• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI MEDIA DAN KOMUNIKASI POLITIK PADA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELASI MEDIA DAN KOMUNIKASI POLITIK PADA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI MEDIA DAN KOMUNIKASI POLITIK PADA PILPRES 2014

DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK MEDIA

Akhirul Aminulloh

Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang Email. akhirulaminulloh@gmail.com

ABSTRAK

Media massa telah menjadi kekuatan penting dalam komunikasi politik menjelang pemilihan presiden Tahun 2014. Media TV One dan Metro TV menjadi salah satu contoh media partisan dalam hiruk pikuk kampanye politik oleh capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Adanya keberpihakan ini tak terlepas dari anggapan adanya intervensi dari kedua pemilik media massa tersebut. Kondisi ini sebenarnya mengebiri kebebasan pers itu sendiri yang datang bukan dari pemerintah melainkan dari pemilik media itu sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis relasi media TV One dan Metro TV pada pilpres 2014.Tulisan ini menggunakan studi kasus pada Media TV One dan Metro TV. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik media untuk mengetahui posisi dan polarisasi media pada pilpres 2014. Sumber pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka untuk penguatan analisis kajian.Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terjadi polarisasi keberpihakan media dalam kontestansi pilpres 2014. Keberpihakan media ini terjadi karena adanya intervensi pemilik media untuk mengarahkan dan mendukung partai politik atau kandidat tertentu dalam pemilihan presiden 2014. Kepentingan pemilik media inilah yang menjadikan media massa seperti TV One dan Metro TV tidak bisa independen dan objektif dalam pemberitaan pilpres 2014, sehingga masyarakat juga yang dirugikan dengan opini berdasarkan pandangan kedua media tersebut.

Kata kunci: Ekonomi Politik Media, Komunikasi Politik, Keberpihakan Media, dan Pemilihan Presiden 2014

Pendahuluan

Pemilihan presiden 2014 tidak hanya menjadi pertarungan dua kandidat calon presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo, tetapi juga menjadi pertarungan antar media, baik media massa maupun media sosial. Media massa terutama media televisi telah menjadi senjata ampuh dalam pergulatan pilpres 2014, terutama sebagai corong komunikasi politik untuk mempengarui opini publik. Kekuatan media massa seakan-akan menjadi penentu satu-satunya dalam mengarahkan dan mempengaruhi opini publik, sehingga media televisi telah menjadi alat kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa media televisi dianggap sebagai media yang paling efektif mempengaruhi opini publik dibanding media massa lainnya, karena jangkauannya yang lebih luas dibanding media massa lainnya.

(2)

Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dalam penyelenggaraan siaran mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014, terdapat beberapa stasiun televisi yang dianggap tidak netral dan berpihak, diantaranya: TV One, RCTI, MNC TV, Global TV, dan Metro TV. Penilaian itu didasarkan pada data hasil pemantauan yang dilakukan KPI pada 19 Mei-24 Mei 2014. KPI menemukan indikasi penyimpangan atas prinsip independensi media dan adanya kecenderungan media memanfaatkan berita untuk kepentingan kandidat tertentu (Hidayat, 2014). Hal ini disinyalir tidak terlepas dari intervensi pemilik media yang mempunyai afiliasi politik dengan partai politik atau kandidat tertentu.

Umar Idris, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, menganalisa pemberitaan yang tidak netral sangat terlihat pada media televisi, antara lain: Metro TV, TV One, beserta MNC Group. Sementara itu, untuk Indosiar dan SCTV, meskipun tidak terlihat secara nyata memihak, namun lebih nampak terlihat pemberitaan yang positif untuk Jokowi (Harianjogya.com, 2014). Media massa, terutama televisi, harus sadar bahwa mereka menggunakan frekuensi gelombang milik publik. Oleh karena itu bersikap tidak netral dan tidak berimbang hanya menunjukkan adanya keberpihakan media terhadap kepentingan politik yang akhirnya mencederai kepentingan publik. Keberpihakan ini tentunya sangat merugikan khalayak banyak yang menginginkan adanya informasi yang akurat dan obyektif.

Tabel 1. Pemilik Media TV dan Afiliasi Politiknya

Media TV Pemilik Jabatan Politik Afiliasi Politik

Metro TV Surya Paloh Ketua Partai Nasdem Tim Sukses Jokowi-JK TV One

ANTEVE Abu Rizal Bakrie Ketua Golkar Tim Sukses Prabowo-Hatta RCTI

Global TV MNC TV

Hari Tanoesoedibjo Pembina Partai Hanura Tim Sukses Prabowo-Hatta

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Dukungan media terhadap kandidat capres tertentu dalam pilpres 2014 selalu menyisakan perdebatan etis dan normatif. Biasanya, terdapat dua isu perdebatan tentang peran media sebagai pemimpin opini masyarakat dan objektivitas media. Pandangan pertama menyatakan, dukungan media terhadap salah satu kandidat capres penting untuk menggerakkan diskusi publik, yang terkadang apatis dan rendah partisipasinya menjelang pilpres. Padahal, pilpres sangat penting untuk menentukan masa depan bangsa ke depan dan membangun sistem yang demokratis. Penggerak wacana publik ini adalah peran media sebagai pemimpin opini masyarakat dan penentu agenda publik. Sementara pendapat kedua mengatakan, dukungan media terhadap kandidat capres tertentu akan menimbulkan bias dalam pemberitaan media. Bagaimana media TV yang sudah mendukung kandidat capres tertentu tidak bisa objektif dan independen dalam pemberitaan pemilu presiden (Armando, 2014). Adanya keberpihakan media televisi yang begitu mencolok di hadapan publik tidak terlepas dari wacana yang berkembang dari pertumbuhan industri televisi yang lebih mengarah ke kepentingan ekonomi politik elit penguasa, dan oleh karenanya kepentingan dan kebutuhan publik untuk mendapatkan ruang diskusi publik yang sesuai belum menjadi kebutuhan yang signifikan (Budi, 2004).

Media massa seharusnya menjauhkan diri dari keberpihakan terhadap salah satu pasangan capres-cawapres dengan berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik. Menjaga kredibilitas dan netralitas seharusnya menjadi komitmen setiap pengelola media massa, khususnya pengelola redaksi dalam membuat berita. Sebab, hubungan media dengan khalayak semata-mata berdasarkan ikatan kepercayaan. Jika suatu media sudah tidak dipercaya, khalayak akan meninggalkan media tersebut dan beralih ke media lainnya. Sebaliknya, khalayak akan tetap loyal terhadap suatu media massa selama mereka masih mempercayainya (Armando, 2014). Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana sikap dan posisi media televisi dalam pilpres 2014.

Metode Penelitian

(3)

media lainnya. Adapaun teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis kritis dengan pendekatan teori ekonomi politik media untuk mengetahui posisi dan keberpihakan media pada pilpres 2014.

Hasil dan Pembahasan

Media dalam Bingkai Ekonomi Politik

Ekonomi politik merupakan studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk di dalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi atau media (Mosco, 2000). Sedangkan Boyd Barrett secara lebih ambisius mengartikan ekonomi politik sebagai studi tentang kontrol dan pertahanan dalam kehidupan sosial.

Dari pendapat Mosco tersebut di atas dapat dipahami bahwa pengertian ekonomi politik secara lebih sederhana adalah hubungan kekuasaan (politik) dalam hal sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Bila seseorang atau sekelompok orang mampu mengontrol masyarakat, itu berarti dia berkuasa secara de facto, meskipun secara de jure tidak memegang kekuasaan sebagai eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pandangan Mosco tentang kekuasaan lebih ditekankan pada penguasa dalam arti de facto, yaitu orang atau kelompok orang yang mengendalikan kehidupan masyarakat. Sedangkan dasar dari kehidupan sosial adalah ekonomi. Maka pendekatan ekonomi politik merupakan cara pandang yang kris yang dapat membongkar akar sesuatu masalah yang tampak pada permukaan.

Untuk memahami bagaimana penerapapan pendekatan ekonomi politik digunakan dalam studi media massa, ada tiga konsep dasar yang harus dipahami, yaitu: (1) Commodification – segala sesuatu dikomoditaskan (dianggap barang dagangan), (2) Spatialization – proses mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial, dan (3) Structuration – penyeragaman ideologi secara terstruktur. Komodifikasi adalah suatu upaya untuk mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan. Tiga hal yang saling terkait dalam media massa adalah: Isi media, jumlah audience, dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audience/ oplah. Jumlah audience / oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual kepada pengiklan. Uang yang masuk ke media merupakan profit dan dapat digunakan untuk mengembangkan dan ekspansi media. Ekspansi media dapat menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan wacana masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi, jaringan dan lain sebagainya.

Spasialisasi adalah cara-cara yang digunakan untuk mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan perkembangan teknologi komunikasi, jarak dan waktu semestinya bukan lagi hambatan dalam praktek ekonomi politik media. Berkaitan dengan media massa, maka suatu kegiatan yang ada di kota kecil dapat disiarkan langsung oleh televisi yang berpusat di Jakarta untuk kemudian dikomoditaskan. Strukturasi adalah penyeragaman ideologi secara terstruktur yang terjadi karena seringnya sebuah ideologi media massa berkorelasi dengan ideologi para pemilik media. Selanjutnya ideologi pemilik media sering kali berkaitan afiliasi politik yang didukungnya.

Gambaran media yang terikat oleh kepentingan ekonomi dan politik mencerminkan seperti apa yang dikatakan oleh Altschull’s dalam studi kepemilikan dan pengawasan media, bahwa isi media selalu merefleksikan kepentingan pihak tertentu yang membiayai mereka (McQuails, 2000). Ekonomi politik media menjelaskan dan menekankan perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi dan ideologis dari pada muatan isi media itu sendiri. Teori ini mengemukakan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media komunikasi massa (Janet, 1997). Selain itu, ekonomi politik juga berfokus pada resistensi atau oposisi. Pada bidang ini kajian ekonomi politik mencoba fokus hanya pada kekuatan dari perusahaan besar dan sebuah sistem yang tidak bisa ditembus, sehingga isu-isu tersebut seringkali berkaitan dengan resistensi dan perlawanan media (Arianto, 2011).

Hubungan Media dan Komunikasi Politik

(4)

Jurnalis/

posisi yang sentral dalam politik bahkan tidak jarang sebagai penentu dalam opini publik. Media massa sebagai saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk kepentingan menyebarluaskan informasi, telah menjadi ruang diskusi publik dalam mengartikulasikan keinginan dan harapan masyarakat yang beragam. Semua itu dikarenakan sifat media massa yang dapat menyampaikan informasi, membangun citra politik secara massif dan menjangkau khalayak yang luas (Pawito, 2009).

Dengan karakter yang dimilikinya, media menjadi kekuatan yang bisa menyatukan dan mengarahkan opini masyarakat kepada salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden di pilpres 2014. Kekuatan media mampu memberikan arah ke mana masyarakat harus berpihak dan pilihan-pilihan apa yang harus ditentukan. Dengan kemampuannya, media dapat membangun wacana, menggerakkan perubahan keyakinan, dan menggerakkan masyarakat untuk memilih kandidat tertentu. Dan dengan kekuatan agenda settingnya, media juga mempunyai kelebihan untuk menaikkan atau menurunkan elektabilitas seseorang dan partai politik. Sehingga dalam setiap pemilihan umum atau pilihan presiden tiap lima tahun sekali, tidak hanya menjadi ajang kekuatan antar partai politik dan atar kandidat, tetapi juga menjadi pertaruhan antar media.

Meskipun peranan media massa sangat penting, namun di era modern ini terjadi perubahan dalam komunikasi politik yang melibatkan media massa, aktor politik, dan masyarakat (Brants dan Voltmer, 2011). Perubahan komunikasi politik ini dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini:

Bagan 1. Perubahan Komunikasi Politik

MEDIA

DESENTRALISASI

Sumber: Brants & Voltmer (2011)

Bagan tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam perubahan politik di era modern tidak ada lagi kekuatan politik yang bersifat terpusat tetapi menyebar/ desentralisasi. Media massa dan aktor pelaku politik tidak lagi menjadi pelaku tunggal atau utama dalam politik, tetapi ada elemen lainnya yang ikut menentukan yaitu masyarakat atau calon pemilih dalam politik (Haroni, 2014). Oleh karena itu, dalam komunikasi politik di pilpres 2014 partai politik dan tim sukses masing-masing kandidat capres perlu secara cerdas dan bijak dalam menggunakan media sebagai alat kampanye politik.

Keberpihakan Media dalam Pilpres 2014

Media akan dapat menjalankan fungsi politiknya yang demokratis apabila media mempunyai bisnis yang sehat, dan bebas dari intervensi politik. Secara politik televisi memegang peranan dan dominasi yang sangat vital dalam hal publikasi bagi para kandidat capres pada pilpres 2014. Pada kondisi seperti ini, para pemilik media ikut berperan pula dalam mengendalikan dan mengarahkan media untuk mempengaruhi opini publik. Terdapat tiga pemilik media televisi yang juga memegang peranan penting dalam struktur partai politik dan mempengaruhi eskalasi politik menjelang pilpres 2014. Pertama Aburizal Bakri, Ketua Umum Partai Golkar, pemilik media televisi TV One dan ANTEVE. Kedua Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem, pemilik media televisi Metro TV. Dan ketiga Hari Tanoesoedibjo, Tim sukses Prabowo, pemilik media televisi RCTI, Global TV, dan MNC TV.

(5)

secara ekonomi baik untuk biaya operasional media itu sendiri maupun untuk keuntungan para pemilik modal. Oleh karena itu media dituntut untuk menyesuaikan pada selera pasar agar menarik bagi para pengiklan. Iklan merupakan salah satu nafas utama bagi sebuah media selain audien atau khalayaknya.

Pemihakan pemberitaan media televisi baik TV One dan Metro TV dalam pilpres 2014 dilakukan melalui pembentukan opini publik bisa dilihat dari berapa jumlah durasi, jumlah frekuensi, serta kecenderungan isi pemberitaan televisi yang dirasakan seperti alat propaganda. Televisi TV One, ANTEVE, dan MNC Group selalu menonjolkan dengan porsi besar pemberitaan Prabowo-Hatta. Menyajikan hal positif dan kelebihan kandidat Prabowo-Hatta. Sedangkan porsi pemberitaan Jokowi-JK sedikit dan cenderung menyajikan hal negative dan kelemahan Jokowi-JK. Begitu juga sebaliknya Metro TV, juga selalu menonjolkan dengan porsi besar pemberitaan Jokowi-JK dan menyajikan hal positif serta kelebihannya. Sedangkan porsi pemberitaan tentang Prabowo-Hatta sedikit dan cenderung menyajikan hal negatif serta kelemahannya.

Diagram 1. Perbandingan Durasi Pemberitaan TV

Sumber: Data Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Keberpihakan media televisi di atas dapat dianalisis dengan pendekatan ekonomi politik media. Menurut Goulding dan Murdock (Sarwoprasodjo & Agung, 2008), analisis ekonomi politik media berkaitan dengan produksi makna sebagai praktek kekuasaan, analisis tekstual, dan konsumsi media. Produksi makna sebagai praktek kekuasaan nampak pada perkembangan teknologi komunikasi yang telah menggeser status masyarakat sebagai warga politik menjadi unit konsumsi dalam kampanye politik. Isi berita dan tayangan televisi Metro TV dan TV One tentang kandidat capres dalam pilpres 2014 telah menunjukkan praktek kekuasaan dalam mempengaruhi opini publik. Kekuatan-kekuatan politik dalam wujud praktek-praktek kekuasaan dalam produksi dan distribusi media telah membatasi ruang publik masyarakat dengan pilihan-pilihan informasi yang tidak berimbang dan netral.

(6)

Terakhir, analisis konsumsi media. Sebagai tanggapan terhadap pandangan khalayak sebagai penonton pasif media, maka muncul pandangan dan teori bahwa terdapat pandangan tentang kebebasan khalayak dalam menerima pesan atau makna dari media. Walaupun media partisan dalam pilpres 2014 mencoba membangun wacana publik tentang kandidat tertentu. Akhirnya kebebasan khalayaklah yang menentukan apakah masyarakat menerima atau tidak terhadap wacana media dalam produksi berita dan siarannya.

Para pemilik media massa yang berkepentingan dalam pemenangan calon presiden-dan wakil presiden dalam pilpres yang tergabung dalam koalisi Prabowo-Hatta dan Koalisi Jokowi-JK telah tebar pesona dan membangun citra dengan memanfaatkan media milik mereka sendiri. Idealnya, sebuah media harus mampu menjaga objektivitas dan idependensi media melalui tayangannya termasuk iklan politik dan berita politik (Yuli, 2014). Melihat perkembangan media di Indonesia saat ini, teori ekonomi politik media sudah terbukti benar karena melahirkan para konglomerat media dan para pemilik media massa ini sudah banyak yang menjadi politisi baik di eksekutif maupun di legislatif.

Dalam perspektif hukum media, media televisi seperti Tv One dan Metro TV telah menyalahi ketentuan pasal 33 UU No. 30 tahun 1999 tentang pers, yang menyatakan bahwa fungsi pers adalah sebagai media informasi, media pendidikan, media hiburan serta fungsi kontrol sosial. Namun kenyataannya peran media dalam pilpres 2014 jauh dari harapan. Kalau di kaitkan dengan fenomena peran media dalam kampanye politik kandidat tertentu, maka fungsi Pers sebagai media pendidikan dan media pengontrol sosial tampak tidak hadir. Padahal sudah dinyatakan dalam undang-undang Pers bahwa frekuensi televisi merupakan sumber daya alam yang terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Ibrahim, 2014). Dinyatakan pula secara tegas dalam pasal 36 butir 4 UU Penyiaran bahwa isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

Kesimpulan

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terjadi polarisasi keberpihakan media dalam kontestansi pilpres 2014. Kekuasaan para pemilik media telah memaksa media massa untuk membangun wacana politik untuk mempengaruhi opini publik terhadap capres tertentu. Keberpihakan media ini terjadi karena adanya intervensi pemilik media untuk mengarahkan dan mendukung partai politik atau kandidat tertentu dalam pemilihan presiden 2014. Kepentingan pemilik media inilah yang menjadikan media massa seperti TV One dan Metro TV tidak bisa independen dan objektif dalam pemberitaan pilpres 2014, sehingga masyarakat juga yang dirugikan dengan opini berdasarkan pandangan kedua media tersebut.

Daftar Rujukan

Aminulloh, Akhirul. (2014). Pengaruh Pemberitaan Media Massa Tentang Skandal Korupsi Kader Partai Demokrat Terhadap Pencitraan Partai Demokrat Menjelang Pemilu 2014. Prociding: Potret Media dalam Politik Indonesia 2014. Hal. 73-81. Jakarta: FIKOM Universitas Mercu Buana Jakarta

Arianto. (2011). Ekonomi Politik Lembaga Media Komunikasi. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 1 No. 2, Oktober 2011. ISSN: 2088-981X

Armando, Ade. (2014). Ke Mana Objektivitas Media Dalam Pilpres 2014?. Diakses tanggal 9 November 2014 dari http://sp.beritasatu.com/home/ke-mana-objektivitas-media-dalam-pilpres-2014/59572

Brants, Kees., Katrin Voltmer. (2011). Political Communication in Post-modern Democracy: Challenging Primacy of Politic. London: Palgrave Macmillan.

Budi, Setio. (2004). Industri Televisi Swasta Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 1 No. 1, Juni 2004

Harianjogya.com. (2014). Dua Pemred Akui Tidak Ada Media yang Netral. Diakses tanggal 9 November 2014 dari http://www.harianjogja.com/baca/2014/07/09/pilpres-2014-2-pemred-akui-tidak-ada-media-yang-netral-518122

Haroni, Nanang. (2014). Figur dan Karakter Bakal Calon Presiden RI 2014. Prociding: Potret Media dalam Politik Indonesia 2014. Hal. 73-81. Jakarta: FIKOM Universitas Mercu Buana Jakarta

Hidayat, Arif. (2014). Menggugat Netralitas Media Massa dalam Pilpres 2014. Diakses tanggal 9 November 2014 dari http://femaline.co/menggugat-netralitas-media-massa-dalam-pilpres-2014/

(7)

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53b1a2c5be4a0/netralitas-media-di-indonesia-terkait-pilpres-

2014-dan-tanggung-jawab-hukumnya-broleh--rahmad-ibrahim-sh-llm-Janet, Wasko. (1997). The Political Economy of Information. Medison: The University of Wisconsin, Press McQuail, Denis. (1996). Teori Komunikasi Massa; Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit rlangga

Mosco, Vincent. (2000). Political Economy of Communication. London: Sage Publication Murdoch, Graham & Golding, Peter. (2000). Political Economy of the Media. London: Routledge Pawito. (2009). Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Kalasutra

Sarwoprasodjo, S. dan Agung. 92008). Perbandingan Pendekatan Ekonomi Politik Media dan Studi Kebudayaan dalam kajian Komunikasi Massa. Jurnal Komunikasi Pembangunan, Vol. 06, No. 1, Februari 2008. Yuli, Saskia. (2014). Koalisi Pemilik Media dalam Pilpres 2014. Diakses tanggal 5 November 2014 dari

Gambar

Tabel 1. Pemilik Media TV dan Afiliasi Politiknya

Referensi

Dokumen terkait

inakurasi dari sensor sebesar 1 bisa merepresentasikan 2 titik nilai tegangan 3,68 V, bisa antarmuka air dan minyak 14 c disebut dengan histeresis. Histeresis yang

itulah yang menjadi indikator bahwa anak tidak memahami konsep atas menyebutkan lambang huruf. Hal tersebut diakibatkan oleh persepsi anak terhadap bentuk huruf

Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka didapatkan bahwa responden laki- laki yang memainkan alat musik gitar, piano, keyboard, dan drum memiliki rata- rata denyut nadi

Misalnya di harian Jawa Pos pada tanggal Bagaimana peran media massa dalam 6 Pebruari 2013 mengambil judul "Anas tidak penyampaian pemberitaan yang berkaitan dengan

Karena kecepatan reaksi kimia berjalan cukup cepat maka reaksi terjadi di liquid-film, sehingga tidak ada A yang berdifusi masuk ke dalam larutan dan bereaksi dengan B di fase

Hasil dari tabel 5 di atas menunjukkan bahwa , pengunjung yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan mau mematuhi aturan kawasan tanpa rokok memiliki jumlah yang

Penelitian ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa pembelajaran harus memperhatikan siswa sebagai manusia yang memiliki karakter dan perbedaan individual. Siswa diarahkan untuk