BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut Nugraha (2014) tradisi (Bahasa Latin:
traditio,“diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang
paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak
lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan,
waktu atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar
dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan. Jadi dapat
dikatakan bahwa tradisi adalah suatu kebudayaan atau
kebiasaan yang dilakukan sejak lama dan menjadi bagian
kehidupan suatu masyarakat, dimana budaya ini diteruskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Terdapat berbagai macam tradisi yang sering
ditemui, termasuk dalam bidang kesehatan. Walaupun dunia
kesehatan sudah semakin maju, tetapi ada beberapa
kelompok masyarakat di berbagai negara yang mempertahankan budaya lokal. Tradisi dalam bidang
kesehatan sering berkaitan dengan kehamilan, persalinan
masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai hingga
alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil (Bahiyatun,
2009).
Menurut tradisi Timur yang dipengaruhi oleh
keyakinan Cina, wanita dilarang keluar rumah kurang lebih
30 hari setelah melahirkan, dan mereka diharuskan untuk
banyak beristirahat. Tradisi ini disebut “doing the month”,
selain itu dalam praktek tradisional ini wanita tidak diperbolehkan makan makanan yang dianggap “dingin”
seperti buah–buahan dan sayuran mentah, tidak boleh
membaca, mandi, mencuci rambut mereka, atau terpapar
oleh angin (Kaewsarn dkk., 2003; Maimbolwa dkk.,2003).
Menurut hasil penelitian Wang (2009), mayoritas wanita
pedesaan di Cina menjalani tradisi ini selama periode
postpartum.
Berdasarkan penelitian Kaewsarn dkk (2003),
banyak wanita Thailand yang percaya bahwa masalah
kesehatan reproduksi mereka adalah konsekuensi dari tidak
taatnya menjalankan tradisi postpartum. Wanita Thailand
juga percaya bahwa jika tidak mematuhi pantangan
postpartum akan berefek negatif pada kesehatan selama
bahwa persalinan menyebabkan ibu dingin dan basah, oleh
karena itu ibu diharuskan berbaring di tepi api panas untuk
menghangatkan dan mengeringkan bagian dalam tubuh
mereka. Mayoritas wanita Thailand berpegang pada praktek
tradisional postpartum ini, termasuk mengikuti larangan
makanan, mandi dengan menggunakan air panas,
mengkonsumsi minuman panas, tidak melakukan aktivitas yang membuat tubuh kehilangan “panas”, tidak mencuci
rambut mereka, menghindari angin dan tidak melakukan
hubungan seksual.
Menurut beberapa penelitian (Matthey dkk.,2002;
Leung dkk. 2005) menyatakan bahwa pantangan tertentu
selama postpartum meningkatkan resiko bagi perempuan,
misalnya terlalu menekankan perlunya tetap hangat dapat
mengakibatkan panas tubuh berlebih bagi ibu dan bayi.
Pantangan lain seperti larangan keramas rambut, menyikat
gigi dan mandi dapat mengurangi kualitas hidup bahkan
mengakibatkan infeksi postpartum, sedangkan larangan
makanan bisa menyebabkan kurangnya asupan gizi bagi ibu
dan bayi. Leung (2005), juga menunjukkan bahwa praktek tradisional “doing the month” tidak selalu melindungi atau
mendukung kesehatan perempuan selama periode
bertentangan dengan keyakinan bahwa tradisi ini melindungi
kesehatan perempuan, seperti yang diyakini oleh
masyarakat di Cina maupun beberapa negara berkembang
lainnya termasuk Indonesia.
Di Indonesia juga terdapat berbagai tradisi lokal yang
berkaitan dengan postpartum. Di kabupaten Mimika, ibu–ibu
tidak harus tinggal di rumah dalam kurun waktu yang lama
seperti kebanyakan tradisi dari suku lainnya. Ibu–ibu suku Amungme (suku dataran tinggi) sudah diperbolehkan
kehutan atau beraktifitas setelah tali pusar bayi lepas,
sekitar 6–7 hari setelah persalinan. Sama seperti tradisi
suku Kamoro (suku dataran rendah) yang melakukan pesta adat “anak turun” sekitar 8 hari setelah persalinan sebagai
tanda ibu sudah bebas pergi ke hutan lagi. Kurun waktu ini
sangat singkat bagi pemulihan kesehatan ibu, karena tubuh
ibu masih lemah akibat persalinan (Alwi, 2007). Sedangkan
menurut kepercayaan masyarakat suku Dayak Sanggau, ibu
yang baru melahirkan tidak diperbolehkan mengkonsumsi
daging, telur, ikan, sayuran yang bersifat dingin seperti labu
air, timun, perenggi (waluh), dan sayuran berbumbu. Jika
dilanggar maka ibu dan bayi akan terkena badi
(malapetaka), karena ibu yang baru melakukan persalinan
Anjuran yang diyakini baik untuk ibu yang baru melahirkan
adalah “duduk nyandar” (kaki lurus badan menyandar di
dinding) selama 1 bulan, ini dilakukan dengan tujuan agar
darah putih tidak naik ke kepala, karena mereka meyakini
jika hal ini terjadi maka ibu yang baru melahirkan bisa gila
atau buta. Makanan yang dianjurkan adalah nasi putih
dengan garam dan daun bungkal selama tiga hari
(Suprabowo, 2006). Di Nias, tradisi yang masih dilakukan hingga saat ini adalah menganjurkan ibu yang baru melahirkan untuk meminum “tuo nifaro”, minuman tuak khas
Nias yang dipercaya dapat menghangatkan tubuh sehingga
dapat mengeluarkan kotoran – kotoran dalam tubuh lewat
keringat, serta dipercaya dapat memperlancar ASI.
Meskipun ada ibu nifas yang tidak mengetahui secara pasti
manfaat dari tradisi ini, ia tidak dapat menolak karena ada
pihak yang menganjurkan (Zega, 2015).
Pada umumnya telah diketahui bahwa Angka
kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk
melihat derajat kesehatan perempuan. Salah satu Provinsi
penyumbang AKI tertinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT). Kematian ibu, kematian neonatal dan kematian
masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya
dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) khususnya.
Laporan Profil Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
se-Provinsi NTT tahun 2012 menunjukkan bahwa konversi AKI
per 100.000 Kelahiran Hidup selama periode 5 (lima) tahun
(Tahun 2008–2012) mengalami fluktuasi. Jumlah kasus
kematian pada tahun 2008 menjadi 312 kematian atau 332 /
100.000 kelahiran hidup, selanjutnya menurun menjadi 286 kematian pada tahun 2009 atau 303/100.000 kelahiran
hidup, sedangkan tahun 2010 mengalami penurunan lagi
menjadi 250 atau 272 / 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun
2011 menurun lagi menjadi 208 atau 220 / 100.000 KH, dan
pada tahun 2012 menurun lagi menjadi 192 atau 200 /
100.000 KH. AKI tertinggi terdapat di Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS). Menurut data dari Dinkes Kabupaten
TTS tahun 2014 terdapat 20 kasus kematian ibu dari 7366
kelahiran hidup dan 119 kasus kematian bayi dari 7398
kelahiran hidup.
Di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) juga terdapat tradisi
postpartum yang masih dilakukan hingga saat ini, yaitu
tradisi se’i dan tatobi. Se’i adalah tradisi
bersama bayinya selama 40 hari. Tradisi ini mengharuskan
ibu dan bayinya duduk dan tidur diatas tempat tidur dengan
bara api dibawahnya. Bahan bakar yang digunakan adalah
kayu bakar. Masyarakat setempat meyakini bahwa tradisi ini
dapat bermanfaat untuk mempercepat pemulihan kesehatan
ibu yang baru melahirkan dan bayinya menjadi lebih kuat
(Soerachman, 2013). Selama melakukan se’i ibu dan bayi
menghirup udara yang tercemar akibat pembakaran. Mengingat bahan bakar yang digunakan dapat
mengemisikan bahan berbahaya, diperkirakan ibu dan bayi
yang melakukan tradisi ini akan beresiko terhadap penyakit
akibat paparan bahan berbahaya tersebut. Dampak yang
ditimbulkan cukup beragam mulai dari yang bersifat alergi,
iritan, sampai karsinogenik, mutagenik (Anwar, 2014).
Sedangkan tatobi adalah tradisi mengompres tubuh ibu
menggunakan air panas dengan tujuan agar tubuh ibu
menjadi lebih segar (Soerachman, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian Anwar (2014), dari 358
ibu yang berasal dari 2 kecamatan berbeda di Kabupaten
TTS yang melakukan tradisi se’i, ibu yang mengalami
gangguan pernafasan sebanyak 134 orang atau 37,4%.
kesehatan seperti batuk, pilek dan sesak nafas sebanyak
155 orang atau 43,3%.
Oleh karena itu pemerintah Kabupaten TTS
mengeluarkan peraturan daerah yang mengharuskan
semua ibu hamil melakukan persalinan di fasilitas
kesehatan, dengan tujuan agar persalinan dapat dikontrol
oleh tenaga kesehatan dan mengurangi tradisi se’i dan
tatobi yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat setelah melahirkan. Selain itu dinas kesehatan kabupaten
TTS juga menggalakkan promosi kesehatan berupa
sosialisasi tentang dampak kesehatan yang dapat
ditimbulkan akibat tradisi ini.
Sampai sekarang tradisi tersebut masih tetap
dilakukan. Kebanyakan masyarakat melakukannya di rumah
setelah kembali dari fasilitas kesehatan. Hal ini dapat
meningkatkan resiko terkena penyakit paru–paru
(pneumonia, ISPA) dan iritasi, bahkan yang lebih fatal
adalah adanya ibu atau anak yang terbakar baik karena
bara api maupun air panas yang digunakan untuk tatobi.
Berdasarkan realiti ini peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terkait perawatan tradisional selama masa nifas
(postpartum) dijalankan, terutama bagaimana persepsi ibu
tersebut. Karena sampai saat ini peneliti melihat minimnya
penelitian yang menggali tentang persepsi ibu dan tenaga
kesehatan mengenai tradisi tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana persepsi ibu
dan tenaga kesehatan mengenai tradisi se’i dan tatobi.
1.3. Tujuan Penellitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana persepsi ibu dan
tenaga kesehatan tentang tradisi se’i dan tatobi.
1.3.2. Tujuan khusus
1.3.2.1. Untuk mengetahui faktor apa yang melatarbelakangi
sehingga ibu mau melaksanakan se’i dan tatobi.
1.3.2.2. Untuk mengetahui persepsi ibu sebelum dan setelah
melaksanakan tradisi tersebut.
1.3.2.3. Untuk mengetahui persepsi tenaga kesehatan (bidan
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Keluarga
Sebagai bahan masukkan dan informasi bagi
masyarakat pada umumnya dan keluarga khususnya
tentang dampak perawatan tradisional selama masa
nifas (postpartum) dijalankan.
1.4.2. Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan
maternitas di komunitas.
1.4.3. Mahasiswa
Menambah wawasan dan pengetahuan, serta dapat