BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian kongkret,
gambaran mental dari objek apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh
akal budi untuk memahami hal-hal lain.
Konsep juga berkaitan dalam penentuan variabel-variabel yang akan
diteliti. Konsep yang bersifat abstrak ini perlu didefinisikan dan diukur sehingga
ketepatan dan kejelasan sebuah konsep penelitian tergantung pada definisi dan
ukuran yang digunakan.
Sehubungan dengan hal tersebut maka konsep pada penelitian ini adalah :
2.1.1 Pendidikan Kebudayaan
Pendidikan Kebudayaan adalah proses pembelajaran yang mendidik
nilai-nilai kebudayaan kepada seseorang ataupun kelompok sehingga nilai-nilai
tersebut tidak punah dan dapat berkembang dari generasi yang satu ke generasi
yang lain.
Pengertian pendidikan dalam UU RI No. 20 pasal 1 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa : “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.” Pendidikan adalah proses pembelajaran, yang dilakukan demi kelangsungan diri seseorang di masa akan datang.
Kebudayaan berasal dari perkataan Latin colereyang artinya adalah menggolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama
menggolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti
culturesebagai “ segala daya dan aktivitas manusia untuk menggolah dan mengubah alam”.
Ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhiyang berarti budi atau akal. Budaya juga dapat dikatakan sebagai wujud cipta, karsa dan rasa.
( Prasetya dkk 2004 :28)
Sama halnya dengan pendidikan, kebudayaan juga diperoleh dari
proses belajar. Hal ini diungkapkan oleh Koentjaranigrat (1985:10) yang
mendefenisikan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
dari manusia dengan proses belajar. Ini yang menyebabkan pendidikan dan
kebudayaan tidak dapat dipisahkan.
2.1.2 Tokoh Masyarakat
Menurut UU RI Nomor 8 Tahun 1987 pasal 1 ayat 6 Tentang Protokol
bahwa tokoh masyarakat adalah seseorang yang karena kedudukan sosialnya
Seseorang dikatakan tokoh masyarakat disebabkan apabila seseorang
tersebut memiliki paling tidak empat hal yaitu:
1. Kiprah dalam Masyarakat
Seseorang yang memiliki kiprah dalam masyarakat dapat
memyebabkan yang bersangkutan ditokohkan oleh masyarakat dilingkungan
tersebut. Dengan ketokohannya tersebut maka, ia dapat menduduki
posisi-posisi penting dalam masyarakat.
2. Memiliki Kedudukan Formal di Pemerintahan
Seseorang yang memiliki kedudukan formal dalam instansi
pemerintahan tentunya adalah orang yang akan menjadi tokoh dalam suatu
masyarakat. Karena kedudukannya tersebut menyebabkan orang yang
bersangkutan dihormati, dijadikan panutan ataupun diteladani oleh masyarakat.
3. Memiliki Ilmu yang Tinggi
Seseorang yang memiliki ilmu dalam suatu bidang ataupun berbagai
bidang adalah orang yang juga dapat dikatakan sebagai tokoh. Hal ini
disebabkan oleh masyarakat atau pemimpin pemerintahan selalu meminta
pandangan ataupun saran dari orang tersebut. Karena kepakarannya maka yang
bersangkutan diberi kedudukan ataupun jabatan yang memberikannya
kehormatan dan kemudian menjadi tokoh dalam masyarakat.
4. Pengusaha
Seseorang pengusaha adaah orang yang memiliki banyak aset, apabila
seseorang itu mau dan sering memberikan sedekah, berzakat, atau memberikan
sumbangan yang bersifat sosial, pada umumnya masyarakat akan memberikan
Jadi pada hakikatnya seorang tokoh masyarakat adalah pemimpin
masyarakat dilingkungannya. Seorang tokoh masyarakat adalah pemimpin
yang dipilih oleh masyarakat tersebut untuk memimpin, membimbing, ataupun
memandu dan menolong mereka dalam mengatasi masalah-masalah yang
terjadi dalam masyarakat tersebut.
2.1.3 Masyarakat Tionghoa
Kedatangan masyarakat Tionghoa ke kota Medan berawal ketika
Belanda menjajah Sumatera Timur dan kemudian membuka lahan perkebunan
tembakau, pada waktu itu Belanda kekurangan tenaga buruh. Untuk itulah
Belanda mendatangkan buruh dari negeri Tiongkok. Pendapat ini didukung
oleh Tan (2004:21) dijelaskan bahwa: “Masyarakat Tionghoa di Medan semula merupakan para buruh yang didatangkan untuk menggarap
perkebunan-perkebunan tembakau di Sumatera Timur yang mulai diusahakan para kapitalis
Belanda sejak abad ke-18”.
Kedatangan imigran Tionghoa ke Sumatera Timur telah menjadi
perhatian. Bangsa yang ulet ini datang sebagai kuli, tetapi kemudian mereka
telah mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sejak mulai abad ke-20, mereka
telah berhasil dalam memonopoli jumlah ekonomi. Perusahaan-perusahaan
yang baru berdiri di wilayah Sumatera mempekerjakan orang-orang Tionghoa
untuk menanam tembakau.
Pada tahun 1872, jumlah orang Tionghoa di Medan melebihi 4.000
orang. Ada juga kuli Tionghoa yang dipakai untuk mengangkut peralatan
Setiap tahun sejak tahun 1870-1880-an, ribuan kuli Tionghoa dibawa dari
Malaysia untuk menunjang perluasan ekonomi yang begitu hebat di Asia
Tenggara ini.
Perusahaan-perusahaan di Sumatera Timur ( yang waktu itu masih
dikuasai oleh Kolonial Belanda) memperoleh kuli Tionghoa melalui sistem
kongsi. Kepala kongsi diberikan setapak tanah hutan dengan sejumlah bibit
sebagai bayaran. Ada juga cara singkat juga menguntungkan pihak pengusaha,
yaitu mereka memperoleh kuli dengan cara datang langsung ke Negara
Tiongkok dan mencari sendiri kuli-kuli. Perkembangan usaha perkebunan di
Medan sangat pesat, sehingga membutuhkan banyak kuli, sedangkan pada saat
itu keadaan ekonomi di Tiongkok sangat memperihatinkan.
Banyak sekali kuli-kuli di Tiongkok yang begitu miskin sampai
menjual anak-anak perempuan mereka kepada bangsawan Melayu. Diakhir
abad ke-19, beberapa orang Tionghoa dijadikan asisten langsung di Indonesia.
Semenjak adanya perantara antara Tiongkok dan pemerintahan kolonial
Belanda, kehidupan para kuli Tionghoa di Sumatera Timur mulai membaik.
Mereka mulai mendirikan sekolah Tionghoa pertama di Medan pada abad
ke-19. Sekolah tersebut bernama “The Medan Boarding School”. Pada saat itu belum ada sekolah yang didirikan oleh pemerintahan Indonesia. Sekolah
tersebut menggunakan bahasa Cina dan Inggris dengan mendatangkan
guru-guru Tionghoa dari Malaysia.
Seiring dengan meningkatnya kehidupan perekonomian masyarakat
Tionghoa menyebabkan adanya perbedaan mencolok antara masyarakat
memiliki tingkat perekonomian yang tinggi mendatangkan langsung istri-istri
dari anggota keluarga dan kerabatnya dengan menggunakan kapal ke Medan.
Hal ini menyebabkan masyarakat Tionghoa berkumpul di antara kalangan
mereka sendiri, membuat pola pemukiman dan memakai bahasa mereka sendiri.
Ini adalah salah satu penyebab keeksklusifan masyarakat Tionghoa Medan.
Tahun 1870 pemerintah Belanda membuat blok-blok permukiman
terpisah menurut etnik. Sehingga terbentuklah kampung Cina (pecinan),
kampung Arab, kampung Keling, kawasan “Tuan Kebon” untuk orang-orang Eropa, dan kaum pribumi tinggal di luar blok-blok tersebut. Hal ini adalah asal
usul kawasan-kawasan pecinan di kota Medan.
Tjong Yong Hian dahulu adalah tokoh masyarakat Tionghoa kota
Medan, beliau mendapat gelar Mayor dari Pemerintah kolonial Belanda. Gelar
itu di dapat Tjong Yong Hian dikarenakan kontribusi beliau dalam membangun
hubungan baik antara masyarakat Tionghoa, dengan penguasa-penguasa
pribumi, dan dengan pemerintahan kolonial Belanda.
Etnis Tionghoa di kota Medan berasal dari berbagai suku, yaitu : Suku
Kanton, Suku Hokkian, Suku Hakka, dan lain-lain. Walaupun demikian dalam
kehidupan sehari-hari keberagaman suku tersebut tidak menonjol sehingga
hanya akan tampak kesatuan etnik masyarakat Tionghoa.
Semakin lama kehidupan orang Tionghoa di Sumatera semakin
membaik, bahkan banyak yang menetap di Sumatera menjadi pedagang yang
berhasil turun-temurun hingga saat ini. Salah satunya adalah Tjong Yong Hian
yang membangun dan mengelola museum Tjong Yong Hian yang berlokasi di
areal Taman Kebun Bunga.
2.2 Landasan Teori
Teori merupakan seperangkat preposisi yang terintegrasi secara sintaksis
(yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis atau
dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai
wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. (Moleong
2002:34-35).
Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai
fenomena. Dalam suatu penelitian teori adalah dasar seseorang meneliti suatu
objek. Teori adalah sarana pokok dalam menyatakan hubungan sistematik dalam
fenomena yang diakan dicermati. Adapun teori yang penulis pergunakan dalam
penelitian adalah teori yang diuraikan berikut.
2.2.1 Teori Fungsionalisme
Teori fungsionalisme adalah teori yang digunakan untuk menjelaskan
fungsi dan dampak dari struktur maupun pranata sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori
fungsionalisme dari Bronislaw Malinnowski. Malinnowski mengembangkan
“…Semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat”.
Dalam pandangan Malinnowski bahwa pada dasarnya kebutuhan
semua manusia itu sama, baik kebutuhan biologis maupun kebutuhan
psikologis dan kebudayaan adalah pokok pemenuhan kebutuhan tersebut.
Seperti kebutuhan manusia akan sex biologis manusia yang merupakan
kebutuhan pokok, tetapi dalam proses pemenuhannya memunculkan tradisi
upacara perkawinan, dengan tata cara, ritual, alat-alat dan sebagainya.
Malinnowski dalam Marzali,1997: 134 menekankan betapa pentingnya
mengkaji fungsi, atau guna dari unsur-unsur suatu budaya terhadap budaya
masyarakat tersebut secara keseluruhan.Malinnowski kemudian menegaskan
inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas
manusia dalam unsur-unsur kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan
sejumlah kebutuhan naluri manusia pada seluruh kehidupannya.
2.2.2 Teori Peran
Istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam dunia Teater seorang aktor atau aktris akan memerankan sebuah tokoh sesuai arahan naskah.
Dalam ilmu sosiologi, peran sangat berhubungan dengan kedudukan
status-status sosial khusus. Selanjutnya dikatakan peran berhubungan dengan
harapan dari masyarakat. Menurut Soekanto (2012 : 212-213) peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, dia menjalankan
kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan karena
yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya.
Menurut Horton dan Hunt (1993 : 184), peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status.
Menurut Hendropuspito ( dalam Narwoko & Suyanto 2007 : 160 )
peranan sosial yang ada dalam masyarakat dapat diklasifikasikan menurut
bermacam-macam cara sesuai dengan banyaknya sudut pandang. Berbagai
macam peranan dapat disebutkan sebagai berikut.
Berdasarkan pelaksanaanya peranan sosial dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu :
1. Peran yang diharapkan (expected roles) : cara ideal dalam pelaksanaan peranan menurut penilaian masyarakat.
2. Peran yang disesuaikan (actual roles) : cara bagaimana sebenarnya peranan itu dijalankan.
Sementara itu, berdasarkan cara memperolehnya, peranan bisa
dibedakan menjadi :
1. Peran bawaan (ascribed role) : peranan yang diperoleh secara otomatis, bukan karena usaha.
2. Peran pilihan (achives roles) : peranan yang diperoleh atas dasar keputusannya sendiri.
Pada penelitian fungsi dan peran Taman Kebun Bunga dalam
memperkenalkan Tjong Yong Hian sebagai tokoh masyarakat kota Medan,
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah
menyelidiki atau mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912). Dalam
tinjauan pustakan akan diuraikan sejumlah penelitian terdahulu yang tentunya
terkait dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Hasil penelitian yang dikaji ada
dua macam, yaitu :
1. Penelitian yang hasil penelitiannya memiliki relevansi karena objek
bahasan yang sama, tetapi masalah dan teori yang digunakan
berbeda.
2. Penelitian yang hasil penelitiannya yang memiliki relevansi masalah
karena metode dan teori yang digunakan sama, tetapi objek bahasan
yang berbeda.
Adapun penelitian-penelitian yang menjadi tinjauan pustaka pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sela Kholidiami (2016) pada penelitian skripsinya yang berjudul “Peran Wisata Religi Makam Gus Dur dalam Membangun Kehidupan Sosial Ekonomi
Mas yarakat Sekitar Pondok Pesantren Terueng Jombang” mengungkapkan bahwa sebuah objek wisata dapat memiliki fungsi dan peran dalam membangun
kehidupan sosial suatu masyarakat. Dalam skripsi ini juga dikatakan objek wisata
juga dapat mempengaruhi kualitas kehidupan sosial suatu masyarakat disekitar
objek wisata tersebutMetode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan deskriptif kualitatif. Perbedaan antara penelitian ini dan penelitian
penulis adalah tujuan penelitian. Pada penelitian ini meneliti peran tempat wisata
penulis membahas fungsi dan peran tempat wisata untuk mengenalkan sosok
karakter Tjong Yong Hian. Penelitian ini memberikan referensi bagaimana objek
kajian seperti tempat wisata dapat diteliti perannya.
Shofia Masthura (2014) pada penelitian skripsinya yang berjudul“Fungsi dan Peran Tjong A Fie Memorial Institute Dalam Perkembangan Budaya Cina Di
Kota Medan” mengungkapkan fungsi dan peran Tjong A Fie Memorial Institute dalam perkembangan budaya Cina di Kota Medan. Dalam skripsi ini fungsi
menunjuk pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses
tersebut sedangkan peran diartikan sebagai hasil dari “kegunaan”.Perbedaan dalam penelitian saya dengan penelitian ini adalah teknik pengumpulan data.
Skripsi ini membantu penulis untuk memahami fungsi dan peran.
Indra Khaerul Saleh (2011) pada penelitian skripsinya yang berjudul
“Perkembangan Pariwisata Taman Bunga Nusantara dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Kawung Luwuk, Kecamatan
Sukaresmi, Kabupaten Cianjur (1995-2004)” mengungkapkan suatu objek wisata ( Taman Bunga Nusantara) dapat memberikan dampak bagi kehidupan sosial
ekonomi masyarakat di sekitar kawasan pariwisata tersebut. Selanjutnya pada
penelitian ini diungkapkan keberadan objek wisata ( Taman Bunga Nusantara)
dapat mempengaruhi gaya hidup dari masyarakat disekitar objek wisata tersebut.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah melalui historis dan studi
lapangan secara lisan. Perbedaan antara penelitian ini dan penelitian penulis
adalah metode penelitian, dan penelitian yang penulis lakukan menggunakan
metode deskripsi kualitatif. Penelitian ini memberikan kontribusi dari teknik
Winda Sofiani Pasaribu (2011) pada penelitian skripsinya yang berjudul
“Fungsi dan Makna Makanan Tradisional pada Perayaan Upacara Budaya Masyarakat Tionghoa” mengungkapkan bahwa makanan tradisional yang terdapat dalam perayaan upacara masyarakat Tionghoa memiliki fungsi dan maknanya
masing-masing. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori
fungsionalisme Malinowski. Penelitian ini membantu penulis memahami teori
fungsionalisme Malinowski dan pengaplikasiannya dalam mengkaji fungsi suatu
objek.
Ani Rostyati (2005) pada jurnalnya yang berjudul “Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Masyrakat Cina Benteng” mengungkapkan bahwa masyarakat Cina Benteng masih memegang teguh adat istiadat mereka. Prosesi
upacara yang dilakukan masyarakat Cina Benteng berlangsung khidmat tanpa
meninggalkan esensi dan tujuan dari upacara tersebut. Pada jurnal ini juga
diungkapkan bahwa fungsi dari upacara tradisional tersebut adalah fungsi spiritual
dan fungsi sosial. Penelitian ini membantu penulis memahami konsep fungsi.
Penelitian-penelitian terdahulu banyak membantu penulis memahami
konsep fungsi dan konsep peran. Oleh sebab itu penulis merasa perlu dilakukan
penelitian mengenai fungsi dan peran dari Taman Kebun Bunga dalam
memperkenalkan sosok Tjong Yong Hian. Penulis berharap penelitian ini akan
dapat mengungkapkan nilai guna dan hasil dari kegunaan Taman Kebun Bunga
tersebut dalam memperkenalkan sosok Tjong Yong Hian sebagai tokoh