• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Kewenangan Densus 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Dalam Perspektif Kriminologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Kewenangan Densus 88 Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Dalam Perspektif Kriminologi"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

i ABSTRAK

Kristin Jones Manurung* Prof. Dr. Ediwarman, SH., M.Hum ** Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum ***

Tindak pidana Terorisme merupakan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Di Indonesia pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dilakukan oleh Densus 88 yang merupakan satuan khusus dari Kepolisian RI. Dalam beberapa kasus penanganan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88 seringkali terduga teroris meninggal dunia ditangan Densus 88 tanpa melewati proses peradilan pidana terlebih dahulu. Hal ini menimbulkan polemik dikalangan masyarakat karena dianggap merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan bagi penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan permasalahan, yaitu bagaimanakah pengaturan hukum mengenai kewenangan Densus 88 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Apa faktor penyebab terjadinya tindak pidana terorisme dan bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Densus 88.

Untuk menjawab masalah tersebut maka metode yang penulis gunakan adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan, khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan kewenangan Densus 88 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pengaturan mengenai kewenangan Densus 88 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana terorisme merupakan akumulasi dari beberapa faktor seperti faktor psikologis, ekonomi, politik, agama, sosiologis, ideology dan paham radikalisme. Kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme adalah melalui sarana non penal yaitu sidang disiplin dan penal yaitu proses peradilan pidana.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I

***Dosen Pembimbing II

Referensi

Dokumen terkait

Misalkan himpunan kompak secara barisan maka setiap barisan { } di memiliki subbarisan yang konvergen secara kuat ke suatu titik di.. Di lain pihak, Teorema 3.1 menunjukan

1) Masalah penjadwalan delay lampu hijau dapat dimodelkan sebagai model optimisasi linear tak tentu. Model ini diselesaikan dengan menerapkan logika fuzzy metode Mamdani.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui peningkatan hasil belajar matematika menggunakan dakon bilangan di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 14 Sungai Kunyit

Proses Enkripsi Modifikasi Hill cipher menggunakan 2 kunci yaitu inisial awal Linear Feedback Shift Register dan matriks kunci yang invertible5. Untuk prosesnya ditunjukkan

Oleh karena masalah pencarian bersama suami istri adalah termasuk perkongsian, maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas terlebih dahulu tentang macam-macam perkongsian

(2) Argumentasi Al-Mara>ghi> tentang naskh, tergambar dalam dua ayat yang menjadi akar perbedaan naskh dengan penafsiran yang mengarah kepada adanya

Queen Philippa and her ladies flocked round Countess Catherine, whispering behind gloved hands as they cast glances at the young couple, while the ladies’ husbands quietly talked

beberapa tipe dari threshold atau ambang yaitu absolute threshold atau ambang mutlak yaitu jumlah rangsang terkceil yang sudah mulai menimbulkan