• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM IN (5)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM IN (5)"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM

PENGELOLAAAN TERUMBU KARANG

Andika Hermanto

Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Jalan WR Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371 A, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-22105

ABSTRAK

Salah satu ekosistem perairan dangkal yang paling produktif, mempunyai fungsi ekologis dalam kehidupan berbagai organisme laut dan sistem pesisir lainnya. faktor yang berpengaruh dalam penggunaan teknologi penginderaan jauh untuk identifikasi tingkat kesehatan terumbu karang adalah konfigurasi saluran spektral sensor. Pemahaman tentang saluran spektral yang berpengaruh positif terhadap proses identifikasi kesehatan terumbu karang sangat penting dalam efisiensi pemetaan, baik dari segi waktu maupun akurasi yang didapatkan Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan tentang pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dalam pengelolaan terumbu karang.

Kata Kunci : Penginderaan jauh, SIG, Terumbu karang

Pendahuluan

Program kemaritiman yang dicanangkan oleh Presiden Indonesia terpilih Bapak Ir. H. Joko Widodo dapat dianggap sebagai cara pandang bangsa Indonesia dalam memanfaatkan wilayah perairan lautnya. Pengertian negara maritim yang dapat diartikan sebagai negara yang kemaritiman lebih mengerucut kepada segala aktifitas yang berada di lautan. Pelayaran dan perdagangan dunia yang selama ini melewati wilayah perairan Indonesia merupakan dampak dari posisi strategis Indonesia pada poros maritim dunia. Dukungan yang kuat di bidang ekonomi, politik dan hankam mutlak diperlukan untuk menunjukan pengaruh bangsa Indonesia dalam memanfaatkan potensi maritim yang ada bagi kepentingannya sendiri serta melindungi pemanfaatan dari pihak lain yang merugikan (Winarso et al.,.

Kekayaan laut yang utama adalah ikan dan biota laut lainnya. Selain itu kekayaan pesisir dan laut lainnya adalah Terumbu Karang, Mangrove, dan lingkungan pantai.. Kekayaan ini merupakan kekayaan keanekaragaman hayati dan juga untuk kegiatan pariwisata. Jika kekayaan laut baik ikan, terumbu karang, mangrove, dan lingkungan pantai dimanfaatkan sebesar-besarnya.

Komunitas terumbu karang di Indonesia tercatat seluas lebih dari 20.000 km2 yang meliputi karang hidup, karang mati, lamun dan pasir (Anonim, 2000). Pada kondisi yang sangat maksimal, terumbu karang menyediakan ikan-ikan dan molusca hingga mencapai jumlah sekitar 10 – 30 ton/km2 per tahunnya (Kusmurtiyah, 2004).

Kabupaten tanah bumbu dengan luas 13,50 % dari total luas Propinsi Kalimantan Selatan (37.377,53 km²) memiliki potensi terumbu karang terutama Kecamatan Angsana yang tersebar dari daerah pesisir Bunati sampai daerah pesisir Sungai Loban yang terletak pada 115o33’0”E – 115o50’0” E dan 3o40’0”S – 3o52’0” (BPS Kalsel, 2011). Untuk pengelolaan ekosistem terumbu

karang di Kabupaten ini diperlukan suatu zonasi kawasan lindung. Sampai saat ini daerah tersebut belum mempunyai regulasi pengaturan dan pengelolaan ekosistem terumbu karang.

Dalam era pembangunan dan globalisasi, diperlukan data yang baru dan pengelolaan data dan informasi yang mudah diakses. Dalam hal ini, teknik penginderaan jauh dan SIG dapat menjawab hal tersebut. Penginderaan jauh, citra foto, citra satelit dapat dimanfaatkan sebagai sumberdata lingkungan abiotik (sumberdaya alam), lingkungan biotik (flora dan fauna), serta lingkungan budaya (bentuk penggunaan lahan) (Hartono, 2010).

Saat ini dengan berkembangnya teknologi penginderaan jauh, dihasilkan banyaknya sensor multispektral maupun hiperspektral dengan kombinasi saluran spektral yang bervariasi, mulai dari sinar tampak hingga inframerah. Banyaknya saluran spektral yang tersedia menyebabkan pentingnya untuk mengetahui saluran spektral mana yang berkontribusi positif dan efektif, dengan tujuan untuk efisiensi waktu pengolahan dan untuk mendapatkan hasil yang akurat (Murti dan Wicaksono, 2014).

SIG merupakan suatu sistem informasi yang dirancang pelaksanaannya dengan mendasarkan pada letak spasial atau koordinat geografi. Dengan kata lain, SIG merupakan suatu sistem “data base” yang memiliki kemampuan tertentu untuk data yang bereferensi spasial dan juga merupakan serangkaian proses kerja dengan data spasial dan atribut. Star and Estes (1990) menyatakan bahwa pemahaman terhadap lingkungan alam dan gejala-gejalanya (termasuk bencana alam) dapat dilakukan dengan menerapkan konsep empat M. Empat M tersebut adalah pengukuran (measurement), pemetaan (mapping), pantauan (monitoring) dan pembuatan model (modeling). Data penginderaan jauh merupakan input penting pada SIG karena datanya muthakir, lengkap dan cepat diperoleh.

(2)

Hasil dan Pembahasan

Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang sangat potensial. Salah satunya adalah sumberdaya terumbu karang yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Terumbu karang adalah salah satu ekosistem paling tinggi keanekaragamannya dan paling tinggi produktifitasnya. Terumbu karang adalah struktur biogenik terbesar dan hanya struktur yang nampak dari ruang angkasa (Mumby and Steneck, 2008).

Sumberdaya terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik manfaat langsung, seperti pemanfaatan ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari dan lain-lain, maupun manfaat tidak langsung, seperti penahan abrasi pantai, pemecah gelombang, keanekaragaman hayati dan tempat mengasuh, tempat mencari makan dan tempat pemijahan bagi biota lainnya (COREMAP, 2001).

Luas terumbu karang Indonesia saat ini adalah 42.000 km2 atau 16,5 % dari luasan terumbu karang dunia, yaitu seluas 255.300 km2 (COREMAP, 2001). Dengan estimasi di atas Indonesia menduduki peringkat terluas ke-2 di dunia setelah Australia, yang mempunyai luasan terumbu karang sebesar 48.000 Km2 (Bryant, et al 1998). Namun demikian apabila dilihat dari sisi keanekaragaman hayati, terumbu karang Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies (Veron, 1995).

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dunia yang sangat pesat yang diiringi dengan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan kelestariannya, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, termasuk sumberdaya terumbu karang. Mungkin karena terumbu karang menjadi ekosistem yang paling rawan secara global (Mumby and Steneck, 2008). Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi umum terumbu dilakukan pada tahun 1996 menunjukkan bahwa 39,5 % terumbu karang Indonesia dalam keadaan rusak, 33,5 % dalam keadaan sedang, 21,7 % dalam keadaan baik dan hanya 5,3 % dalam keadaan sangat baik. Apabila tidak ada upaya nasional untuk menghentikan laju degradasi terumbu karang tersebut, maka tidak tertutup kemungkinan degradasi terumbu karang akan semakin luas dan besar. Menyadari akan hal tersebut pengelolaan terumbu karang merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh pemerintah dalam rangka untuk mengurangi atau menghentikan laju degradasi terumbu karang yang dari waktu ke waktu semakin luas dan besar.

Hasil yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan metode PCA untuk mengetahui keberadaan dan kondisi terumbu karang di perairan Bunati dan sekitarnya

dengan dengan menggunakan Citra ASTER sebagai berikut.

Hasil penelitan Rahman et al. (2012) yang menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) dengan menggunakan data Citra Satelit ASTER diketahui bahwa Karang Batu Anjir secara keseluruhan mempunyai luasan sekitar 7,53 Ha dengan rincian kondisi tutupan karang seluas 1,48 Ha atau sebesar 19,69 % dalam kondisi baik, 3,46 Ha (45,97 %) Sedang, 0,87 Ha (11,56 %) rusak dan 1,71 Ha (22,79 %) terdiri dari substrat pasir/lumpur.

Kondisi terumbu karang Mangkok yang dapat disadap dari Citra ASTER metode PCA mempunyai luasan 17,07 Ha dengan rincian kondisi terumbu karang Mangkok dalam kondisi sangat baik seluas 1,0049 Ha atau sebesar 5,88 %, kondisi baik seluas 4,305 Ha atau sebesar 25,21 %, kondisi sedang seluas 8,73 Ha atau sebesar 51,14 %, kondisi rusak seluas 2,05 Ha atau sebesar 12,01 % dan substrat pasir/lumpur seluas 0,98 Ha atau sebesar 5,75 % (Rahman

et al., 2012)

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara tingginya resolusi spasial pada sebuah data spasial dengan tingkat akurasi dalam memberikan informasi kesehatan terumbu karang. Dalam penelitian menggunakan NDVI pada band merah (R), PC2 pada band hijau (G) dan PC3 pada band biru (B) dengan komposit warna RGBNDVI+PC23 (Rahman et al., 2012). Data Citra Satelit ASTER mampu menyadap informasi keberadaan terumbu karang di perairan, hal ini ditunjukkan dengan tingkat akurasi sebesar 92,10%.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kondisi terumbu karang dapatdiketahui dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dengan system informasi geografis

2. Terdapat hubungan antara tingginya resolusi spasial pada sebuah data spasial dengan tingkat akurasi dalam memberikan informasi kesehatan terumbu karang

Daftar Pustaka

BPS, 2011. Kalimantan Selatan dalam Angka. Di download tannggal 05 Maret 2011.

Bryant, D., Burke, L., McManus, J. & M. Spalding. 1998.

Reefs at risk: a map-based indicatorof threats to the world’s coral reefs. World Resources Institute, Washington DC.

COREMAP. 2007. General Guidelines For The Management Of Community-Based COREMAP. Marine, Coastal and Ditjen islets of the Department of marine and Fisheries. Jakarta.

(3)

Kusmurtiyah, R., 2004. Nasib Terumbu Karang di Ujung Tanduk. Di download tanggal 05 Maret 2011 dari www.suarapembaruan–online.com.

Mumby PJ, Steneck RS. 2008. Coral reef management and conser-vation in light of rapidly evolving ecological paradigms. Trends Ecol Evol. doi: 10.1016/j.tree.2008.8.06.011

Murti S. H., dan P. Wicaksono. 2014. Analisis Saluran Spektral Yang Paling Berpengaruh Dalam Identifikasi Kesehatan Terumbu Karang. Majalah Ilmiah Globë. 16 (2) : 117-124.

Rahman A., S. Asmawi, dan Syamani. 2012. Manajemen Pengelolaan Terpadu Untuk Penyusunan Tata Ruang Ekosistem Terumbu Karang di Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Bumi Lestari. Hal 1-12.

Star, J. dan Estes, J. 1990. Geographic Information System An Introduction. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya penetapan iniakan diusulkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen untuk diterbitkan Surat Perintah Kerja ( SPK ) agar dapat segera memulai proses pengadaan

Adapun tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh modal, tenaga kerja, pengalaman, teknologi, dan harga jual terhadap pendapatan nelayan di

Berdasarkan faktor pengaruh tersebut tingkat kecelakaan lalu lintas dapat diestimasi berdasarkan model yang dibuat sehingga data pencatatan kecelakaan lalu lintas dapat

1) Perjalanan yang bertanggungjawab, dimana seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ekowisata harus berupaya melakukan perlindungan alam atau setidak-tidaknya

karena petani responden tidak mengikuti kegiatan kelompok tani secara aktif. Menurut petani responden, penyebab petani responden tidak bergabung dalam kelompok tani adalah

Sama halnya dengan pertumbuhan tinggi tanaman/panjang sulur, diantara perlakuan bobot umbi (20, 30, 40, 50 dan 60 g) juga tidak terlihat menunjukkan perbedaan yang nyata, hanya

ANALISIS DAN INTERPRETASI MODEL Berdasarkan hasil pengolahan yang didapatkan faktor yang paling mempengaruhi pengelompokkan apakah pengunjung akan sering atau jarang

Dari hasil uji BNT (Tabel 2) diketahui bahwa kadar air rata-rata dari daging buah nanas kering yang dihasilkan dari interaksi perlakuan tanpa pelayuan dan pengeringan vakum pada