TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak di jumpai di
Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family,
yaitu Portunidae (kepiting perenang), Xanthidae (kepiting lumpur), Cancridae
(kepiting cancer), Potamidae (kepiting air tawar). Dari empat family tersebut,
hanya family potamidae yang kurang diminati penggemar kepiting, sedangkan
family yang lain merupakan jenis kepiting yang sering di perdagangkan
(Afrianto dan Liviawaty, 1993).
Famili Portunidae merupakan family kepiting bakau yang mempunyai
lima pasang kaki. Pasangan kaki kelima berbentuk pipi dan melebar pada ruas
terakhir. Klasifikasi kepiting bakau menurut Kasry (1996) adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
SubOrdo : Branchyura
Famili : Portunidae
SubFamili : Lipilinae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla spp.
Kepiting bakau di berbagai daerah dikenal dengan berbagai nama.
Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal dengan nama kepiting batu, kepiting
cina, dan kepiting hijau. Kepiting bakau juga dikenal dengan nama kepiting
lumpur (Rosmaniar, 2008).
Deskripsi kepiting bakau menurut Moosa dkk (1985), karapas pipi atau
agak cembung berbentuk heksagonal atau agak persegi. Bentuk ukuran bulat telur
memanjang atau berbentuk kebulatan, tepi anterolateral bergigi lima sampai
Sembilan buah. Dahi lebar terpisah dengan jelas dari sudut intra orbital, bergigi
dua sampai enam buah, sungut kecil (antennulae) terletak melintang atau
menyokong, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama
dua ruas terakhi, dan mempunyai tiga pasang kaki jalan.
Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas khitin
bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih,
dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain
terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya
besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan
sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung
(Wijaya, 2011).
Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan
mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit,
sedangkan pada betina lebih besar (Gambar 2). Perut kepiting betina berbentuk
lonceng sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod yang
terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi
sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya telur
Gambar 2. Abdomen Kepiting Bakau
Keterangan: a. Kepiting Betina b. Kepiting Jantan
Kanna (2002) menyatakan jumlah jenis kepiting yang tergolong dalam
keluarga portunidae di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies.
Portunidae merupakan merupakan salah satu kepiting yang mempunyai pasangan
kaki kelimanya berbentuk pipih melebar pada ruas yang terakhir (distal) dan
sebagian besar hidup di laut, perairan bakau, dan perairan payau.
Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai
peran penting di wilayah pesisir Indonesia. Ekosistem ini memiliki banyak fungsi
mendasar yang mampu mendukung kehidupan manusia maupun biota-biota yang
berada di sekitarnya. Secara ekologis ekosistem ini berfungsi sebagai daerah
memijah (spawning ground), daerah mencari makan (feeding ground) serta daerah
pembesaran (nursery ground) bagi berbagai macam organisme yang mempunyai
nilai ekonomis (Farhaby dkk, 2013).
Ekosistem mangrove sebagai sumberdaya wilayah pesisir merupakan
perpaduan antara aspek fisik dan aspek biologi yang dikenal sebagai fungsi
ekologis . Ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai produktivitas primer yang
menyediakan jaring makanan yang komplek dan produktif dilingkungan perairan
pesisir laut tropis dan subtropis. Aspek ekologis menyediakan jasa lingkungan
untuk kesejahteraan manusia, sehingga akan bermakna sebagai aspek ekonomi
dimana manusia merupakan salah satu unsur utama yang berperan sebagai
pengguna ekosistem tersebut. Pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove
untuk kepentingan ekonomi seringkali menimbulkan permasalahan bagi
ekosistem itu sendiri, karena ekosistem tersebut cenderung menerima tekanan.
Tekanan yang umum dilakukan seperti pengambilan kayu (logging), konversi
untuk lahan pertanian, konversi untuk tambak dan untuk pemukiman (Tahmid
dkk, 2015).
Komunitas vegetasi pantai tropis pada kawasan hutan mangrove
didominasi oleh beberapa spesies pohon yang mampu tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Bengen (1999) mengatakan bahwa
hutan mangrove banyak ditemukan dipantai-pantai teluk dangkal, estuaria, delta
dan daerah pantai yang terlindung. Mulyana (1999) mengemukakan bahwa
wilayah pesisir mendukung berbagai sumberdaya didalamnya, seperti lahan
pasang surut, hutan mangrove, estuaria, laguna, padang lamun, terumbu karang
serta perairan dangkal yang menghasilkan sebagian besar (sekitar 80 %) produksi
perikanan dunia (Suryani, 2006).
Hutan mangrove adalah habitat bagi banyak satwa, seperti mamalia,
hidup di sekitar perakaran mangrove, baik di substrat yang keras maupun lunak
(lumpur) antara lain adalah jenis kepiting bakau, kerang dan golongan invertebrata
lainnya. Kepiting bakau merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan hutan
mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang luas. Hal ini disebabkan karena
kepiting bakau memiliki toleransi terhadap faktor abiotik terutama pada suhu dan
salinitas. Ketersediaan jenis biota laut seperti kepiting terdapat pada ekosistem
hutan tropik yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara serta dipengaruhi
oleh pasang surut dengan variasi lingkungan yang besar dari hutan mangrove
(Gita, 2015).
Hutan mangrove sering disebut juga sebagai hutan pantai, hutan pasang
surut, hutan payau atau hutan bakau. Istilah bakau sebenarnya merupakan nama
dari salah satu jenis tumbuhan mangrove yaitu Rhizophora spp. Hutan ini
merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak ditemukan
di pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut
(Sanudin dan Harianja, 2009).
Manfaat dan Peranan Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi dan ekologi sangat
penting. Selama berabad-abad ekosistem mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi
berupa: kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang
pancang, bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel
dan kerajinan tangan, atap, tannin kulit kayu, bahan obat, gula, alkohol, asam
fungsi ekologi yang tidak kalah penting, antara lain untuk menjaga stabilitas
pantai dari erosi, intrusi air laut, dan tekanan badai, membentuk daratan baru,
menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, memijah dan membesarkan
anak berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung, dan fauna lain, serta memiliki
fungsi sosial sebagai area konservasi, pendidikan, ekoturisme, dan identitas
budaya (Dyah, 2011).
Hutan mangrove sebagai sumberdaya alam khas daerah pantai tropik,
mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai, yaitu: sebagai penyambung
dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan
berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara
ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan dan daerah pembesaran
berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove
berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan
biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan
laut (Zamroni dan Immy, 2008).
Hutan mangrove merupakan bagian dari ekosistem produktif yang
menyokong kelangsungan hidup makhluk hidup melalui rantai makanan yang
dimulai dari mangrove itu sendiri. Pertumbuhan mangrove esensial dalam
menjaga keseimbangan hidup akan semua organisme yang bergantung terhadap
mangrove. Serasah yang telah layu membusuk dan akar menyediakan karbon dan
Parameter Lingkungan DO (Dissolved Oxygen)
Kadar oksigen yang rendah mampu diatasi oleh ekosistem mangrove
karena ekosistem mangrove memiliki mekanisme internal yang akan mengatasi
timbulnya reaksi anoksi di dalam perairan. Sistem perakaran yan besar dan
mencuat dari perairan digunakan untuk menangkap oksigen dari udara oleh
mangrove, sementara hasil fotosintesis tumbuhan air yang tidak terlalu besar
kandungannya dapat digunakan oleh biota perairan lainnya (Dyah, 2011).
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan makrozoobenthos dan
organisme-organisme akuatik lainnya. Pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah
dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik
mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen
terlarut di suatu perairan (Odum, 1983).
pH (Derajat Keasaman)
Derajad keasaman (pH) memiliki peran penting sebagai informasi dasar
karena perubahan yang terjadi di air tidak saja berasal dari masukan bahan-bahan
asam atau basa ke perairan, tetapi juga perubahan secara tidak langsung dari
aktivitas metabolik biota perairan. Pada perairan nilai pH berkisar antara 4-9
meskipun pH pada hutan mangrove relatif sangat rendah karena adanya asam
sulfat. Nilai pH yang tinggi pada tanah dasar dapat mempengaruhi tingkat
kesuburan, dan tingkat kesuburan dapat mempengaruhi kehidupan jasad renik
pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu
perairan. Perairan dengaan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi
ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya. Sebagian besar biota akuatik
sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7-8,5. Oksigen
terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting sekaligus
menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken, 1998).
Salinitas
Salinitas merupakan salah satu faktor bagi organisme akuatik yang dapat
memodifikasi perubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang
berdampak terhadap organisme. Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses
metabolisme kepiting yang dapat berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi.
Oleh sebab itu, pertumbuhan kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan
apabila penggunaan energi untuk metabolisme dapat diminimalisir
(Sagala dkk, 2013).
Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berdasarkan
adaptasinya terhadap salinitas, tumbuhan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
halophyta, yang tumbuh dan seluruh fase hidupnya berada dalam habitat yang
memiliki salinitas tinggi, dan non-halophyta, yang hidup pada habitat non-salin.
Mangrove bersifat fakultatif halophyta, yaitu dapat tumbuh pada kondisi salin dan
tawar. Mangrove mampu beradaptasi pada kondisi salin dengan berbagai cara
yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari
penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya
Suhu
Berdasarkan daur hidupnya kepiting bakau dalam menjalani hidupnya
diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali kepiting
ditetaskan, suhu air laut umumnya berkisar 25-270C, Secara gadual suhu air
kearah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari
megalopa yang memasuki muara sungai dapat mentoleransi suhu di atas 18 0C
(Ramelan, 1994).
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis, seperti fotosintesis dan
respirasi. Pertumbuhan mangrove yang baik memerlukan suhu rata-rata minimal
lebih besar dari 20oC dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 5oC. Tinggi
rendahnya suhu pada habitat mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya
matahari yang diterima oleh badan air, banyak sedikitnya volume air yang
tergenang pada habitat mangrove, keadaan cuaca dan tidak adanya naungan
(tutupan) oleh tumbuhan (Wantasen, 2013).
Substrat
Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang
mempengaruhi struktur komunitas makrozoobenthos. Penyebaran
makrozoobenthos dapat dengan jelas berkorelasi dengan tipe substrat.
Makrozoobenthos yang mempunyai sifat penggali pemakan deposit cenderung
melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang
mengandung bahan organik yang tinggi. Substrat dasar atau tekstur tanah
merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Substrat di
bentos. Komposisi dan kelimpahan fauna invertebrata yang berasosiasi dengan
mangrove berhubungan dengan variasi salinitas dan kompleksitas substrat
(Susiana, 2011).
Karakteristik substrat diketahui juga menentukan kehidupan komunitas
mangrove, substrat sedimen didaerah hutan mangrove mempunyai ciri-ciri selalu
basah, mengandung garam, memiliki oksigen yang sedikit, berbutir-butir dan kaya
akan bahan organik. Perbedaan tingkat kerapatan vegetasi mangrove serta jenis
mangrove yang ditemukan juga berpengaruh terhadap kandungan bahan organik
pada substrat dimana sesuai dengan besarnya nilai tingkat kerapatan suatu
mangrove akan mempengaruhi proses penguraian dari bahan organik tersebut
jenis mangrove juga ikut andil dalam proses cepat atau lambatnya proses
penguraian tersebut rendahnya nilai kandungan bahan organik ini
mengindikasikan bahwa pengaruh dari tingkat pasang surut yang tinggi sehingga
serasah yang jatuh terangkut kembali terbawa arus dan tidak terurai menjadi