BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu penyakit glomerulopati yang paling sering ditemukan dan 15 kali lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Di Amerika Serikat dan Inggris, 2 sampai 4 kasus baru per 100 000 anak tiap tahun. Di Indonesia, insidensi sindrom nefrotik dilaporkan sebanyak 6 per 100 000 anak tiap tahun dan sebagian besar anak yang menderita SN mengalami steroid-sensitive minimal change disease.1,2,3
Pada anak dengan SN terdapat abnormalitas elektrolit. Hal ini berkaitan dengan terjadinya gangguan pendengaran.4 Karenanya gangguan homeostasis ion kalsium dalam telinga bagian dalam, menginduksi gangguan fungsional pada telinga, seperti kehilangan pendengaran, tinnitus, dan vertigo. Selain itu penggunaan diuretik dalam penatalaksanaan SN juga berkaitan dengan timbulnya gangguan pendengaran.5,6
Penelitian di Belanda tahun 2008 menunjukkan bukti bahwa telinga bagian dalam dan ginjal secara imunologis, biokimia, dan fungsional saling terkait.7 Hasil penelitian ini menunjukkan dari 193 golongan obat relevan untuk gangguan ginjal, 120 golongan obat juga memiliki laporan tentang reaksi ototoksik. Empat belas dari 120 golongan obat memiliki Odds Ratio ≥
1.50 untuk asosiasi antara ginjal dan telinga. Di antara berbagai golongan obat ini beberapa diantaranya memiliki kemampuan menginduksi gangguan telinga, salah satunya loop diuretik, seperti furosemide. Penelitian ini juga menemukan kesamaan mekanistik untuk mempengaruhi sistem transportasi ion kalsium.7,8
dimediasi hair bundle, ketika hair bundle dalam keadaan positif, mengakibatkan peluang terbukanya saluran transduksi meningkat sehingga memungkinkan masuknya kation, salah satunya adalah kalsium ion.9
Penelitian lain di India tahun 2012 menunjukkan terdapat resiko gangguan pendengaran sensorineural. Faktor risiko yang terkait dengan gangguan ini lebih besar pada keadaan hipokalsemia dan dosis kumulatif furosemide yang tinggi. Pada duapuluh anak dengan frequently relapsing nephrotic syndrome (FRNS)/steroid dependent nephrotic syndrome (SDNS), tiga diantaranya (15%) mengalami tuli sensorineural ringan dan pada anak-anak tersebut didapatkan bahwa kadar serum kalsium rendah serta mendapatkan dosis kumulatif furosemid 75 mg/kg. Sedangkan pada duapuluh anak dengan steroid resistant nephrotic syndrome (SRNS), sepuluh diantaranya (50%) mengalami tuli sensorineural, dimana juga didapati kadar serum kalsium yang rendah serta mendapatkan dosis kumulatif furosemide 97.7 mg/kg.10
Penelitian tentang kadar kalsium ion sendiri dan dosis kumulatif furosemide pada anak SN dan hubungannya dengan nilai ambang pendengaran masih belum banyak dilakukan dan hasilnya masih kontroversi. Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara ion kalsium serum dan dosis kumulatif furosemid dengan terjadinya gangguan pendengaran pada anak SN.
1.2. Perumusan Masalah
Latar belakang masalah diatas memberikan dasar pemikiran bagi peneliti umtuk merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan ion kalsium dan dosis kumulatif furosemide terhadap nilai ambang pendengaran pada anak dengan sindrom nefrotik.
1.3. Hipotesis
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara ion kalsium dan dosis kumulatif furosemide dengan nilai ambang pendengaran pada anak sindrom nefrotik. 1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui nilai ambang pendengaran pada anak penderita sindrom nefrotik di RSUP Haji Adam Malik.
2. Membandingkan nilai ambang pendengaran pada anak penderita sindrom nefrotik dengan hipokalsemi dan yang normal di RSUP Haji Adam Malik. 3. Untuk mengetahui dosis kumulatif furosemide dengan kejadian gangguan
pendengaran pada anak sindrom nefrotik.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Di bidang akademik / ilmiah: mengetahui tentang status pendengaran pada anak dengan sindrom nefrotik.
2. Di bidang pelayanan masyarakat: mengetahui sedini mungkin tentang gangguan pendengaran sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat khususnya kesehatan anak penderita sindrom nefrotik.