• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Biosorben Biji Pepaya (Carica papaya) Menggunakan Aktivator Asam Sulfat (H2SO4)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembuatan Biosorben Biji Pepaya (Carica papaya) Menggunakan Aktivator Asam Sulfat (H2SO4)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIJI PEPAYA (CARICA PAPAYA)

Carica papaya berasal dari Meksiko Selatan dan Amerika Tengah.Pepaya ini

merupakan bagian dari keluarga Caricaceae. Di Negara Australia dipanggil dengan

‘Pawpaw’ atau nama lainnya pepaya [8]. Tanaman pepaya biasanya tumbuh dengan ketinggian sekitar 5–10 m dengan akar yang kuat. Tanaman ini tidak memiliki cabang serta daunnya termasuk tunggal, dengan ujungnya yang runcing tetapi bergerigi. Tulang daunnya berbentuk menjari dengan panjang 25–100 cm [9]. Menurut Tijitrosoepomo (2004), sistematika tumbuhan pepaya (Carica papaya)

berdasarkan taksonominya yaitu sebagai berikut: [10]. Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Cistales

Famili : Caricaceae

Genus : Carica

Spesies : Carica papaya L.

Nama lokal : Pepaya

Kandungan yang terdapat dalam biji pepaya berupa asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu berupa asam palmitat dan asam oleat. Selain dari senyawa tersebut biji pepaya juga mengandung senyawa kimia lainnya berupa golongan fenol, alkaloid, terpenoid, dan saponin. Zat-zat aktif yang ada di dalam biji pepaya tersebut bisa berefek sitotoksik, anti androgen ataupun berefek estrogenik [2]. Selain itu biji pepaya juga mengandung kadar kalsium yang tinggi, besi natrium, kalium, b-karoten, vitamin B2, niasin, dan vitamin C. Biji pepaya juga digunakan untuk obat pencernaan, karena kebanyakan orang–orang mengalami kesulitan dalam mencerna protein dan digunakan untuk memecahkan gumpalan darah setelah operasi karena

(2)

adanya enzim papain dalam biji pepaya tersebut. Table 2.1 di bawah ini merupakan komposisi yang terkandung dalam biji pepaya.

Tabel 2.1 Komposisi biji pepaya dalam 100 g biji pepaya [11].

Senyawa Berat kandungan

Protein 22,3 g

Lemak 22,3 g

Karbon total 30,5 g

Serat 17, 0 g

Abu 15,8 g

Minyak atsiri Alkaloid

Steroid Tannin

0,09 g - - -

(3)

2.2 BIOSORBEN

Biosorpsi adalah proses penyerapan yang menggunakan material biologi sebagai biosorben. Karbon aktif merupakan biosorben yang paling sering digunakan dalam mengurangi kontaminan logam berat. Namun akhir-akhir ini ditemukan karbon aktif masih relatif mahal. Penelitian mengenai biosorben yang murah dan mudah diperoleh menjadi bahan pertimbangan saat ini [12]. Karbon aktif berpori merupakan karbon dalam bentuk amorf yang mempunyai luas permukaan yang besar

dan daya serap yang tinggi. Luas permukaan merupakan sifat fisis yang paling penting dari karbon berpori, sehingga memungkinkan dijadikan sebagai bahan biosorben. Biosorben memiliki daya serap yang tinggi karena memiliki volume pori yang sangat tinggi untuk dapat meyerap gas maupun residu dalam larutan [13].

Biosorben dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu biosorben tidak berpori ( non-porous sorbents) dan biosorben berpori (porous sorbents).

1 Biosorben tidak berpori (non-porous sorbents).

Biosorben tidak berpori dapat diperoleh dengan cara presipitasi deposit kristalin seperti BaSO4 atau penghalusan padatan Kristal. Luas permukaan spesifiknya kecil, tidak lebih dari 10 m2/g dan umumnya antara 0,1 sampai 1 m2/g. Biosorben tidak berpori seperti filter karet, karbon hitam bergrafit adalah jenis biosorben tidak berpori yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga luas permukaan dapat mencapai ratusan m2/g.

2. Biosorben berpori (porous sorbents).

Luas permukaan spesifiknya biosorben berpori berkisar antara 10 sampai 1000 m2/g, biasanya digunakan sebagai penyangga katalis, dehydrator, dan penyeleksi komponen. Umumnya berbentuk granular [14].

Berdasarkan IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemical)

ada beberapa macam klasifikasi dari pori, yaitu: [52].

1. Micropore adalah pori-pori dengan ukuran lebih kecil dari 2 nm dan ini

merupakan area dimana adsorpsi dominan terjadi. Volume pori-pori ini berkisar antara 0,15-0,5 ml/g.

2. Mesopore adalah pori-pori dengan ukuran 2-50 nm dan merupakan area adsorpsi

(4)

3. Macropore adalah pori-pori dengan ukuran lebih besar dari 50 nm dan berfungsi

sebagai pintu masuk adsorbat menuju ke dalam micropore.

Beberapa klasifikasi ukuran pori dari uraian di atas, dapat dilihat bentuk stuktur pori biosorben pada gambar 2.2 di bawah ini.

Gambar 2.2 Struktur Biosorben [16].

Sruktur pori biosorben umumnya dikombinasi antara mikropori, mesopori dan kombinasi makropori yang sama [17]. Struktur pori-pori biosorben mempengaruhi perbandingan antara luas permukaan dan ukuran partikel. Struktur pori adalah faktor utama dalam proses adsorpsi. Distribusi ukuran pori menentukan distribusi molekul yang masuk dalam partikel karbon untuk di adsorpsi [10]. Tabel 2.2 di bawah ini merupakan standar kualitas karbon aktif menurut SNI 06-3730-1995.

Tabel 2.2 Standar kualitas karbon aktif menurut SNI 06-3730-1995 [18,19]

Uraian Persyaratan Kualitas

Butiran Serbuk

Bagian yang hilang pada

pemanasan 950 °C Maks. 15 Maks. 25

Konsentrasi air Maks. 4,5 Maks. 15

Konsentrasi abu Maks. 2,5 Maks. 15

Daya serap terhadap Larutan I2

≥760 mg/g ≥760 mg/g

(5)

Pemakaian bahan–bahan biologis untuk biosorben dikatakan sebagai biosorpsi. Biosorpsi yaitu kemampuan untuk menunjukkan biomassa untuk dapat mengikat logam berat yang terdapat di dalam larutan melalui langkah–langkah metabolisme atau fisika-kimia [23], serta termasuk penghilang racun dari bahan–bahan yang mengandung zat–zat berbahaya [1]. Keuntungan menggunakan bahan biosorben yaitu biaya yang relatif lebih murah, efisiensi tinggi pada larutan encer, meminimalisasi pembentukan lumpur, serta kemudahan dalam proses regenerasi. Penggunaan bahan mikroorganisme memiliki kekurangan yaitu sengat mudah dipengaruhi oleh kontaminan lain serta adanya kebutuhan perawatan seperti pemberian nutrisi tambahan. Sehingga menyebabkan penggunaan alternatif bahan biologis lainnya seperti limbah–limbah pertanian. Limbah pertanian selain digunakan untuk mengurangi volume limbah juga dapat digunakan untuk memberdayakan limbah menjadi suatu produk yang berguna serta memiliki nilai jual yang tinggi [24]. Untuk biosorben yang berasal dari limbah pertanian, terdapat dua buah jenis penjerapan yaitu adsorpsi intrinsik dan intraksi kolombik. Pada proses adsorpsi intrinsik yang menjadi faktor utama yaitu luas areanya, yaitu dapat dilihat dari mengamati efek ukuran biosorben terhadap kemampuan adsorpsinya. Sedangkan untuk proses intraksi kolombik yang dihasilkan yaitu berupa energi elektrostatik dari interaksi adsorben dan adsrobat. Nilai intensitas interaksi sengat tegantung kepada kekuatan muatan bahan. Interaksi kolombik dapat diamati dari adsorpsi bahan kationik dan anionik adsorben [25].

2.3 ADSORPSI

(6)

berbeda dari fasa cairan bulk yang menjadi dasar pemisahan dengan teknologi

adsorpsi [27].

Mekanisme yang terjadi pada proses adsorpsi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Molekul-molekul adsorbat berpindah dari fase bagian terbesar larutan ke

permukaan interface, yaitu lapisan film yang melapisi permukaan biosorben.

2. Molekul adsorbat dipindahkan dari permukaan ke permukaan luar dari biosorben.

3. Molekul-molekul adsorbat dipindahkan dari permukaan luar biosorben menyebar menuju pori-pori biosorben. Fase ini disebut dengan difusi pori. 4. Molekul adsorbat menempel pada permukaan pori-pori biosorben.

[28]

Adsorpsi dapat dibedakan menjadi adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya Van der Waals antara adsorbat dengan permukaan

adsorben. Adsorpsi fisika ikatannya relatif lemah, bersifat reversibel dan dapat membentuk lapisan multilayer. Adsorpsi kimia terjadi karena terbentuk ikatan kovalen atau ion antara adsorbat dengan biosorben. Adsorpsi kimia ikatannya kuat, tidak reversibel dan membentuk lapisan monolayer [29].

Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi yaitu: 1. Konsentrasi Adsorbat

Pada umumnya adsorpsi akan meningkat dengan kenaikan konsentrasi adsorbat tetapi tidak berbanding langsung.

2. Sifat Biosorben

Semakin besar permukaan yang kontak dengan adsorbat maka akan semakin besar pula adsorpsi yang terjadi.

3. Temperatur

Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh karena itu adsorpsi akan besar jika temperatur rendah.

4. Waktu kontak dan pengadukan

(7)

Pengaruh pH pada proses adsorpsi merupakan fenomena kompleks, antara lain menyebabkan perubahan sifat permukaan adsorben, sifat molekul adsorbat dan perubahan komposisi larutan.

6. Ukuran molekul adsorbat

Ukuran molekul adsorbat menentukan batas kemampuannya dalam melewati ukuran pori biosorben. Semakin besar ukuran partikel maka kenaikan adsorpsi semakin menurun.

7. Kepolaran zat

Adsorpsi lebih kuat terjadi pada molekul yang lebih polar dibandingkan dengan molekul yang kurang polar pada konsisi diameter yang sama. Molekul– molekul yang lebih polar dapat menggantikan molekul–molekul yang kurang polar yang telah terlebih dahulu teradsorpsi. Pada kondisi dengan diameter yang sama, maka molekul polar lebih dahulu diadsorpsi [42].

2.4 PROSES PEMBUATAN BIOSORBEN

Material yang mengandung karbon yang banyak kita jumpai seperti pada hewan, tanaman, dan sebagainya yang berasal dari mineral yang memiliki konsentrasi karbon yang tinggi sehingga dapat diubah menjadi biosorben. Bahan baku yang paling banyak digunakan dalam pembuatan biosorben yaitu kayu, kulit kacang, kulit coklat, batubara, tulang, biji-bijian dan lain-lainnya. Pemilihan metode aktivasi juga tergantung pada bahan awal dan apakah berupa padatan ataupun suspensi , karbon yang diinginkan bubuk atau butiran [28].

Secara umum ada dua metode utama dalam pembuatan biosorben dengan bahan dasar organik, yait :

2.4.1 Proses Fisika (physical activation)

Proses pembuatan karbon aktif menggunakan cara fisika biasanya terdiri dari dua tahap, yaitu tahap karbonisasi dimana bahan dasarnya di panaskan hingga suhu mencapai 700 oC dan tahap berikutnya dengan mengalirkan uap karbon dioksida atau pemanasan pada suhu 800-1000 oC [29].

2.4.2 Proses Kimia

(8)

Setelah itu dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 400–800 oC yang bertujuan untuk membentuk karbon sekaligus untuk mengaktifkannya [24]. Pada proses aktifasi kimia dilakukan satu tahap yaitu sebelum karbonisasi, bahan baku diimpregnasi dengan bahan kimia tertentu. Hal ini diyakini bahwa langkah karbonisasi/aktivasi berlangsung bersamaan dengan aktivasi kimia. Aktivasi kimia lebih disukai daripada aktivasi fisik karena suhu yang lebih rendah dan waktu yang diperlukan lebih singkat untuk bahan pengaktifan [29].

Berbagai keunggulan cara aktivasi kimiawi dibandingkan dengan aktivasi fisik diantaranya adalah:

1. Pada proses aktivasi kimiawi, di dalam penyiapannya sudah terdapat zat kimia pengaktif sehingga pada proses karbonisasi sekaligus proses aktivasi karbon yang terbentuk sehingga metode ini sering disebut juga metode aktivasi satu langkah (one-step activation)

2. Aktivasi kimiawi biasanya terjadi pada suhu lebih rendah dari pada metode aktivasi fisik

3. Efek dehydrating agent dapat memperbaiki pengembangan pori di dalam struktur

karbon.

4. Produk dengan menggunakan metode ini lebih banyak jika dibandingkan dengan aktivasi secara fisik. Berbagai aktivator kimiawi telah digunakan dalam pembuatan karbon aktif, diantaranya adalah asam fosfat, kalium hidroksida, seng klorida, dan kalium karbonat [24].

2.5 PROSES AKTIVASI DENGAN ASAM SULFAT (H2SO4)

(9)

panas, uap dari CO2, O2, dan N2. Gas–gas tersebut berfungsi untuk mengembangkan struktur rongga yang ada pada biosorben sehingga memperluas permukaannya, menghilangkan konstituen yang mudah menguap dan membuang produksi tar atau hidrokarbon pengkotor pada biosorben [30], sedangkan aktivasi kimia adalah metode yang yang banyak digunakan untuk pembuatan karbon aktif, bahan yang biasa digunakan untuk pengaktifasi kimia yaitu seperti ZnCl2, H3PO4, KOH, NaOH, K2CO3 dan H2SO4 [31]. Aktivasi kimia memiliki beberapa keunggulan antara lain memerlukan temperatur yang rendah, menghasilkan yield yang lebih tinggi dan

mikropori dapat dikontrol [52].

Karbon aktif tidak saja memiliki karbon, akan tetapi juga mengikat sejumlah ikatan kimia atom O atau H dalam bentuk berbagai gugus fungsi yang memberikan sifat asam padatan karbon, ditambah kandungan mineral yang biasanya dapat ditandai dengan abu atau residu setelah pengarangan.[29]. Unsur–unsur mineral dari senyawa kimia yang ditambahakan ke dalam arang aktif tersebut akan membuka permukaan sehingga volume dan diameter pori semakin bertambah. Pemilihan jenis aktivator tentu akan berpengaruh terhadap kualitas biosorben. Karena masing – masing jenis aktivator akan memberikan pengaruh yang berbeda–beda terhadap luas permukaan maupun volume pori yang dihasilkan nanti [30].

Asam sulfat merupakan cairan kental berminyak, yang tidak memiliki warna, tidak berbau, bersifat higroskopis dengan rumus molekulnya H2SO4. Berat molekul 98,08 g/mol. Titik lebur/titik beku 10,5 oC (anhidrat) atau -35 oC (-31 oF) menjadi 10,36 oC (93% sampai 100% kemurnian). Titk didih 290 oC atau 270 oC (518 oF) – 340 oC terurai di 340 oC. Tekanan uap 1,33 hPa pada 145, 8 oC. Kerapatan uap 3,4 (udara =1). Berat jenis relatif 1,84 g/cm3 pada 25 oC. Kelarutan mudah larut dalam air dingin, larut dalam etil alkohol [32].

(10)

kemungkinan juga akan memunculkan situs aktif baru akibat reaksi pelarut. Selain itu aktivasi dengan asam sulfat dapat meningkatkan luas permukaan spesifikasi dan keasaman permukaan serta kemampuan adsorpsinya terhadap zat warna meningkat [52].

Aktifasi dengan menggunakan H2SO4 telah dilakukan oleh Fatimah Rahmayani, dan Siswarni MZ [2]. Proses pembuatan adsorben dilakukan dengan bahan baku batang jagung diaktifasi dengan H2SO4 dengan berbagai variasi konsentrasi dan ukuran yaitu 50 mesh dan 70 mesh. Sebanyak 1000 g sampel batang jagung dicampur dengan asam sulfat 1%, 3%, dan 5%. Hasil penelitian di peroleh kondisi optimum pada ukuran 70 mesh, pH 5 dan konsetrasi aktivator 5 %.

Sinil, dkk., [6], melakukan penelitian tentang pembuatan adsorben dari biji pepaya untuk penyerapan larutan Pb(II), proses pembuatan adsorben dengan bahan baku biji pepaya dan diaktifasi dengan H2SO4 dimana sampel yang digunakan sebanyak 10 gram dan volume H2SO4 11 ml dengan konsetrasi 98%, ukuran partikel adsorben 125 dan 105 µm. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini, banyaknya Pb(II) yang diserap untuk masing–masing ukuran partikel adsorben yaitu 63,2 mg/g dan 82,5 mg/g dengan pH 5, suhu 30 oC dan waktu penyerapan 120 menit.

Damayanti [33], melakukan penelitian pembuatan arang aktif dengan bahan baku sekam padi dan kulit ubi kayu dengan menggunakan aktifator H2SO4 dimana nilai efektivitas terbaik arang aktif 54,85% dan 63,38%.

Solim, dkk., [34],melakukan penelitian pembuatan adsorben dengan bahan baku kulit pohon palm dengan aktivator asam sulfat 25% dan ukuran partikel adsorben yang digunakan 300 µm dan 425 µm dengan suhu aktivasi 105 oC selama 12 jam. Hasil yang di peroleh karbon aktif memiliki luas permukaan 64,12 m2/g. volume pori 8,35 x 102 cm3/g, dan diameter 52,1 A.

(11)

2.6 BILANGAN IODIN

Bilangan iodin merupakan parameter utama yang digunakan untuk melihat karakteristik dari biosorben maupun karbon aktif. Bilangan ini sering ditulis dengan satuan mg/g. Bilangan ini mengukur kandungan mikropori dengan cara menyerap iodin dari larutan [35]. Iodin merupakan ukuran pada tingkat keaktifannya [45]. Berdasarkan standar kualitas biosorben menurut SNI penetapan daya serap biosorben terhadap iodium merupakan persyaratan umum untuk menilai kualitas biosorben yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan biosorben untuk menyerap zat dengan ukuran molekul yang lebih kecil. Standar bilangan iodin menurut SNI 06-3730-1995 yaitu ≥ 760 mg/g. Semakin besar angka iod yang dihasilkan maka semakin besar

kemampuan dalam mengadsorpsi adsorbat atau zat terlarut. Salah satu cara dalam menganalisis daya serap biosorben terhadap iod adalah dengan cara metode titrasi iodometri [46].

Dalam menentukan kapasitas adsorpsi biosorben, bilangan iodin telah digunakan pada berbagai penelitian. Kemampuan biosorben dalam penyerapan senyawa iodin menunjukkan kemampuan biosorben tersebut untuk menjerap komponen dengan berat molekul yang rendah. Iodin merupakan suatu senyawa yang sedikit larut dalam air dan merupakan senyawa nonpolar. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara karakterisasi adsorben dengan mengukur kemampuan adsorpsinya terhadap larutan iodin dengan adsorptivitas biosorben terhadap senyawa nonpolar [36].

Iodin merupakan senyawa yang memiliki tekanan uap tinggi sehingga dalam suhu ruang iodin mudah menguap. Pada proses adsorpsi, iodin diadsorpsi dan dijerap oleh biosorben berupa karbon aktif maupun biosorben yang dimodifikasi dalam fase padatan. Proses adsorpsi terjadi karena gaya intermolekular lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan biosorben yang melibatkan gaya Van der Waals dan ikatan

hidrogen [36].

(12)

internal. Apabila kapasitas adsorpsi masih sangat besar akan teradsorpsi dan terikat pada bagian permukaan [59].

Pada proses pelarutannya, iodin yang sedikit larut dalam air ditambahkan ke dalam larutan kalium iodida (KI) untuk mempercepat pelarutan iodin karena terbentuknya ion triiodida berdasarkan reaksi:

I2 + I- I3- [30]

Kemudian pada proses titrasi iodin dengan natrium tiosulfat akan terjadi reaksi seperti berikut:

I2 + 2S2O32- 2I- + S4O62- [30] Proses dalam menentukan bilangan iodin pada biosorben menggunakan reaksi redoks. Reaksi redoks merupakan reaksi oksidasi-reduksi dimana oksidasi merupakan setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi yang disertai kehilangan elektron, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi yang disertai dengan memperoleh elektron [30].

2.7 LUAS PERMUKAAN BIOSORBEN

(13)

2.8 FTIR (Fourier Transform Infrared)

Spektrofotometri infra-merah merupakan alat yang digunakan dalam penemuan gugus fungsional, pengenalan senyawa, dan analisa campuran. Kebanyakan gugus, seperti C-H, O-H, C=N, dan C=N, menyebabkan pita absorpsi infra-merah, yang berbeda hanya sedikit dari satu molekul ke yang lain tergantung pada substituen yang lain (Day dan Underwood,1990). Struktur kimia dan bentuk ikatan molekul serta

gugus fungsional tertentu dari sampel menjadi dasar bentuk spektrum yang akan diperoleh [37]

Spektroskopi infra red merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul gugus fungsi dengan radiasi elektromagnetik yang berbeda pada daerah panjang gelombang 0,75 – 1000 mikrometer atau pada bilangan gelombang 13.000 10 cm-1 [38]. Tabe 2.3 dibawah ini merupakan bebarapa jenis getaran serta panjang frekunsi dalam IR serapan.

(14)

2. 9 METILEN BIRU

Metilen biru yang memiliki rumus kimia C16H18ClN3S adalah senyawa hidrokarbon aromatik yang beracun dan merupakan zat warna kationik dengan daya adsorpsi yang sangat kuat. Metilen biru merupakan parameter untuk mengetahui kemampuan suatu adsorben dalam menyerap molekul-molekul dengan ukuran besar. Besarnya daya serap terhadap metilen biru menggambarkan molekul yang terserap oleh adsorben berukuran 15 Å. Pengujian metilen biru menunjukkan jumlah relatif makropori yang terdapat pada biosorben. Metilen biru yang mempunyai warna komplementer berupa warna biru mempunyai spektrum cahaya pada panjang gelombang daerah visibel yaitu antara 500-700 nm, sehingga pada penentuan panjang gelombang maksimumnya digunakan range pada daerah panjang gelombang tersebut [60].

Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan kromofor sebagai pembawa warna. Zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa–senyawa hidrokarbon yang mengandung nitrogen [52]. Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi berwarna. Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakuinon dengan berat molekul relatif kecil. Daya serap terhadap serat tidak besar. Sehingga zat warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan. Gugus-gugus penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan zat warna terhadap asam atau basa. Dengan lepasnya gugus reaktif ini, zat warna menjadi mudah bereaksi dengan serat kain. Pada umumnya agar reaksi dapat berjalan dengan baik maka perlu penambahan alkali atau basa sehingga mencapai pH tertentu . Golongan gugus kromofor yaitu nitroso (NO atau –N-OH), nitro (NO2), grup azo (-N=N-), grup etilen (-C=C-), grup karbonil (-CO-), grup karbon-nitrogen (-C=NH; CH=N), grup karbon sulfur (-C=S; C-S-S-C) [61].

Gambar

Gambar 2.1 Carica papaya
Tabel 2.1 Komposisi biji pepaya dalam 100 g biji pepaya [11].
Tabel 2.2 Standar kualitas karbon aktif menurut SNI 06-3730-1995 [18,19]
Tabel 2.3 Tabel IR Serapan [39]

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Uji Betakaroten Terhadap Pembuatan Minyak Makan Dari Limbah Biji Pepaya ( Carica Papaya Linn ) Dengan Metode Spektrofotometer UV-VIS.. Nama Mahasiswa

Lip balm atau salep bibir adalah lilin substansi dioleskan pada bibir dari mulut.Tujuannya untuk melembabkan bibir agar tidak mudah kering dan pecah-pecah.Lip