TINJAUAN PUSTAKA
Biomassa dan Perubahan Iklim
Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme
(tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam
ukuran berat seperti berat kering dalam satuan gram atau dalam kalori. Oleh
karena kandungan air yang berbeda di setiap tumbuhan maka biomassa diukur
berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gr per m2 atau ton per ha
(Brown, 1997). Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90 % biomassa
yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar, sampah
hutan (serasah), hewan dan jasad renik (Arief, 2005). Biomassa ini merupakan
tempat penyimpanan karbon dan disebut rosot karbon (carbon sink). Namun,
pencemaran lingkungan, pembakaran hutan dan penghancuran lahan-lahan hutan
yang luas di berbagai benua di bumi, telah mengganggu proses penyimpanan
karbon tersebut. Akibat dari itu, karbon yang tersimpan dalam biomassa hutan
terlepas ke dalam atmosfer dan kemampuan bumi untuk menyerap CO2 dari udara
melalui fotosintesis hutan berkurang. Selain akibat tersebut, intensitas Efek
Rumah Kaca (ERK) akan ikut naik dan meyebabkan naiknya suhu permukaan
bumi. Hal inilah yang memicu tuduhan bahwa kerusakan hutan tropik telah
menyebabkan pemanasan global (Soemarwoto, 2001).
Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena
terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan
tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau
mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem
(Hairiah dan Rahayu, 2007)
Upaya Penanggulangan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim
yang terjadi saat ini adalah dengan cara meningkatkan penyerapan karbon
(Sedjo dan Salomon, 1988 dalam Rahayu et al. (2006) dan menurunkan emisi
karbon (Lasco, 2004 dalam Rahayu et al. (2006). Penurunan emisi karbon dapat
dilakukan dengan mempertahankan cadangan karbon yang telah ada (mengelola
hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang
baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan
bahan organik tanah), meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman
tanaman berkayu dan mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat
diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomassa, aliran air),
radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi.
Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan
meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami, menambah cadangan
kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan
kayu dan mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh
(Sedjo dan Salomon, 1988 dalam Rahayu et al. (2006). Karbon yang diserap oleh
tanaman disimpan dalam bentuk biomassa kayu, sehingga cara yang paling mudah
untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara
Peranan Hutan
Pohon memegang peranan yang sangat penting dalam komunitas hutan
dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan, baik dalam mencegah erosi, dan
menjaga stabilitas iklim global. Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam
arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam
tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintasis, CO2 di udara
diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke
seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun,
batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman
hidup dinamakan proses sekuestrasi (Csequestration). Dengan demikian
mengukur jumlah karbon (C) yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup
(biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfir
yang diserap oleh tanaman. Jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda,
tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya
serta cara pengelolaannya. Penyimpanan C pada suatu lahan menjadi lebih besar
bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C tersimpan di
atas tanah (biomasa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan di
dalam tanah (bahan organik tanah, BOT) (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Peranan hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat
bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan
peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab
terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas
kesetimbangan radiasi berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas
(Adinugroho et al. 2010).
Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon-pohon
yang sedang berada pada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2,
sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan
stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra (Kyrklund, 1990).
Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang disimpan akan
semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi
pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu
menyerap kelebihan CO2 di atmosfer.
Cadangan Karbon
Cadangan karbon adalah kandungan karbon yang tersimpan baik itu pada
permukaan tanah sebagai biomasa tanaman, sisa tanaman yang sudah mati
(nekromassa) maupun dalam tanah sebagai bahan organik tanah. Perubahan wujud
karbon ini kemudian menjadi dasar untuk menghitung emisi, dimana sebagian
besar unsur karbon (C) yang terurai ke udara biasanya terkait dengan O2 (oksigen)
dan menjadi CO2 (karbondioksida). Menurut Hairiah dan Rahayu (2007)
konsentrasi karbon (C) dalam bahan organik biasanya sekitar 46 %, oleh karena
itu estimasi jumlah C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan
total berat massanya dengan konsentrasi C. Palm et al (1999) mengemukakan
bahwa pohon hutan menyimpan 50-80% karbon namun akumulasinya dipengaruhi
oleh jenis, tanah, iklim dan manajemen. Biomassa di atas tanah adalah jumlah
fungsi sistem produktivitas, umur, tegakan dan alokasi bahan organik serta
strategi pemidahan (Citron dan Navelli, 1984). Pendugaan cadangan karbon diatas
permukaan terlebih dahulu diduga jumlah biomassa vegetasi. Pendugaan
biomassa vegetasi ini menggunakan persamaan allometrik : BK=0,11ρ D2.62
(Kettering, 2001 dalam Hairiah 2007)
keterangan :
BK = Biomassa pohon (kg)
D = Diameter setinggi dada (cm)
ρ = Berat jenis kayu
Total cadangan karbon di atas permukaan tanah diperoleh dari biomassa
total dikali 0,46 yaitu nilai rata-rata kandungan karbon dari biomassa vegetasi.
Wibowo (2010) menyebutkan terdapat lima sumber karbon (carbon pools), yaitu
1. Karbon di atas permukaan tanah
a. Biomassa pohon. Karbon pohon merupakan salah satu sumber karbon yang
sangat penting pada ekosistem hutan karena sebagian besar karbon hutan
berasal dari biomassa pohon. Pohon merupakan proporsi terbesar dalam
penyimpanan C di daratan.
b. Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar
yang berdiameter batang <5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau
gulma.
2. Karbon di dalam tanah
Biomassa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam
3. Nekromassa
Merupakan batang pohon mati baik yang masih tegak atau yang telah tumbang
dan tergeletak di permukaan tanah yang merupakan komponen penting dari C.
4. Serasah
Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan
ranting-ranting yang terletak dipermukaan tanah.
5. Bahan organik tanah
Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah,
dimana sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga
melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah.
Sejalan dengan perkembangan isu yang terkait dengan biomassa hutan
maka penelitian atau pengukuran hutan mengharuskan pengukuran biomassa dari
seluruh komponen hutan. Dalam perkembangannya, pengukuran biomassa hutan
mencakup seluruh biomassa hidup yang ada di atas dan di bawah permukaan dari
pepohonan, semak, palem, anakan pohon dan tumbuhan bawah lainnya, dan
ditambah dengan biomassa dari tumbuhan mati seperti kayu dan serasah
(Sutaryo, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2011) di Taman Kota I Bumi
Serpong Damai (BSD) yang bertujuan untuk mengetahui biomassa dan simpanan
karbon, memberikan hasil bahwa nilai karbon tersimpan pada taman kota yang
memiliki 20 jenis pohon, termasuk dalam 13 famili dengan jumlah tegakan
sebanyak 279 induvidu dan luas 2,5 Ha adalah 115,1 Ton/Ha. Nugraha (2011)
diameter tegakan tersebut, dan pada suatu kawasan nilai karbon tersimpan
dipengaruhi oleh jumlah dan kerapatan dari vegetasi penyusunnya.
Setiawan (2007) melakukan penelitian dibeberapa RTH di Bandar
Lampung. Pada RTH hutan kota diperoleh cadangan karbon sebesar
840,62 Ton/Ha pada 34 jenis pohon. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Isdiyantoro (2007) pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kodya Jakarta Timur
(vegetasi taman dan jalur hijau) dengan pengambilan data pada tahun 1986, 1992,
2001, dan 2005 memperoleh cadangan karbon secara berturut turtut
188,975 Ton/Ha, 162,050 Ton/Ha.
Penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih dan Suhesti (2010) di Hutan
Kota Pekanbaru memiliki potensi kandungan karbon pada hutan kota berbentuk
jalur yaitu 56,15 Ton/Ha dan pada hutan kota berbentuk gerombol yaitu
69,47 Ton/Ha. Perbedaan kandungan karbon disebabkan adanya perbedaan
kerapatan, diameter, tinggi, dan faktor lingkungan. Dimana semua faktor ini
berkolerasi positif dengan potensi karbon tegakan per hektar.
Hasil panelitian yang dilakukan oleh Sitorus (2013) dengan tujuan untuk
mengetahui cadangan karbon Above Ground Biomass (AGB) di Taman Olah Raga
dan Rekreasi Gadjah Mada memberikan hasil berturut-turut sebesar
30,38908 Ton/Ha yang memiliki 22 jenis pohon, 19 jenis perdu, 1 jenis bambu
dan 2 jenis rumput dan semak, 104, di Hutan Kota Taman Beringin memberikan
hasil 104,21975 Ton/Ha yang memiliki 39 jenis pohon, 34 jenis perdu, 2 jenis
bambu dan 2 jenis rumput dan semak, di Taman Kota Ahmad Yani diperoleh nilai
karbon tersimpan sebesar 61,48555 Ton/Ha dengan jenis pohon yang terdapat
Penggunaan Metode
Chapman (1976) membagi dua kelompok metode pendugaan biomassa di
atas tanah, yaitu:
(1) Metode pemanenan, yang terdiri dari: metode pemanenan individu tanaman,
metode pemanenan kuadrat dan metode pemanenan individu pohon yang
mempunyai luas bidang dasar rata-rata dan
(2) Metode pendugaan tidak langsung, yaitu metode yang terdiri dari metode
alometrik dan metode cropmeter.
Banyak studi menggunakan model allometrik dalam pendugaan biomassa
di atas permukaan tanah (Above Ground Biomass/ AGB) karena pemanenan
pohon bersifat merusak dan membutuhkan biaya yang besar (Rakhmawati, 2012).
Menurut Eong et.al. (1983), biomassa pohon dapat diduga oleh peubah-peubah
bebas seperti Diameter at Breast Height (DBH) yang berhubungan dengan
biomassa total pohon. Menurut Dharmawan et al. (2010), dalam pengukuran
jumlah biomassa di atas permukaan tanah diperlukan pemilihan rumus allometrik
yang tepat. Pengukuran biomassa biasanya terdiri dari informasi mengenai
diameter pohon (DBH), tinggi pohon, dan berat jenis kayu. Dalam beberapa
penelitian diantaranya Baker et al. (2004) telah menunjukkan bahwa perhitungan
dengan mengabaikan berat jenis kayu akan menghasilkan pendugaan biomassa di
atas permukaan tanah yang kurang akurat.
Ruang Terbuka Hijau
Menurut Pasal 1 butir 31 Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang
jalur dan/ atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah, maupun yang sengaja
ditanam. Dalam Ruang Terbuka Hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian
hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman
seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.
Besaran luas RTH yang ideal di suatu kota berdasarkan UU No. 26 tahun
2007 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi proporsi Ruang Terbuka Hijau pada wilayah
kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Proporsi 30
(tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan
ekosistem kota maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat
meningkatkan nilai estetika kota.
Berdasarkan Inmendagri No. 14/1988 dapat disebutkan tujuh Ruang
Terbuka Hijau ditinjau dari segi tujuan, yaitu:
(1) Ruang Terbuka Hijau yang berlokasi pasti karena ada tujuan konservasi.
(2) Ruang Terbuka Hijau untuk keindahan kota.
(3) Ruang Terbuka Hijau karena adanya tujuan tuntutan fungsi kegiatan tertentu,
misalnya untuk lingkungan sekitar pusat kegiatan olah raga yang dibiarkan
hijau.
(4) Ruang Terbuka Hijau untuk pengaturan lalu lintas.
(5) Ruang Terbuka Hijau sebagai sarana olahraga bagi kepentingan lingkungan
perumahan.
(6) Ruang Terbuka Hijau untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun
(7) Ruang Terbuka Hijau untuk halaman bangunan.
Manusia yang tinggal di lingkungan perkotaan membutuhkan suatu
lingkungan yang sehat dan bebas polusi untuk hidup dengan nyaman. Peran RTH
untuk memenuhi kebutuhan ini adalah sebagai penyumbang ruang bernafas yang
segar, keindahan visual, sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah,
mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa, dan sebagai unsur pendidikan
(Simonds, 1983). Karena keterikatannya dengan alam, manusia juga
membutuhkan kehadiran lingkungan hijau di tengah-tengah lingkungan tempat
tinggalnya. Oleh karena itu manfaat RTH di sini menurut
Carpenter, Walker dan Lanphear (1975) adalah sebagai pelembut suasana keras
dari struktur fisik, menolong manusia mengatasi tekanan-tekanan dari kebisingan,
udara panas dan polusi di sekitarnya serta sebagai pembentuk kesatuan ruang.
Salah satu penjabaran fungsi dan manfaat penghijauan pada RTH adalah
sebagai berikut:
1. Estetika, penghijauan melalui penanaman tanaman/pohon sebagai elemen
keindahan kota.
2. Ekologi, penghijauan sebagai penyangga lingkungan kota dalam hal
pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna.
3 Produksi, penghijauan melalui penanaman pohon produktif sebagai upaya
peningkatan budidaya pertanian.
4. Pelayanan umum, penghijauan sebagai upaya memberikan kenyamanan dan
keteduhan bagi masyarakat dalam melakukan kegiatannya atau
berinteraksi atau berekreasi pada areal-areal RTH fasilitas umum seperti
5. Konservasi, kegiatan penghijauan untuk perlindungan terhadap
daerah-daerah hutan lindung, pesisir pantai dan pulau-pulau.
6. Edukasi, Penghijauan untuk menumbuhkan kesadaran berlingkungan dan
membangun berwawasan lingkungan.
Manfaat dari tumbuhan yang merupakan komponen utama Ruang Terbuka
Hijau dalam Simond (1983) adalah:
a. Produsen utama dalam rantai makanan karena tumbuhan melalui proses
fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari bisa merubah CO2 dan air ke
karbohidrat dan O2;
b. Melalui proses transpirasi tumbuhan melakukan menyejukkan udara dengan
dikeluarkannya uap air melalui daun-daun;
c. Menjaga iklim mikro khususnya suhu dan kelembaban udara kawasan
perkotaan;
d. Menjaga peyimpanan air tanah, mengurangi aliran permukaan, dan mencegah
erosi;
e. Menjaga kesuburan tanah dan memperbaiki struktur hara tanah.
Hutan Kota dan Taman Kota
Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan
yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah
perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai
hutan kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian,
keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur
wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat dengan luas
minimal sebesar 0,25 ha. Dalam Bab I Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi hutan
kota adalah memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan
air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan
mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Hutan kota juga dapat
dimanfaatkan untuk keperluan : (a) pariwisata alam, rekreasi dan atau olah raga,
(b) penelitian dan pengembangan, (c) pendidikan, (d) pelestarian plasma nutfah
dan atau (e) budidaya hasil hutan bukan kayu. Keberadaan hutan kota dan taman
kota di kawasan perkotaan memberikan manfaat yang tidak dapat dinilai dengan
materi. Pepohonan yang tumbuh di ruang kota dapat menjadi pelindung kota dari
bahaya polusi udara, tanah dan air.
Menurut Irwan (2007) bentuk hutan kota tergantung kepada bentuk lahan
yang tersedia untuk hutan kota. Bentuk hutan kota dapat dibagi menjadi:
1. Berbentuk bergerombol atau menumpuk adalah hutan kota dengan komunitas
tumbuhannya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah
tumbuh-tumbuhannya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan.
2. Berbentuk menyebar yaitu hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu,
dengan komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh menyebar terpencar-pencar
dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.
3. Berbentuk jalur yaitu komunitas tumbuh-tumbuhannya tumbuh pada lahan
yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan,
Struktur hutan kota diklasifikasikan menjadi :
a. Berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota hanya terdiri dari
pepohonan dan rumput atau penutup tanah lainnya.
b. Berstrata banyak, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri
dari pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi
banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanan rapat tidak beraturan dengan
strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan
alam.
Dalam memilih jenis tanaman untuk pembangunan hutan kota,
direkomendasikan dipilih jenis tanaman pohon hutan, serta disesuaikan dengan
bentuk dan tipe penghijauan kota. Secara umum, faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam memilih pohon untuk penghijauan kota antara lain :
a. Mempunyai perakaran yang dalam, kuat, tidak mudah tumbang dan tidak
mudah menggugurkan ranting dan daun.
b. Mampu tumbuh di tempat terbuka di berbagai jenis tanah.
c. Pertumbuhannya cepat dan tahan terhadap gangguan fisik.
d. Tidak memerlukan perawatan yang intensif.
e. Berumur panjang.
f. Tahan terhadap kekurangan air.
g. Pohon-pohon langka dan unggulan setempat.
h. Pohon-pohon penghasil bunga/buah/biji yang bernilai ekonomis.
i. Pohon-pohon yang teduh, indah, penghasil buah yang disenangi burung,
j. Pohon-pohon yang mempunyai evapotranspirasi rendah untuk daerah yang
bermasalah dengan menipisnya air tanah dan intrusi air laut.
k. Pohon-pohon yang dapat berfungsi mengurangi abrasi untuk daerah pantai.
Berikut merupakan daftar tanaman yang mempunyai daya serap
karbondioksida yang tinggi berdasarkan hasil riset Endes N. Dahlan : Trembesi
(Samanea saman) 28.488,39 kg/tahun, Cassia (Cassia sp.) 5.295,47 kg/tahun,
Kenanga (Cananga odorata) 756,59 kg/tahun, Pingku (Dyxoxylum excelsum)
720,49 kg/tahun, Beringin (Ficus benyamina) 535,90 kg/tahun, Kiara payung
(Felicium decipiens) 404,83 kg/tahun, Matoa (Pometia pinnata) 329,76 kg/tahun,
Mahoni (Swetiana mahagoni) 295,73 kg/tahun, Saga (Adenanthera pavoniana)
221,18 kg/tahun, Bungur (Lagerstroemia speciosa) 160,14 kg/tahun, Jati
(Tectona grandis) 135,27 kg/tahun, Nangka (Arthocarpus heterophyllus)
126,51 kg/tahun, Johar (Cassia grandis) 116,25 kg/tahun, Sirsak
(Annona muricata) 75,29 kg/tahun, Puspa (Schima wallichii) 63,31 kg/tahun,
Akasia (Acacia auriculiformis) 48,68 kg/tahun, Flamboyan (Delonix regia)
42,20 kg/tahun, Maniilkara kauki) 36,19 kg/tahun, Tanjung
(Mimusops elengi) 34,29 kg/tahun, Bunga merak (Caesalpinia pulcherrima)
30,95 kg/tahun, Sempur (Dilenia retusa) 24,24 kg/tahun, Khaya
(Khaya anthotheca) 21,90 kg/tahun, Merbau pantai (Intsia bijuga) 19,25 kg/tahun,
Akasia (Acacia mangium) 15,19 kg/tahun, Angsana (Ptherocarphus indicus)
11,12 kg/tahun, Asam kranji (Pithecelobium dulce) 8,48 kg/tahun, Saputangan
(Maniltoa grandiflora) 8,26 kg/tahun, Dadap merah (Erythrina cristagalli)
4,55 kg/tahun, Rambutan (Nephelium lappaceum) 2,19 kg/tahun, Asam
Berdasarkan Permendagri no. 1 tahun 2007, Taman kota merupakan ruang
di dalam kota yang ditata untuk menciptakan keindahan, kenyamanan, keamanan,
dan kesehatan bagi penggunanya. Selain itu, taman kota di fungsikan sebagai
paru-paru kota, pengendali iklim mikro, konservasi tanah dan air, dan habitat
berbagai flora dan fauna. Sebagai ruang terbuka, taman kota dipahami sebagai
ruang yang berisi unsur-unsur alam dan pemandangan yang ditimbulkan oleh
keragaman vegetasi, aktivitas dan unsur-unsur yang disediakan sebagai fasilitas
sosial dan rekreasi, serta sebagai sumber pernafasan kota (Oktorina, 2004).
Menurut Menteri Pekerjaan Umum No.5 tahun 2008 tentang Pedoman
penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan perkotaan, luas minimal taman
adalah 144.000 m2. Pepohonan yang ada dalam taman kota dapat memberikan
manfaat keindahan, penangkal angin, dan penyaring cahaya matahari. Taman kota
berperan sebagai sarana pengembangan budaya kota, pendidikan, dan pusat
kegiatan kemasyarakatan. Menurut Karyono (2005), Taman kota harus nyaman
secara spasial atau keruangan, dimana warga kota dapat menggunakannya untuk