kelas II sebesar kisaran Rp. 118.930,36/ha s.d. Rp. 137.151,64/ha Untuk kelas III sebesar kisaran Rp.136.973,62/ha s.d Rp. 137.151,38/ha. dan untuk kelas IV sebesar kisaran Rp. 188.910,66/ha s.d Rp. 189.095,22/ha.

Secara ekonomis dengan meningkatnya WTP pesanggem terhadap lahan tambak yang dikelola, memberikan keuntungan ekonomis yang cukup tinggi kepada pihak pengelola dalam hal ini perhutani. Tetapi secara ekologis hal ini tidak sesuai karena vegetasi yang ada dari tahun ketahun semakin berkurang akibat pengelolaan tambak yang tidak sesuai aturan. Maka diperlukan pengawasan dan pembinaan yang ketat dan tepat pada pesanggem sehingga kelestarian ekosistem mangrove terjaga. Artinya semakin tinggi WTP maka resiko kerusakan lingkungan dalam hal ini ekosistem mangrove juga tinggi. Sehingga besarnya nilai WTP sebanding dengan besarnya biaya rehabilitasi.

Untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove, perhutani melakukan kegiatan reboisasi di tambak-tambak pesanggem, untuk meningkatkan keberhasilan reboisasi maka diperlukan kerjasama dengan para pesanggem. Sehingga timbul rasa memiliki terhadap mangrove oleh para pesanggem dan pesanggem bersedia menjaga, memelihara, melestarikan dan melakukan rehabilitasi. Cara yang harus dilakukan adalah memperbaharui isi perjanjian kontrak kerjasama yang berkaitan dengan kewajiban merehabilitasi lahan mangrove setiap pesanggem.

Pendekatan lain yang dapat dilakukan dalam penentuan besarnya sewa tambak dengan memperhatikan besarnya ganti rugi atas kesediaan menjaga lingkungan disebut dengan Willingnes to accept (WTA). Besarnya WTA yang diperoleh dari hasil wawancara pada responden dengan menawarkan besaran ganti rugi dengan menggunakan satuan persen yaitu sebesar 5%, 10%, 20% dan 30%, dengan titik awal 10%, hal ini dilakukan untuk memudahkan responden menjawab. Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa 100% responden (30 orang) memilih besarnya ganti rugi sebesar 30% dari harga sewa/kelas tambak/ha. Besarnya ganti rugi rebiosasi/ kelas tambak/ha, disajikan dalam Tabel 17.

(25)

Tabel 17.Besarnya persentase dan nilai ganti rugi reboisasi/kelas tambak/ hektar

No Kelas

tambak Sewa/ha Persen ganti rugi

Nilai ganti rugi(Rp/ha) 1 I 95.400 30 % 28.620 2 II 112.000 30% 33.600 3 III 129.000 30% 38.700 4 IV 179.000 30% 53.700

Dari Tabel 17 terlihat bahwa semua pesanggem bersedia lahannya dilakukan rehabilitasi, karena mereka menganggap rehabilitasi itu adalah hak dari perhutani sebagai pemilik lahan, tapi pesanggem meminta ganti rugi sebesar 30% dari biaya sewa tambak. Besarnya nilai ganti rugi/ha untuk kelas I sebesar Rp. 28.620/ha, kelas II sebesar Rp. 33.600/ha, kelas III sebesar Rp. 38.700/ha, dan untuk kelas IV sebesar Rp. 53.700/ha. Nilai ganti rugi kelas IV lebih tinggi dari kelas I, II dan III karena nilai sewa kelas IV yang tertinggi.

Besarnya nilai ganti rugi 30% dipilih oleh seluruh pesanggem (100%), karena semua pesanggem memilih persentase terbesar yang ditawarkan pewawancara, alasan kisaran tawarnya 5-30% karena penyesuaian atau penyamaan dengan kisaran tawaran WTP. Nilai ganti rugi ini sangat tergantung dengan nilai tawar tertinggi yang diberikan kepada pesanggem.

Besarnya WTA dianalisis dengan statistik secara regresi. Sebagai biaya ganti rugi hilangnya lahan tambak untuk digunakan rehabilitasi. Sehingga diperoleh harga sewa yang baru berdasrkan WTA yang bersedia mereka terima sebagai kompensasi atas perbaikan lingkungan yang sebanding dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove, tersaji pada Tabel 18 s.d Tabel 21.

Tabel 18. Besarnya ganti rugi pada kelas 1

No Unit Contoh Luas Garapan (ha) Besarnya ganti rugi(Rp/Ha) Rataan Simapangan Deviasi Besarnya Kisaran harga (y) Besar sewa/Ha Besar sewa yang baru/Ha 1 1 5 28620 28620 0 y = 28620 95.400 66.780

Tabel 19. Besarnya ganti rugi pada kelas 2

No Unit Contoh Luas Garapan (ha) Besarnya ganti rugi (Rp /ha) Rataan Simapangan Deviasi Besarnya Kisaran harga (y) Besar sewa/Ha Besar sewa yang baru/Ha 1 1 4 33600 33600 0 Y=33600 112.000 78.400 2 2 4 33600 3 3 5 33600 4 4 4 33600

(26)

Tabel 20. Besarnya biaya ganti rugi pada kelas 3 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) Besarnya ganti rugi (Rp /ha) Rataan Simapangan Deviasi Besarnya Kisaran harga (y) Besar sewa/Ha Besar sewa yang baru/Ha 1 1 4 38700 38700 0 Y=38700 129.000 90.300 2 2 4 38700 3 3 6 38700 4 4 6 38700 5 5 5 38700 6 6 0,75 38700 7 7 4 38700 8 8 5 38700

Tabel 21.Besarnya biaya ganti rugi pada kelas 4

No Unit Contoh Luas Garapan (ha) Besarnya Ganti rugi (Rp /ha) Rataan Simapangan Deviasi Besarnya Kisaran harga (y) Besar sewa/Ha Besar sewa yang baru/Ha 1 1 5,4 53700 53700 0 Y= 53700 179.000 125.300 2 2 2 53700 3 3 6 53700 4 4 10 53700 5 5 5 53700 6 6 6 53700 7 7 4 53700 8 8 4 53700 9 9 5 53700 10 10 1,8 53700 11 11 2 53700 12 12 3 53700 13 13 4 53700 14 14 5 53700 15 15 5 53700 16 16 2 53700 17 17 3 53700

Dari data diatas besarnya sewa yang diinginkan pesanggem berdasarkan WTA adalah sebagai berikut, untuk kelas I sebesar Rp 66.780/ha, kelas II sebesar Rp. 78.400/ha, kelas III sebesar Rp.90.300/ha, dan kelas IV sebesar Rp.125.300/ha .Artinya WTA mempengaruhi sewa tambak yang telah disepakati menjadi lebih kecil, karena perhutani harus membayar ganti rugi kebersediaan pesanggem melakukan rehabilitasi sebagai upaya pelestarian ekosistem mangrove. Jadi besarnya WTA sebanding dengan keberhasilan rehabilitasi dan kelangsungan konservasi mangrove. Hal ini disebabkan pesanggem akan berusaha memelihara, menjaga, dan akan timbul rasa memiliki terhadap mangrove, serta mampu

(27)

kerjasama dengan Perhutani sehingga memudahkan Perhutani dalam menjalankan program rehabilitasi. Dengan adanya ganti rugi ini maka pesanggem dapat membayar biaya sewa lebih ringan dan lebih murah, dan bagi perhutani akan berhasilnya program rehabilitasi ini, merupakan bentuk pengelolaan kawasan yang lestari dan terjamin.

Besarnya nilai sewa tambak yang terbaik dan sesuai dengan nilai manfat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem adalah besarnya sewa yang berdasarkan WTP, sedangkan berdasarkan WTA hanya alternatif pendekatan saja.

Gambar

Tabel 5. Data luasan mangrove RPH Cibuaya Kelompok Hutan Cikiong
Tabel 6. Data penggunaan lahan selain untuk tambak.
Gambar 2.  Hutan mangrove di Pusat Percobaan Silvofishery (PPS) Tahun 2006  masih baik (a); dan rusak (b)
Tabel 8. Persentase vegetasi mangrove berdasarkan kelas tambak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan hasil penelitian, bahwa video pembelajaran renang gaya dada (breast stroke) berlandaskan tri hita karana adalah berdasarkan validitas hasil dari ahli

Kekuatan yang dimiliki oleh Rumah Cup∙Cakes &amp; BBQ adalah produk yang bermutu, variasi akan makanan dan minuman yang ditawarkan dan SDM yang berkualitas yang

Alhamdulillah berkat Rahmat dan Karunia Allah, skripsi yang berjudul “Konsep Spiritualitas dalam Mistik Kejawen Studi atas Buku Agama Jawa: Ajaran, Amalan dan Asal-usul Kejawen”

Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni, beladiri, cara menyulam.

Salah satu fenomena baru dari keragaman Islam yang kini muncul secara relatif meluas di Indonesia ialah gerakan yang memperjuangkan penerapan syari’at Islam

Kapabilitas khusus adalah bahwa organisasi public tersebut memiliki suatu kemampuan khusus yang tidak dimiliki oleh organisasi lain, yang mana kemampuan khusus ini juga

untuk mengumpulkan tacit dan explicit knowledge asisten laboratorium FRI mengenai knowledge sharing yang dilakukan di masing-masing laboratorium yang berkaitan dengan: