Halaman 1 Metode dan Konsep Restrukturisasi Sebagai Pelaksanaan Asas
Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Terhadap Perusahaan Publik dan Non Publik
Kukuh Komandoko Hadiwidjojo
I. Pendahuluan
Terganggunya pertumbuhan ekonomi sejak akhir 2013 mulai dirasakan
dampaknya oleh masyarakat bisnis Indonesia pada tahun 2015, terutama dengan
melemahnya nilai Rupiah hingga menyentuh Rp 14.700 per Dollar AS pada akhir
September 2015 dan aliran dana keluar dari pasar saham dan pasar surat utang
negara tidak terbendung sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun
hingga di bawah 42001.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 masih belum bergerak
signifikan dari angka 4,7% dan melambatnya ekonomi menyebabkan roda bisnis
perusahaan terganggu sehingga tidak bisa membayar kewajiban keuangannya
yang telah jatuh tempo. Secara umum, keadaan ini menimbulkan sengketa bisnis
dan menyebabkan naiknya permohonan pailit dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat2.
Sejarah hukum Indonesia mencatat bahwa sebelum terjadi krisis finansial
pada tahun 1998, perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
1
Arus Dana Keluar Tidak Terbendung, Harian Kontan, Kamis 20 Agustus 2015.
2
Pemerintah Tetap Yakin Ekonomi Tumbuh 5,2%, Harian Kontan, Kamis, 2 Juli 2015 dan
Ekonomi Seret, Kasus Utang Semarak, Harian Kontan, Senin, 19 Oktober 2015. Berdasarkan
Halaman 2
utang diatur dalam Fv (Faillissements-Verordening) S. 1905 No. 271 jo. S.1096
No. 348 yang yang berlaku berdasarkan asas konkordansi. Pada masa tersebut,
peraturan Kepailitan itu terdiri dari 2 Bab, yaitu3:
1. Bab I, tentang Kepailitan, Pasal 1 s/d Pasal 211;
2. Bab II, tentang Penundaan Pembayaran, Pasal 212 s/d Pasal 279.
Pada saat krisis finansial menimpa beberapa negara Asia dan Indonesia
pada tahun 1997 – 1998, kegiatan ekonomi menurun, bisnis sulit berkembang
dan pengembalian modal pinjaman para pelaku bisnis terganggu. Bahkan banyak
perusahaan dan bank umum yang terjebak pada kondisi insolvensi, kebangkrutan
dan likuidasi4.
Situasi krisis ekonomi mengakibatkan ketentuan kepailitan dan penundaan
pembayaran sebagaimana diatur dalam Fv (Faillissements-Verordening) S. 1905
No. 271 jo. S.1096 No. 348 menjadi sangat penting, dikarenakan banyaknya
sengketa utang-piutang yang terjadi dan penyelesaian utang-piutang harus
dilakukan secara cepat dan efektif. Peraturan kepailitan dalam Fv
(Faillissements-Verordening) S. 1905 No. 271 jo. S.1096 No. 348 jarang
dimanfaatkan, sehingga mekanisme yang diatur di dalamnya menjadi kurang
teruji dan prasarana yang mendukung mekanisme tersebut juga tidak terlatih.
Atas dasar pertimbangan hal tersebut, Fv (Faillissements-Verordening) S. 1905
No. 271 jo. S.1096 No. 3485 perlu disempurnakan dengan diberlakukannya
3
Lee A Weng, 2001. Tinjauan Pasal Demi Pasal Fv (Faillissements-Verordening) S.1905 No.271 jo S.1906 No. 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Medan, halaman 5.
4
Pada 31 Oktober 1997 dicapai kesepakatan pertama dengan IMF. Kesepakatan tersebut berisi kebijakan ekonomi yang salah satu programnya adalah memulihkan sektor perbankan. Pemulihan sektor perbankan diawalai diantaranya dengan melakukan penutupan terhadap 16 bank umum. Kemudian pada Februari 1998, dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang pada awal tugasnya adalah melakukan penanganan terhadap 54 bank umum. A. Deni Daruri dan Djony Edward, 2004. BPPN Garbage in Garbage Out, Jakarta: Center For Banking Crisis, halaman 51.
5
Lee A Weng, Op. Cit., halaman 9. Penyempurnaan Fv (Faillissements-Verordening) S. 1905 No. 271 jo. S.1096 No. 348 dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan:
1. Adanya kebutuhan yang besar dan bersifat mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang cepat, adil, terbuka dan efektif terhadap utang-piutang perusahaan yang besar pengaruhnya bagi perekonomian nasional;
Halaman 3
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan yang selanjutnya
ditegaskan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang
(“UU No. 4 Tahun 1998”).
Setelah berakhirnya situasi krisis ekonomi yang menimpa Indonesia (salah
satunya ditandai dengan dibubarkannya Badan Penyehatan Perbankan Nasional
pada tahun 2004), pada tahun yang sama, pemerintah juga memberlakukan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (“UU No. 37 Tahun 2004”). Secara prinsip, UU No.
37 Tahun 2004 perlu dibentuk untuk memenuhi perkembangan dan kebutuhan
masyarakat dunia usaha, khususnya bagi para kreditur dalam upaya
penyelesaian piutangnya secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Beberapa faktor yang perlu ditekankan terkait dengan kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang dalam UU No. 37 Tahun 2004, yaitu6: 1. menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur;
2. menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa
memperhatikan kepentingan debitur atau kreditur lainnya;
3. menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditur
atau debitur sendiri.
Selain beberapa faktor sebagaimana tersebut di atas, UU No. 37 Tahun
2004 dibuat dengan didasarkan pada beberapa asas hukum7:
dan penyelesaian masalah ini akan sangat membantu mengatasi situasi yang tidak menentu dalam bidang perekonomian.
6
Lihat penjelasan bagian Umum UU No. 37 Tahun 2004.
7
Halaman 4
1. Asas Keseimbangan
Mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur
yang tidak jujur dan selain itu juga dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak
beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Perusahaan debitur yang memiliki prospek bisnis yang baik dimungkinkan
untuk tetap dipertahankan kelangsungan usahanya.
3. Asas Keadilan
Mencegah terjadinya kesewang-wenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur
dengan tidak memedulikan kreditur lainnya.
4. Asas Integrasi
Aspek hukum formil dan hukum materiilnya dalam UU No. 37 Tahun 2004
merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan
hukum acara perdata nasional.
Asas hukum adalah prinsip hukum yang merupakan alasan, landasan dan
atau pemikiran pokok dari lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum bukan
peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui
asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Untuk memahami hukum suatu bangsa
dengan sebaik-baiknya tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan
hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas
hukumnya8.
II. Asas Kelangsungan Usaha dalam UU No. 37 Tahun 2004
UU No. 37 Tahun 2004 tidak menjelaskan secara detail dan komprehensif
mengenai Asas Kelangsungan Usaha. Penjelasan umum UU No. 37 Tahun 2004
8
Halaman 5
hanya secara singkat menyatakan dalam UU No. 37 Tahun 2004 terdapat
ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitur yang masih memiliki prospek
bisnis yang baik tetap dipertahankan.
Dari pernyataan dalam penjelasan umum tersebut, secara sederhana UU
No. 37 Tahun 2004 memberikan perlindungan dan toleransi kepada debitur yang
mengalami kesulitan keuangan dengan prospek bisnis yang baik. Namun
demikian, UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan uraian atau pengaturan lebih
lanjut mengenai debitur yang prospektif atau debitur dengan prospek bisnis yang
baik.
Pengaturan mengenai asas kelangsungan usaha dapat dilihat pada
beberapa pasal, baik dalam rangka pemberesan harta pailit, yaitu Pasal 104 ayat
(1) dan (2), Pasal 179 ayat (1) dan Pasal 184 ayat (2), maupun dalam rangka
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) yang antara lain diatur
dalam Pasal 240 Ayat (1) dan Pasal 242 Ayat (1).
Asas kelangsungan usaha dalam rangka pemberesan harta pailit:
Pasal 104
(1) Berdasarkan persetujuan panitia kreditur sementara, Kurator dapat
melanjutkan usaha Debitur yang dinyatakan pailit walaupun terhadap
putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan
kembali.
(2) Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditur, Kurator
memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 179
(1) Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana
Halaman 6
diterima, Kurator atau Kreditur yang hadir dalam rapat dapat
mengusulkan supaya perusahaan Debitur Pailit dilanjutkan.
Pasal 184
(2) Dalam hal perusahaan dilanjutkan, dapat dilakukan penjualan benda
yang termasuk harta pailit, yang tidak diperlukan untuk meneruskan
perusahaan.
Dari ketiga pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk
meningkatkan nilai aset dalam boedel pailit, perusahaan debitur pailit masih
dimungkinkan untuk dilanjutkan kegiatan usahanya oleh kurator dengan
memperoleh persetujuan hakim pengawas.
Asas kelangsungan usaha dalam rangka PKPU:
Pasal 240
(1) Selama penundaan kewajiban pembayaran utang, Debitur tanpa
persetujuan pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau
kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya.
Pasal 242
(1) Selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang,
Debitur tidak dapat dipaksa membayar utang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 245 dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk
memperioleh pelunasan utang, harus ditangguhkan.
Pasal 240 Ayat (1) diartikan bahwa dalam masa PKPU, dengan
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pengurus, debitur masih dapat
melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas asetnya. Sedangkan
Halaman 7
penjualan (likuidasi) terhadap aset debitur, dengan demikian debitur dapat
melakukan restrukturisasi.
III. PKPU dan PKPU terhadap perusahaan publik
Pada prakteknya, PKPU atau suspension of payment atau surseance van
betaling merupakan hal pertama yang diajukan oleh debitur sebagai upaya
perlawanan terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh krediturnya. Jika
permohonan pailit telah diajukan terlebih dahulu oleh para kreditur dan debitur
mengajukan PKPU, maka hakim harus mengabulkan PKPU sementara untuk
jangka waktu 45 hari sementara gugatan pailit gugur demi hukum9.
Dalam kondisi PKPU, debitur dapat menghindar dari status pailit10 dan memberikan peluang yang besar bagi debitur untuk melakukan restrukturisasi
dalam penyelesaian kewajiban pembayaran utang-utangnya yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih.
PKPU adalah suatu kondisi yang diberikan oleh Undang-Undang melalui
Putusan Pengadilan Niaga, kondisi yang mana kreditur dan debitur diberikan
kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan
memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk
apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut11, sehingga dalam hal ini, debitur ditempatkan dalam kondisi yang menguntungkan.
9
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. Halaman 83.
10
Permohonan mengenai PKPU dapat diajukan sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan atau permohonan mengenai PKPU dapat diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit, dengan syarat permohonan mengenai PKPU harus diajukan pada saat sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Bahkan jika permohonan pernyataan pailit dan permohonan mengenai PKPU diajukan secara bersamaan, permohonan PKPU yang akan diperiksa terlebih dahulu.
11
Halaman 8
Pada periode PKPU, debitur masih memiliki keleluasaan dalam
pengelolaan aset-aset miliknya, walaupun terdapat pembatas harus dengan
persetujuan dari pengurus. Keleluasaan debitur terkait dengan aset-aset miliknya
sebagai akibat hukum PKPU diantaranya adalah12:
1. debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-utangnya dan semua
upaya eksekusi yang telah dimulai dalam rangka pelunasan utang harus
ditangguhkan;
2. berdasarkan pemintaan dari pengurus, seluruh sita yang telah diletakkan
menjadi gugur dan dalam hal debitur disandera, debitur harus dilepaskan
segera setelah diucapkan putusan PKPU tetap atau setelah putusan
pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap. Begitu pula
terhadap eksekusi dan sita atas benda yang tidak dibebani wajib diangkat
oleh pengadilan.
Debitur memiliki kesempatan untuk mengajukan rencana perdamaian
dalam PKPU. Rencana perdamaian yang diajukan dilengkapi dengan tawaran
pembayaran terhadap sebagian atau seluruh utang kepada kreditur. Selanjutnya,
debitur dan para krediturnya dapat bernegosiasi mengenai cara bagaimana
pembayaran utang harus dilakukan. Perdamaian yang dilakukan dalam PKPU
akan mengikat kreditur lain di luar PKPU, sehingga pelaksanaan restrukturisasi
dapat mudah dijalani tanpa gangguan dari para kreditur di luar PKPU. Namun
demikian, perdamaian dapat dimintakan pembatalan oleh para kreditur dan
debitur akan pailit, yaitu dalam hal debitur wanprestasi terhadap perjanjian
perdamaian.
PKPU juga memberikan kesempatan yang luas bagi debitur untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak dalam keadaan insolvensi dan memiliki
prospek bisnis yang masih bagus. Sayangnya, UU No. 37 Tahun 2004 tidak
tegas mengatur mengenai asas solvabilitas dan tidak memberikan parameter
mengenai prospek bisnis yang masih bagus. Namun demikian dengan mengacu
12
Halaman 9
pada makna asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan, pelaksanaan
PKPU sepatutnya juga memperhatikan asas solvabilitas13.
UU No. 37 Tahun 2004 tidak membedakan syarat materil maupun syarat
formil terkait PKPU antara perusahaan publik dan perusahaan non-publik.
Perbedaan persyaratan PKPU hanya berdasarkan bidang usaha dan BUMN14.
IV. Solvabilitas, Insolvensi dan Likuiditas
Secara sederhana, analisa solvabilitas dilakukan dengan cara
membandingkan keadaan total aset dengan total kewajiban. Suatu perusahaan
dikatakan memiliki kondisi yang baik apabila perusahaan dapat memenuhi
kewajibannya, baik kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka panjang.
Dalam hal ini, analisa terhadap solvabilitas dilakukan untuk memastikan
apakah aset yang dimiliki oleh debitur mampu untuk mendukung seluruh kegiatan
bisnisnya15. Dari teori likuidasi, solvabilitas adalah kemampuan debitur untuk memenuhi kewajiban keuangannya apabila debitur dilikuidasi, hal ini mencakup
kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka panjang16.
13
Ifa Sudewi, Penerapan Asas Solvabilitas Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan. Puslitbang Hukum dan Keadilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2014, halaman 37.
14
Andrey Sitanggang, PKPU Pada Perusahaan Publik dan Dampaknya Bagi Investor, paper pada seminar HKHPM 26 Oktober 2015, halaman 6.
15
Solvabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk membayar utang-utangnya, baik utang jangka pendek maupun utang jangka panjang, sebagaimana diutarakan oleh Sugiyarso dan Winarwi dalam: Manajemen Keuangan. Media Persindo, Yogyakarta 2006, halaman 115.
16
Halaman 10
Secara akuntansi dapat disimpulkan, solvabilitas debitur dihitung dengan
menggunakan rasio keuangan17:
1. Debt to Asset Ratio, yang berarti makin rendah rasio utang berarti makin
baik tingkat keamanan dananya. Rasio utang diperoleh dengan cara
membagi total utang dengan total aset yang dimiliki dan dikali 100%.
2. Debt to Equity Ratio, yang merupakan imbangan antara utang yang
merupakan beban perusahaan terhadap modal sendiri, semakin tinggi
rasio berarti modal semakin sedikit dibanding utangnya.
Apabila dari hasil perhitungan rasio, aset yang dimiliki debitur lebih kecil
dari kewajiban utang yang harus dibayar, baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang, maka debitur memiliki solvabilitas yang buruk atau
dengan kata lain debitur dalam keadaan insolvensi. Sebuah perusahaan
dikatakan insolvency bankruptcy apabila nilai buku dari total kewajibannya
melebihi nilai pasar dari seluruh aset perusahaan18.
Insolvency menurut Black’s Law Dictionary adalah19:
“1. The condition of being unable to pay debts as they fall due or in the
usual course of business. 2. The inability to pay debts as they mature”
Sedangkan insolvent menurut Black’s Law Dictionary adalah:
“having liabilities that exceed the value of assets: having stopped paying
debts in the ordinary course of business or being unable to pay them as
they fall due”.
Secara normatif, UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan definisi khusus
mengenai insolvensi, namun demikian UU No. 37 Tahun 2004 mengartikan
insolvensi dalam arti yang lebih sederhana, yaitu suatu keadaan tidak mampu
17
Dwi Sariningsih et all, Analisis Kinerja Keuangan DiTinjau Dari Rasio Likuiditas, Solvabilitas dan Rasio Profitablitas Pada CV Lembu Mada Nusantara Di Samarinda, Hasil penelitian pada Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman, yang diunduh dari http://download.portalgaruda.org.
18
Hadi Subhan, M, Insolvency Test: Melindungi Perusahaan Solven Yang Beritikad Baik dari Penyalahgunaan Kepailitan, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 3, 2014, halaman 16.
19
Halaman 11
membayar20. Apabila merujuk pada Pasal 178 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, keadaan insolvensi demi hukum terjadi jika dalam rapat pencocokan piutang tidak
ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak
diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kondisi tidak mampu membayar tersebut dalam penjelasan Pasal 57 ayat
(1) UU No. 37 Tahun 2004 tidak hanya berlaku untuk debitur yang memang tidak
mampu karena memiliki solvabilitas yang buruk, namun juga berlaku untuk
debitur yang sebenarnya mampu (solvent) tetapi tidak mau membayar
utang-utangnya (the presumption of insolvency).
Dengan kata lain, UU No.37 Tahun 2004 dapat digunakan sebagai “alat
pemaksa” oleh kreditur terhadap debitur yang masih solvent namun tidak mau
membayar utangnya. Sehubungan dengan hal tersebut, bagi debitur yang masih
solvent tetapi tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar
utang-utangnya seharusnya tidak dinyatakan pailit tetapi ditempatkan dalam kondisi
PKPU sehingga dapat dilakukan restrukturisasi utang.
Likuiditas adalah kemampuan untuk memenuhi kewajiban keuangan yang
harus segera diselesaikan, atau kemampuan yang membayar utang jangka
pendek pada saat jatuh tempo dan dapat ditagih. Secara ukuran, likuiditas adalah
rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
keuangan jangka pendek21. UU No. 37 Tahun 2004 tidak menyinggung sedikit pun mengenai rasio likuiditas suatu perusahaan atau debitur, karena UU No. 37
Tahun 2004 menggunakan prinsip persangkaan insolvensi (the presumption of
insolvency).
20
Vide Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004.
21
Halaman 12 V. Metode dan Konsep Restrukturisasi Utang
Di atas telah dibahas bahwa selama masa PKPU, debitur diberi kesempatan untuk melakukan restrukturisasi dan memperbaiki posisi keuangan sehingga dapat membayar seluruh utang-utangnya. Dalam hal ini UU No. 37 Tahun 2004 memberikan waktu yang terbatas namun wajar bagi debitur untuk
dapat mengajukan rencana restrukturisasi kepada kreditur, namun demikian UU
No. 37 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai metode dan pola restrukturisasi
yang dapat dilakukan oleh debitur pada masa PKPU.
Secara sederhana, restrukturisasi utang adalah upaya debitur untuk menata kembali struktur utangnya dalam rangka pemenuhan kewajiban
keuangannya. Dilihat dari posisi keuangan, restrukturisasi merupakan proses untuk merestruktur utang bermasalah dengan tujuan untuk memperbaiki posisi keuangan debitur22.
Metode dan cara restrukturisasi yang lazim digunakan di dunia usaha
adalah23:
1. Rescheduling adalah metode untuk memperpanjang jangka waktu pengembalian utang atau penjadwalan kembali terhadap utang debitur. Rescheduling dilakukan dengan cara mengubah jangka waktu pelunasan yang diatur dalam perjanjian utang-piutang.
2. Hair cut, adalah pemberian potongan atau pengurangan atas pembayaran bunga dan atau utang. Metode ini dilakukan untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar jika debitur tidak dapat membayar utangnya.
3. Debt to asset swap merupakan pengalihan aset milik debitur dengan tujuan untuk dikuasai oleh kreditur. Penguasaan atas aset ini bersifat
22
Tjiptono Darmaji, Restrukturisasi: Memulihkan dan Mengakselerasi Ekonomi Nasional, Grasindo, Jakarta, 2001, halaman 69.
23
Halaman 13
sementara waktu, yaitu sampai nanti betul-betul terjual dan dapat dipakai
untuk melunasi hutang debitur.
4. Debt to equity swap dilakukan dengan cara mengubah utang menjadi penyertaan, hal ini dapat dilakukan apabila kreditur melihat debitur (perusahaan) memiliki nilai dan prospek bisnis yang baik.
Restrukturisasi dalam praktek perbankan terhadap bank umum telah diatur oleh Bank Indonesia, yaitu dalam rangka mengelola risiko kredit dengan menjaga kualitas aset dan tetap melakukan penyisihan penghapusan aset, yaitu dilakukan antara lain melalui24:
1. penurunan suku bunga kredit; 2. perpanjangan jangka waktu kredit; 3. pengurangan tunggakan bunga kredit;
4. pengurangan tunggakan pokok kredit; 5. penambahan fasilitas kredit; dan/atau
6. konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian
Kualitas Aset Bank Umum juga mengatur mengenai kriteria debitur yang bisa dilakukan restrukturisasi, yaitu25:
1. debitur yang mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit;
2. debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi;
Komponen yang dinilai terkait prospek usaha adalah26: 1. potensi pertumbuhan usaha;
2. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;
24
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum, Pasal 1 angka 26.
25
Ibid, Pasal 52.
26
Halaman 14 3. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
4. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
5. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.
Sedikit berbeda dengan bank umum, dalam bidang usaha perbankan
syariah, metode dan pola restrukturisasi pembiayaan telah dituangkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Kepada Semua Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Di Indonesia Nomor 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008, yaitu dilakukan dengan tetap berpedoman pada prinsip syariah, namun secara garis besar adalah sebagai berikut27:
1. rescheduling atau penjadwalan kembali;
2. reconditioning, yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran,
jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan; dan/atau
3. restructuring, yaitu perubahan persyaratan pembiayaan yang tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning, yang antara lain meliputi:
a. penambahan dana fasilitas pembiayaan; b. konversi akad pembiayaan;
c. konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah;
d. konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah.
Analisa terhadap pembiayaan yang akan direstrukturisasi dilakukan berdasarkan:
1. prospek usaha nasabah dan/atau kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas untuk nasabah pembiayaan usaha produktif; atau
2. kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas untuk nasabah pembiayaan non produktif.
27
Halaman 15 Sedangkan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional akibat krisis moneter pada tahun 1998, pemerintah Indonesia melalui Komite Kebijakan Sektor Keuangan menetapkan Kebijakan Restrukturisasi dan Penyelesaian Pinjaman Bagi Debitur di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)28. Kebijakan tersebut berfungsi sebagai pedoman bagi BPPN dalam melakukan restrukturisasi utang perusahaan, terutama bagi upaya penyelesaian pinjaman dana negara oleh debitur yang ditangani BPPN.
Dalam melakukan restrukturisasi, BPPN berpedoman pada asas komersial, yaitu memaksimalkan tingkat pengembalian atas pinjaman yang diberikan. Dari sisi debitur, faktor utama yang dipertimbangkan untuk dilakukan restrukturisasi adalah prospek usaha yang baik, apabila debitur tidak memiliki
prospek usaha yang baik akan ditempuh proses penyelesaian utang.
Terkait dengan hal tersebut di atas, BPPN mengembangkan metode dan pola restrukturisasi yang pada dasarnya sudah lazim di dunia usaha, dapat terdiri
atas satu atau kombinasi atas metode restrukturisasi, yaitu:
1. penjadwalan ulang, baik jumlah pembayaran maupun jangka waktu; 2. perhitungan ulang atas bunga dan denda yang tertunggak;
3. konversi utang menjadi kuasi modal atau modal; 4. pengurangan jumlah utang;
5. penghapusbukuan.
Proses restrukturisasi terhadap debitur diterapkan dengan terlebih dahulu melakukan uji tuntas (due diligence) yang mencakup aspek keuangan, aspek komersial dan aspek hukum. Untuk memenuhi aspek kehati-hatian, dalam penerapan pola restrukturisasi dengan cara konversi utang menjadi kuasi modal atau modal, pengurangan jumlah utang dan penghapusan utang, BPPN
28
Halaman 16 melibatkan penilai independen untuk melakukan penilaian terlebih dahulu atas aset maupun perusahaan debitur29.
Secara umum, sistematika proses restrukturisasi yang diterapkan oleh BPPN terhadap debitur kooperatif yang masih memiliki prospek usaha yang baik adalah sebagai berikut30:
1. Berdasarkan hasil uji tuntas dan penilaian, BPPN dapat mengetahui dan memperkirakan hal-hal:
a. tingkat arus kas yang tersedia untuk membayar utang;
b. aset yang tidak mempunyai peran penting dalam mendukung operasional debitur;
c. nilai aset perusahaan (debitur) dan nilai perusahaan itu sendiri harus
digunakan untuk mengurangi jumlah utang.
2. Dari hasil uji tuntas, BPPN dapat mengembangkan pola restrukturiasi dengan menggunakan prinsip-prinsip:
a. Menentukan tingkat utang yang dapat ditanggung oleh debitur
berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan arus kas;
b. Aset yang tidak mempunyai peran penting dalam mendukung operasional debitur harus digunakan untuk mengurangi jumlah utang. 3. Bila masih terdapat sisa utang, BPPN menggunakan prinsip-prinsip
tambahan, yaitu:
a. Pemegang saham diberi kesempatan untuk menambah modal;
b. Mengoptimalkan aset yang dapat dikontribusikan oleh pemberi jaminan;
c. Mengonversikan jumlah utang tersisa menjadi kuasi modal atau modal setelah mempertimbangkan exit strategy yang baik.
29
Ibid. Dalam kondisi khusus, yaitu apabila utang yang direstrukturisasi berjumlah sangat besar, merupakan proyek strategis serta mempunyai dampak yang signifikan bagi kepentingan nasional, maka proses restrukturisasi yang dilakukan oleh BPPN harus mengutamakan penyelamatan agar debitur masih dapat beroperasi dengan baik dan menghasilkan cash flow melalui proses restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan, antara lain dengan pengambilalihan manajemen dan pengawasan secara penuh terhadap perusahaan tersebut.
30
Halaman 17 Sebagai upaya terakhir, apabila langkah-langkah tersebut di atas tidak dapat menyelesaikan jumlah utang yang harus dibayar oleh debitur, dapat dilakukan pengurangan jumlah utang tersisa, dengan pengurangan terlebih dahulu terhadap bunga dan denda, dan bila perlu terhadap pokok utang.
Per 4 Januari 2002, restrukturisasi terhadap kredit bermasalah yang dialihkan oleh bank-bank kepada BPPN menghasilkan resolusi sebesar Rp 111,62 triliun dari principal sebesar Rp 99,40 triliun31.
Dalam rangka penyehatan perbankan dan atau pengelolaan kekayaan yang berbentuk portofolio kredit, BPPN dapat melakukan penyertaan modal sementara pada bank dalam penyehatan, debitur, dan atau badan hukum lainnya. Penyertaan modal sementara oleh BPPN dapat dilakukan secara
langsung atau melalui konversi tagihan BPPN menjadi penyertaan modal32.
Sedangkan restrukturisasi terhadap bank, dalam hal Bank Umum Milik Negara, pelaksanaan restrukturisasi oleh pemerintah pada pokoknya mencakup
pengurus, keuangan, ruang lingkup usaha, sumber daya manusia, organisasi, dan kantor-kantor yang dilakukan sesuai dengan tujuan, prinsip-prinsip dasar, dan strategi menyeluruh dari Program Rekapitalisasi33.
Lain halnya dengan restrukturisasi terhadap bank yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS menggunakan metode yang berbeda antara bank gagal yang berdampak sistemik dan bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Penanganan (restrukturisasi) bank gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan oleh LPS dengan sekurang-kurangnya menghitung pada perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak
31
A. Deni Daruri dan Djony Edward, Op. Cit., halaman 69.
32
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
33
Halaman 18 menyelamatkan bank gagal dimaksud. Metode yang digunakan adalah metode lower cost test. Bank gagal akan diselamatkan apabila perkiraan biaya penyelamatan paling tinggi sebesar 60% dari perkiraan biaya tidak menyelamatkan34.
Yang menarik adalah, dalam hal akan dilakukannya penyelamatan atau restrukturisasi oleh LPS, selain lower cost test, LPS tidak akan mempertimbangkan apakah bank gagal dimaksud masih memiliki prospek usaha yang baik, melainkan apabila setelah diselamatkan, apakah bank gagal dimaksud menunjukkan prospek usaha yang baik35.
Dibidang pasar modal, apabila debitur adalah perusahaan publik, salah satu pola restrukturisasi utang yang lazim dilakukan adalah dengan
menggunakan penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (Penambahan Modal tanpa HMETD)36. Restrukturisasi ini pada dasarnya adalah debt to equity swap atau konversi utang menjadi saham. Alasan utama dilakukan restrukturisasi dengan penambahan modal tanpa HMETD di antaranya adalah:
1. mempertahankan kelangsungan usaha;
2. memperbaiki struktur permodalan dengan meningkatkan ekuitas yang akan meningkatkan solvabilitas;
3. memperluas kesempatan memperoleh pinjaman, dikarenakan ekuitas positif dan solvabilitas yang baik.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Pasal 24 ayat (1) huruf b.
36
Halaman 19 Krisis keuangan pada tahun 1998 memberikan banyak pengalaman dan pelajaran, tidak hanya terutama bagi pemerintah, akademisi dan praktisi, namun juga bagi dunia perbankan dan para pelaku bisnis. Dampak yang menyakitkan bagi pelaku usaha adalah beban masalah keuangan sehingga mereka tidak bisa membayar kewajiban keuangannya.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas dan berdasarkan pengalaman yang terjadi pada krisis keuangan di tahun 1998, dunia usaha mendapatkan berbagai metode dan pola upaya restrukturisasi terhadap debitur yang sudah teruji pada masa krisis 1998, yaitu antara lain:
1. rescheduling atau penjadwalan kembali;
2. reconditioning atau melakukan pengaturan persyaratan kembali;
3. haircut atau pemotongan utang;
4. melakukan perubahan tingkat suku bunga;
5. pengurangan jumlah bunga, denda dan/atau pokok utang;
6. melakukan konversi utang menjadi surat utang sehingga mudah dialihkan;
7. debt to equity swap; 8. debt to asset swap; 9. memberikan utang baru;
10. melakukan merger dan konsolidasi;
11. pengalihan dan penjualan aset yang tidak produktif atau tidak mendukung kegiatan operasional debitur;
12. pengambilalihan piutang, sehingga terjadi penggantian kedudukan kreditur;
13. pengambilalihan utang, sehingga terjadi penggantian kedudukan debitur; 14. memasukkan modal baru oleh pemegang saham lama.
Halaman 20 berwenang dalam mengajukan permohonan pailit terhadap bank37. Namun demikian, hampir tidak mungkin bagi OJK untuk mengajukan permohonan pailit terhadap suatu bank, mengingat rezim undang-undang terkait perbankan, OJK dan LPS saat ini lebih memilih likuidasi atau penyelamatan bagi suatu bank gagal, sehingga apabila terjadi penyelamatan, yang dilakukan adalah restrukturisasi terhadap bank gagal.
Salah satu konsep yang tengah dikaji dan dikembangkan antara lain adalah Purchase and Assumption atau P&A, yaitu pola restrukturisasi atau resolusi dengan cara melakukan pengalihan operasinal suatu bank gagal kepada bank yang sehat. Segala bentuk simpanan/dana pihak ketiga dan aset bagus dialihkan ke bank sehat dimaksud, sedangkan aset bermasalah ditangani oleh otoritas khusus38.
VI. Faktor-faktor yang mempengaruhi Restrukturisasi
Walaupun terdapat banyak metode dan pola restrukturisasi terhadap debitur, upaya restrukturisasi dapat saja berakhir dengan kegagalan, terutama
apabila terjadi hal-hal sebagai berikut39:
1. direksi perseroan tidak melakukan salah satu kewajiban atau melanggar larangan yang ditentukan dalam Rencana Restrukturisasi dan Perjanjian Restrukturisasi;
2. pada akhir tahapan atau jadwal yang telah ditentukan, perseroan tidak berhasil mencapai sasaran yang ditentukan untuk tahapan atau jadwal tersebut sebagaimana diatur dalam Rencana Restrukturisasi, sedangkan
37
Satu-satunya bank yang pernah diajukan permohonan pailit adalah PT Bank Global International, Tbk (Dalam Likuidasi), namun permohonan pailit tersebut tidak berhasil hingga Mahkamah Agung, baca: Putusan Mahkamah Agung Nomor 029K/N/2006 Tahun 2006, Lina Sugiharto Otto vs. PT Bank Global Internasional Tbk.
38
Claire L. McGuire, Simple Tools to Assist in the Resolution of Troubled Banks, The World Bank, halaman 7.
39
Halaman 21 Komite Kreditur tidak dapat menerima alasan direksi perseroan mengenai terjadinya ketidakberhasilan tersebut;
3. direksi perseroan tidak membuat dan menyampaikan laporan implementasi restrukturisasi;
4. selama implementasi restrukturisasi, aktiva debitur telah mengalami penurunan nilai sampai melebihi 25% dari nilai semula dan Komite Kreditur berpendapat bahwa penurunan nilai itu merugikan kepentingan kreditur; 5. selama pelaksanaan restrukturisasi, perseroan mengalami kerugian yang
besarnya menggerus modal perseroan hingga berkurang 50% dan Komite Kreditur berpendapat bahwa jumlah tersebut merugikan para kreditur; 6. direksi perseroan selama dilakukannya restrukturisasi bertindak dengan
itikad buruk dalam melakukan kegiatan usahanya atau dalam melakukan pengurusan aktivanya;
7. direksi perseroan dengan sengaja mencoba merugikan seorang atau lebih krediturnya.
Pada prakteknya, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
jalannya restrukturisasi terhadap debitur sehingga restrukturisasi menemui banyak kendala dan dapat berakhir tidak sesuai harapan:
Faktor
Internal Debitur Eksternal Debitur
Kemampuan manajerial dari direksi perseroan lemah
Keadaan ekonomi dan dunia bisnis yang tidak mendukung sehingga mempengaruhi prospek usaha perseroan (debitur) dan mempengaruhi cash flow debitur.
Direksi perseroan tidak konsisten Toleransi dan empati yang rendah dari kreditur
Direksi perseroan tidak terbuka Waktu yang diberikan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi tidak cukup Terjadi conflict of interest antara
kepentingan perseroan dan kepentingan direksi
Daya serap pasar terhadap penjualan aset debitur rendah
Dalam hal PKPU, direksi dan pengurus yang ditunjuk pengadilan tidak dapat bekerja sama
Dalam hal PKPU, fungsi pengawasan dan fungsi intermediasi yang lemah dari hakim pengawas
Keterbatasan dana tunai yang dimiliki untuk mendukung proses restrukturisasi
Kurangnya dukungan dari institusi
keuangan untuk dapat memberikan
talangan atau pembiayaan Tidak didukung oleh pemegang saham
perseroan
Dalam hal debitur adalah perusahaan publik, menurunnya kepercayaan publik
Halaman 22
mempengaruhi harga saham debitur di bursa saham
Terjadi resistensi dari karyawan, terutama jika terjadi PHK karyawan
Tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendukung proses restrukturisasi Rendahnya nilai mayoritas aset yang
dimiliki debitur
Belum tersedianya suatu institusi dari pemerintah yang secara khusus dapat membantu atau menangani restrukturisasi debitur dalam PKPU
VII. Penutup, kesimpulan dan rekomendasi
Sebagai penutup, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
1. Pada perjalanannya, dengan belajar dari berbagai pengalaman, terutama pengalaman pada krisis ekonomi tahun 1998, undang-undang yang mengatur mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang telah berkembang sesuai kebutuhan zaman. Apabila terjadi kesulitan keuangan sehingga mengganggu hubungan antara kreditur dan debitur, kepailitan bukanlah satu-satunya solusi.
2. Konsep yang ideal bagi hukum kepailitan adalah adanya asas kelangsungan usaha yang seharusnya diartikan juga sebagai penyelamatan usaha guna menghindari likuidasi. Oleh karenanya, patut dipertimbangkan juga penggunaan asas solvabilitas terkait hukum kepailitan dan PKPU.
Halaman 23 4. Asas kelangsungan usaha merupakan fondasi yang penting dalam PKPU, terutama untuk mempertahankan keberadaan dan kegiatan usaha debitur agar tetap menghasilkan dalam bagian roda ekonomi. Asas kelangsungan usaha dalam PKPU merupakan bentuk kepedulian, empati dan toleransi dari kreditur terhadap debitur. Asas kelangsungan usaha akan membawa dampak positif bagi nilai ekonomi, tidak hanya bagi perusahaan debitur dan kreditur itu sendiri, namun juga bagi dunia usaha di mana dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap iklim bisnis di Indonesia.
5. Untuk menyelesaikan PKPU, terkait dengan kebutuhan ekonomi dan dengan mengutamakan faktor kelangsungan usaha, kreditur dan debitur membutuhkan metode, pola dan konsep restrukturisasi yang:
a. efektif dan efisien;
b. dapat menyelesaikan utang/kewajiban debitur;
c. dapat melepaskan debitur dari kepailitan atau likuidasi; dan d. dapat melindungi serta memberikan kepastian bagi kreditur.
6. Dengan asas kelangsungan usaha sebagai landasan, diperlukan suatu parameter dan pedoman yang jelas mengenai prospek usaha yang baik bagi debitur. Diharapkan dalam PKPU, restrukturisasi tidak hanya mempertimbangkan prospek usaha yang baik, tetapi dengan restrukturisasi akan meningkatkan prospek dan kinerja usaha debitur menjadi lebih baik.
Halaman 24 8. Bagi debitur yang menjalani proses restrukturisasi dalam masa PKPU, sebaiknya diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mendapatkan alternatif pembiayaan (refinancing), untuk itu diperlukan peran aktif, selain dari manajemen debitur, pengurus, hakim pengawas, kreditur dan juga pemerintah. Perlu dipertimbangkan juga oleh pemerintah dalam menyiapkan institusi keuangan yang mau dan secara khusus memberikan uluran pembiayaan atau metode lain guna mendukung jalannya proses restrukturisasi terhadap debitur dalam PKPU.
9. Di bidang pasar modal, bagi debitur yang merupakan perusahaan publik, patut dipertimbangkan juga peran aktif dari OJK dan Bursa, terutama untuk implementasi asas kelangsungan usaha bagi debitur, melindungi kepentingan investor atau bahkan pemegang saham minoritas di bursa.
Halaman 25
Daftar Pustaka
Buku:
Ary Suta, I Putu Gede dan Soebowo Musa. 2003. Membedah Krisis Perbankan.
Jakarta: Yayasan Satria Bhakti,.
Budiono, Herlien. 2006. Asas Keseimbangan dalam Hukum Perjanjian Indonesia.
Bandung: Citra Aditya.
Darmaji, Tjiptono. 2001. Restrukturisasi:Memulihkan dan Mengakselerasi
Ekonomi Nasional. Jakarta : Grasindo.
Daruri, A Deni dan Djony Edward. 2004. BPPN Garbage in Garbage out. Jakarta:
Centre For Banking Crisis.
Djiwandono, J Soedrajat. 2001. Bergulat Dengan Krisis & Pemulihan Ekonomi
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Fuady, Munir. 2005. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik, Edisi Revisi
(Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004). Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Fuady, Munir. 1999. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktik. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
____________. 2002. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo. 1998. Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk
Indonesia. Bandung: Citra Aditya.
Gunadi. 2001. Restrukturisasi Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk dan
Halaman 26
Lembaga Penjamin Simpanan. 2011.5 Tahun LPS Menjamin Simpanan Nasabah
dan Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan.
McGuire, Claire L. Simple Tools to Assist in The Resolution of Troubled Banks.
The World Bank.
Meliala, Djaja S. 1987. Masalah Itikad Baik Dalam KUHPerdata. Bandung: PT
Binacipta.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Munawir. 2007. Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberty.
_________________________________. 2003. Perikatan Pada Umumnya,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Projodikoro, Wiryono. 2000. Aspek Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju,
cet. VIII.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum, Bandung: Alumni.
Sariningsih, Dwi. et all. Analisis Kinerja Keuangan ditinjau Dari Rasio Likuiditas,
Solvabilitas dan Rasio Profitablitas. Fakultas Ekonomi Universitas
Mulawarman. (diunduh dari https://download.portalgaruda.org)
Satrio, J. 1997. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan
Buku 1, Bandung: Citra Aditya Bakti.
________. 1999. Hukum Perikatan dan Perikatan Pada Umumnya, Bandung:
Halaman 27
Sjahdeini, Sutan Remy. 2010. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, cet. 4.
Sugiyarso, G. Dan F. Winarwi. 2005. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Sutrisno. 2009. Manajemen Keuangan, Teori, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta:
Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi, edisi Pertama.
Watt, Robert. 1995. Concise Legal Research. Sidney: The Federation Press.
Weng, Lee A. 2001. Tinjauan Pasal Demi Pasal FV (Faillissements-Verordening)
S.1905 No. R271 jo S. 1906 No. 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan
Undang-Undang No.4 tahun 1998. Medan.
Widjaja, Gunawan. 2009. Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, Jakarta:
Forum Sahabat.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 1999. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan.
Jakarta: Rajawali Press.
Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian
Abdullah. 2012. Penafsiran Hakim Tentang Perbedaan Antara Perkara
Wanprestasi Dengan Penipuan. Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum
dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2000. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang
Restrukturisasi Utang pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Halaman 28
Hadiwidjojo, Kukuh K. 2012. Rescue of a Failing Bank : Restructuring and Shares
Disposal Under Law No.24 Year 2004. (diunduh dari
https://ui.academia.edu/KukuhHadiwidjojo).
Iriantoro, Catur. 2014. Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam
Penyelesaian Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum dan
Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI.
Prabowo, Reza dan Wibowo. 2015. Analisis Perbandingan Model Altman
Z-Score, Zmijewski, dan Springate dalam Memprediksi Kebangkrutan
Perusahaan Delisting di BEI Periode 2008 – 2013. Jurnal Akuntansi,
Keuangan dan Perbankan, Account Vol. 1 No. 3 Juni 2015.
Rumadan, Ismail, Johanes Brata Wijaya dan Auto. 2013. Interpretasi Tentang
Makna “Utang Jatuh Tempo” Dalam Perkara Kepailitan (Kajian Terhadap
Putusan Mahkamah Agung 2009 – 2013). Laporan Penelitian, Puslitbang
Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI.
Sitanggang, Andrew. PKPU Pada Perusahaan Publik dan Dampaknya Bagi
Investor. Paper pada Seminar HKHPM 26 Oktober 2015.
Sudewi, Ifa. 2014. Penerapan Asas Solvabilitas Dalam Penyelesaian Perkara
Kepailitan, Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI.
Sjahdeini, Sutan Remy. Asas Kebebasan Berkontrak Dan Kedudukan Yang
Seimbang Dari Kreditur dan Debitur. Makalah. Surabaya: 25-27 April
2000.
Subhan, M. Hadi. 2014. Insolvency Test: Melindungi Perusahaan Solven Yang
Beritikad Baik dari Penyalahgunaan Kepailitan. Jurnal Hukum Bisnis, vol.
Halaman 29 Undang-Undang, Peraturan, Keputusan Bersama dan Surat Edaran:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/POJK.04/2014 tentang
Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Tanpa Memberikan Hak
Memesan Efek Terlebih Dahulu.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset
Bank Umum.
Peraturan X.K.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-86/PM/1996
tanggal 24 Januari 1996 tentang Keterbukaan Informasi Yang Harus
Halaman 30
Peraturan IX.E.2 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-614/BL/2011
tanggal 28 November 2011 tentang Transaksi Material Dan Perubahan
Kegiatan Usaha Utama.
Keputusan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (EKUIN)
Selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan No.
KEP.01.A/M.EKUIN/01/2000 tanggal 20 Januari 2000 tentang Kebijakan
Restrukturisasi Dan Penyelesaian Pinjaman Bagi Debitur di Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank
Indonesia Nomor 389/KMK.017/1999 dan No.1/10/KEP/GBI tentang
Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum Milik Negara.
Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor: Kep-00001/BEI/01-2014
tanggal 30 Januari 2014 perihal Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang
Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang
Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat.
Surat Edaran Bank Indonesia Kepada Semua Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah Di Indonesia Nomor 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober
2008.
Surat Kabar:
Arus Dana Keluar Tidak Terbendung, Harian Kontan, Kamis, 20 Agustus 2015.
Pemerintah Tetap Yakin Ekonomi Tumbuh 5,2%, Harian Kontan, Kamis 2 Juli
2015.
Halaman 31 Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 029K/N/2006, Lina Sugiharto Otto vs. PT
Bank Global Indonesia, Tbk.
Kamus: