• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Tindak Pidana Malpraktek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Tindak Pidana Malpraktek"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengaturan Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari KUHP (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana)

Beberapa pasal yang tercantum dalam KUHP yang dapat dikenakan dalam

kasus malpraktek, yaitu yang berkaitan dengan kesengajaan dan pelanggaran.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan kesengajaan seperti misalnya, kejahatan

terhadap pemalsuan surat, kejahatan terhadap kesusilaan, membiarkan orang yang

seharusnya ditolong, pelanggaran terhadap rahasia dokter, melakukan atau

membantu melakukan abortus, euthanasia dan kejahatan terhadap tubuh dan nyawa.

Pasal-pasal KUHP tersebut yang dapat dipakai oleh pasien atau

keluarganya untuk menuntut dokter atau dokter gigi atas tindakan malpraktek

tersebut. Sebagaimana telah diuraikan, bahwa untuk adanya suatu kesalahan maka

harus dibuktikan dulu adanya kesengajaan atau kelalaian dari perbuatan tersebut,

serta tidak adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar dari perbuatannya.

Pasal-pasal tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok perbuatan

pidana, yaitu yang termasuk kategori kesengajaan dan yang lain termasuk kategori

(2)

a.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dicantumkan: “Kesengajaan

adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan

yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”. Rumusan “sengaja” pada

umumnya dicantumkan dalam suatu norma pidana. Akan tetapi adakalanya

rumusan “sengaja” telah dengan sendirinya tercakup dalam suatu “perkataan”,

misalnya perkataan “memaksa”. Kesengajaan (dolus)

Moeljatno, menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang

secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah

kekurangperhatian pelaku terhadap objek dengan tidak disadari bahwa akibatnya

merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan

pada hakekatnya adalah sama dengan kesengajaaan, hanya berbeda gradasi saja.34

Secara umum, pakar hukum pidana telah menerima adanya tiga bentuk

kesengajaan, yakni:35

1. Kesengajaaan sebagai maksud, yakni dimana akibat dari perbuatan itu

diharapkan timbul atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi.

2. Kesengajaan dengan keinsyafan pasti, yakni sipelaku (doer or dader)

mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan

terjadi suatu akibat lain.

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan, yakni seseorang melakukan perbuatan

dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi

34

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2000, hal 199.

35

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hal

(3)

sipelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga

dilarang, dan diancam oleh undang-undang.

Yang dapat dikategorikan dalam unsur kesengajaan adalah:

1.

(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat keterangan palsu

tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun). Pasal 267 KUHP

(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan

seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau menahannya disitu ,

dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun 6 (enam)

bulan.

(3) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa yang dengan sengaja

memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan

kebenaran.

Ada 3 (tiga) pengertian yang terkandung di dalam seorang dokter

memberikan surat keterangan, yang terdiri dari:

1. Keterangan tersebut diberikan secara tertulis (berbentuk tertulis).

2. Yang membuat surat dan bertanggung jawab terhadap surat itu adalah

seorang dokter (tidak berlaku bila yang menandatangani bukan dokter).

3. Surat tersebut dipergunakan dan diserahkan kepada seseorang yang

(4)

Dalam praktek begitu mudahnya seorang dokter memberikan surat

keterangan sehat kepada seseorang walaupun tanpa melalui pemeriksaan dalam

atau laboratorium atau pemeriksaan pendukung lainnya. Hal semacam ini sudah

termasuk kategori membuat surat keterangan palsu manakala seseorang yang

dibuatkan surat sehat tersebut ternyata mengidap penyakit dalam yang tidak

terdeteksi hanya dengan sekedar melakukan pemeriksaan luar.

2.

Diancam dengan pidana yang sama (maksudnya seperti pada ancaman ayat (1): Pasal 294 ayat (2)

(1) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya atau diserahkan kepadanya.

(2) Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya.

Khusus untuk dokter yang disangka melakukan medikal malpraktek, maka

unsur dari Pasal 294 ayat (2) yang dapat dipergunakan adalah tentang perbuatan

cabul dengan pasiennya. Karena dapat saja terjadi seorang dokter yang sedang

memeriksa pasiennya di ruangan tertutup, terangsang, dan melakukan perbuatan

cabul seperti mencium, meraba-raba atau bahkan menyetubuhi.

3.

(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahu atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 45.000,- (empat puluh lima ribu rupiah).

Pasal 299 KUHP

(5)

(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian, maka dicabut haknya untuk melakukan pencaharian itu.

4.

Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) atau pidana denda paling banyak Rp.4500,- (empat ribu lima ratus rupiah).

Pasal 304 KUHP

5.

Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri

yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana

penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. Pasal 344 KUHP

6.

Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,

menolongnya dalam perbuatan itu atau member sarana kepadanya untuk

itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun kalau

orang itu jadi bunuh diri. Pasal 345 KUHP

Pasal-pasal ini berkaitan dengan pertolongan membunuh diri atau dalam

(6)

melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang

pasien, dan dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.36

Hanya saja dalam prakteknya sering juga terjadi euthanasia dalam arti yang pasif, yaitu apabila menurut keadaannya pasien harus dirawat di rumah sakit

dengan menggunakan alat bantu oksigen, infus, cuci darah misalnya, karena sudah

tidak sanggup lagi membayar biaya rumah sakit maka keluarganya memaksa

untuk pulang tanpa perawatan dokter. Sementara untuk tindakan euthanasia masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan dokter maupun ahli hukum.

Euthanasia ini berkaitan dengan profesi dokter, karena sakit pasien yang tidak mungkin lagi sembuh, atau sakit yang terus menerus, atau terlalu berat

beban biaya pengobatannya di rumah sakit sehingga baik pasien itu sendiri atau

atas permintaan keluarganya minta agar disuntik mati saja. Hal semacam ini

dalam sistem hukum Indonesia masih masuk kategori terlarang atau tidak

dibenarkan.

37

7.

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Pasal 346 KUHP

Dalam ketentuan di atas dokter dapat tersangkut apabila perempuan

meminta (menyuruh orang lain untuk itu) dokter untuk melaksanakan aborsi

tersebut. Jelas disini dokter bukan subjek hukum sebagai pebuat tunggal (dader)

36

Soekidjo Notoadmodjo, Etika Hukum Dan Kesehatan, Jakarta, Mandar Maju, 2010, hal

144.

37

(7)

karena disebutkan dalam rumusan subjek hukumnya adalah seorang wanita (de vrouw). Akan tetapi dokter dapat melakukan malpraktek menurut pasal ini jika dokter tersebut diminta untuk melaksanakan pengguguran atau pembunuhan

kandungannya. Lalu dokter sebagai apa atau melanggar pasal mana, kiranya ada

dua pendapat mengenai hal ini:38

1. Sebagai pembuat pelaksana (pleger) menurut Pasal 55 ayat (1) KUHP. Jika dokter sendiri yang melaksanakan aborsi tersebut sedangkan

perempuan pemilik kandungan terlibat sebagai pembuat penganjur atau

pembuat peserta, bergantung pada apa yang meliputi perbuatan tersebut.

Pelaku peserta jika perempuan pemilik kandungan juga ikut terlibat

perbuatan fisik besar atau kecil. Boleh sebagai pembuat penganjur jika

dokter mendapatkan pembayaran untuk itu.

2. Dokter dapat dipertanggungjawabkan melalui Pasal 348 KUHP. Alasan

pendapat ini yakni subjek hukum Pasal 346 ialah harus seorang

perempuan, in casu perempuan pemilik kandungan. Subjek hukum yang disebut dalam rumusan tindak pidana adalah pembuat tunggal (dader) dan tidak termasuk bentuk-bentuk penyertaan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.

Sementara itu, unsur tiga perbuatan (menggugurkan, mematikan, dan

menyuruh orang lain untuk itu) dikhususkan pada perbuatan dader in casu

perempuan tersebut. Dalam hal ini, dokter juga bukan dader. Dader harus si perempuan pemilik kandungan. Dengan demikian tidak mungkin dokter

dapat melakukan tiga perbuatan. Jika demikian, dokter tidak mungkin

38

Adami Chazawi, Malpraktek Kedokteran, Malang, Bayumedia Publishing, 2007, hal

(8)

dipidana menurut pasal ini, tetapi dokter dapat dipidana sebagai dader

berdasarkan Pasal 348. Sementara itu, perempuan yang menyuruh dokter

dipidana sebagai dader menurut Pasal 346. Perbuatan perempuan bukan menggugurkan atau mematikan kandungannya tetapi perbuatan menyuruh

orang lain (dokter) untuk itu.

8.

(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal 347 KUHP

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Inilah aborsi tanpa persetujuan perempuan pemilik kandungan.

Tanggungjawab pidananya lebih berat (penjara paling lama 12 (dua belas) tahun)

daripada aborsi atas persetujuan (penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 bulan

(Pasal 348). Jika menimbulkan kematian perempuan itu sama dengan

pembunuhan (Pasal 338). Walaupun kesengajaan tidak ditujukan pada kematian

perempuan yang mengandung seperti pada pembunuhan. Tanpa persetujuan harus

diartikan pada akibat, bukan pada perbuatan tertentu. Kesengajaan pembuat harus

ditujukan baik pada perbuatannya maupun akibat gugur atau matinya kandungan.

Kesengajaan ini harus diartikan tiga bentuk kesengajaan, yakni sebagai maksud,

kemungkinan, atau kesengajaan sebagai kepastian.

9.

(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan dengan ijin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun (6) enam bulan.

Pasal 348 KUHP

(9)

Perbedaan pokok dengan aborsi Pasal 348 terletak pada aborsi terhadap

perempuan yang mengandung disetujui oleh pemilik kandungan sendiri. Dari

persetujuannya, dapat dikatakan inisiatif tindakan aborsi itu berasal dari

perempuan. Disinilah letak perbedaan antara aborsi perbuatan menyuruh

mematikan atau menggugurkan kandungan menurut Pasal 346 dengan aborsi yang

dilakukan orang lain atas persetujuan perempuan yang mengandung Pasal 348.

10.

Jika seorang dokter, bidan atau tukang obat membantu melakukan

kejahatan berdasarkan Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348 maka pidana yang

ditentukan dalam pasal tersebut dapat ditambah sepertiganya dan dapat

dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan

dilakukan. Pasal 349 KUHP

Pasal-pasal di atas berkaitan dengan upaya abortus criminalis atau upaya menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis (abortus medicalis). Abortus medicalis ini dibenarkan oleh hukum, dengan pertimbangan bahkan kehamilan seorang ibu akan mengakibatkan bahaya bagi keselamatan jiwanya

atau bayinya, maka dokter memutuskan lebih memilih keselamatan ibunya dan

mengorbankan bayinya. Permasalahan yang mungkin akan memunculkan adalah

dengan semakin majunya teknologi kedokteran, maka akan diketahui lebih dini

bahwa janin dalam kandungan ibu pertumbuhannya tidak sempurna atau cacat

misalnya, bolehkan dengan alasan itu dokter menggugurkan bayi yang ada dalam

(10)

Tindakan abortus criminalis ini merupakan perbuatan pidana diancam dengan pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP tersebut.39

11.

Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang itu meninggal dunia, dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).

Sebagai sebuah profesi, maka dokter memiliki kewajiban hukum untuk

selalu memberikan pertolongan terhadap orang yang menderita sakit. Maka

apabila ternyata seorang mengetahui ada orang yang sedang menderita sakit

namun tidak melakukan pertolongan berupa perawatan, maka dokter tadi dapat

dikenakan Pasal 304 dan 531 KUHP tersebut. Pasal 531 KUHP

b.

Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan

tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap

batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak

menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya. Jadi dalam kealpaan ini tidak

ada niatan jahat dari pembuat. Walaupun demikian, kealpaan yang

membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain dan menimbulkan kerugian

terhadap orang lain tetap harus dipidanakan. Kealpaan/Kelalaian

40

39

Machmud Syahrul, SH, MH, Op.Cit, hal 212.

40

Maschruchin Ruba’I, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, IKIP, Malang,

(11)

Seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai

“de nodige en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh

karena itu maka menurut Profesor SIMONS, culpa itu pada dasarnya mempunyai dua unsur masing-masing “het gemis aan voorzichtigheid van het gevolg” atau masing-masing “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya perhatian terhadap

akibat yang dapat timbul.”41

1. Kealpaan ringan (Culpa Levissisma)

Menurut Teori Hukum Pidana, kealpaan yang diartikan sebagai suatu

macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja

mengakibatkan terjadinya sesuatu tersebut, dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk,

yaitu:

2. Kealpaan berat (Culpa Lata)

Dalam melakukan penilaian adanya kealpaan ada persyaratan yang harus

dipenuhi, yaitu keadaan psikis pelaku dan sikap tindaknya secara lahiriah dengan

tolak ukur bagaimana pelaku tersebut berbuat bila dibandingkan dengan ukuran

yang umum dilingkungan pelaku.

Menurut Danny Wiradharma, bahwa dalam kealpaan ini harus dapat

dibuktikan adanya gradasi sebagai berikut :

41

Lamintang P.A.F, Drs, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti,

(12)

(1) Culpa lata atau kelalaian berat. Kesalahan ini disebabkan oleh kekurang hati-hatian yang menyolok. Untuk menentukan gradasi kesalahan ini, harus

membandingkan perbuatan petindak dengan perbuatan rata-rata orang lain

yang segolongan petindak. Bila dilakukan petindak berbeda dengan perbuatan

rata-rata orang lain yang segolongan dengannya dalam menangani suatu

keadaan, maka petindak masuk dalam kategori culpa lata ini.

(2) Culpa levis atau kelalaian ringan dinilai dengan membandingkan perbuatan petindak dengan perbuatan orang yang lebih ahlidari golongan si petindak.

Perlakuan yang berbeda antara petindak dengan orang yang lebih ahli dari

golongan si petindak di dalam menangani hal yang sama menunjukkan adanya

kelalaian ringan si petindak.42

Yang dapat dikategorikan dalam unsur kealpaan (culpa) menurut KUHP adalah:

1.

Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain,

diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau kurungan

paling lama 1 (satu) tahun.

Kealpaan atau kelalaian merupakan salah satu unsur dari Pasal 359 KUHP

yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: Pasal 359 KUHP

1. Kelalaian (culpa)

2. Wujud perbuatan tertentu

3. Akibat kematian orang lain

42

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta, Bina Rupa Aksara,

(13)

4. Hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain

tersebut.

Adanya unsur culpa dalam Pasal 359 KUHP tersebut bukan ditujukan pada

kurang hati-hatinya perbuatan, tetapi ditujukan pada akibat. Hal ini dapat kita lihat

dalam contoh nyata yang mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya,

seseorang menjatuhkan balok, karena kurang hati-hati, sehingga menimpa orang

lain yang sedang lewat, atau seseorang yang menebang pohon, karena kurang

hati-hati menimpa anak yang sedang bermain, dan sebagainya.43

2.

Pasal 359 KUHP selalu didakwakan terhadap kematian yang diduga

disebabkan karena kesalahan dokter. Pasal 359 KUHP dapat menampung semua

perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan kematian, dimana kematian

bukanlah dituju atau dikehendaki. Sikap batin culpa bukan ditujukan pada

perbuatan, akan tetapi pada akibat kematian. Akibat kematian timbul tidak lama

setelah tindakan medis. Boleh lebih lama, asalkan kematian itu benar-benar

disebabkan oleh tindakan medis yang dilakukan akan tetapi, jika terlalu lama akan

sulit menentukan adanya hubungan causal antara tindakan medis dengan akibat

kematian.

(1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 360 KUHP

(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau kurungan

43

Isfandyarie Anny, Malpraktek & Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Jakarta,

(14)

paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi Rp.300,- (tiga ratus rupiah).

Dari rumusan (kalimat) pada ayat (1) dapat dirinci unsur-unsur yang harus

dibuktikan jaksa, yakni:

a. Adanya kelalaian

b. Adanya wujud perbuatan

c. Adanya akibat luka berat

d. Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud perbuatan

Rumusan ayat (2) mengandung unsur, yakni:

a. Adanya kelalaian

b. Adanya wujud perbuatan

c. Adanya akibat: (1) luka yang menimbulkan penyakit; (2) luka yang

menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian

selama waktu tertentu.

d. Adanya hubungan kausal antar perbuatan dengan akibat.

3.

Jika kejahatan yang diterangkan dalam pasal ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan Hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

Pasal 361 KUHP

Untuk dapat menerapkan pasal-pasal diatas terhadap kasus medikal

malpraktek, maka harus dibuktikan dulu adanya unsur kelalaian atau ketidak

hati-hatian atau sembrono, serta harus dibuktikan pula unsur tidak/kurang dipenuhi

(15)

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara perbuatan/tindak pidana

biasa dengan perbuatan/tindak pidana medis. Karena pada perbuatan/tindak

pidana biasa yang perlu diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan untuk

perbuatan/tindak pidana medis adalah penyebabnya. Dengan demikian walaupun

berakibat fatal, namun bila tidak didapati adanya kesalahan yaitu unsur kelalaian

atau kealpaan yang berkaitan dengan profesi kedokteran, maka dokter tidak dapat

dituntut.

Khusus untuk profesi kedokteran maka standar profesi medis, standar

pelayanan kesehatan, serta standar operasional prosedur harus mendapat perhatian

yang lebih serius. Karena kealpaan atau kelalaian dalam melaksanakan pelayanan

kesehatan, tolak ukur utamanya adalah dipenuhi atau tidaknya standar-standar

dimaksud. Hal ini berbeda dengan pasal-pasal yang mengandung unsur

kesengajaan, seperti memberi surat keterangan yang kurang benar (tanpa

melakukan pemeriksaan yang komprehensif), melakukan atau membantu abortus,

euthanasia, menyebarkan rahasia kedokteran tanpa alasan hukum, maka unsur kesengajaan ini tanpa harus memperhatikan terlebih dahulu standar profesi,

standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, karena jelas

perbuatannya telah disengaja dilakukan dokter.44

44

(16)

B.

Selain diatur dalam KUHP, tindak pidana malpraktek juga diatur dalam

perundang-undangan lainnyadi luar KUHP, yaitu dalam UU No. 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU

No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Tindak Pidana Malpraktek Ditinjau Dari Undang-Undang Di Luar

KUHP

1.

Pada dasarnya norma hukum yang tercantum dalam Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran merupakan norma hukum

administrasi. Namun dalam undang-undang ini juga tercantum ketentuan pidana

di dalam pasal 75 sampai dengan 80. Pencantuman sanksi pidana dalam

undang-undang ini tidak lepas dari fungsi hukum pidana secara umum yaitu ultimum remedium.

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

Makna yang terkandung dalam ultimum remedium adalah bahwa sanksi pidana merupakan upaya terakhir yang diancamkan pada suatu pelanggaran norma

hukum, manakala sanksi hukum lainnya sudah dianggap tidak signifikan dengan

bobot norma hukum yang dilanggar. Dalam konteks Undang-Undang Praktek

Kedokteran, dengan dicantumkannya sanksi pidana pada pelanggaran norma

hukum administrasi tertentu, berarti pembuat undang-undang menilai sanksi

administrasi saja tidak cukup signifikan sehingga diperlukan sanksi pidana.

Pasal-pasal yang berisi sanksi pidana terdapat dalam Pasal-pasal 75 sampai 80

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dapat dirinci sebagai

(17)

1.

(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 75

(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.00.000,00 (seratus juta rupah).

(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah.

2.

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik

kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau

denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 76

Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu

memiliki surat izin praktik sebelum melakukan praktik kedokteran di Indonesia.

Kewajiban dokter ini semula adalah kewajiban hukum administrasi yang diangkat

menjadi kewajiban hukum pidana karena pelanggaran terhadap kewajiban itu

diancam pidana.

Ketentuan mengenai surat izin praktik (selanjutnya disebut SIP) adalah

(18)

a. SIP dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota

tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan dilaksanakan (Pasal 37

ayat 1)

b. SIP diberikan paling banyak untuk tiga tempat (Pasal 37 ayat (1))

c. Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik (Pasal 37 ayat (3))

d. Untuk memiliki SIP harus memenuhi syarat, yakni (1) memiliki surat tanda

regristrasi (selanjutnya disebut STR) yang masih berlaku; (2) memiliki tempat

praktik; (3) memiliki rekomendasi dari organisasi profesi (Pasal 38 ayat (1))

e. SIP berlaku sepanjang (1) STR masih berlaku dan (2) tempat praktik masih

sesuai dengan yang tercantum dalam SIP (Pasal 38 ayat (2)).

3.

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 77

4.

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 78

Jika dibandingkan dengan tindak pidana pasal 77, tindak pidana pasal 78

memiliki unsur hampir sama. Perbedaannya hanya pada unsur materilnya saja.

Perbuatan materil pasal 78 adalah menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam

(19)

menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain sedangkan unsur lain

selebihnya sama.

5.

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:

Pasal 79

a. Dengan sengaja tidak memasang papan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau

c. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Ketentuan pasal 51 tersebut merupakan ketentuan terhadap

kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang dokter atau dokter gigi dalam

melaksanakan praktek kedokteran, manakala kewajiban ini tidak ditaati maka

berakibat sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 79.

Kewajiban-kewajiban yang dimaksud adalah kewajiban pada pasal 51

huruf a, dokter atau dokter gigi untuk memberikan pelayanan kesehatan harus

sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan

medis pasien.

Kewajiban yang tertuang dalam huruf b adalah merujuk pasien ke dokter

atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,

apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.

Selanjutnya kewajiban pada huruf c adalah, merahasiakan segala sesuatu

yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien telah meninggal

(20)

perkemanusian, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu

melakukannya.

Kewajiban lainnya seperti yang tercantum dalam huruf e adalah,

menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau

kedokteran gigi. Manakala kewajiban-kewajiban sebagaimana yang tercantum

dalam pasal 51 tersebut tidak dilakukan, maka dokter atau dokter gigi terancam

pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 79 huruf c tersebut.

6.

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 80

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh koporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana diaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan beupa pencabutan izin.

2.

Undang-Undang nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan

meskipun telah dicabut dengan keluarnya Undang-undang nomor 23 Tahun 1992

dan telah diperbaharui lagi dengan Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tetapi

esensinya secara implisit masih dapat digunakan yakni bahwa malpraktek dapat

terjadi apabila petugas kesehatan :

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

a. Melalaikan kewajibannya;

b. Melakukan satu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang

tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatan maupun sumpah

(21)

Bertitik dari dua butir kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila

petugas kesehatan lalai melakukan kewajiban yang berarti tidak melakukan

sesuatu yang seharusnya dilakukan (butir a) dan petugas kesehatan melakukan

tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan (butir b). Apabila petugas

kesehatan apapun jenisnya termasuk dokter maupun dokter gigi bertindak seperti

itu dapat dikatakan malpraktek.

Melakukan kelalaian bagi petugas kesehatan dalam melakukan tugas

maupun profesinya sebenarnya tidak melanggar hukum atau kejahatan, kalau

kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain

dan orang itu dapat menerimanya. Dalam hukum prinsip ini dikenal dengan “de minimis noncurat lex” yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang kecil. Petugas yang melakukan kelalaian seperti ini, meskipun tidak melanggar hukum

tetapi melanggar etika.

Namun demikian, apabila kelalaian seorang tenaga kesehatan

menyebabkan orang lain menderita kerugian atau cedera, cacat atau bahkan

meninggal dunia berarti juga melanggar hukum dan etika. Kelalaian petugas

kesehatan yang menyebabkan kerugian, cedera atau cacat, dan sebagainya bagi

orang lain diklasifikasikan sebagai kelalaian berat atau “culpa lata” atau serius, dan disebut tindakan kriminal. Kriteria yang digunakan apakah kelalaian petugas

kesehatan sudah memenuhi kelalaian berat menurut Yusuf Hanafiah dan Amri

Amir dalam buku karangan Soekidjo Notoadmodjo (Etika dan Hukum Kesehatan)

adalah sebagai berikut:45

45

(22)

a. Bertentangan dengan hukum

b. Akibatnya dapat dibayangkan

c. Akibatnya dapat dihindarkan

d. Perbuatannya dapat dipersalahkan

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang

merupakan undang-undang yang terbaru yang telah mencabut undang-undang

yang lama yaitu Undang-Undang 23 tahun 1992, terdapat beberapa pasal yang

mengatur ketentuan sanksi pidana antara lain sebagai berikut :

1.

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 190

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 32 Undang-Undang Kesehatan menyebutkan bahwa dalam keadaan

darurat, fasilitas kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan

pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan

terlebih dahulu dan dilarang untuk menolak pasien dan/atau meminta uang

muka.46

2.

46

http://Alowdoank.blogspot.com/2012/12/Perlindungan Hukum Terhadap

(23)

Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

3.

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan

tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) Pasal 192

4.

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi

untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) Pasal 193

5.

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 194

6.

Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih

apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 195

(24)

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana diaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

8.

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)

Pasal 197

9.

Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan

praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan

pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 198

10.

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesehatan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 199

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

11.

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu

ibu ekslusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara

paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00

(seratus juta rupiah). Pasal 200

(25)

1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.

2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :

a. Pencabutan izin usaha; dan/atau b. Pencabutan status badan hokum

3.

1.

Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak

memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak

Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) Pasal 62

2.

1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62

Pasal 63

2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan cara studi kasus pada perbankan BUMS murni dalam negeri dan BUMS asing yang listing di BEI. Teknik pengumpulan data dilakukan

Memakai peralatan perlindungan yang sesuai (termasuk peralatan pelindung diri yang disebut di bawah Seksyen 8 lembar data keselamatan) untuk mencegah pencemaran kulit, mata dan

Dengan merujuk pada kurikulum dan KKNI Deskriptor program Administrasi/ Manajemen Pendidikan (S1) mengenai sejauh mana kompetensi tersebut dapat dipenuhi serta

Bila dikaitkan dengan struktur geologi regional Cekungan Sumatra Tengah, struktur pada lapangan telitian terbentuk pada fasa tektonik F3, yaitu terjadi gaya

Pendaftaran ditutup sewaktu-waktu jika kuota

Hasil akhir penelitian menunjukkan bahwa: (1) Manajemen Peserta Didik di SMA Nahdlatul Ulama 1 Gresik dilakukan semaksimal mungkin untuk menfasilitasi dan melayani peserta

Pelaksanaan Tindakan, Data yang diperoleh pada siklus III ini adalah tingkat aktivitas belajar siswa dan aktivitas guru dalam pembelajaran, sekaligus untuk

Hasil uji hipotesis atau uji t pada penelitian ini menunjukkan bahwa leverage berpengaruh terhadap risk management disclosure pada perusahaan sektor industri barang