• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kapur Dolomit, Pupuk dan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Tanah Sulfat Masam di Rumah Kaca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kapur Dolomit, Pupuk dan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Tanah Sulfat Masam di Rumah Kaca"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sulfat Masam

Bahan sulfat masam terdiri atas tanah salin atau sedimen yang terdapat

besi sulfida (FeS2

Pirit (FeS

) di atas layer tanah dalam keadaan tergenang atau kondisi

anaerob. Akan tetapi, pirit menjadi teroksidasi menjadi asam sulfat. Asam sulfat

dihasilkan dari oksidasi pirit yang menyebabkan pH tanah berada pada tingkat

yang sangat bahaya, pada waktu derajat keasaman 3.0. Tanah menjadi racun,

termasuk meningkatkan aluminium, besi dan (dalam beberapa masalah) mangan

yang terlarut, dan kualitas unsur hara menjadi tidak tersedia (Bloomfield, 1972).

2

Jika tanah ini direklamasi, maka senyawa pirit akan terpapar udara

membentuk ferri hidroksida (Fe(OH)

) pada kondisi anaerob atau tergenang adalah senyawa yang

stabil dan tidak berbahaya, akan tetapi menjadi berbahaya jika kondisi tanah

berubah menjadi aerob. Senyawa pirit dalam kondisi aerob akan teroksidasi dan

menghasilkan senyawa beracun serta meningkatkan kemasaman tanah, yang

berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Ada dua keadaan yang menyebabkan pirit

berada dalam kondisi aerob yaitu apabila tanah pirit diangkat ke permukaan tanah

(misalnya pada waktu mengolah tanah, membuat saluran, atau membuat surjan)

dan jika permukaan air tanah turun (misalnya pada musim kemarau). Dent (1986)

dan Langenhoff (1986) melaporkan bahwa hasil oksidasi pirit, antara lain asam

sulfat dan hidroksida besi yang menyebabkan reaksi tanah sangat masam.

Senyawa yang terbentuk secara alamiah dapat mengalami reaksi penetralan

dengan terbentuknya senyawa jarosit yang berupa bercak-bercak karatan berwarna

kuning jerami.

(2)

sehingga tanah menjadi sangat masam (Wijaya-Adhi et al., 1992). Reaksi oksidasi

Produksi ferri sulfat dari ferro sulfat sangat besar karena proses pembentukannya

dipercepat oleh aktivitas bakteri Thiobacillus ferrooxidans (No. 2) dan pada

kondisi yang masam reaksi pirit dengan ferri sulfat (No. 3) berlangsung sangat

cepat. Ferri sulfat juga dapat terhidrolisis sehingga menambah kemasaman seperti

diperlihatkan reaksi berikut:

4

Fe2(SO4)3 + 6 H2O → 2 Fe(OH)3 + 3 H2SO

Hasil reaksi adalah dihasilkannya Fe

4

3+

koloidal dan asam sulfat yang terlarut

menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H+ yang mengakibatkan pH tanah turun

drastis dari awalnya netral-agak alkalis (pH 5,5-6,5) menjadi masam ekstrim (pH

1,3 sampai <3,5). Pada kondisi ini terjadi keracunan ion H+, Al3+, SO42- dan Fe2+

Dalam keadaan teroksidasi, pirit yang berubah menjadi sulfida besi

tersebut diikuti dengan peningkatan kemasaman tanah yang tajam yang akan

menghambat pertumbuhan tanaman dan menjadi racun bagi tanaman melalui

beberapa mekanisme antara lain: 1. Kerusakan sel tanaman akibat peningkatan ion

H

,

serta penurunan kesuburan tanah alami akibat hilangnya basa-basa tanah,

sehingga tanah mengalami kahat P, K, Ca dan Mg (Subagyo, 2006).

+

, 2. Peningkatan kelarutan Fe, Al, dan Mn yang bersifat toksik bagi tanaman, 3.

(3)

Terhambatnya pertumbuhan akar, serapan air dan abnormalitas faktor biotik

(Leiwakabessy, 1980).

Tanah sulfat masam telah diketahui sebagai tanah yang sulit untuk

mengelola hasil produksi pertanian karena tingkat kesuburannya yang sangat

rendah (Shamshuddin et al., 2014). Pengembagan pertanian di tanah sulfat masam

sering menghadapai beberapa permasalahan seperti rendahnya pH tanah dan fosfat

tersedia serta tingginya kandungan Fe (Purnomo et al., 2005). Pada keadaan ini,

manajemen yang sesuai sangat berguna untuk menahan potensi yang

membahayakan dari tanah sulfat masam dan dianggap bisa digunakan untuk

tujuan pertanian (Khan, 1994).

Alternatif pengelolaan yang dapat dilakukan adalah aplikasi bahan

pembenah tanah yang mempunyai efek pengapuran (liming effect), pencucian

sulfat masam (Noorsyamsi dan Sarwani, 1989), dan aplikasi pupuk yang sesuai

kaidah 4 T (Tepat Jenis, Dosis, Waktu, dan Metode). Khan et al. (2006)

melaporkan bahwa terak dasar telah digunakan di lahan pertanian sejak tahun

1985 dan tidak menciptakan efek berbahaya pada tanaman. Mereka menyarankan

bahwa terak dasar dapat diterapkan untuk mereklamasi kembali tanah sulfat

masam. Sebuah reklamasi dan praktek manajemen yang tepat dari tanah sulfat

masam diperlukan untuk mengurangi pencucian basa dari larutan tanah serta

untuk mengurangi defisiensi unsur hara (Jintaridth, 2006). Menurut Cook et al.

(2006) peningkatkan keasaman pada tanah sulfat masam dapat mengurangi basa

dan dapat membahayakan bagi lingkungan akuatik dan terestrial. Namun,

sebagian besar studi yang bertujuan untuk mereklamasi tanah sulfat masam

(4)

Kapur Dolomit

Ada banyak teknik tradisional dan modern yang dapat memperbaiki sifat

kimia tanah dari tanah sulfat asam. Salah satunya adalah aplikasi bahan kapur.

Kapur lebih sering sesuai untuk memperbaiki tanah masam karena kelarutannya

tinggi dalam jumlah sekitar 6,25-12,5 ton/ha. Penggunaan bahan kapur

bersama-sama dengan pupuk kimia, terutama nitrogen dan fosfor, dapat meningkatkan

produktivitas padi. Selain itu, aplikasi silikon (Si) dapat mengurangi toksisitas

aluminium untuk tanaman termasuk padi (Hara et al., 1999). Silikon

meningkatkan fotosintesis tanaman padi dan meningkatkan ketahanan tanaman

padi terhadap beberapa penyakit dan serangga yang merugikan tanaman padi

Bahan pembenah tanah bisa berupa dolomit yang merupakan salah satu

jenis kapur pertanian yang dapat meningkatkan pH, juga menambahkan

kandungan Ca dan Mg untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan

tanaman. Untuk meningkatkan pH pasang surut dari 4,5 menjadi 5,3 diperlukan

kapur sebanyak 2 ton/ha (Badan Litbang Pertanian, 2009). (Ma and Takahashi, 2002).

Selain itu dolomit banyak digunakan karena relatif murah dan mudah

didapat. Disamping itu bahan tersebut dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan

kimia dengan tidak meninggalkan residu yang merugikan tanah. Apabila pH tanah

telah meningkat, maka kation Aluminium akan mengendap sebagai gibsit

sehingga tidak lagi merugikan tanaman (Safuan, 2002).

Para pakar yang telah banyak meneliti di daerah tropik menyatakan bahwa

untuk mendapatkan efisiensi pengapuran di daerah tropik basah dimana jumlah

(5)

diatas 6, tetapi cukup meniadakan atau menekan Al yang meracuni tanaman.

Prinsip pengapuran yang didasarkan pada Al-dd ternyata sangat efektif dalam

menunjang pertumbuhan tanaman. Prinsip ini terus berkembang hingga kemudian

ditentukan kebutuhan kapur berdasarkan kejenuhan Al

(Ragland and Coleman, 1959).

Secara umum pemberian kapur antara 0,5 ton sampai dengan 3,0 ton per

hektar sudah cukup memadai (Alihamsyah, 2003). Sedangkan beberapa peneliti

seperti Subiksa et al. (1990) dan Noor et al. (2010), menyatakan bahwa

pemberian bahan amelioran seperti pupuk organik, tanah mineral, zeolit, dolomit,

fosfat alam, pupuk kandang, kapur pertanian, abu sekam,

purun tikus (Eleocharis dulcis) dapat meningkatkan pH tanah dan basa-basa

tanah.

Pupuk dan Pemupukan

Pupuk merupakan suatu bahan yang diberikan pada tanaman baik secara

langsung maupun tidak langsung untuk mendorong pertumbuhan tanaman,

meningkatkan produksi atau memperbaiki kualitasnya sebagai akibat perbaikan

nutrisi tanaman (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Pupuk dapat digolongkan

kedalam senyawa organik maupun anorganik yang dapat terdiri dari satu atau

lebih unsur hara.

Pemupukan telah menjadi komponen dari peningkatan teknik-teknik

budaya untuk sebagian besar tanaman sejak lebih dari 95 persen dari lahan yang

paling subur dari Nigeria barat selatan yang sering dibudidayakan. Kendala dan

(6)

ketersediaan nutrisi yang menyebabkan lahan berada di posisi bawah tingkat

potensial (Adepetu, 1986).

Cara terbaik untuk mencegah tanah menjadi miskin adalah dengan

mengembalikan yang tanaman telah ambil dan ini hanya dapat dicapai dengan

penggunaan pupuk anorganik (Roberts and Andrew, 1989). Dalam program

manajemen kesuburan tanah yang baik, waktu yang tepat dan pemupukan yang

baik diperlukan untuk mempertahankan tingkat produksi tanaman yang tinggi

(Harper, 1983).

Cooke (1972) melaporkan bahwa nutrisi utama yang dibutuhkan oleh

tanaman yang Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K). Pasokan yang tidak

memadai dari setiap nutrisi selama pertumbuhan tanaman diketahui memiliki

dampak negatif pada kemampuan reproduksi, pertumbuhan dan hasil tanaman

(Vine, 1953; Solubo, 1972) dan jumlah tambahan nutrisi dapat ditambahkan ke

tanah dalam bentuk pupuk anorganik untuk memperbaiki kekurangan pasokan

nutrisi ke tanaman (Dirk and Hargarty, 1984)

Bakteri Pereduksi Sulfat

.

Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) atau Sulphate Reduction Bacteria

merupakan salah satu mikrobia penting. Bakteri ini ditemukan hampir di semua

lingkungan di bumi: tanah, air tawar, air laut dan air payau, sumber air panas,

daerah geothermal; sumur minyak dan gas, cadangan sulfur, endapan lumpur,

selokan, besi berkarat, rumina kambing dan usus serangga (Postgate,1984).

Hidupnya obligat anaerob, namun dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama

(7)

umumnya lebih suka berada dalam lingkungan yang agak basa (Jalaludin, 2005),

mereka dapat pula berkembang dalam lingkungan dengan rentang pH 5,5-8,5.

Kebanyakan tipe asimilasi bakteri pereduksi sulfat yang telah diisolasi dari

alam dan dijelaskan bahwa sejauh ini merupakan bakteri mesofilik, anaerob dan

tidak mampu membentuk spora. Kelompok yang termasuk bakteri ini merupakan

bakteri dari subdivisi delta dari genus proteobakteria. Data terbaru dari kategori

ini adalah Desulfovibrio. Berbagai jenis sel telah dijelaskan termasuk bentuk bulat

(coccus); oval atau batang lurus panjang; batang melengkung atau spiral; sel-sel

dengan vesikular gas; bergerak meluncur serta memiliki filamen multiseluler. Di

alam dikenal beragam bakteri yang memanfaatkan senyawa anorganik sebagai

elektron donor atau elektron akseptor dalam aktivitas metabolismenya, salah

satunya adalah bakteri pereduksi sulfat. Bakteri pereduksi sulfat memanfaatkan

ion sulfur dalam bentuk sulfat (SO42-), tiosulfat (S2O32-) dan sulfit (SO3

2-Dalam melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan sulfat sebagai sumber

energi yaitu sebagai akseptor elektron dan menggunakan bahan organik sebagai

sumber karbon (C). Karbon tersebut berperan sebagai donor elektron dalam

metabolisme juga merupakan bahan penyusun selnya (Groudev et al., 2001).

Sedangkan menurut Djurle (2004) menjelaskan bahwa BPS menggunakan donor

elekron H

) sebagai

akseptor elektron terminal dalam respirasi metabolismenya, yang kemudian

direduksi menjadi sulfida. Spesies bakteri pereduksi sulfat yang paling banyak

ditemukan adalah dalam sedimen laut karena kandungan sulfat cukup tinggi

(Widdel and Bak, 1992).

(8)

Reduksi sulfat dapat terjadi dalam kisaran nilai pH, tekanan, suhu dan kondisi

salinitas yang luas.

Gambar 1. Skema Beberapa Jalur Berbeda yang Terlibat dalam Siklus Sulfur Mikrobial (Sumber: Lens et.al., 2004)

Siklus sulfur merupakan salah satu proses biogeokimia utama di alam.

Terdapat empat jenis stok senyawa sulfur alamiah utama berdasarkan tingkat

oksidasinya dalam siklus sulfur, yaitu senyawa sulfida (S2-), sulfur elemental (S0),

sulfat (SO42-) dan sulfur-organik (C-SH) (Lens et.al., 2004). Gambar di atas

menunjukan jalur-jalur reaksi yang terlibat dalam siklus sulfur mikrobial. Perilaku

senyawa-senyawa sulfur di perairan dipengaruhi oleh sejumlah organisme

terutama mikroba. Jalur I, II, III, dan V melibatkan mikroba autotrof yang

menggunakan CO2 anorganik sebagai sumber karbon. Sedangkan jalur IV dan VI

melibatkan mikroba heterotrof yang menggunakan senyawa organik sebagai

(9)

Reaksi oksidasi senyawa sulfur terjadi pada jalur I, II, dan III, sedangkan

reaksi reduksi terjadi pada jalur IV dan VI. Oksidasi senyawa sulfur melibatkan

mikroorganisme kemoautotrof atau fotoautotrof, seperti bakteri dari genus

Thiobacillus dan bakteri-sulfur fotosintetik (Chlorobiaceae dan Chromatiaceae).

Dari semua kelompok bakteri pengoksidasi sulfat, hanya kelompok bakteri

thiobacillus yang mampu menghasilkan sulfat secara langsung tanpa

mengakumulasi sulfur dalam proses oksidasi H2S pada tekanan oksigen normal.

Kelompok bakteri lainnya mengakumulasi sulfur. Sulfur yang terakumulasi

tersebut akan dioksidasi lebih lanjut menjadi sulfat ketika suplai H2S menurun

atau hilang (Ehrlich and Newman, 2009).

Habitat pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat cukup luas. Selain di lautan,

bakteri ini juga ditemukan di lahan sawah dan perairan darat. Mengingat bakteri

ini merupakan bakteri anaerob obligat, bakteri pereduksi sulfat lebih banyak

ditemukan pada lingkungan anoksik, terutama di bagian bawah sedimen.

Jorgensen (1982) melaporkan bahwa jumlah dan aktivitas bakteri pereduksi sulfat

meningkat dengan ketebalan lapisan sedimen. Namun demikian, ada kelompok

bakteri pereduksi sulfat yang mampu tumbuh pada kondisi oksik. Hal ini yang

menyebabkan ada keragaman bakteri yang tumbuh dalam sedimen. Risatti et al.

(1994) mengemukakan bahwa kelompok Desulfovibrio sp. lebih dominan di

bagian atas sedimen, sedangkan Desulfotomaculum sp. Banyak ditemukan pada

bagian bawah sedimen.

Di alam BPS sering berasosiasi dengan BPB (iron reduction bacteria)

dalam melaksanakan bioremediasi lingkungan. Keduanya dapat dijumpai di

(10)

sebagai akseptor elektron, bakteri pereduksi besi menggunakan besi (III) sebagai

akseptor elektron terminal (Luef et al., 2013).

Kemampuan isolat bakteri pereduksi sulfat juga beragam, namun efisiensi

reduksi sulfat semua isolat meningkat dengan peningkatkan nilai pH. Pada pH 6

efisiensi reduksi sulfat berkisar antara 74,75% sampai 91,79%. Kemampuan

terendah diperoleh isolat ICBB 8820, sedangkan isolat ICBB 8818 mempunyai

kemampuan mereduksi sulfat paling tinggi, yakni sebesar 91,79%. Penurunan pH

menurunkan kemampuan bakteri mereduksi sulfat. Pada pH 6, isolat ICBB 8820

mampu mereduksi sebesar 74,75%, berkurang menjadi 72,77% pada pH 4, dan

tidak mampu tumbuh pada pH 3. Sedangkan kemampuan reduksi isolat ICBB

8818 mencapai 91,79% pada pH 6, tetapi hanya sebesar 84,28% pada pH 3. Pada

pH 3 total sulfat yang tereduksi oleh 8 isolat yang mampu tumbuh berkisar antara

Gambar

Gambar 1. Skema Beberapa Jalur Berbeda yang Terlibat dalam Siklus Sulfur  Mikrobial (Sumber: Lens et.al., 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Ada mulanya, analisis isi kuantitatif memang lebih dikenal dalam penelitian. Analisis isi kuantitatif yang pertama dikenal adalah penelitian mengenai surat kabar.Saat itu

Dari pemaparan Kepala Sekolah Dasar Integral Rahmatullah ini dikatakan bahwa Implementasi Pendidikan Berbasis Sistematika Wahyu pada Karakter siswa di kelas bawah yakni

P2 didapat dari hasil bantuan dengan fasilitas solver pada.

Berdasarkan pendapat ahli diatas, maka untuk menerapkan pembelajaran problem based learning dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan langkah- langkah yang telah

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemakaian AFO Solid dan AFO Artikulasi selama berjalan pada anak Cerebral Palsy Type Spastic terhadap fungsional

Selain adanya konflik kerja-keluarga yang dialami individu, adanya perasaan terancam atau tidak aman dari pekerjaan yang sedang dijalani juga dapat mengganggu kesejahteraan

Saudara diminta menilai kualitas Permen karamel susu berdasarkan aspek rasa, aroma, tekstur, warna dan kesukaan Caranya dengan memberi tanda check ( √) sesuai pada kolom

In terms of handling the personal or human aspect, the organization can make efforts to educate the existing workforce in terms of entrepreneurial spirit,