BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Padi
Padi merupakan bahan makanan pokok yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Meskipun sebagai bahan makanan pokok padi dapat digantikan/ sisubstitusikan oleh bahan makanan lainnya, namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh bahan makanan lainnya (AAK, 2011).
Tanamanpadimerupakantanamansemusim,termasukgolonganrumput-rumputandenganklasifikasisebagaiberikut:
Kingdom : Plantae Divisio : Spermatphyta Sub-Divisio : Angiospermae Class : Monocotyledoneae Ordo : Gramineae
Family : Gramineae Sub-Family : Orysidae Genus : Oryza
Spesies : Oryza Sativa L.
padi kering yang tumbuh di lahan kering dan padi sawah yang memerlukan air menggenang untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Padi ini termasuk genus Oryza sativa L. Padi tipe ke dua dan kurang lebih ada 25 spesies, tersebar di
daerah tropik dan subtropik seperti Asia, Afrika, Amerika, dan Australia.
Tanaman padi merupakan tanaman yang tumbuh baik di daerah tropis maupun sub tropis. Untuk padi sawah, ketersediaan air yang mampu menggernangi lahan sawah harus memiliki kemampuan menahan air yang tinggi, seperti tanah lempung, untuk memenuhi kebutuhan air tersebut diperlukan sumber mata air yang besar kemudian di tampung dalam bentuk waduk (danau). Dari waduk inilah sewakti-waktu air dapat dialirkan selama periode pertumbuhan padi sawah (Suparyono dan Setyono 1997).
2.1.2 Pengertian Dampak
Pengertian dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaruh
yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif. Pengaruh adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang,benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Pengaruh adalah suatu keadaan dimana
ada hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara apa yang mempengaruhi dengan apa yang dipengaruhi (KBBI Online, 2010).
2.1.3 Pengertian Panen Raya
Panen raya adalah panen yang menghasilkan produksi dalam jumlah besar dan terjadi dibanyak wilayah. Panen tersebut dapat menutupi kerugian petani di dua
ketikacurah hujan, pergerakan matahari dan bulan membuat kondisi iklim dan
tanah sangat baik (Republika Online, 2015)
Salah satu masalah klasik yang sering dialami petani padi adalah anjloknya harga
jual gabah/beras pada saat panen raya, dan meningkatnya harga pada saat diluar panen. Kondisi tersebut menyebabkan petani menjadi rugi dan usahatani padi tidak menguntungkan. Selain itu, kenaikan harga beras dapat menimbulkan
gejolak sosial mengingat beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berupaya membuat regulasi/kebijakan perberasan
agar gabah/beras petani dibeli dengan harga tertentu yang bisa memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Selain itu beras dijual ke masyarakat konsumen diatur dengan harga tertentu sehingga masyarakat mampu mengakses
dalam batas wajar. Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) procurement price policy (BKP Pertanian online, 2012).
Salah satu upaya pemerintah dalam hal ini adalah adanya Perum Bulog. Penugasan Pemerintah kepada Perum Bulog dinyatakan dalam Instruksi Presiden (Inpres) tentang Kebijakan Perberasan Nasional. Bulog melaksanakan tugas
Pemerintah antara lain: (i) melakukan pembelian gabah/beras untuk kepentingan Pemerintah dengan mematuhi persyaratan kualitas gabah kering panen, gabah
kering giling, dan persyaratan kualitas beras, (ii) melakukan pembelian gabah/beras dengan mematuhi ketentuan harga pembelian yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, (iii) mengutamakan pembelian gabah/beras dari petani dalam
darurat dan bencana. Secara eksplisit, Inpres tersebut menyebutkan istilah “beras
bersubsidi” yang harus disalurkan oleh Bulog sebagai penugasan Pemerintah (BKF, 2013).
2.1.4 Pengertian Nilai Tukar Petani
Salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP).
Nilai tukar petani adalah rasio indeks yang diterima petani (It) dengan indeks yang
dibayar petani (Ib). Indeks harga yang diterima petani (It) adalah indeks harga
yang menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani (Ib) adalah indeks harga yang
menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertanian. Nilai Tukar Petani diatas 100 berarti indeks yang diterima
petani lebih tinggi dari yang dibayar petani, sehingga dapat dikatakan petani lebih sejahtera dibandingkan jika NTP di bawah 100 (Romadhon, 2013)
Secara umum ada tiga macam pengertian NTP menurut BPS yaitu :
1) NTP >100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksinya naik lebih besar
dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari
pengeluarannya, dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik
dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya.
2) NTP = 100, berarti petani mengalami impas/break even. Kenaikan/penurunan
harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang
konsumsinya. Tingkat kesejahteraaan petani tidak mengalami perubahan.
3) NTP <100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga barang produksinya
Tingkat kesejahteraan petani pada suatu periode mengalami penurunan dibanding
tingkat kesejahteraan petani pada periode sebelumnya. Adapun kegunaan index
nilai tukar petani menurut BPS dalam buku tahunannya (1995) adalah:
a. Dari indeks yang diterima petani (It) dapat dilihat fluktuasi/trend harga dari barang-barang yang dihasilkan kaum petani. Indeks harga ini juga dapat
digunakan sebagai data penunjang dalam penghitungan pendapatan regional di sektor pertanian.
b. Indeks harga yang dibayar petani (Ib) sektor konsumsi rumah tangga dapat
digunakan untuk menilai tingkat inflasi di daerah pedesaan
c. Indeks nilai tukar sendiri mempunyai kegunaan untuk mengukur kemampuan
tukar produk-produk yang dijual petani dengan produk-produk yang dibeli petani untuk membiayai produksinya ataupun kebutuhan rumah tangganya bila dibandingkan dengan kemampuan tukarnya pada tahun dasar. Dengandemikian
Nilai Tukar Petani dapat dipakai sebagai salah satu indikator untuk menilai kesejahteraan petani.
Nilai Tukar Petani mempunyai karakteristik yang cenderung menurun. NTP berkaitan dengan hubungan relatif dalam harga antara komoditas pertanian dan nonpertanian. Fenomena penurunan nilai tukar pertanian dapat dilakukan melalui
konsep nilai tukar barter pertanian terhadap nonpertanian ada tiga penjelasan mengenai terjadinya penurunan NTP yaitu (1) elastisitas pendapatan produk
sementarastruktur pasar produk manufaktor cenderung kurang kompetitif dan
bahkan mengarah ke pasar monopoli (Rachmatdkk, 2000).
Menurut Sunanto (2008), Rendahnya kenaikan nilai tukar tersebut antara lain
disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah mengenai penetapan harga dasar (floor price) atau HPP gabah/beras yang selalu rendah. Memang dalam hal ini pemerintah dihadapkan dilema. Jika harga pembelian pemerintah ditetapkan agak
tinggi maka dikhawatirkan masyarakat yang tergolong ekonomi lemah yang bukan petani mengalami penderitaan, karena kemudian tidak mampu membeli
beras sesuai porsinya. Namun jika harga pembelian pemerintah ditetapkan rendah maka pihak petani yang menderita karena harga jual gabah atau beras yang
2.1.4.1 Bagan Pembentuk NTP Padi
Dari Rachmat (2013) setelah dimodifikasi oleh penulis bagan pembentuk NTP seperti dibawah ini:
Bagan 1. Alur Pembentuk NTP Padi
Dimana:
Ib : Indeks bayar petani. Merupakan penjumlahan harga-harga yang
dibayarkan petani baik untuk kebutuhan produksi maupun untuk kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan
Usahatani Padi
Biaya Produksi
Pengeluaran petani
Hasil Produksi
Penerimaan Petani It
Ib
Konsumsi Rumah tangga
It : indeks terima Petani. Merupakan penjumlahan seluruh harga yang
diterima petani dari hasil produksinya dalam hal ini padi yaitu penerimaan petani.
2.1.5.Pengeluaran Konsumsi Dan Kesejahteraan Petani
Untuk mengetahui pengeluaran rumah tangga petani dapat dikelompokkan dengan pola pengeluaran pangan non pangan rumah tangga selama periode tertentu. Indikator yang digunakan BPS tahun 2008 yaitu pengeluaran pangan terdiri dari
beras, ikan, telur, minyak goreng, gula, kopi, teh, sayuran, dan buah. Dan pengeluaran non pangan yaitu pendidikan, pulsa, listrik, obat-obatan, pakaian,
transportasi, dan rokok (Purba, 2015).
Keputusan Mentri Industri dan Perdagangan NO. 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998, secara umum kebutuhan bahan makanan pokok masyarakat sering
disingkat SEMBAKO (sembilan bahan pokok) yang meliputi Beras dan Sagu, Jagung, Sayur dan Buah, Daging, Susu, Gula Pasir, Garam, Minyak Goreng, dan
Minak Tanah atau Gas Elpiji.
Menurut Sugiarto (2005), struktur pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah perubahan pengeluaran menurut waktu,
perbedaan antar selera, perbedaan pendapatan dan lingkungan. Perilaku pengeluaran rumah tangga yang tersedia harus sesuai dengan tingkat kemampuan
pendapatan yang diperoleh dan bagaimana mendistribusikannya, agar tidak terguncang untuk memenuhi kebutuhan dibawah tingkat kesejahteraan. Pada dasarnya akses kebutuhan rumah tangga terhadap pengeluaran bahan pangan dan
bahan bukan makanan yang dibutuhkan sangat tergantung dari dayabeli, tingkat pendapatan, harga pangan, proses distribusi, kelembagaan tingkat lokal, maupun
Banyak kajian mengemukakan bahwa pangsa pengeluaran pangan dapat dijadikan
ukuran tingkat kesejahteraan (ekonomi) penduduk/masyarakat, menurut Pakpahan (2011), pengeluaran pangan dengan pendapatan rumah tangga memiliki hubungan
terbalik, artinya makin rendah pendapatan rumah tangga makin tinggi persentase pengeluaran pangan mereka. Rumah tangga akan terus menambah konsumsi makanannya sejalan dengan bertambahnya pendapatan, namun sampai batas
tertentu penambahan pendapatan tidak lagi menyebabkan bertambahnya jumlah makanan yang dikonsumsi.
Kesejahteraan petani secara sederhana dapat dilihat dari bagaimana ia memenuhi kebutuhan keluarganya, baik dari konsumsi kebutuhan makanan, pakaian,
kesehatan, serta kelayakan hunian tempat tinggal.
2.1.6 Penelitian terdahulu
Apriyanti (2004), dalam penelitiannya yang berjudul “ Analisi Nilai Tukar Petani
di Sumatera Utara” menyatakan bahwa Nilai Tukar Petani di Sumatera Utara mengalami peningkatan mulai dari tahun 1999 hingga 2003 sebesar 11,81% dan menyatakan bahwa secara serempak produksi, produktivitas, dan harga gabah
berpengaruh nyata terhadap nilai tukar petani dengan F hitung 20,500 lebih besar dari F tabel 18,51 pada tingkat kepercayaan 95%.
Sinuhaji (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Nilai Tukar Petani di Desa Sei Mencirim, Kec.Sunggal, Kab.Deli Serdang menyatakan bahwa nilai tukar petani rata-rata di Desa Sei Mencirim
bahwaproduktivitas, luas lahan, harga gabah, harga pupuk berpengaruh nyata
terhadap nilai tukar petani.
Nurasa dan Muchjidin (2013), dalam penelitiannya yang berjudul “Nilai Tukar
Petani Padi Di Beberapa Sentra Produksi Padi Di Indonesia” yaitu Jawa Barat Sumatera Utara Dan Sulawesi Selatan. Menyatakan bahwa nilai tukar petani berfluktuasi antar bulan, paling rendah pada bulan April-Mei sesuai dengan masa
panen padi dan harga padi terendah sedangkan NTP-padi tertinggi pada masa paceklik bulan Desember-Januari. Nilai tukar petani dari tiga provinsi di Jawa
Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan tahun 2006-2008 lebih rendah dibandingkan tahun 1993 (tahun dasar).
2.2 Landasan Teori
Teori penawaran menyatakan bahwa jika harga suatu komoditas naik maka jumlah penawaran akan barang tersebut akan meningkat. Sedangkan hukum
penawaran menyatakan jika penawaran akan komoditas tertentu dipasar meningkat (berlebih) makan harga komoditas tersebut akan turun.
Point penting dalam teori penawaran adalah adanya pergeseran kuantitas (jumlah supply menaik). Berdasarkan hukum penawaran diatas adanya panen raya
diindikasikan dengan produksi padi yang berlebih atau surplus yang mengakibatkan harga gabah kering giling maupun gabah kering panen ditingkat petani akan turun. Implikasi penurunan harga ini menyebabkan nilai tukar petani
akan menurun (cateris paribus).
Dengan orientasi pembangunan pertanian ke arah perbaikan kesejahteraan petani,
Salah satu indikator/alat ukur yang selama ini digunakan untuk menilai tingkat
kesejahteraan petani adalah indeks Nilai Tukar Petani (NTP) (Rachmat, 2013).
Simatupang dan Maulana (2008) mengemukakan bahwa penanda kesejahteraan
yang unik bagi rumah tangga tani praktis tidak ada, sehingga NTP menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian dalam menilaintingkat kesejahteraan petani. Dengan demikian NTP merupakan salah satu indikator
relatif tingkat kesejahteraan petani. NTP dihitung dari rasio harga antara harga yang diterima petani dan harga yang dibayar petani, sehingga NTP dinilai
merupakan ukuran kemampuan dayabeli/daya tukar petani terhadap barang yang dibeli petani. Peningkatan NTP dinilai menunjukkan peningkatan kemampuan riil
petani dan mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani.
Walaupun sebagai suatu konsep, nilai tukar sudah jelas dengan sendirinya, di dalam
penelitian empiris besaran angka ini sangat tergantung kepada implikasi apa yang
ingin dinilai. Sementara ini di Indonesia, baik secara konsepsional maupun dalam penelitian empiris, rumus nilai tukar yang sering digunakan menurut Rachmat
(2013) yaitu:
1. Konsep barter: menunjukkan harga nisbi suatu komoditas tanaman terpilih yang dihasilkan petani terhadap barang niaga bukan-pertanian yang dibutuhkan
petani dengan rumus matematis :
NT = ��
�� × 100
Py : harga atau indeks harga komoditas yang dibeli petani.
2. Konsep faktor tunggal: yang menunjukkan pengaruh perubahan teknologi terhadap nilai tukar (1) dan dirumuskan sebagai:
Dimana:
NT* : nilai tukar yang mengalami perubahan teknologi
Ey : tingkat produktivitas komoditas pada waktu tertentu diukur sebagai nisbah
nilai hasil dibagi biaya produksi yang dikorbankan per hektar untuk memperoleh hasil.
3. Konsep penerimaan: Konsep penerimaan (Nilai Tukar Penerimaan) merupakan
pengembangan dari konsep nilai tukar faktor tunggal (faktorial). Nilai tukar penerimaan (NTR) merupakan daya tukar dari penerimaaan (nilai hasil)
komoditas pertanian yang diproduksikan petani per unit (hektar)terhadap nilai input produksi untuk memproduksi hasil tersebut. Dengan demikian NTR menggambarkan nilai tukar komoditas tertentu, belum keseluruhan penerimaan
dan pengeluaran petani.
��� = ����
��×��× 100
Dimana :
NTR : Nilai Tukar Penerimaan
Px : harga komoditas yang dihasilkan petani Qx : jumlah komoditas yang dihasilkan petani
Py : harga input produksi.
Qy : jumlah input produksi yang digunakan.
4. Konsep Subsisten: Konsep Nilai Tukar Subsisten (NTS) merupakan
pengembangan lebih lanjut dari NTR. NTS menggambarkan daya tukar dari penerimaan total usahatani petani terhadap pengeluaran total petani untuk kebutuhan hidupnya. Penerimaan petani merupakan penjumlahan dari seluruh
nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan oleh petani. Pengeluaran petani merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga
dan pengeluaran untuk biaya produksi usahatani. NTS dirumuskan sebagai berikut.
�� = ∑���.���
����+����× 100
Dimana :
Pxi : Harga komositas pertanian ke i
Qxiy : produksi komoditas pertanian ke i
Py : Harga produk konsumsi
Qy : Jumlah produk konsumsi
Pz : Harga produk input produksi
Qz : Jumlah input produksi
Dalam operasionalnya, konsep ini dapat dilakukan pada tingkat mikro yaitu analisis
rumah tangga.
skala/unit nasional yang merupakan agregasi dari NTP regional provinsi dan
agregasi subsektor. Pengukran NTP dinyatakan dalam bentuk:
��� =���� × 100
Dengan memodifikasi indek laspayers BPS menggunakan penghitungan NTP dengan rumus sebagai berikut:
��=∑
���
�(�−1)� �(� −1)��0� �
�=1
∑��=1�0��0� × 100
It : indeks harga yang diterima petani
Ib : indeks harga yang dibayar petani
In : Index harga bulan ke n (It maupun Ib)
Pni : Harga bulan ke-n untuk jenis barang i
P(n-i) : Harga bulan ke-(n-1) untuk jenis barang i
Qoi : Kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang i Poi : Harga pada tahun dasar untuk jenis barang i
2.3 Kerangka Pemikiran
Petani yang berusahatani padi akan menggunakan faktor-faktor produksi yang akan mengeluarkan biaya usahatani. Biaya produksi ini ditambah dengan konsumsi rumah tangga petani seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan
pendidikan merupakan pengeluaran petani dalam satu periode. Pengeluaran petani ini dinamakan indek bayar (Ib) petani.
Setelah proses produksi (on-farm) petani akan memungut hasil dari usahataninya
yang kemudian dijual, baik dalam bentuk GKP atau GKG. Jika pada saat panen dilakukan merupakan panen raya yang secara bersama-sama dialami di daerah
penelitian dan tidak ada regulasi pemerintah akan mempengaruhi harga jual ditingkat petani. Dari penjualan ini akan diperoleh penerimaan petani padi yang bila ditambahkan dengan penerimaan petani diperoleh total penerimaan petani
yang merupakan indeks terima (It) petani.
Selanjutnya perbandingan indeks terima (It) petani dengan indeks bayar (Ib)
petani setelah dikalikan dengan 100% akan diperoleh Nilai Tukar Petani pada saat panen raya. NTP tanpa panen raya diperoleh dengan hal yang sama dengan
menghitung It dan Ib petani tanpa adanya panen besar-besaran.
Selain melihat dampak panen raya terhadap nilai tukar juga dapat dilihat bagaimana pola konsumsi rumah tangga akan bahan makanan seperti beras, ikan,
telur, minyak goreng, gula, buah dan sayur. Menurut teori jika pendapatan rendah, akan mengurangi jumlah konsumsi bahan makan diatas atau menggantinya ke
Besarnya NTP ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luas lahan,
Menyatakan Pengaruh
Bagan 2. Kerangka Pemikiran Panen Raya
Pola konsumsi makanan pokok (beras, ikan, telur, minyak goreng, gula, buah, sayur dan Gas LPG) 6. Biaya Tenaga Kerja
7. Jumlah Tanggungan Pola konsumsi makanan pokok (beras, ikan, telur, minyak goreng, gula, buah, sayur dan Gas LPG)
NTP
2.4 Hipotesis Penelitian
4. Nilai Tukar Petani (NTP) pada saat panen raya lebih rendah jika dibanding
pada saat non panen raya.
5. Pengeluaran konsumsi bahan makanan pokok rumah tanggapada saat panen raya lebih kecil dari pada non panen raya.
6. Luas lahan, produktivitas, harga, konsumsi bahan makanan, frekuensi tanam, biaya tenaga kerja, dan jumlah tanggungan berpengaruh nyata terhadap Nilai