• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Studi Pada Pengadilan Agama Panyabungan Kota Kabupaten Mandailing Natal) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Studi Pada Pengadilan Agama Panyabungan Kota Kabupaten Mandailing Natal) Chapter III V"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINJAUAN UMUM MENEGENAI HARTA BERSAMA

A. Pengertian Harta Bersama

Hartabersama dalam perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Bilamana suami istri bekerja, lalu bersepakatmenjadikan penghasilan yang diperolehnya untuk disatukan saja,maka harta yang dikumpulkan ini disebut harta bersama.44

Secara etimologis dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,harta bersama terdiri dari dua kata yaitu, harta dan bersama.

Suamiistri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersamatersebut. Ketidakpahaman mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang harta bersama dapat menyulitkan untu memfungsikan harta bersama tersebut secara benar.Oleh karenaitu, terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian mengenaiapa yang dimaksud dengan harta bersama.

45

Hartaadalah barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadikekayaan.Sedangkan bersama adalah seharta, semilik.Selanjutnyamengenai pengertian harta secara terminologis adalah barang-barang, uang dan sebagainya yang menjadi kekayaan yangdiperoleh suami istri secara bersama-sama dalam perkawinan.46

Telah dikemukakan diatas bahwa harta bersama adalah hartahasil usaha bersama (suami-istri) didalam perkawinan.Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan hartabersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.47

Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekianbanyak harta yang dimiliki seseorang.Dalam kehidupan sehari-hariharta mempunyai arti penting bagi seseorang karena denganmemiliki harta dapat memenuhi kebutuhan hidup secara

Iniberarti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialahsejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebutputus karena perceraian atau karena kematian.

44

Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2007), hlm.359. 45

W.J.S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 347.

46

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. I edisi IV, hlm. 52.

47

(2)

wajar danmemperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat.Namunharta bersama tersebut akan menjadi harta yang tidak lagi dapatdisebut sebagai harta bersama ketika telah terjadi cerai mati atauperceraian yang mana di daerah Jawa umumnya disebut denganharta gono-gini.48

Dijelaskan harta gono-gini dalam ensiklopedia hukum Islamadalah harta bersama milik suami istri yang mereka peroleh selamamasa perkawinan. Dalam masyarakat Indonesia pada setiap daerahmempunyai sebutan yang berbeda untuk menyebut harta pascaberakhirnya perkawinan, seperti di Aceh disebut

hareutaseuhareukat, di Minangkabau disebut harta suarang, di daerahSunda disebut guna kaya atau tumpang kaya, di Madura disebutghuna ghana dan masih terdapat banyak penamaan lain dari hartabersama.49

Hukum Islam hanya mengenal dengan sebutan syirkah.50Hartabersama dalam perkawinan termasuk syirkah abdan mufawwadah,dikatakansyirkah abdan

karena suami istri secara bersama-samabekerja membanting tulang dalam mencari nafkah sehari-hari.Dikatakan syirkah mufawwadah karena perkongsian antara suamiistri itu tidak terbatas.51

Apa saja yang dihasilkan dalam pekerjaan suami istritermasuk harta bersama. Sedangkan harta bersama menurut fikihmunakahat adalah harta yang diperoleh suami istri karena usahanyaadalah harta bersama, baik mereka bersama-sama atau hanya salahsatu pihak yang bekerja.Sekali mereka itu terikat dalam perjanjianperkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu,baik harta maupun anak-anak. Hal ini sebagaimana dijelaskandidalam Al-Qur‟an surat Ar-Ruum ayat 21:Artinya :“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Diamenciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismusendiri, supaya kamu cenderung danmerasa tenteramkepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasihdan

48

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), cet.1, hlm. 179.

49

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), cet.1, hlm.

50

Syirkah adalah percampuran.Menurut ulama‟ fikih syirkah adalah akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.lihat, Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 5, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), hlm. 403.

51

(3)

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda tanda bagi kaum yangberfikir.”52

Jadi pengertian harta bersama adalah harta kekayaan53 yangdiperoleh selama perkawinan, diluar hadiah atau warisan.Dalamkaitan ini, harta gono-gini atau harta bersama tergolong harta yangterkait dengan hak suami istri.54

Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindakuntuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersamatersebut melalui persetujuan kedua belah pihak.Semua harta yangdiperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadiharta bersama baik harta tersebut diperoleh secara tersendirimaupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yangdibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi hartabersama, tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suamiyang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suamimengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta ituharus didaftarkan.55

1. Menurut Hukum Islam

Kajian tentang harta bersama dalam Hukum Islam tidak terlepas dari pembahasan tentang konsep syirkah dalam perkawinan.Banyak Ulama yang berpendapat bahwa harta bersama termasuk dalam konsep syirkah.Mengingat konsep tentang harta bersama tidak ditemukan dalam rujukan teks Al-Quran dan Hadis, maka sesungguhnya kita dapat melakukan qiyas (perbandingan) dengan konsep fiqih yang sudah ada, yaitu tentang syirkah itu sendiri. Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa berhubung masalah harta bersama tidak disebutkan dalam Al- Quran, maka pembahasan harta bersama menjadi mengada-ada56.Menurut Yahya Harahap57

52

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Terjemah Per-kata, (Bandung: Sygma, 2007), hlm. 406.

53

Harta Kekayaan adalah benda ekonomi, maka aturan hukum yangmengaturnya tergolong hukum ekonomi yang meliputi aspek hukum perdata dan aspek hukum publik. Lihat, Abdulkadir

Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 2. 54

Abu Yasid, Fatwa Tradisional untuk Orang Modern 3; Fikih Keluarga, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 119.

55

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 109.

56

Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. hal. 59 57

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukumperdata Islam di Indonesia, hal. 111

(4)

bahwa pencarian bersama suami istri mestinya masuk rub’u mu’amalah, akan tetapi ternyata secara khusus tidakdibahas mengenai hal tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena padaumumnya pengarang kitab-kitab fiqih adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya adat mengenai pencarian bersama suami istri. Akan tetapi mereka membicarakan tentang perkongsian yang dalam bahasa arab dikenal dengan syirkah.

Oleh karena masalah pencarian bersama suami istri adalah termasuk perkongsian, maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas terlebih dahulu tentang macam-macam perkongsian sebagaimana yang telah dibahas oleh paraAhli Fiqih dalam kitab-kitab mereka.Menurut Amir Syarifuddin Hukum Islam mengatur bahwa perjanjian perkawinan harus dilakukan pada waktu akad nikah dilangsungkan atau sesudahnya dan harus dilakukan dengan akad khusus dalam bentuk syirkah.Apabila kedua unsur tersebut tidak diterapkan, maka harta pribadi milik masing-masing suami istri tidak dapat dikategorikan sebagai harta bersama dan tetap menjadi harta milik pribadi masing-masing.58

Syirkah adalah akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.59

Maka dalam hal ini Hukum Islam memperbolehkan adanya perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilaksanakan.Perjanjian tersebut dapat berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta bersama, dapatpula ditetapkan tidak adanya penggabungan harta milik pribadi menjadi harta bersama.Jika perjanjian tersebut dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan, maka perjanjian tersebut adalah sah dan harus diterapkan.

Pada dasarnya dalam Hukum Islam tidak mengenal adanya pencampuran harta pribadi ke dalam bentuk harta bersama tetapi dianjurkan adanya salingpengertian antara suami istri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai pengelolaan ini mengakibatkan rusaknya hubungan yang mengakibatkan perceraian.

60

Hukum Islam mengatur sistem terpisahnya antara harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukandalam perjanjian perkawinan).Hukum Islam juga memberikan kelonggaran kepada

58

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, hal.176 59

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah.Jilid, 13, hal. 194 60

(5)

mereka berdua untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua, dan perjanjian tersebut akhirnya mengikat mereka secara hukum. Pandangan Hukum Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta suami dan mana yang termasuk harta istri, mana harta bawaan suami dan mana harta bawaan istri sebelum perkawinan, mana harta yang diperoleh suami dan harta yang diperoleh istri secara sendiri-sendiri selama perkawinan, serta mana harta bersama yang diperoleh secara bersama selama terjadinya perkawinan. Pemisahan tersebut akan sangat berguna dalam pemisahan antara harta suami dan harta istri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka. Ketentuan Hukum Islam tersebut tetap berlaku hingga berakhirnya perkawinan atau salah seorang dari keduanya meninggal dunia.

Tentang harta warisan, Hukum Islam memandang bahwa harta warisan yang ditinggalkan oleh suami atau istri dibagi berdasarkan ketentuan hukum pewarisan Islam.Harta warisan yang dibagi adalah hak milik masing-masing suami istri yang telah meninggal dunia, yaitu setelah dipisahkan dengan harta suami istri yang masih hidup.Harta milik istri tidak dimasukkan sebagai harta warisan yang harus dibagi.Bahkan, istri tetap berhak memiliki harta pribadinya sendiri, dan dirinya juga berhak mendapatbagian dari peninggalan harta suaminya.61

2. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat bahwa harta benda perkawinan itu adalah hartabenda yang dimiliki suami istri dalam ikatan perkawinan, baik yang diperolehsebelum perkawinan berlangsung (harta gawan/ harta bawaan) maupun hartabenda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang hasil kerjamasing-masing suami istri ataupun harta benda yang didapat dari pemberianhibah atau hadiah serta warisan.Jadi suatu asas yang sangat umumberlakunya hukum adat di Indonesia adalah bahwa mengenai harta kerabatnyasendiri yang berasal dari hibah atau warisan, maka harta itu tetap menjadimiliknya salah satu suami atau istri yang kerabatnya menghibahkan ataumewariskan harta itu kepadanya.

61

(6)

Hukum adat mengenal adanya harta bersama dan diterapkan terusmenerussebagai hukum yang hidup.Dari hasil pengamatan, lembaga harta bersama lebih besar maslahatnya daripada mudaratnya.Maka atas dasar metodologi Istislah, ‘urf serta kaidah al-’adatu al-muhakkamah, Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan kompromistis terhadap hukum adat.62

‘Urfialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatan, atau dalam meninggalkansesuatu.‘Urfjuga disebut dengan adat.‘Urfyang sifatnya baik harus dipelihara sebagai pembentukan hukum dalam lembaga peradilan.Maka dari itu ulama berkata “adat itu adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum” atau lebih dikenal dengan istilah al-’adatu al-muhakkamah.Semua ulama mazhab mendasarkan hukumnya kepada kebiasaan penduduk dimana ulama mazhab itu tinggal.Sebagai salah satu contoh dalam madzhab Syafi’i terdapat dua mazhab,

mazhab qadim dan mazhab jadid. Hal tersebut dikarenakan ketika imam al- Syafi’i membukukan mazhab qadimbeliau tinggal di Irak, namun ketika membukukan mazhab jaded beliau telah pindah ke Mesir dimana kedua kota tersebut memiliki dua kebiasaan atau adat yang berbeda.63

Harta bersama merupakan adat yang sifatnya berlaku umum.Hal ini dapat dilihat dari penerapan harta bersama yang berlaku hampir menyeluruh dan menjadi suatu kebiasaan diIndonesia, sekalipun dalam penyebutannya di setiap adat mempunyai penyebutan yang berbeda-beda.64

3. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan hartabersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.Ini berarti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi

62

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat

dan Hukum Agama. hal. 127 63

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, terjemahan Tolhah Mansoer.hal. 135 64

(7)

yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masingsepanjang para pihak tidak menentukan lain.65Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974maupun dalam pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun pasal85 KHI, terhadap harta suami istri yang berada dalam masa ikatan perkawinantelah diberi nama “Harta bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan“Harta seharkat”. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan nama ”Harta serikat”. Dan dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan “Harta gono-gini”.Sampai sekarang penggunaan nama-nama tersebut masih mewarnai praktek peradilan.66

Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu percampuranantara kekayaan suami dan kekayaan istri.Hal ini merupakan ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa.Keadaan demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan.67Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Vollmar bahwa akibat-akibat perkawinan terhadap kekayaan dan penghasilan suami-istri tergantung dari ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan.68Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak.Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama. Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama.Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.69

65

Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, hal. 33 66

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, hal. 272 67

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hal. 31 68

H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, hal. 77 69

(8)

Pengertian Harta Bersama a. Menurut Hukum Islam

Kajian tentang harta bersama dalam Hukum Islam tidak terlepas dari pembahasan tentang konsep syirkah dalam perkawinan.Banyak Ulama yang berpendapat bahwa harta bersama termasuk dalam konsep syirkah.Mengingat konsep tentang harta bersama tidak ditemukan dalam rujukan teks Al-Quran dan Hadis, maka sesungguhnya kita dapat melakukan qiyas (perbandingan) dengan konsep fiqih yang sudah ada, yaitu tentang syirkah itu sendiri.Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa berhubung masalah harta bersama tidak disebutkan dalam Al- Quran, maka pembahasan harta bersama menjadi mengada-ada70.Menurut Yahya Harahap71bahwa sudut pandang Hukum Islam terhadap bersama ini adalah sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ismail Muhammad Syah dalam Disertasinya bahwa pencarian bersama suami istri mestinya masuk rub’u mu’amalah, akan tetapi ternyata secara khusus tidakdibahas mengenai hal tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena padaumumnya pengarang kitab-kitab fiqih adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya adat mengenai pencarian bersama suami istri. Akan tetapi mereka membicarakan tentang perkongsian yang dalam bahasa arab dikenal dengan syirkah. Oleh karena masalah pencarian bersama suami istri adalah termasuk perkongsian, maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas terlebih dahulu tentang macam-macam perkongsian sebagaimana yang telah dibahas oleh paraAhli Fiqih dalam kitab-kitab mereka.Menurut Amir Syarifuddin Hukum Islam mengatur bahwa perjanjian perkawinan harus dilakukan pada waktu akad nikah dilangsungkan atau sesudahnya dan harus dilakukan dengan akad khusus dalam bentuk syirkah.Apabila kedua unsur tersebut tidak diterapkan, maka harta pribadi milik masing-masing suami istri tidak dapat dikategorikan sebagai harta bersama dan tetap menjadi harta milik pribadi masing-masing.72Syirkah adalah akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.73

70

Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. hal. 59 71

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukumperdata Islam di Indonesia, hal. 111 72

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, hal.176 73

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah.Jilid, 13, hal. 194

(9)

suami istri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai pengelolaan ini mengakibatkan rusaknya hubungan yang mengakibatkan perceraian.Maka dalam hal ini Hukum Islam memperbolehkan adanya perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilaksanakan.Perjanjian tersebut dapat berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta bersama, dapatpula ditetapkan tidak adanya penggabungan harta milik pribadi menjadi harta bersama.Jika perjanjian tersebut dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan, maka perjanjian tersebut adalah sah dan harus diterapkan.74

Hukum Islam mengatur sistem terpisahnya antara harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukandalam perjanjian perkawinan).Hukum Islam juga memberikan kelonggaran kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan keinginan mereka berdua, dan perjanjian tersebut akhirnya mengikat mereka secara hukum. Pandangan Hukum Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya memudahkan pemisahan mana yang termasuk harta suami dan mana yang termasuk harta istri, mana harta bawaan suami dan mana harta bawaan istri sebelum perkawinan, mana harta yang diperoleh suami dan harta yang diperoleh istri secara sendiri-sendiri selama perkawinan, serta mana harta bersama yang diperoleh secara bersama selama terjadinya perkawinan. Pemisahan tersebut akan sangat berguna dalam pemisahan antara harta suami dan harta istri jika terjadi perceraian dalam perkawinan mereka. Ketentuan Hukum Islam tersebut tetap berlaku hingga berakhirnya perkawinan atau salah seorang dari keduanya meninggal dunia.Tentang harta warisan, Hukum Islam memandang bahwa harta warisan yang ditinggalkan oleh suami atau istri dibagi berdasarkan ketentuan hukum pewarisan Islam.Harta warisan yang dibagi adalah hak milik masing-masing suami istri yang telah meninggal dunia, yaitu setelah dipisahkan dengan harta suami istri yang masih hidup.Harta milik istri tidak dimasukkan sebagai harta warisan yang harus dibagi.Bahkan, istri tetap berhak memiliki hartapribadinya sendiri, dan dirinya juga berhak mendapatbagian dari peninggalan harta suaminya.75

74

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 112 75

(10)

b. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat bahwa harta benda perkawinan itu adalah hartabenda yang dimiliki suami istri dalam ikatan perkawinan, baik yang diperolehsebelum perkawinan berlangsung (harta gawan/harta bawaan) maupun hartabenda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, yang hasil kerjamasing-masing suami istri ataupun harta benda yang didapat dari pemberianhibah atau hadiah serta warisan.Jadi suatu asas yang sangat umumberlakunya hukum adat di Indonesia adalah bahwa mengenai harta kerabatnyasendiri yang berasal dari hibah atau warisan, maka harta itu tetap menjadimiliknya salah satu suami atau istri yang kerabatnya menghibahkan ataumewariskan harta itu kepadanya.

Hukum adat mengenai adanya harta bersama dan diterapkan terusmenerussebagai hukum yang hidup.Dari hasil pengamatan, lembaga harta bersama lebih besar maslahatnya daripada mudaratnya.Maka atas dasar metodologi Istislah, ‘urf serta kaidah al-’adatu al-muhakkamah, Kompilasi Hukum Islam melakukan pendekatan kompromistis terhadap hukum adat.76

‘Urfialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatan, atau dalam meninggalkansesuatu.‘Urfjuga disebut dengan adat.‘Urfyang sifatnya baik harus dipelihara sebagai pembentukan hukum dalam lembaga peradilan.Maka dari itu ulama berkata “adat itu adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum” atau lebih dikenal dengan istilah al-’adatu al-muhakkamah.Semua ulama mazhab mendasarkan hukumnya kepada kebiasaan penduduk dimana ulama mazhab itu tinggal.Sebagai salah satu contoh dalam madzhab Syafi’i terdapat dua mazhab,

mazhab qadim dan mazhab jadid. Hal tersebut dikarenakan ketika imam al- Syafi’i membukukan mazhab qadimbeliau tinggal di Irak, namun ketika membukukan mazhab jaded beliau telah pindah ke Mesir dimana kedua kota tersebut memiliki dua kebiasaan atau adat yang berbeda.77

76

Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat

dan Hukum Agama. hal. 127 77

(11)

Harta bersama merupakan adat yang sifatnya berlaku umum.Hal ini dapat dilihat dari penerapan harta bersama yang berlaku hampir menyeluruh dan menjadi suatu kebiasaan diIndonesia, sekalipun dalam penyebutannya di setiap adat mempunyai penyebutan yang berbeda-beda.78

c. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan hartabersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.Ini berarti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing

sepanjang para pihak tidak menentukan lain.79Di dalam pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974maupun dalam pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1985 maupun pasal85 KHI, terhadap harta suami istri yang berada dalam masa ikatan perkawinantelah diberi nama “Harta bersama”. Dalam masyarakat Aceh dikenal dengan“Harta seharkat”. Dalam masyarakat Melayu dikenal dengan nama ”Harta serikat”. Dan dalam masyarakat Jawa-Madura dikenal dengan “Harta gono-gini”.Sampai sekarang penggunaan nama-nama tersebut masih mewarnai praktek peradilan.80

Sejak perkawinan dimulai, dengan sendirinya terjadi suatu percampuranantara kekayaan suami dan kekayaan istri.Hal ini merupakan ketentuan umum apabila tidak diadakan perjanjian apa-apa.Keadaan demikian berlangsung seterusnya dan tidak dapat diubah lagi selama perkawinan berlangsung. Jika seseorang ingin menyimpang dari ketentuan tersebut maka ia harus melakukan perjanjian perkawinan.81

78

M Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terjemahan Syaifullah Ma’sum, hal. 417 79

Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, hal. 33 80

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, hal. 272 81

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hal. 31

(12)

perkawinan.82Tentang harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama tersebut melalui persetujuan kedua belah pihak.Semua harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama baik harta tersebut diperoleh secara tersendiri maupun diperoleh secara bersama-sama.Demikian juga harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama.Tidak menjadi suatu permasalahan apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah juga apakah istri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu atau atas nama siapa harta itu harus didaftarkan.83

B. Pembagian Harta Bersama

Suami dan istrimempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama.Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang HAM pasal 51:

A. Seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dantanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yangberkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anakanaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.

B. Setelah putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hak dantanggung jawab yang sama baik mengenai harta bersama ataupunmengenai anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaikbagi anak.84Setelah putusnya perkawinan, seseorang wanita mempunyai hakyang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaandengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.Harta yang dihasilkan bersamaoleh suami istri selama masa perkawinan dikuasai bersama suami istri.Sesuai namanya yakni harta bersama suami istri, maka selama merekamasih terikat dalam perkawinan harta itu tidak dapat dibagi. Harta itusama-sama mereka manfaatkan hasilnya dan dibagi apabila mereka bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati.85

82

H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, hal. 77 83

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 109 84

www.lindungikami.org/.../UU_Nomor_39_tentang_Hak_Asasi_Manusia.pdf 85

(13)

Harta bersama pada umumnya dibagi dua sama rata di antara suami istri.Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal 128 Kitab Undang-Undang HukumPerdata yang menyatakan bahwa, “Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami istri, atau antara ahli waris mereka masing-masing, dengan tidak mempedulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang yang diperolehnya”.Sementara itu harta bawaan dan harta perolehan tetap otomatis menjadi hak milik pribadi masing-masing yang tidak perlu dibagi secara bersama.86

Pembagian harta bersama bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidakmenimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan hak istri.Apabila terjadi perselisihan, maka harus merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 88 bahwa, “Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama”.Penyelesaian melalui jalur pengadilan adalah pilihan satu-satunya.87Secara umum pembagian harta bersama baru bisa dilakukan setelah adanya gugatan cerai.Artinya, daftar harta bersama dan bukti-buktinya dapat diproses jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan dan dapat disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita), yang kemudian disebutkan dalam permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum).Namun, gugatan cerai belum menyebutkan tentang pembagian harta bersama.Untuk itu, pihak suami atau pihak istri perlu mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah adanya putusan yang dikeluarkan pengadilan.Bagi yang beragama Islam, gugatan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal tergugat, sedangkan bagi yang nonmuslim gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.Ketentuan tentang pembagian harta bersama didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan suatu perkawinan, seperti kematian, perceraian, dan sebagainya.88

Harta bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinan itu sudah terputus, hubungan perkawinan itu dapat terputus dengan

insani, 2003), hal. 127

86

Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. hal. 37 87

ibid, hal. 38 88

(14)

alasan adanya kematian, perceraian dan dapat juga oleh keputusan pengadilan.Putusnya hubungan perkawinan karena kematian mempunyai kekuatan hukum yang pasti sejak kematian salah satu pihak. Secara hukum formil sejak saat itu harta bersama sudah boleh dibagi, tetapi kenyataannya pembagian itu baru dilakukan setelah acara penguburan selesai, bahkan ada yang menunggu sampai acara empat puluh hari atau seratus hari. Dalam hal ini apabila putusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum pasti maka harta bersama tersebut belum bisa dibagi.89

Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami tidak semudahdalam perkawinan biasa. Namun demikian, pada dasarnya pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami adalah sama dengan pembagian hartabersama dalam perkawinan biasa, yaitu masing-masing pasangan mendapatkan seperdua. Hanya saja, pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami harus memperhatikan bagaimana nasib anak-anaknya dalam perkawinan model ini.90Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dalam hal tidak ada anak hampir sama dengan pemecahan harta bersama dalam bentuk perkawinan tunggal tanpa anak. Yaitu, masing-masing harta bersama dibagi menjadi dua, yakni masing-masing suami istri mendapatkan setengah bagian. Kesamaannya ialah dalam menerapkan cara pembagiannya. Misalkan apabila suami mempunyai tiga istri dalam perkawinan poligaminya.Maka pembagiannya adalah setengah dari harta bersama dengan istri pertama dijumlah dengan setengah bagian dari harta bersama dengan istri kedua dan dijumlah lagi dengan setengah bagian dari harta bersama dengan istri ketiga. Maka jumlah keseluruhan dari harta bersama yang diperoleh suami dari jumlah keseluruhan harta bersama adalah3/2bagian,yaitu melalui proses penghitungan 1/2+1/2+1/2=3/2.91

89

M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Kewarisan, Acara PA dan Zakat Menurut Hukum Islam, hal. 37

90

Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. hal. 41 91

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, hal. 285

(15)

serentak bersama-sama berhak secara bersekutu untuk mewarisi atau membagi harta tersebut sesuai dengan porsi yang ditentukandalam ilmu faraidh.92

Sedangkan dalam Buku II ditegaskan, apabila terjadi pembagian hartabersama terhadap suami yang melakukan perkawinan poligami karena kematian ataupun karena perceraian, maka perhitungannya ialah bahwa untuk istri pertama 1/2 dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama perkawinan, kemudian ditambah 1/3x harta bersama yang diperoleh suami bersama denganistri pertama dan istri kedua, kemudian ditambah 1/4x harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan istri pertama, istri kedua dan istri ketiga,kemudian ditambah 1/5x harta bersama yang diperoleh suami bersama istri pertama, istri kedua, istri ketiga dan istri keempat.

Sedangkan terhadap harta bersama yang menjadi bagianistri-istri, harta bersama tersebut tetap terpisah dan hanya untuk istri dan anak-anaknyamasing- masing.

93

Pembagian harta bersama perlu didasarkan pada aspek keadilan untuksemua pihak yang terkait.Keadilan yang dimaksud mencakup pada pengertian bahwa pembagian tersebut tidak mendiskriminasikan salah satu pihak Kepentingan masing-masing pihak perlu diakomodasi asalkan sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.Dalam realitas kehidupan bermasyarakat, pembagian harta bersama kerap menimbulkan persengketaan diantara pasangan suami istri yang telah bercerai, terutama apabila disebabkan adanya salah satu di antara kedua pasangan yang tidak mempunyai penghasilan, baik istri maupunsuami. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dijelaskan, maka masing-masing dari pasangan tersebut mendapat bagian yang sama. Artinya, pasangan yang tidak bekerja tetap mendapatkan bagian.Meskipun demikian, pembagian dengan persentase 50:50 tidaklah mutlak, bisa juga didasarkan pada siapa yang paling besar penghasilannya.94

92

ibid, hal. 288 93

Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, hal.132 94

(16)

C.Sumber-Sumber Harta Bersama

Mengenai sumber harta bersama muncul pertanyaan, apakah benar semuaharta yang didapat dalam perkawinana antara suami istri selama berumah tangga adalah merupakan harta bersama? Kalau memperhatikan asal usul harta yang didapat suami istri dapat disimpulkan dalam tiga sumber :95

1. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum kawinbaik diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya,disebut sebagai harta bawaan.

2. Harta masing-masing suami istri yang diperolehnya selama berada dalamhubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan karena usaha merekabersama-sama maupun sendiri-sendiri, tetapi diperolehnya karena hibah,warisan, ataupun wasiat untuk masing-masing.

3. Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinanatas usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka disebut hartapencaharian.

Harta bersama yang dimiliki suami istri dari segi hukum diatur dalamUndang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35 dan 36 sebagai berikut :96

1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama;

Pasal 35:

2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 :

1) Mengenai harta bersama suami istri dapat bertinak atas persetujuan kedua belah pihak;

2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya;

95

Soemiati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkwinan, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hal. 99

96

(17)

Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “adanya hartabersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. Adapun jenis-jenis harta bersama di dalam pasal 91 Kompilasi HukumIslam dinyatakan sebagai berikut:

1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga.

3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. 4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu

pihak atas persetujuan pihak yang lainnya.97

Menurut ketentuan dalam pasal 100 dan pasal 121 persatuan hartakekayaan meliputi: “harta kekayaan suami dan istri, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sekarang maupun yang kemudian, termasuk juga yang diperoleh dengan cuma-cuma (warisan, hibah); segala beban suami dan istri yang berupa hutang suami dan istri, baik sebelum maupun sepanjang perkawinan”.98

97

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, hal. 135 98

Ali Afandi, “Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian”, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), hal. 167

Memperhatikan pasal 91 KHI di atas bahwa yang dianggap harta bersama adalah berupa benda milik suami istri yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai hukum, yaitu mempunyai nilai kegunaan dan ada aturan hukum yang mengatur.Harta bersama dapat berupa benda berwujud yang meliputi benda bergerak dan tidak bergerak serta harta bersama dapat berbentuk surat-surat berharga dan harta bersama dapat berupa benda tidak berwujud berupa hak dan kewajiban.

(18)

a. Berdasarkan Hukum Adat

Menurut hukum Adat mengenai kedudukan harta perkawinan dipengaruhi oleh susunan masyarakat adatnya, bentuk perkawinan yang berlaku dan jenis hartanya.99Mengenai harta bersama dalam perkawinan diantara suami dan istri ialah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan dan pada saat itu keduanya bekerja untuk kepentingan keluarga.100

Dalam masyarakat adat sering dikenal dengan adanya istilah somah atau serumah yang memiliki arti bahwa suami dan istrisebagai suatu kesatuan.

Harta bersama dalam hukum Adat merupakan bagian dari harta perkawinan.Apabila dilihat lebih lanjut harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan oleh suami istri untuk membiayai hidup mereka sehari-hari beserta anak-anaknya.

101

Hukum adat menyebutkan bahwa harta perkawinan ituterdiri dari harta bawaan (Lampung: sesan, Jawa: gawan, Batak: ragiragi), harta pencarian Minangkabau: harta suarang,

Dengan demikian dapat disebutkanbahwa harta perkawinan pada umumnya digunakan untukkeperluan somah (serumah).

102

99

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, EdisiRevisi (Bandung: Mandar Maju, 2014), hlm. 190.

100

Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1980), hlm. 225.

101

Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2006) hlm. 25. 102

Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia; Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), cet. 1, hlm. 105.

Jawa: gana-gini, Lampung: massow besesak), danharta peninggalan (harta pusaka, harta warisan) dapatditambahkan pula dengan harta pemberian (hadiah, hibah danlain-lain).

Terdapat juga pendapat lain mengenai harta perkawinandalam hukum Adat menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadiempat macam sebagai berikut : 1. Harta yang diperoleh suami atau istri sebagai warisan atau hibah dari kerabat

masing-masing dan dibawa kedalam perkawinan.

2. Harta yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.

(19)

4. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersamapada waktu pernikahan.103Sehubungan dengan bentuk hartabersama telah dibenarkan eksistensinya dalam kehidupanmasyarakat dan oleh berbagai yurisprudensi tanpamempersoalkan lingkungan adat seperti pendapat yang dikemukakan oleh Vandijk dan Ter Haar.104

2. Harta yang dimiliki masing-masing suami istri sebagai hibah atau usaha sendiri.

Menurut Djodjodigoeno dan Tirtawinata dalam bukunya“Adat Privat Recht Van Middle-Java”, bahwa masyarakat JawaTengah membagi harta perkawinan menjadi dua macam, yaitu :

1. Harta yang diperoleh masing-masing suami istri sebagaiwarisan dari orangtua atau nenek moyang.

105

Harta bersama memiliki konsepsi bahwa segala kekayaan yang diperoleh suami atau isteri selama perkawinanberlangsung termasuk harta bersama, selama suami isteritersebut sama-sama bekerja untuk keperluan somah.Pengertianbekerja itu sendiri lama-kelamaan menjadi semakin luas dankabur, sehingga seorang istri yang bekerja dirumah saja untukmemelihara anak-anak dan mengurus rumah tangga sudahdianggap bekerja juga, sehingga dalam hal ini semua kekayaanyang

in concreto106

Hal ini menekankan suatu kesamaan dalam usaha, sebabmeskipun pihak isteri tidak bekerja sendiri untuk memperolehharta tersebut, namun dengan memelihara anak-anak danmembereskan urusan rumah tangga itu, pihak suami telah menerima bantuan yang sangat berharga dan sangatmempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari- hari, sehinggasecara tidak langsung juga

diperoleh suami menjadi harta bersama.

103

R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia ...., hlm. 181. 104

Vandijk menyebutkan “segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta

pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat”.Sedangkan Ter Haar mengatakan bahwa dalam arti umum harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh suami istri selama perkawinan”. Lihat, Yahya Harahap,

Kedudukan Kewenangan dan AcaraPeradilan Agama; UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), cet. II, hlm.271.

105

M.M. Djodjodigoeno, Asas-asas Hukum Adat, (JogJakarta: Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada, 1958), hlm. 82.

106

Hukum In Concreto adalah peraturan hukum yang berlaku pada suatu negara yang telah diterapkan oleh Pengadilan terhadap suatu kasus yang terjadi dalam masyarakat. Hukum in concreto berlaku terhadap pihak yang berperkara saja, termuat dalam putusan pengadilan. Baca selengkapnya, Peter Mahmud Marzuki, PengantarIlmu Hukum, (Jakarta: Kencana

(20)

mempengaruhi jumlah harta yangdiperoleh. Selain itu, apabila dalam mengurus rumah tanggasehari- hari, isteri mampu melakukan penghematan yang pantas,maka secara langsung isteri juga membantu dalam memeliharadan memperbesar harta milik bersama suami isteri.

Oleh karena itu, anggapan umum yang saat ini berlakuadalah bahwa harta yang diperoleh selama dalam perkawinanselalu menjadi milik bersama suami isteri, tanpa mempersoalkan siapakah yang sesungguhnya berjerih payahmemperoleh harta tersebut.

b. Berdasarkan Agama (Hukum Islam)

Merujuk pada ketentuan pasal 35 UU No. 1 tahun 1974,membahas tentang harta bersama dalam perkawinan, hukummengenal dua jenis harta, yaitu :

1. Harta yang diperoleh selama perkawinan, menjadi hartabersama.

2. Harta bawaan masing suami istri dan harta yangdiperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yangdisebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya beradadibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.107

Hukum Islam tidak mengatur tentang harta bersama danharta bawaan kedalam ikatan perkawinan, yang ada hanyamenerangkan tentang adanya hak milik pria atau wanita sertamaskawin ketika perkawinan berlangsung. Didalam Al-Qur‟ansebagaimana dalam surat An-Nisaa‟ ayat 32 :Artinya :“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yangdikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebihbanyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagiorang laki-laki ada bahagian dari pada apa yangmereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) adabahagian dari apa yang mereka usahakan, danmohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segalasesuatu.” (QS. An-Nisa‟: 32).108

Ayat tersebut bersifat umum, tidak ditujukan terhadap suamiatau istri.Jadi bukan hanya ditujukan kepada suami istri saja,melainkan semua pria dan semua

107

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama; UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), cet. II, hlm. 270.

108

(21)

wanita. Jika mereka berusahadalam kehidupannya sehari-hari, maka hasil usaha merekatersebut merupakan harta pribadi yang dimiliki dan dikuasai

serta dapat dipergunakan oleh masing-masing individu.Berbeda dengan sistem Hukum Perdata Barat (BW) dalamhukum Islam tidak dikenal percampuran harta kekayaan antarasuami dan istri karena perkawinan.109Harta kekayaan istri tetapmenjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri tersebut.Demikian juga harta kekayaan suami tetap menjadi milik suamidan dikuasai sepenuhnya olehnya. Oleh karena itu pula wanitayang bersuami, tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuansuami dalam soal apapun juga termasuk mengurus harta benda,sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat.110

Sejarah umat Islam mengenai harta bersama berdasarkanpendapat Imam Syafi‟i menyatakan tidak memperbolehkanbentuk syirkah perkongsian yang

Meskipun gono-gini tidak diatur secara jelas dalam fiqhIslam, namun keberadaannya diterima oleh sebagian besarulama‟ Indonesia.Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwamasyarakat Indonesia antara suami dan istri bersama untuksaling melengkapi dalam hal ekonomi.Apabila karena sesuatu hal suami tidak dapat melaksanakankewajibannya sementara suami sesungguhnya mampu, maka siisteri dibenarkan mengambil harta suaminya itu, untukmemenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya secara makruf.Seperti penegasan Rasulullah SAW sehubungan dengan laporanHindun binti Utbah isteri Abu Sufyan yang tercantum dalamhadits riwayat Bukhari berikut ini:

Artinya: telah menceritakan kepadaku Yahya dari Hisam, diaberkata: telah menceritakan kepadaku Bapakku dariA‟isyah ra., bahwasanya Hindun binti Utbah isteri AbiSufyan menghadap Rasululullah SAW, mengadu:Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya Abu Sufyanadalah seorang yang pelit (kikir), ia tidak member nafkah yang cukup kepadaku dan anakku, kecuali akumengambil sendiri hartanya tanpa sepengetahuannya,apakah aku menanggung dosa atas tindakan tersebut?Beliau bersabda: “Ambil saja hartanya secara makruf,untuk mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu(HR. al Bukhari).

109

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 29-30.

110

(22)

disamakan dengan hartabersama pasca putusnya perkawinan, karena tidak bermodal,dan juga pada dasarnya yang dinamakan syirkah adalahpercampuran modal.111Berbeda dengan Abu Hanifah, karenabentuk perkongsian ini sudah dijelaskan dalam masyarakat padaumumnya, dan sebagian besar ulama‟ dan juga masyarakatpunmenerimanya.Abu Hanifah mengatakan bahwa bentukperkongsian tersebut bukan untuk mengembangkan harta, tapimencari harta, sedangkan mencari harta lebih dianjurkandaripada mengembangkan harta.112

Harta pencaharian suami istri biasa dikatakan syirkah abdankarena kenyataan bahwa seseorang sebagian besar dari suamiistri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerjamembanting tulang berusaha mendapatkan nafkah hidup.Hartapencaharian dikatakan syirkah abdan karena anggotanya hanyadengan usaha tanpa modal.Dikatakan mufawwadhah artinyatidak terbatas.113

111

Idris Ramulyo, Hukum, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum IslamH.M.A Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), cet. I, hlm. 183., (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet. I, hlm.37.

112

H.M.A Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), cet. I, hlm. 183.

113

Happy Susanto, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta: Visi Media, 2008), hlm. 53.

c. Berdasarkan Hukum Positif

Keberadaan harta bersama dalam perkawinan telah diaturdalam hukum positif. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974pada pasal 35 memberi pengertian bahwa harta benda yangdiperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama pada saatikatan perkawinan berlangsung termasuk harta bersama.Maksudnya, harta yang didapat atas usaha mereka, atau sendirisendiriselama masa ikatan perkawinan.

(23)

(Pasal 122 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atauBurgerlijk Wetboek).”114 Harta bersama didalam KUH Perdata (BW) menurutUndang-undang dan pengurusannya diatur dalam bab VI pasal119-136, yang terdiri dari tiga bagian, bagian pertama tentangharta bersama menurut (pasal 119-123) bagian kedua tentangpengurusan harta bersama (pasal 124-125) dan bagian ketigatentang pembubaran gabungan harta bersama dan hak untukmelepaskan diri dari padanya (pasal 126-138).115

istri dalam kaitannya dengan perkawinan.

Menurut KUH Perdata sejak saat dilangsungkan perkawinan,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarasuami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuandalam perjanjian perkawinan. Harta Bersama ituselama perkawinan berjalan tidak boleh diadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri (Pasal 119).Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itumeliputi barang bergerak dan barang-barang yang tidakbergerak suami atau istri itu, baik yang sudah ada maupunyang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secaracuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yangmewariskan atau yang menghibahkan menentukankebalikannya dengan tegas (Pasal 120).

Mengenai yurisprudensi Peradilan Agama juga dijelaskanbahwa harta bersama yaitu harta yang diperoleh masaperkawinan dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baikpenerimaan itu lewat perantara istri maupun lewat perantaraansuami. Harta ini diperoleh sebagai hasil karya-karya dari suami

116

Menurut Damanhuri asal usul dari harta yang didapatkan suami istri yaitu melalui empat sumber:Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah satu seorang dari atau suami istri, harta hasil usaha sendiri sebelum mereka menikah, harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan, harta yang

Harta bersamadalam perkawinan merupakan perkara perdata yangkewenangannya terletak pada Peradilan Agama bagi yangberagama Islam dan Peradilan Umum bagi yang beragama selain Islam.

114

R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,(Jakarta: J.B. Wolters, 1980), cet,III, hlm. 35-36.

115

Niniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 29-33.

116

(24)
(25)

BAB IV

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN (STUDI

PADA PENGADILAN AGAMA PANYABUNGAN KOTA, KABUPATEN

MANDAILING NATAL)

1. Dampak perceraian terhadap harta bersama pada masyarakat Kabupaten

Mandailing Natal

Dampak perceraian terhadap harta bersama pada masyarakat Kabupaten Mandailing Natal sangat relevan terhadap wilayah tersebut, yang mana perceraian yang mengakibatkan pembagian harta bersama di wilayah adat tersebut sangatlah berperan penting, dikarenakan wilayah Kabupaten Mandailing Natal adalah wilayah yang masih menganut adat istiadat yang erat, dimana apabila ada suatu masalah harus melalui ketua atau pun masyarakat setempat, tidak terkecuali mengenai perceraian.

Akibat hukum percerain terhadap harta bersama diatur dalam pasal 37 UU No 1 tahun 1974 tentang perceraian menyatakan “bila perkawinan putus karena percerain, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”117

Menurut H.Hilman Hadikusuma dalam bukunya mengatakan akibat hukum yang menyangkut harta bersama berdasarkan pasal 27 UU Perkawinan ini diserahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku

lebih jauh dalam pasal 31 UU perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

118

117

Pasal 37 Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan 118

H.Hilman Hadikusuma “hukum perkawinan Indonesia menurut Perundang hukum adat Hukum agama” hal.189

, dan jika tidak ada kesepakatan antara mantan suami-istri, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.

Jadi, akibat suatu perceraian terhadap harta bersama bagi setiap orang dapat berbeda-beda, tergantung dari hukum apa dan mana yang akan digunakan para pihak untuk mengatur harta bersama.

Penjelasan lebih lanjut mengenai frasa “hukumnya amasing-masing”

(26)

1. Untuk yang beragama Islam, ada ketentuan mengenai harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 97 KHI mengatur “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama

sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

2. Lalu, dijelaskan Hilman, bagi umat Katolik pada dasarnya tidak ada perceraian dalam agama Ktolik, karena agama katolik menolak adanya perceraian. Namun dalam praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat berceraian secara perdata, walaupun secara Katolik perceraian tersebut dianggap tidak sah.

3. Selaian itu perceraian terhadap harta bersama juga dapat ditentukan oleh hukum adat yang digunakan para pihak, apabila para pihak menggunakan hukum adat untuk mengatur akibat perceraian.Sehingga, segala sesuatu mengenai harta bersama diatur berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-masing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dan yang lainnya.

2. Jumlah perkara mengenai Harta Bersama di Pengadilan Agama

Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal

Berdasarkan hasil riset dan wawancara dengan salah satu hakim di Pengadilan Agama Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal RISMAN HASAN, S.HI., M.H bahwa dari tahun 2012-2017 jumlah kasus tentang pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal berjumlah 9 (Sembilan) kasus, akan tetapi tidak semua kasus telah putus, diantaranya 4 (empat) kasus sedang berjalan sampai saat ini, 2 (dua) kasus telah dicabut dan 3 (tiga) kasus telah putus.

(27)

karena perceraian telah dilangsungkan berdasarkan adat pada bulan April 2016, tetapi Tergugat tidak memberikan hak harta terhadap Penggugat.Pada kasus ini persidangan masih berjalan pada tahap Pembuktian.

Dari 2 (dua) kasus yang telah dicabut, penulis menjabarkan dari hasil wawancara bersama Hakim Pengadilan Agama Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal bahwa alasan Penggugat mencabut gugatannya karena kedua belah pihak telah sepakat berdamai dan tidak melanjutkan persidangan

Berdasarkan 3 kasus yang telah putus tersebut, penulis mencantumkan 1 (satu) contoh kasus yang telah putus di tahun 2012:

CONTOH KASUS

Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Mandailing Natal dengan register No : 157/Pdt.G/2012/Pa/Pyb tanggal 28 Juni 2012

DUDUK PERKARA

Pengadilan Agama Panyabungan yang telah membaca dan mempelajari perkara No.157/Pdt.G/2012/PA.Pyb yang mana sebagai objek penelitian penulis. Sebelum penulis mengetengahkan kasus tentang pembagian harta bersama sesudah perceraian, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu orang-orang yang berada dalam putusan ini adalah :

Assriannur binti Sangkot,umur 29 tahun, agama islam, pendidikian SLTA, pekerjaan tani, tempat kediaman di Desa Panggautan, Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Natal, sebagai penggugat.

MELAWAN

Surianto bin Sukandi, umur 32 Tahun, pendidikan SD, pekerjaan tani, tempat kediaman di Desa SukaMaju, Kecamatan Natal, Kabuten Mandailing Natal, sebagai tergugat.

Tentang duduk perkaranya, bahwa penggugat dengan suratnya tertanggal 28 Juni 2012 mengajukan gugatan cerai atas tergugat, gugatan mana di daftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama Panyabungan dengan register No : 157/Pdt.G/2012/Pa/Pyb tanggal 28 Juni 2012, yang isinya sebagai berikut :

(28)

Kantor Urusan Agama Kecamatan Natal, Kabupaten mandailing Natal sesuai bukti Akte Nikah No : 120/8/IX/2013 tanggal 10 September 2003. b. Bahwa setelah akad nikah tersebut Penggugat dengan Tergugat bertempat

kediaman di rumah orang tua Penggugat di Desa Panggautan selama 6 bulan, kemudian pindah kerumah orang tua Tergugat di Desa Suka Maju selama 6 bulan, selanjutnya pindah ke desa Tandikek selama 8 bulan, lalu pindah ke Desa Suka Maju selama 6 bulan dan terakhir pindah dan tinggal di Desa Buburan.

c. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah bergaul sebagaimana layaknya suami istri (ba’daddukhul) telah dikaruniai keturunan dua orang anak bernama :

1. Laila Sari (Pr) umur 8 tahun 2. Nurmala Sari (Pr) umur 2 tahun

d. Bahwa keadaan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat semula berjalan rukun dan baik, namun sejak tahun 2005 timbul perkara perslisihan anatara Penggugat dan Tergugat yang pada pokoknya disebabkan oleh :

1. Tergugat berlaku kasar kepada Penggugat jika ada hal kecil atas tindakan Penggugat yang tidak diinginkan Tergugat, Tergugat terus marah dan sering memukul tangan, badan serta kepala Penggugat 2. Tergugat kurang perhatian dan tidak menyayangi Penggugat sebagai

istri pernah tangan Penggugat luka kena parang dan Tergugat tidak memperdulikan Penggugat

3. Uang hasil panen tidak pernah diberikan kepada Penggugat malahan Tergugat memberikannya kepada saudara serta orangtuanya

e. Bahwa akibat tindakan Tergugat terhadap Penggugat tersebut, pada bulan Oktober 2008 pihak keluarga Penggugat serta Tergugat berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugaat, dan pada saat itu Tergugat menandatangani surat perjanjian yang intinya tidak mengulangi perlakuan memukul dan menampar Penggugat

(29)

Tergugat, lalu pada bulan Mei 2012 Tergugat pulang ke rumah orang tua Penggugat seperti alamat diatas

g. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat sudah sering didamaikan pihak keluarga namun tidak berhasil

h. Bahwa kedua anak Penggugat dan Tergugat pada saat ini belum dewasa, untuk itu Penggugat sebagai ibu kandung dari kedua anak tersebut bermohon agar hak asuh kedua anak tersebut diberikan kepada Penggugat i. Bahwa Penggugat agar Tergugat memberikan belanja kedua anak

Penggugat dan Tergugat sebesar Rp. 500.000.- sebulan untuk masa yang akan datang hingga kedua anak tersebut dewasa atau mandiri

j. Bahwa selama pernikahan antara Penggugat dan Tergugat telah memiliki harta bersama yang pada saat ini dikuasai oleh Tergugat berupa :

a. Sebidang tanah dengan luas 2 hektar yang diatasanya ditanam kelapa sawit saat ini usia 5 tahun, yang terletak di Desa Buburan dengan batas-batas :

- Sebelah timur dengan kebun Pak Dilim

- Sebelah Barat dengan kebun milik orang Natal - Sebelah selatan dengan kebun Pak Barus - Sebelah Utara dengan jalan ke PT Siongga

b. Sebidang tanah dengan luas 1 hektar yang diatasnya di tanam kelapa sawit saat ini usianya 3 tahun, yang terletak di Desa Buburan dengan batas-batas :

- Sebelah timur dengan kebun Pak Tarmen dan Jirman - Sebelah barat dengan kebun Pak Boan

- Sebelah selatan dengan kebun orang Buburan - Sebelah utara dengan kebun pak Tarmen

c. Bahan bangunan berupa kayu kapur olahan 7 kubik, seng 7 kodi yang disimpan di Desa Suka Maju tempat tinggal Tergugat

d. Hasil panen jagung dan semangka dengan nilai Rp. 10.000.000.- saat ini disimpan oleh Tergugat.

(30)

l. Bahwa dengan keadaan rumah tangga seperti yang dijelaskan diatas Penggugat sudah tidak memilki harapan akan dapat hidup rukun kembali bersama Tergugat untuk membina rumah tangga yang bahagia di masa yang akan datang. Dengan demikian, gugatan cerai Penggugat telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang Undangan yang berlaku.

Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat memohon agar Ketua Pengadilan Agama Panyabungan memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat

2. Menjatuhkan talak satu bain sughra dari Tergugat (SURIANTO BIN SUKANDI) atas diri Penggugat (ASRIANNUR BINTI SANGKOT) 3. Menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak asuh anak-anak

terhadap kedua anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Laila Sari (pr) umur 8 tahun dan Nurmala Sari (Pr) umur 2 tahun

4. Menetapkan belanja kedua anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Laila Sari (pr) umur 8 tahun dan Nurmala Sari (Pr) umur 2 tahun sebesar Rp. 500.000.- (lima ratus ribu ripiah) setiap bulan

5. Menghukum Tergugat untuk memberikan belanja kedua anak Penggugat dan Tergugat kepada Penggugat setiap bulan hingga anak tersebut dewasa dan mandiri

6. Menetapkan harta bersama Penggugat dan Tergugat berupa :

a. Sebidang tanah dengan luas 2 hektar yang diatasanya ditanam kelapa sawit saat ini usia 5 tahun, yang terletak di Desa Buburan dengan batas-batas :

1) Sebelah timur dengan kebun Pak Dilim

2) Sebelah Barat dengan kebun milik orang Natal 3) Sebelah selatan dengan kebun Pak Barus 4) Sebelah Utara dengan jalan ke PT Siongga

(31)

1) Sebelah timur dengan kebun Pak Tarmen dan Jirman 2) Sebelah barat dengan kebun Pak Boan

3) Sebelah selatan dengan kebun orang Buburan 4) Sebelah utara dengan kebun pak Tarmen

c. Bahan bangunan berupa kayu kapur olahan 7 kubik, seng 7 kodi yang disimpan di Desa Suka Maju tempat tinggal Tergugat

d. Hasil panen jagung dan semangka dengan nilai Rp. 10.000.000.- saat ini disimpan oleh Tergugat.

7. Menghukum Tergugat untuk memberikan bahagian Penggugat setengah dari harta bersama Penggugat dan Tergugat tersebut pada poin tiga di atas

8. Membebankan semua biaya yang timbul akibat perkara ini menurut peraturan yang berlaku

- Jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya

Penggugat juga menambahkan keterangan dengan tambahan sebagai berikut: - Bahwa harta bersama kebun sawit 1 hektar, tanah dan modalnya milik

saudara Tergugat, Penggugat dan Tergugat ditugaskan untuk merawat kebun sawit tersebut seluas 3 (tiga) hektar dengan perjanjian bila berhasil akan diberikan bagian 1 (satu) hektar.

Bahwa atas gugatan Penggugat tersebut, Tergugat memberikan jawaban secara lisan dalam Persidangan yang pada pokoknya dapat dikutip sebagai berikut:

1) Bahwa Tergugat memberikan gugatan Penggugat sepanjang identitas, tanggal pernikahan dan keturunan

2) Bahwa setelah menikah Penggugat dan Tergugat tinggal dirumah kontrakan kantor SPT 2 Desa Suka Maju kemudian pindah ke rumah sendiri di kebun sakit di Desa Buburan

(32)

4) Bahwa pertengajaran Penggugat dan Tergugat sejak tahun 2004 dan opada tahun 2005 sebanyak tiga kali dan bulan Oktober 2008 Tergugat dan Penggugat telah didamaikan namun pada bulan Mei 2012 Penggugat pergi meninggalkan kediaman bersama tanpa sepengetahuan Tergugat

5) Bahwa Tergugat tidak bersedia bercerai dengan Penggugat, dan Tergugat keberatan bila hak asuh anak diberikan kepada Penggugat sebab saat ini kedua anak tersebut disia-siakan Penggugat, anak yang pertama tidak masuk sekolah dan sempat tidak naik kelas.

6) Bahwa Tergugat tidak bersdia memberikan belanja anak untuk masa yang akan datang

7) Bahwa benar Tergugat dan Penggugat memilki harta bersama berupa kebun sawit seluas 2 (dua) hektar dan sudah menghasilkan dengan batas-batas sebagaimana dalam gugatan Penggugat

8) Bahwa tidak benar Penggugat dan Tergugat memiliki harta bersama berupa kebun sawit seluas 1 (satu) hektar, sebab kebun sawit tersebut milik kakak kandung Tergugat dan tidak pernah dijanjikan menjadi milik Tergugat dan Penggugat

9) Bahwa Penggugat dan Tergugat memiliki harta bersama berupa bahan bangunan yang terdiri dari seng 2 (dua) kodi dan kayu kapur 5 (lima) kubik bukan 7 (tujuh) kubik, sekarang bahan bangunan tersebut disimpan dirumah orang tua Tergugat

10)Bahwa tentang hasil panen jagung dan semangka berupa uang sejumlah Rp. 10.000.000.- (sepuluh juta rupiah) sudah habis digunakan untuk biaya hidup sehari-hari

Bahwa atas jawaban Tergugat tersebut, Penggugat menyampaikan replik yang pada pokoknya sebagaimana gugatan Penggugat .

(33)

3. Dasar Pertimbangan Hukum Atas Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Mandailing Natal

Berdasarkan DUDUK perkara tersebut bahwa Majelis Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Mandailing Natal untuk memutuskan perkara No.157/Pdt.G/2012/PA.Pyb tersebut melalui pertimbangan hukum, adapun pertimbangan dari Majelis Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Mandailing Natal yaitu:

Majelis hakim dalam memutus suatu perkara hendaknya bebas campur tangan dari pihak lain dan tidak memihak diantaranya,sehingga dapat menghasilkan putusan yang berkeadilan berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan. Didalam salinan putusan Pengadilan Agama No.157/Pdt.G/2012/PA.Pyb tentang gugat cerai dan pembagian harta bersama tersebut terdapat beberapa pertimbangan hakim diantaranya :

Bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat agar rukun kembali dalam rumah tangga, dan menyerahkannya kepada Hakim Mediator, HASANUDDIN, S.Ag untuk di mediasi, akan tetapi tidak berhasil, dengan demikian ketentual pasal 154 ayat (1) RBg.Go.Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 yang direvisi dengan Undang-Undang-Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01 tahun 2008 tanggal 01 Desember 2010 tentang mediasi dianggap telah terpenuhi.

Bahwa berdasarkan pengakuan Penggugat dan Tergugat dan sesuai dengan bukti P.1, menunjukkan bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang sah, dengan demikian Penggugat adalah pihak yang berkepentingan dalam mengajukan perkara ini (Persona Standi In Judicio).

(34)

dalam hal ini apakah benar yang di dalilkan Penggugat tersebut atau setidaknya apaka telah cukup alasan bagi Penggugat untuk bercerai dari Tergugat.

Bahwa atas gugatan Penggugat tersebut Tergugat telah memberikan jawaban yang pada pokoknya mengakui bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat akhir-akhir ini kurang harmonis, antara Penggugat dan Tergugat memang terjadi pertengkaran dan sudah berpisah selama 4 bulan lebih, dan Tergugat pernah memukul Penggugat 1 kali. Namun penyebabnya karena Penggugat yang melawan dan tidak mau menerima nasehat Tergugat.

Bahwa jawabannya Tergugat juga menyatakan mengetahui ada perjanjian antara Penggugat dan tergugat pada bulan Oktober 2008 namun antara keduanya terjadi lagi pertengkaran pada bulan Mei 2012 dan akibat pertengkaran tersebut Penggugat pergi meninggalkan kediaman bersama tanpa izin dari Tergugat walaupun setelah pisah ada upaya keluarga untuk mendamaikan Penggugat dengan Tergugat, akan tetapi tidak berhasil serta tergugat tidak bersedia bercerai dengan Penggugat.

Bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan bukti p.1 sebagaimana telah dipertimbangkan diatas serta empat orang saksi seperti apa yang tersebut di dalam duduknya perkara yang akan dipertimbangkan lebih lanjut sepanjang hal-hal yang berhubungan dengan perkara ini.

Bahwa dua orang saksi yang diajukan Penggugat untuk memperkuat gugatan perceraiannya, oleh majelis menilai secara formil telah memenuhi syarat sebagai saksi dan secara materik keterangan kedua oran gsaksi dikategorikan berselisih dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat yang disebabkan Tergugat berlaku kasar, kedua saksi pernha melihat bekas pukulan ditubuh Pengggugat, kedua saksi juga mengetahui antara Penguggat dan Tergugat pernah di damaikan pada tahun 2008 namun Tergugat kembali mengulangi tindakan kasarnya terhadap Penggugat, dengan demikian keterangan kedua orang saksi Penggugat dapat diterima sebagai saksi.

(35)

keluarga Pengggugat sudah tidak sanggup lagi mendamaikan Penggugat dan Tergugat.

Bahwa dalam jawabannya Tergugat mengakui adanya pertengkaran anatara Pengguggat meskipun Tergugat membantah penyebabnya, pengakuan tergugat tentang telah terjadinya pertengkaran membenarkan gugatan Penggugat sepanjang telah terjadinya perselisihan dan pertengkaran,

Bahwa meskipun telah diberi kesemptan yang luas untuk membuktikan jawaban dan bantahannya, Tergugat tidak menggunakan haknya dan tidak pula memebantah keterangan saksi-saksi Penggugat sehingga keberatan Tergugat tidak perlu dipertimbangkan.

Bahwa berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan di atas, maka Majelis menemukan fakta dalam perkara ini sebagai berikut:

1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah, telah dikaruniai keturunan masing-masing bernama: Laila sari (pr) umur 8 tahun dan Nurmala sari (pr) umur 2 tahun dan kedua anak tersebut tinggal bersama dengan penggugat.

2. Bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisiha dan pertengkaran yang sangat sulit untuk dirukunkan kembali yang disebabkan Tergugat bersikap ksar terhadap Penggugat dan Tergugat pernah memukul Penggugat.

3. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah berpisah tempat tingggal selama lebih kurang 4 bulan dan hingga saat ini tidak pernah saling memperdulikan lagi

4. Bahwa pihak keluarga sudah pernah mendamaikan Penggugat dan Tergugat, namun tidak berhasil dan pihak keluarga juga tidak mampu lagi mendamaikan Penggugat dan Tergugat

(36)

mempertahankan rumah tangga yang demikian tidaklah mendatangkan kemaslahatan dan justru akan menimbulkan kemudaratan berkepanjangan bagi kedua belah pihak suami istrei, hal mana dalam bentuk yang bagaimanapun kemudratan itu harus dihindari sedapat mungkin, sesuai dengan kaedah fiqh:“kemudratan harus dihindarkan sedapat mungkin” dan “menghindarkan dari kemudaratan lebih diutamakan dari menarik kemaslahatan”

Bahwa berdasarkan hal-hal yang di pertimbangkan diatas majelis menilai bahwa Penggugat sudah demikian kuat keinginannya untuk bercerai, hal mana dalam keadaaan yang demikian ajaran Islam membenarkan Hakim untuk menjatuhkan talak suaminya dengan talak satu, sesuai dengan dalil dalam Kitab Ghoyatul Muramm Li Asy Syahril Majdi seabagai berikut:

“Apabila sudah sangat kuat ketidak sukaan (kebencian) isteri kepada suaminya, maka hakim dapat menjatuhkan talak suaminya dengan talak satu”

Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, majelis menilai bahwa dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah terjadi rumah tanggga yang pecah (Marriage breakdown) yang sulit untuk dirukunkan lagi, dengan demikian keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah memenuhi unsure-unsur pasal 19 huruf (f) PP No.9 Tahun 1979 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.

Bahwa atas rumah tangga Penggugat dan Terguugat tersebut, sesuai dengan pasal 22 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 telah didengar keterangan keluarga/ orang dekat Penggugat, dengan demikian Majelis berkesimpulan bahwa gugatan Penggugat telah terbukti dan memenuhi syarat dan alasannya, oleh karena itu gugatan Pengugat sudah sepatutnya dikabulkan dengan menjatuhkan talak satu bain sughra Terhadap Penggugat.

Bahwa dalam gugatan pokok perkaranya Penggugat juga mengajukan hak asuh (hadlonah) anak Penggugat dan Tergugat masing-masing bernama: Laila sari (pr) umru 8 tahun dan Nurmala sari (Pr) umur 2 tahun, Majelis mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

(37)

memiliki hak-hak”. Semua hak-hak tersebut akan berlaku secara efektif apabila ia telah lahir.

Bahwa secara normative masalah hadlonah (pemeliharaan anak) di Indonesia telah di atur dalam undang-undang No1 tahun1974 tentang perkawinan dan inpres No. 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam di Indonesia.

Bahwa akibaat putusnya perkawinan, maka Penggugat selaku ibu ataupun Tergugat sebagai Ayah tentu sangat berkewajiban memelihara dan mendidik anak –anak mereka sampai anak tersebut bisa hidup mandiri, pemeliharaan bagi anakl yang belum mumayyiz atau belum mencapai umur 12 tahun adalah menjadi hak ibunya, adapun bilamana anak itu sudah mumayyiz atau telah mencapai umur 12 tahun, maka pemeliharaannya diserahkan kepada anak itu sendiri untuk memilih diantara ayah dan ibu mereka untuk memegang hak pemeliharaannya, akan tetapi mengenai biaya pemeliharaan dan pendidikan tetap menjadi tanggung jawab ayahnya sebagai mana diatur dalam ketentuan pasal 105 jo pasal 149 sub (d) dan pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.

Bahwa dalam perkara ini anak Laila sari (perempuan) umur 8 tahun dan Nurmala sari (perempuan) umur 2 tahun kini berada dalam pengasuhan dan pemelihraan Penggugat, maka dengan melihat kenyataan tersebut bagi anak-anak Penggugat dan Tergugat dapt dipastikan kini mereka telah memperoleh kasih sayang orang tuanya.

Bahwa sebagaimana rumusan dari bunyi pasal 1 angka 4 jo pasal 26 ayat (1) hurup (a) No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak disebutkan bahwa ‘…adalah ayah dan/atau ibu kandung….” Yang “…berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai kemampuan, bakat dan minatnya....”

Bahwa dalam hal pengasuhan anak tersebut para Ulama telah sepakat bahwa dalam asuhan seperti itu disyaratkan orang yang mengasuh harus berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri/terpelihara, bukan pelaku maksait dan tidak mengabaikan anak yang diasuhnya.(vide fiqih lima madzhab, Muhammad jawad mughniyah, lentera, 2003:416 )

Referensi

Dokumen terkait

3.1 Memahami konsep pengukuran berbagai besaran yang ada pada diri, makhluk hidup, dan lingkungan fisik sekitar sebagai bagian dari observasi, serta

Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang signifikan dan sulit untuk dibatasi memiliki dampak yang positif khususnya bagi industri pelumas. Pertamina sebagai penghasil minyak

Di Nias, tradisi yang masih dilakukan hingga saat ini adalah menganjurkan ibu yang baru melahirkan untuk meminum “tuo nifaro”, minuman tuak khas. Nias yang dipercaya

Menyadari kebesaran Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan pengetahuan yang salah satunya keteraturan melalui pengembangan berbagai keterampilan dalam akuntansi.. Hak-hak

Oleh karena itu untuk mengurangi jumlah kredit macet pada pembukuan di bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan memberi kesempatan pada pada debitur yang telah dinyatakan finish

Some others (29% + 4,8% amounting to almost 34%) contended that they were still interested in teaching after joining Teaching Practice and Micro Teaching (as shown in the

Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap berbagai data yang didapat dengan menggunakan metode Ward and Peppard , dapat disimpulkan bahwa Perencanaan Strategis

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa desain keselamatan berbasis lokalitas tidak berperan dalam meningkatkan kepuasan wisatawan terhadap daya tarik wisata di Gunung Api