BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang kepustakaan yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian
hukum ini. Uraian menyangkut hakekat Perjanjian tertulis dan tidak tertulis sebagai suatu
kontrak. Selanjutnya akan dikemukakan pula tinjauan mengenai sejarah Hukum Perburuhan
dan juga pengertian Pemandu Karaoke. Sedikit mengenai hakekat suatu perseroan sebagai
pengusaha.
Tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk menjawab rumusan permasalahan skripsi
ini. Juga nanti akan dipergunakan untuk melakukan analisa hasil penelitian di Bab III.
A. Hakekat Kontrak
Pengertian Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum adalah:
“It is the group of kinds of obligations all concerned with legal duties undertaken by
persons, by promises to, or agreement with, another, to give or do or refrain from
doing something to or for another, or with legal duties imposed by law to give or do
something to or for another where justice requires is though there is no promise.”
(Artinya: Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan
orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau
untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut
oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat
sesuatu terhadap atau untuk orang lain, apabila keadilan menghendaki, meskipun
tidak diperjanjikan sebelumnya.)1
1
Segenap kewajiban yang harus dilakukan, sebagaimana dimaksud dalam pengertian
atau definisi Kontrak di atas; baik kewajiban yang lahir karena perjanjian (promise), ataupun
segenap kewajiban yang lahir karena kesepakatan (agreement), maupun kewajiban yang lahir
karena hukum (the Law), dan kewajiban karena ada tuntutan keadilan (justice), seringkali
disederhanakan atau dianalogikan sebagai suatu sistem kewajiban (obligations) atau
perikatan yang harus dilakukan oleh setiap orang.2
Beberapa peristilahan sering digunakan secara paralel dengan istilah kontrak dengan
pengertian yang relatif sama. Istilah kontrak sering disamakan pengertiannya dengan konsep
“obligation” atau kewajiban. Dalam literatur, para penulis hukum di Indonesia3 kadangkala
menyamakan kontrak atau perjanjian dengan kata perikatan. Sedangkan dalam literatur di
negara-negara common law, perkataan obligation dapat samakan artinya dengan hubungan
hukum, atau kewajiban, dan perikatan itu digunakan pula konsep4debt atau hutang, duty on a
debtor atau kewajiban seorang debitur atau obligor. Konsep terakhir ini berhubungan dengan
hak perorangan atau klaim (claim) yang bersifat personal (in personam).
2
Ibid., hlm. 3. 3 Ibid
., hlm. 5. Tidak banyak penulis hukum Indonesia yang Jeferson Kameo kategorikan sebagai penulis hukum pionir. Subekti, satu dari si pionir yang dimaksudkan itu, dalam buku berjudul Hukum Perjanjian, Cetakan ke IX (cetakan pertama buku itu diterbitkan tahun 1963), Penerbit Intermasa, 1984, hlm. 1., mengatakan:
“Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan pada perjanjian atau persetujuan tertulis.” Dalam buku itu,
Subekti berusaha membedakan kontrak dengan konsep-konsep seperti: perikatan, perjanjian, dan persetujuan. Sedangkan Koesoemadi Poedjosewodjo, dalam buku berjudul Sistematik Kuliah Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, 1960, memakai istilah perutangan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda untuk perikatan (verbintenis). Dalam buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, diminta perhatian pembaca untuk tidak kemudian menjadi berasumsi bahwa Kontrak yang dimaksudkan sebagai nama Ilmu Hukum itu adalah KUHPerdata, buku hukum yang isinya ditulis kembali dalam berbagai buku penulis-penulis pionir itu. Tidak! Tetapi, bahwa faktanya, tak terhindarkan (niscaya) isi dari KUHPerdata dan istilah yang dipergunakan di sana hampir jatuh sama dengan isi Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum. Hanya saja, kontrak atau perikatan atau apapun istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan isi dan ruh KUHPerdata, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, hanya mengenai satu buku atau satu undang-undang saja. Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum lebih dahsyat dari KUHPerdata, sudah ada jauh sebelum KUHPerdata, memerintah KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan yang datang setelah KUHPerdata.
4
Sering pula ditemui istilah seperti dokumen atau surat untuk kontrak. Masih berkaitan
dengan hal itu, orang juga menggunakan istilah bond atau surat pertanggungan atau surat
perikatan, atau suatu deed atau surat akta yang mencantumkan, atau berisi (constituting) atau
untuk membuktikan (evidencing)5 adanya suatu kewajiban kontraktual.
Secara populer (colloquial) perikatan atau perjanjian berarti suatu kewajiban dalam
pengertian kewajiban untuk membayar, atau suatu hutang yang harus ditunaikan oleh obligor.
Dalam kaitan dengan itu, kewajiban adalah merupakan counterpart atau sisi lain dari suatu
hak yang timbul karena adanya suatu hubungan hukum yang bersifat personal.6
1. Definisi Kontrak
Istilah kontrak selain memiliki makna yang sama dengan nama ilmu hokum, sering
atau umum dipahami berasal dari kata “contract” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Perancis “contrat”, dan dalam bahasa Belanda “overeenkomst”, sekalipun kadang-kadang juga digunakan istilah “contract”.7 Dalam bahasa Indonesia istilah kontrak sama pengertiannya dengan perjanjian. Kedua istilah ini merupakan terjemahan dari
“contract”,”overeenkomst”, atau “contrat”. Istilah kontrak lebih menunjukkan pada nuansa
bisnis atau komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk,8 sedangkan istilah perjanjian
cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan dua istilah ini bukan pada bentuknya.
5
Ibid., hlm. 6. Mengenai hal ini, belakangan, dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ditegaskan bahwa selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata. Padahal, hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan, sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya. Kecuali, seperti yang diatur oleh Pasal 5 ayat (4) dan Penjelasannya, bahwa:
“Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah, itu tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, yang meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan aturan hukum acara perdata, pidana, dan administra si nega ra.” Ditambah
dengan surat beserta dokumen lainnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Suatu requirement of writing.
6
Ibid.
7Misalnya dalam istilah “contractsoverneming”
yang terdapat dalam Bagian 3 Bab 2 Buku 6 NBW. 8
Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab
kontrak pun dapat dibuat secara lisan.9
Terdapat dua fungsi penting dalam kontrak, yaitu: pertama, untuk menjamin
terciptanya harapan atas janji yang telah dipertukarkan; dan kedua, mempunyai fungsi
konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan bagi
kelanjutannya ke depan.10 Semakin kompleks suatu transaksi akan semakin tinggi kebutuhan
mengenai perencanaan dan semakin rinci pula ketentuan-ketentuan (dalam kontrak) yang
dibuat. Dalam kaitan dengan fungsi kontrak bagi perencanaan transaksi, perlu diperhatikan
pada empat hal, yaitu:
a. Kontrak pada umumnya menetapkan nilai pertukaran (the value of exchange);
b. Dalam kontrak terdapat kewajiban timbal balik dan standar pelaksanaan kewajiban;
c. Kontrak membutuhkan alokasi pengaturan tentang resiko ekonomi (economic risk)
bagi para pihak; dan
d. Kontrak dapat mengatur kemungkinan kegagalan dan konsekusensi hukumnya.11
2. Status Subjek Hukum dalam Kontrak
Menurut Mochtar Kusumaatmaja yang dikutip dalam Chaidir Ali, hukum itu tidak
saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat. Hukum meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) demi proses-proses
(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah ini dalam kenyataan. Hal ini diperkuat
lagi oleh Ciceroyang mengatakan: “dimana ada masyarakat, disana ada hukum.”12
Hukum hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat. Hukum bukan hanya seperangkat
aturan, namun termasuk juga di dalamnya lembaga-lembaga (institusi) dalam proses-proses
yang menyebabkan terjadinya kaidah-kaidah tersebut.
9
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Loc. Cit. 10
J. Beatson, Op. Cit., p. 3. 11Ibid.
12
Sebagai bagian dari masyarakat, tiap-tiap orang adalah pembawa hak. Dalam artian,
tiap orang memiliki hak dan kewajiban. Sehingga, tiap-tiap orang disebut sebagai subyek
hukum (subjetcum juris).
Menurut C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, subjek hukum ialah: “Siapa yang dapat
mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yang
cakap menurut hukum untuk bertindak.”13
Adalah merupakan suatu yang sangat mendasar, dan oleh sebab itu harus ada dalam
suatu perikatan konvensional, perjanjian atau suatu kontrak, apa yang disebut dalam Kontrak
sebagai nama Ilmu Hukum sebagai pihak atau para pihak. Dalam setiap perikatan
konvensional, selalu ada dua atau lebih pihak (legal persons), atau apa yang di dalam sistem
hukum di Indonesia disebut dengan subyek hukum. Pihak itu berdiri sendiri-sendiri, tertentu,
dan nyata. Paling sedikit harus ada satu pihak dalam tiap sisi dari perikatan itu, baik satu
pihak di sisi kreditur, maupun satu pihak lagi di sisi debitur.14
Jeferson Kameo mengemukakan suatu maxim Latin yang telah sering dikutip berbagai
jurists untuk menunjuk kepada prinsip hukum, yaitu: “Pactum, atau suatu pakta di dalam
hukum, telah diartikan sebagai duorum pluriumve in idem placitum consensus atque
convention… atau sepakat dari dua atau lebih pihak (orang) mengenai beberapa hal untuk
dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Baik hal itu dilaksanakan oleh satu pihak di satu
sisi, maupun hal itu dilaksanakan oleh pihak lainnya di sisi yang lain.”15
Apabila maxim tersebut di atas diperhatikan secara selintas, maka orang mungkin saja
bakal terjatuh dalam suatu pandangan bahwa seseorang tidak dapat membuat suatu perikatan
atau suatu kontrak oleh dirinya sendiri.16 Demikian pula, satu orang atau satu pihak tidak
13
C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta, Harapan, 2002), hlm. 1. 14
Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 179, 15Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…
. 16
dapat memasuki suatu perikatan, atau mengikatkan diri (dalam pengertian) memikul
kewajiban-kewajiban atau menyanggupi memberikan sesuatu, atau menyanggupi melakukan
sesuatu, atau sepakat untuk tidak melakukan sesuatu dengan dirinya sendiri.17 Demikian pula
satu orang saja tidak dapat menggunakan akta apapun untuk membuat suatu hutang kepada
dirinya sendiri, dengan atau tanpa jaminan.18 Lebih jauh, di dalam sistem hukum Inggris,
telah diatur suatu ketentuan yang tidak benar, bahwa suatu perjanjian yang diadakan oleh
seorang bernama (B) dengan (B) yang bersekutu dengan orang lain adalah batal.19
B. Jenis-Jenis Kontrak
Para ahli dibidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian kontrak.
Ada ahli yang mengkaji dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya,
maupun aspek larangnnya. Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit
berbeda dibandingkan dengan para sarjana. Salim H.S di dalam bukunya menyebutkan bahwa
jenis kontrak atau perjanjian adalah:20
Kontrak Menurut Sumber Hukumnya.
Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang
didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak) dibagi jenisnya menjadi
lima macam, yaitu:
Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;
Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan
hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
dengan privity of contract dalam sistem hukum Inggris, atau oleh sejumlah penerjemah KUHPerdata dinamakan asas kepribadian. Ibid., hlm. 180.
17Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum… 18
Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…. 19Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum… 20
Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut
dengan bewijsovereenkomst;
Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut
dengan publieckrechtelijke overeenkomst;
Kontrak menurut namanya.
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal
1319 BW dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW hanya
disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan
kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam
BW. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa
menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam,
pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah
kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum
dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah leasing, beli
sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing,
dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan
tidak bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau perjanjian yang
tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam
title I, II, dan IV karena kekhilafan, title yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal
1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian
menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah
penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan
makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa).
Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-ketentuan
10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya
diterapkanlah peraturan perundangundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi
merupakan peristiwa yang paling menonjol, sedangkan dalam Tahun 1947 Hoge Raad
menyatakan diri (HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.
1. Kontrak menurut bentuknya. Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara
sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan
yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak
atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para
pihak (Pasal 1320 BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi.
Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini
diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan
adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus
didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah
suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil
adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis
merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat
kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682
BW). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah
tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak.
Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di
hadapan Notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan Notaris. Di
standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk
formulir.
2. Kontrak timbal balik. Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan
hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa.
Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak
sempurna dan yang sepihak.
Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak,
sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-prestasi
seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk
melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan.
Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah
mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan
harus menggantinya.
Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan
kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam
mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran
perjanjian.
1. Perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani. Penggolongan ini
didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya.
Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah
menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai.
Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian,
yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu
jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A.
2. Perjanjian berdasarkan sifatnya. Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan
dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut
sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke
overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu
perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian
untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan
jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan
perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Disamping itu, dikenal juga
jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir.
Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam
meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan
perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan
hak tanggungan atau fidusia.
3. Perjanjian dari aspek larangannya. Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya
merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak
untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang
dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.
Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku
pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan
sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah; Suatu perjanjian yang dibuat usaha
patungan, dan suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku
usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda
dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.
Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada
di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat.
Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan
atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang
diterimanya. Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari pada harga
yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat.
Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran
atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan
Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mengahalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan usah yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha
lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan
hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk
mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau
penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam
pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu. Setiap rangkaian
produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Perjanjian tertutup,
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan
memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada tempat
tertentu.
Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha
dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.
Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S., jenis atau
pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak
nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah
perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak
dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual,
obligator dan lain-lain.
C. Hakekat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai suatu kontrak dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Pada dasarnya, PKWT itu adalah salah satu jenis kontrak. Kontrak yang dimaksud di
dalam penelitian ini adalah kontrak sebagai nama dari Ilmu Hukum, yang mana telah Penulis
pinjam untuk memberikan gambaran dalam penelitian ini dari Jeferson Kameo. Adapun
definisi kontrak adalah:21
“Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain
untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk
orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh
hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat
21
sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun
tidak diperjanjikan sebelumnya.”
Ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Adanya
perjanjian demikian sangatlah esensial.22
Pemahaman di atas pada prinsipnya serupa dengan apa yang ada di Eropa. Di
kebanyakan negara di Eropa, dasar atau landasan hukum perburuhan dapat ditemukan di
dalam „perjanjian kerja‟. Di negara-negara di Eropa (baik di dalam peraturan
perundang-undangan maupun dalam yurisprudensi), perjanjian kerja dipahami mencakup tiga elemen
inti: pekerjaan, upah, dan otoritas/kewenangan. Ini berarti bahwa perjanjian kerja adalah
suatu kesepakatan dengan mana buruh/pekerja mengikatkan diri sendiri untuk bekerja di
bawah otoritas/kewenangan majikan dengan menerima pembayaran upah.23
Hukum Indonesia tidak mendefinisikan perjanjian kerja dengan cara serupa. Namun,
Undang-Undang Ketenagakerjaan mendefinisikan „pekerja‟ dan „majikan‟ sebagai berikut:
“(3) Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
(4) Pemberi kerja (majikan) adalah orang perseorangan, persekutuan, badan
hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”24
Bila kita bandingkan pengertian kontrak kerja Eropa dengan versi Indonesia di atas,
maka dapat dikatakan keduanya identik berkenaan dengan dua elemen esensial, yaitu „kerja‟
dan „upah/imbalan‟. Tetapi elemen ketiga, otoritas tidak secara eksplisit merupakan bagian
22
Agusmidah dkk., Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Edisi 1, Denpasar: Pustaka Larasan, Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, Editor: Guus Heerma van Voss dan Surya Tjandra, 2012, hlmn., 13-15.
23
Ibid.
24
dari definisi kontrak kerja versi Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan dengan menyatakan
bahwa pembuat undang-undang Indonesia kiranya hendak memberikan definisi dengan
cakupan yang luas, sedemikian sehingga dapat mencakup segala bentuk kerja paruh waktu
atau sementara sekalipun otoritas pemberi kerja tidak tampak serta-merta di dalamnya.25
Penggunaan istilah „imbalan‟ daripada sekadar „upah‟ dan „pekerja‟ bukan „buruh‟
juga mengindikasikan bahwa pembuat undang-undang hendak menghindari penggunaan
definisi atau pengertian yang terlalu sempit. Dari sudut pandang kepentingan melindungi
buruh yang berada dalam situasi ketergantungan ekonomi, hal di atas kiranya sangat
menguntungkan.26
Pada lain pihak, salah satu kerugian ialah bahwa kemudian definisi yang diberikan
menjadi terlalu kabur dan luas. Dalam banyak kasus di mana seseorang sebenarnya kurang
lebih mempekerjakan diri sendiri, namun melakukan pekerjaan tersebut untuk orang lain,
maka muncul persoalan apakah mereka juga dapat dianggap tercakup ke dalam pengertian
pekerja menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan?
Ketiadaan definisi Perjanjian Kerja di dalam undang-undang sama turut memperparah
ambiguitas tersebut. Patut dicermati bahwa KUHPerdata, sebaliknya, memberikan definisi
yang lebih tegas. Perjanjian tersebut dalam KUPerdata disebut sebagai „perjanjian
perburuhan‟ (labour agreement). Tampaknya tidak ada kehendak untuk membedakan antara
„perjanjian kerja‟ dari UU Ketenagakerjaan dengan „perjanjian perburuhan‟ di dalam
KUHPerdata.27
Perjanjian perburuhan didefinisikan sebagai: “suatu persetujuan bahwa pihak kesatu,
yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu
majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.” (an agreement in which one party, the
25
Agusmidah, Loc. Cit.
26
Ibid.
27
labourer, agreesto render his services to the other party, the employer, for a specific term in
return for remuneration).28 Berbeda dengan bunyi naskah asli dalam bahasa Belanda,
KUHPerdata sebagaimana diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tidak mensyaratkan bahwa
buruh berada „dalam ikatan kerja/mengabdi (in dienst), yang berarti bahwa buruh bekerja di
bawah otoritas majikan. Dalam hal ini, naskah berbahasa Inggris dari KUHPerdata sama
tidak kaburnya dengan Undang-undang Ketenagakerjaan.29
Persoalan lain berkenaan dengan frasa for a specific term dalam naskah berbahasa
Inggris. Dalam naskah asli berbahasa Belanda, frasa yang sama berbunyi gedurende een
zekere tijd yang dapat diterjemahkan sebagai “untuk atau selama (jangka) waktu yang
tertentu”. Frasa “untuk jangka waktu tertentu” (for a certain period of time) mengesankan
bahwa kontrak atau perjanjian kerja itu memiliki batas waktu tertentu. Ini kiranya merupakan
terjemahan yang keliru, karena definisi di atas sesungguhnya hendak juga mencakup
perjanjian atau kesepakatan tanpa batas waktu tertentu, dinamakan juga “kontrak terbuka”
(openended contract). Di samping itu, KUHPerdata nyata membedakan perjanjian
kerja/perburuhan dengan kontrak (pemborongan) kerja (contract for work): “perjanjian
pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikat
diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga
yang telah ditentukan.” (the contract for work is the agreement by which one party, the
contractor, binds himself to the other party, the client, to carry out specific tasks for a
specific price).30
Berkaitan dengan ini tampak bahwa KUHPerdata mengindikasikan adanya perbedaan
antara perjanjian kerja/perburuhan dengan perjanjian pemborongan kerja. Perjanjian
pemborongan kerja berkenaan dengan pekerjaan yang digambarkan dengan lebih rinci, dan
28
Pasal 1601a KUHPerdata.
29
Agusmidah, Loc. Cit.
30
sebab itu pula berjangka waktu tertentu. Sebaliknya untuk perjanjian kerja/perburuhan,
pekerjaan apa yang dilakukan tidak dirinci dan perjanjian bisa jadi dimaksudkan untuk jangka
waktu tidak terbatas. Di dalam teori (hukum) Belanda, perbedaan dibuat antara kewajiban
untuk menyerahkan tenaga (make effort) (perjanjian kerja/perburuhan) dengan kewajiban
untuk menuntaskan atau mencapai target tertentu (reach a specific result; perjanjian
pemborongan kerja/contract for work). Perjanjian pemborongan kerja digunakan oleh
seseorang yang mempekerjakan diri sendiri (self-employed persons) yang umumnya
menerima atau mengikatkan diri untuk melakukan sejumlah penugasan dari mitra kontrak
yang berbeda-beda. Sedangkan perjanjian kerja/perburuhan dipergunakan oleh buruh/pekerja
yang mengabdikan diri bekerja di suatu perusahaan tertentu selama beberapa jam (dalam
sehari).31
Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari UU Ketenagakerjaan menggunakan istilah
perjanjian kerja waktu tertentu (agreements for a specified time), disingkat PKWT,
sedangkan negara-negara lain lebih kerap menggunakan istilah fixed-term contracts (kontrak
dengan jangka waktu tetap). Di dalam hukum perburuhan, jenis kontrak seperti ini seringkali
dibatasi, yakni untuk mendorong penggunaan kontrak dengan waktu tidak tertentu. Kontrak
kerja waktu tidak tertentu kiranya dalam jangka panjang memberikan jaminan perlindungan
yang jauh lebih baik bagi pekerja/buruh. Pembatasan demikian dapat berbentuk pembatasan
alasan untuk mana perjanjian untuk waktu tertentu dapat dibuat, jangka waktu yang
diperkenankan bagi kontrak seperti ini ataupun jumlah perjanjian untuk waktu tertentu yang
dibuat berturut-turut yang dapat ditutup. Hukum perburuhan Indonesia menggunakan ketiga
macam pembatasan di atas.32
Berdasarkan ketentuan Pasal 59 UUKetenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tertentu
hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
31
Agusmidah, Loc. Cit.
32
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Selanjutnya ketentuan tersebut menjelaskan
bahwa pekerjaan demikian mencakup:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Ketentuan penjelasan dari Pasal ini menetapkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu
tertentu harus didaftarkan di instansi pemerintah yang bertanggungjawab atas urusan
ketenagakerjaan.
Ketentuan ayat (2) dari Pasal 59 UU Ketenagakerjaan di atas secara tegas menyatakan
bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap. Hal ini kiranya sudah dapat disimpulkan dari ketentuan ayat terdahulu pasal ini.
Penjelasan dari ketentuan di atas menerangkan bahwa pekerjaan yang bersifat tetap merujuk
pada pekerjaan yang bersifat berlanjut, terus menerus atau tanpa jeda, yang terikat pada
jangka waktu tertentu, dan merupakan bagian dari proses produksi dalam kegiatan atau
pekerjaan yang tidak bersifat musiman. Pekerjaan tidak musiman adalah pekerjaan yang tidak
tergantung pada cuaca/iklim atau situasi-kondisi tertentu. Jika suatu pekerjaan bersifat terus
menerus serta berlanjut, namun tidak terikat jangka/kerangka waktu (timeframe) dan
merupakan bagian dari proses produksi, tetapi terikat/tergantung pada cuaca/iklim ataupun
pekerjaan diadakan karena adanya situasi-kondisi tertentu, maka dikatakan bahwa pekerjaan
demikian adalah pekerjaan musiman. Pekerjaan demikian tidak termasuk pekerjaan tetap dan
sebab itu dapat ditundukkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi perjanjian kerja
Menurut ketentuan Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan di atas, perjanjian kerja
waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perbedaan antara keduanya harus
dikaitkan dengan upaya-upaya lain untuk membatasi penggunaan kontrak-kontrak kerja
seperti ini. Kiranya dengan perpanjangan (extension) dimaksudkan bahwa perjanjian lama
langsung diteruskan seketika berakhir. Pembaharuan (renewal) sebaliknya merujuk pada
pengertian bahwa setelah lewat jangka waktu tertentu setelah perjanjian berakhir, dibuat
perjanjian baru.33
Ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa perjanjian kerja
waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama
2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun. Satu syarat tambahan ialah bahwa pengusaha yang bermaksud memperpanjang
perjanjian kerja waktu tertentu, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu
tertentu tersebut berakhir, harus telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.34
Ketentuan Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan berkenaan dengan pembaharuan
perjanjian kerja waktu tertentu. Pembaharuan hanya dapat diadakan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari (sejak) berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang
lama. Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan
paling lama 2 (dua) tahun.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat kita temukan empat ketentuan
tambahan berkenaan dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pertama, hubungan kerja
berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam
peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan.35
33
Ibid.
34
Lihat Pasal 59 ayat (5) UU Ketenagakerjaan.
35
Sebagai akibatnya, KUHPerdata secara tegas menetapkan bahwa jika lamanya hubungan
kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau reglemen, maupun dalam peraturan
perundang-undangan atau menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan
untuk waktu tidak tentu.36 Ketentuan kedua yang dapat kita temukan dalam KUHPerdata
berkenaan dengan kapan pemberitahuan perihal pemutusan hubungan kerja disyaratkan
dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu.
Menurut ketentuan Pasal 1603e KUHPerdata yang sudah disebut di atas,
pemberitahuan tentang pemutusan hubungan hanya akan disyarakatkan dalam hal-hal berikut
ini:
1. Jika hal itu dijanjikan dalam surat perjanjian atau dalam reglemen;
2. Jika menurut peraturan perundang-undangan atau menurut hukum kebiasaan, juga dalam
hal lamanya hubungan kerja ditetapkan sebelumnya, diharuskan adanya pemberitahuan
tentang pemutusan itu dari kedua belah pihak, dalam hal yang diperbolehkan, tidak
mengadakan penyimpangan dengan perjanjian tertulis atau dengan reglemen.
Ketentuan ketiga berkenaan dengan situasi pekerja/buruh terus melanjutkan pekerjaan
padahal jangka waktu telah lampau dan belum ada kesepakatan baru dibuat berkenaan dengan
pelanjutan pekerjaan tersebut. Ketentuan Pasal 1603f KUHPerdata menetapkan bahwa jika
hubungan kerja, setelah waktunya habis sebagaimana diuraikan pada alinea pertama Pasal
1603e diteruskan oleh kedua belah pihak tanpa bantahan, maka hubungan kerja itu dianggap
diadakan lagi untuk waktu yang sama. Dalam hal hubungan kerja yang diperpanjang itu akan
berlangsung untuk waktu kurang dari enam bulan maka hubungan kerja tersebut dianggap
diadakan untuk waktu tidak tentu, hanya dengan syarat-syarat yang sama.
Ketentuan di atas berlaku pula jika dalam hal-hal tersebut pada alinea kedua Pasal
1603e KUHPerdata, pemberitahuan pemutusan hubungan kerja tidak dilakukan pada waktu
36
yang tepat. Dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, akibat-akibat dari pemberitahuan
pemutusan hubungan kerja yang tidak dilakukan tepat pada waktunya dapat diatur dengan
cara lain, asal hubungan kerja diperpanjang untuk waktu sedikit-dikitnya enam bulan.
Terakhir, dapat kita temukan aturan yang berlaku bagi kontrak waktu tertentu yang
dibuat berkelanjutan (consecutive fixedterm contracts). Suatu perjanjian kerja baru yang
diadakan seorang buruh dalam waktu empat minggu setelah berakhirnya hubungan kerja
sebelumnya, tidak peduli apakah hubungan kerja yang lalu itu diadakan untuk waktu tertentu
atau waktu tidak tentu, dengan majikan yang sama dan untuk waktu tertentu yang kurang dari
enam bulan, dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu.37 Ketentuan terakhir ini tampaknya
bertentangan dengan sistem perpanjangan maupun pembaharuan dalam Pasal 59 UU
Ketenagakerjaan.
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib
mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara
lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja)
adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.
PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama
masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih
rendah dari upah minimum yang berlaku.
37
Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT,
apabila:
1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi
PKWTT sejak adanya hubungan kerja;
2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak
adanya hubungan kerja;
3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru
menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah
menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;
4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka
PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut;
5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan
kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka
(4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan
peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.
Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
c. jabatan atau jenis pekerjaan
d. tempat pekerjaan
e. besarnya upah dan cara pembayarannya
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam
perjanjian kerja.
Perbedaan antara Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu(PKWT) paling terlihat :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) tidak boleh mensyaratkan masa Percobaan
kerja sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang
ketenagakerjaan.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu(PKWTT) boleh mensyaratkan masa
Percobaan kerja Paling lama 3(tiga) bulan, sesuai dengan Pasal 60 Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.
D. Perjanjian Tidak Tertulis atau Lisan
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
menentukan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
2. Cakap untuk membuat perikatan.
3. Sesuatu hal tertentu.
4. Suatu sebab atau causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek perjanjian, sedangkan syarat
Sehubungan bahwa pernyataan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
itu tidak selalu sesuai dengan kehendak, maka timbullah persoalan bagaimanakah
caranya untuk menentukan telah terjadinya kata sepakat.
Ada beberapa teori yang digunakan untuk menentukan terjadinya kata sepakat,
yaitu :
a. Teori Penawaran dan penerimaan (offer and acceptance)
Yang merupakan teori dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori
“penawaran dan penerimaan”. Yang dimaksudkan adalah bahwa pada prinsipnya
suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah
satu pihak dan diikuti dengan penerimaan lamaran (acceptance) oleh pihak lain dalam
kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum di setiap sistem hukum, sungguhpun
pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang menganut
sistem hukum common law.
b. Teori Kehendak (Wilstheorie).
Teori kehendak adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak.
Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa
yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.
Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul kesulitan apabila terdapat ketidak
sesuaian antara kehendak dan pernyataan. Karena dalam kehidupan sehari-hari
seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang lain.38
c. Teori Pernyataan (Verklaringstheorie).
Menurut teori ini, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan
seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya
terdapat didalam benak seseorang. Dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat
38
dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu dasar
dari terbentuknya suatu perjanjian.39
Agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, maka kehendak tersebut harus
dinyatakan. Sehingga yang menjadi dasar dari terikatnya seseorang terhadap suatu
perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut menurut teori
ini, jika terdapat ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak
akan menghalangi terbentuknya perjanjian.40
Teori pernytaan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori kehendak.
Namun teori ini juga mempunyai kelemahan. Karena teori pernyataan hanya focus
pada pernyataan dan tidak memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat
potensi kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat kesesuaian antara kehendak dan
pernyataan.41 Contoh : Jika A menawarkan sesuatu barang kepada B dan diterima
oleh B, maka antara A dan B telah terjadi persetujuan tanpa menghiraukan apakah
yang dinyatakan A atau B itu sesuai dengan kehendaknya masing-masing pihak atau
tidak.
d. Teori Kepercayaan (Vetrouwenstheorie).
Teori yang sekarang dianut juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan,
di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi, jika ada pernyataan yang secara
obyektif dapat dipercaya.
Teori kepercayaan berusaha mengatasi kelemahan dari teori pernyataan.
Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian. Suatu penyataan
akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang
39
Ibid, hal 79.
40
Ibid, hal 77.
41
berlaku didalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan
memang benar dikehendaki.42
Tidak dapat dipungkiri bahwa semua aspek dalam kehidupan kita erat
kaitannya dengan perjanjian. Demikian pula dalam kegiatan sehari-hari selalu
berhubungan dengan perjanjian, kontrak, kesepakatan dan kesepahaman baik yang
berbentuk lisan maupun tertulis.
Konsekuensi dari perjanjian yang telah dibuat berdasarkan pasal 1320 KUH
Perdata. Maka ketentuan pasal 1338 (1) berlaku yaitu “perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.43
Guna memberi landasan bagi pelaksanaan pembuatan suatu perjanjian,
maka ada beberapa asas/perinsip di bidang hukum perjanjian. Asas/perinisp itu
merupakan pondasi, tiang atau pilar dari pembuatan perjanjian, yaitu :
1. Asas Kebebasan berkontrak (Sistem terbuka)
Artinya para pihak dalam perjajian bebas mengemukakan kehednak, mengatur
hubungan yang berisi apa saja, asalkan memenuhi syarat sahnya perjanjian. Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua”
menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan
siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum.
2. Asas Konsensualitas (Kesepakatan)
Artinya perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak.
Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak
tercapainya kata sepakat meskipun tanpa formalitas. Hal ini berarti, perjanjian yang
42
Ibid. hal 80
43
dibuat itu dapat secara lisan dan dapat juga dituangkan dalam bentuk tulisan yang
disebut akte.
3. Asas Kekuatan Mengikat
Artinya perjanjian yang dibuat secara sah (telah memenuhi syarat sahnya
perjanjian) mengikat para pihak untuk ditaati ( Pasal 1338 ayat (1). Perjanjian tersebut
hanya dapat dicabut atau dirubah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal
1338 ayat 2).
Namun perlu dipertimbangkan bahwa sebagain masyarakat kurang menghormati
moral/norma hukum yang ada. Artinya perjnjian yang dilakukan secara
lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Disamping itu dari segi pembuktian perjanjian
lisan sulit dibuktikan, oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis,
terinci, tegas dan mudah dipahami.
Di dalam hukum perjanjian kita mengenal lima asas penting yang sekaligus
merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah :
1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian
Kebebasan mengadakan perjanjian adalah salah satu asas dalam hukum umum
yang berlaku di dunia. Asas ini memberi kebebasan kepada setiap warga negara untuk
mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum.
Pasal 133 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang memberi kebebasan
kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk :
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau tidak tertulis;
e. Menerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat
rasional.
Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi
syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuataan yang sama seperti undang-undang.
Para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi apa saja di
dalam sebuah perjanjian dengan memeperhatikan batasan-batasan hukum yang
berlaku.
2. Asas konsensualisme
Dapat ditelusuri dalam rumusan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal ini
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan
kedua belah pihak. Perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai
hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas. Namun berbagai ketentuan
undang-undang menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara tertulis
atau yang diharuskan dibuat dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
(misalnya akta pendirian Perseroan Terbatas). Asas konsensulisme yang dikenal
dalam KUHPerdata berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas pacta sunt servanda
Asas ini diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum terangkum dalam rumusan
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi atau campur tangan terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para
pihak.
4. Asas itikad baik
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, “Semua perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik‟. Asas ini menyatakan bahwa para pihak yaitu pihak
kresitur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berlandaskan kepercayaan
atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak.
5. Asas kepribadian
Adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau
membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 dirumuskan, “Pada
umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji, kecuali untuk dirinya sendiri “. Pasal 1315 ini berkaitan
dengan rumusan Pasal 1340 KUHPerdata, “Perjanjian-perjanjian hanya berlaku
diantara pihak-pihak yang membuatnya”.
Selain lima asas diatas, masih ada beberapa hal mendasar yang dapat dijadikan
pedoman dalam pembuatan perjanjian. Ketentuan ini berlaku universal dan dapat
dipertanggung jawabkan secara moral. Beberapa dari perinsip dasar tersebut adalah :
- Asas kepercayaan
- Asas persamaan hukum
- Asas kepastian hukum
- Asas moral
- Asas kepatutan
- Asas kebiasaan
- Asas perlindungan
KUHPerdata tidak menyebutkan secara eksplisit kapan suatu perjanjian mulai
berlaku dan baaimana tahap-tahap terjadinya perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata
hanya menyatakan perjanjian eksis berdasarkan consensus para pihak dan tidak
memberi penjelasan rinci kapan suatu perjanjian mulai eksis setelah melalui
tahapan-tahapan pembentukannya. Lahirnya suatu perjanjian menimbulkan hubungan hukumn
perikatan dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dankewajiban inilah yang
merupakan akibat hukum suatu perjanjian.
Secara umum, perjanjian sesuai dengan bentuk dibedakan atas44:
1. Perjanjian lisan.
Yaitu perjanjian yang kesepakatan/kalusul yang diperjanjikan disepakati secara lisan.
Perjanjian lisn seperti ini tetaplah sah, tetapi yang menjadi masalah adalah jika ada sengketa
yang lahir terkait dengan perjanjian ini maka para pihak akan kesulitan melakukan
pembuktian.
2. Perjanjian tertulis.
Bentuk perjanjian ini ada 2 yaitu perjanjian tertulis dengan kata dibawah
tangan dan perjanjian tertulis dengan akta otentik.
Perjanjian tertulis dengan akta dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat
oleh para pihak saja tanpa melibatkan pejabat yang berwenang. Bagaimana jika tidak
disertai dengan materai? Apakah perjanjian itu sah, yang menjadi masalah adalah
44
bukti tertulis dari perjanjian itu tidak bisa dijadikan alat bukti karena hakim akan
menolaknya menjadikannya sebagai alat bukti. Hal ini dikarenakan UU Bea Materai
kita mengatur tentang itu.
Perjanjian dengan akta dibawah tangan ini masih memberikan ruang bagi
salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian. Perjanjian dengan akta otentik
adalah perjanjian yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat yang berwenang. Siapa
pejabat yang berwenang membuat perjanjian otentik ? Terdapat 2 pejabat yang
berwenng yaitu notaries (untuk objek selain tanah) dan pejabat pembuat akta
tanah/PPAT (untuk objek tanah). Konsekuensi dari perjanjian dengan akta otentik ini
adalah tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk mengingkari isi
perjanjian.
Sangat jelas bahwa perjanjian lisan merupakan kesepakatan tidak tertulis antara para
pihak yang berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuatnya.
Perjanjian lisan hanya membutuhkan kata sepakat antara para pihak dalam perjanjian, dalam
asas kebebasan berkontrak kata sepakat dalam perjanjian lisan sering kali menjadi masalah
seperti ada pihak dengan bargainin position yang lemah dipaksa atau diintimidasi oleh pihak
lainnya dengan bargaining position yang lebih kuat untuk mencapai kata sepakat dengan apa
yang dijanjikan dalam perjanjian lisan.
Pada umumnya perjanjian dibuat tertulis antara para pihak yang terlibat dalam
perjanjian namun ada pula perjanjian dibuat secara lisan dimana subjek dan objek perjanjian
hanya dapat diyakini oleh para pihak yang membuat perjanjian perikatan. Dalam perjanjian
yang dibuat secara lisan tidak diatur secara spesifik dalam KUHPerdata maupun dalam
peraturan perundang-undangan lainnya sehinga pengaturan perjanjian lisan hanya mengikuti
Perjanjian lisan baru merupakan perjanjian permulaan yang akan ditindaklanjuti dan
belum dibuat di depan Notaris, belum mempunyai kekuataan mengikat bagi para pihak yang
membuat sehinga tidak mempunyai akibat hukum.
Perjanjian secara lisan sebaiknya tidak dipergunakan karena dalam hal
pembuktiannya sulit karena beban pembuktian dalam hukum perdata dibebankan pada
kebenaran formil. Dan sangat jelas bahwa perjanjian secara lisan menimbulkan tidak adanya
kepastian hukum dan menjadi sulit ketika timbul sengketa atau ketidaksesuaian pendapat.
Sebagian masyarakat kurang menghormati moral/norma hukum yang ada. Artinya
perjanjian yang dilakukan secara lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Perjanjian lisan ini dari
segi pembuktian sulit untuk dibuktikan oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara
tertulis, terinci, tegas dan mudah dipahami.
E. Konsep Pengurangan Hak
Hak-hak tenaga kerja (termasuk pekerja/buruh dalam hubungan kerja) yang diatur
dan dituangkan dalam UU mengenai Ketenagakerjaan, relatif sangat banyak. Dapat saya
contohkan (hak-hak langsung) secara berurut, antara lain misalnya:
- hak non-diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Dalam arti, pekerja/buruh tidak
boleh dibedakan dalam proses recruit (khususnya dalam hubungan kerja) atas
dasar suku, agama, ras, atau etnis tertentu, dan menolak bagi yang berbeda.45
- hak memperoleh perlakukan dan hak-hak yang sama di tempat kerja (tanpa
diskriminasi).46
- hak memperoleh peningkatan dan pengembangan serta pengakuan kompetensi
kerja.47
45
Pasal 5 UU Ketenagakerjaan. 46
Pasal 6 jo Pasal 65 ayat (4) dan Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan beserta penjelasannya. 47
- hak memperoleh kesempatan yang sama dalam memilih/mendapatkan pekerjaan,
pindah kerja, dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar
negeri.48
- hak memperoleh upah dan/atau upah kerja lembur apabila dipekerjakan melebihi
waktu kerja normal, atau bekerja lembur pada hari istirahat mingguan atau hari
libur resmi.49 Hak inilah yang menjadi fokus penelitian saya. Manakala hak ini
dikurangi ataupun tidak diberikan sama sekali, maka telah terjadi suatu
pengurangan hak terhadap buruh oleh pengusaha.
- hak menunaikan ibadah (termasuk ibadah dalam jangka waktu yang lama) dengan
hak upah.50
- hak untuk tidak bekerja pada saat (sakit) haid (khusus bagi wanita), walaupun no
work no pay.51
- hak cuti hamil dan melahirkan (termasuk gugur kandung) dengan hak upah.52
- hak dan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3), perlindungan
moral dan kesusilaan, serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama.53
- hak jaminan sosial tenaga kerja.54
- hak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja sesuai ketentuan.55
- hak mogok kerja sesuai prosedur.56 Dan,
48
Pasal 31 jo Pasal 88 UU Ketenagakerjaan. 49
Pasal 1 angka 30 dan Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. 50
Pasal 81 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan. 51
Pasal 81 UU Ketenagakerjaan. 52
Pasal 82 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan. 53
Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
54
Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
55
Pasal 104 UU Ketenagakerjaan jo Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. 56
- hak memperoleh “pesangon” bila hubungan kerjanya PKWTT atau dianggap (dan
memenuhi syarat) PKWTT.57
Mengenai hak atas bantuan hukum bagi tenaga kerja, perlu dipahami, bahwa saat ini
telah ada UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bankum”) yang
memberikan jaminan hak konstitusional kepada setiap orang untuk mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Dengan UU Bankum tersebut,
Negara bertanggung-jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin yang
menghadapi masalah hukum untuk mendapatkan akses keadilan.
Bantuan hukum kepada masyarakat (orang miskin atau kelompok orang miskin)
selaku penerima bantuan hukum dimaksud, diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia (Menkum HAM) yang secara operasional dilakukan oleh Pemberi Bantuan
Hukum, yakni Lembaga Bantuan Uukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang
memberi layanan bantuan hukum (Layanan BH) secara percuma (gratis), dengan syarat:
a. Mengajukan permohonan secara tertulis (kecuali bagi yang tidak mampu menyusun
permohonan secara tertulis);
b. Menyerahkan dokumen yang terkait dengan pokok perkara; dan
c. Melampirkan surat keterangan miskin.58
F. Para Pihak dalam Perjanjian Kerja
a. Buruh atau Pekerja
Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain istilah
ini sudah dipergunakan sejak lama mulai dari zaman penjajahan Belanda, juga karena
peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum UU Ketenagakerjaan) menggunakan
istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda, yang dimaksudkan dengan buruh adalah
57
Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. 58
pekerja keras seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini
disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor
pemerintah maupun swasta disebut sebagai “karyawan/pegawai” (White Collar). Pembedaan
yang membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah
Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang-orang pribumi.
Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh
kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada orang maupun badan
hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan, yakni buruh adalah “barang siapa yang bekerja pada majikan
dengan menerima upah”.59
Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan
untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah
(Depnaker) pada waktu kongres FBSI 11 Tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah
buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada
golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain, yakni majikan.
Pada masa Orde Baru, istilah pekerja khususnya Serikat Pekerja yang banyak
diintervensi oleh kepentingan pemerintah, maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan
istilah tersebut, sehingga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah, maka
istilah tersebut disandingkan.
Dalam RUU Ketenagakerjaan ini, sebelumnya hanya menggunakan istilah pekerja
saja, namun agar selaras dengan undang-undang yang lahir sebelumnya, yakni UU No. 21
Tahun 2000 yang menggunakan istilah Serikat Buruh/Pekerja. UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjan, Pasal 1 angka 4 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
59
Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) berdasarkan UU No. 3 Tahun 1992, pengertian
“pekerja” diperluas, yakni termasuk:
1. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima upah maupun
tidak;
2. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan;
dan
3. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
b. Pengusaha atau Majikan
Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat populer
karena perundang-undangan sebelum UU No. 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan.
UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaiaan Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa
Majikan adalah ”orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh.”
Sehubungan dengan hal tersebut, perundang-undangan yang lahir kemudian seperti
UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
menggunakan istilah Pengusaha. Dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 13 tahun 2003, menjelaskan
pengertian pengusaha yakni:
1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan sutu
perusahaan milik sendiri;
2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya; dan
3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 yang berkedudukan di luar
Selain pengertian pengusaha, UU No. 13 Tahun 2003 juga memberikan pengertian
pemberi kerja, yakni orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya
yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.60
Sedangkan pengertian perusahaan dalam UU No. 13 Tahun 2003 adalah:
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, yang mempekerjakan pekerja
dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan buruh/pekerja
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk apapun; dan
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lai