• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Perempuan Malam (Pemandu Karaoke) di Hiburan Malam Sari Rejo T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Perempuan Malam (Pemandu Karaoke) di Hiburan Malam Sari Rejo T1 BAB II"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang kepustakaan yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian

hukum ini. Uraian menyangkut hakekat Perjanjian tertulis dan tidak tertulis sebagai suatu

kontrak. Selanjutnya akan dikemukakan pula tinjauan mengenai sejarah Hukum Perburuhan

dan juga pengertian Pemandu Karaoke. Sedikit mengenai hakekat suatu perseroan sebagai

pengusaha.

Tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk menjawab rumusan permasalahan skripsi

ini. Juga nanti akan dipergunakan untuk melakukan analisa hasil penelitian di Bab III.

A. Hakekat Kontrak

Pengertian Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum adalah:

“It is the group of kinds of obligations all concerned with legal duties undertaken by

persons, by promises to, or agreement with, another, to give or do or refrain from

doing something to or for another, or with legal duties imposed by law to give or do

something to or for another where justice requires is though there is no promise.”

(Artinya: Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan

orang lain untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau

untuk orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut

oleh hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat

sesuatu terhadap atau untuk orang lain, apabila keadilan menghendaki, meskipun

tidak diperjanjikan sebelumnya.)1

1

(2)

Segenap kewajiban yang harus dilakukan, sebagaimana dimaksud dalam pengertian

atau definisi Kontrak di atas; baik kewajiban yang lahir karena perjanjian (promise), ataupun

segenap kewajiban yang lahir karena kesepakatan (agreement), maupun kewajiban yang lahir

karena hukum (the Law), dan kewajiban karena ada tuntutan keadilan (justice), seringkali

disederhanakan atau dianalogikan sebagai suatu sistem kewajiban (obligations) atau

perikatan yang harus dilakukan oleh setiap orang.2

Beberapa peristilahan sering digunakan secara paralel dengan istilah kontrak dengan

pengertian yang relatif sama. Istilah kontrak sering disamakan pengertiannya dengan konsep

“obligation” atau kewajiban. Dalam literatur, para penulis hukum di Indonesia3 kadangkala

menyamakan kontrak atau perjanjian dengan kata perikatan. Sedangkan dalam literatur di

negara-negara common law, perkataan obligation dapat samakan artinya dengan hubungan

hukum, atau kewajiban, dan perikatan itu digunakan pula konsep4debt atau hutang, duty on a

debtor atau kewajiban seorang debitur atau obligor. Konsep terakhir ini berhubungan dengan

hak perorangan atau klaim (claim) yang bersifat personal (in personam).

2

Ibid., hlm. 3. 3 Ibid

., hlm. 5. Tidak banyak penulis hukum Indonesia yang Jeferson Kameo kategorikan sebagai penulis hukum pionir. Subekti, satu dari si pionir yang dimaksudkan itu, dalam buku berjudul Hukum Perjanjian, Cetakan ke IX (cetakan pertama buku itu diterbitkan tahun 1963), Penerbit Intermasa, 1984, hlm. 1., mengatakan:

“Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan pada perjanjian atau persetujuan tertulis.” Dalam buku itu,

Subekti berusaha membedakan kontrak dengan konsep-konsep seperti: perikatan, perjanjian, dan persetujuan. Sedangkan Koesoemadi Poedjosewodjo, dalam buku berjudul Sistematik Kuliah Asas-Asas Hukum Perdata, Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta, 1960, memakai istilah perutangan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda untuk perikatan (verbintenis). Dalam buku Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, diminta perhatian pembaca untuk tidak kemudian menjadi berasumsi bahwa Kontrak yang dimaksudkan sebagai nama Ilmu Hukum itu adalah KUHPerdata, buku hukum yang isinya ditulis kembali dalam berbagai buku penulis-penulis pionir itu. Tidak! Tetapi, bahwa faktanya, tak terhindarkan (niscaya) isi dari KUHPerdata dan istilah yang dipergunakan di sana hampir jatuh sama dengan isi Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum. Hanya saja, kontrak atau perikatan atau apapun istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan isi dan ruh KUHPerdata, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, hanya mengenai satu buku atau satu undang-undang saja. Kontrak sebagai nama Ilmu Hukum lebih dahsyat dari KUHPerdata, sudah ada jauh sebelum KUHPerdata, memerintah KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan yang datang setelah KUHPerdata.

4

(3)

Sering pula ditemui istilah seperti dokumen atau surat untuk kontrak. Masih berkaitan

dengan hal itu, orang juga menggunakan istilah bond atau surat pertanggungan atau surat

perikatan, atau suatu deed atau surat akta yang mencantumkan, atau berisi (constituting) atau

untuk membuktikan (evidencing)5 adanya suatu kewajiban kontraktual.

Secara populer (colloquial) perikatan atau perjanjian berarti suatu kewajiban dalam

pengertian kewajiban untuk membayar, atau suatu hutang yang harus ditunaikan oleh obligor.

Dalam kaitan dengan itu, kewajiban adalah merupakan counterpart atau sisi lain dari suatu

hak yang timbul karena adanya suatu hubungan hukum yang bersifat personal.6

1. Definisi Kontrak

Istilah kontrak selain memiliki makna yang sama dengan nama ilmu hokum, sering

atau umum dipahami berasal dari kata “contract” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Perancis “contrat”, dan dalam bahasa Belanda “overeenkomst”, sekalipun kadang-kadang juga digunakan istilah “contract”.7 Dalam bahasa Indonesia istilah kontrak sama pengertiannya dengan perjanjian. Kedua istilah ini merupakan terjemahan dari

“contract”,”overeenkomst”, atau “contrat”. Istilah kontrak lebih menunjukkan pada nuansa

bisnis atau komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk,8 sedangkan istilah perjanjian

cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan dua istilah ini bukan pada bentuknya.

5

Ibid., hlm. 6. Mengenai hal ini, belakangan, dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ditegaskan bahwa selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata. Padahal, hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan, sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya. Kecuali, seperti yang diatur oleh Pasal 5 ayat (4) dan Penjelasannya, bahwa:

“Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah, itu tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, yang meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan aturan hukum acara perdata, pidana, dan administra si nega ra.” Ditambah

dengan surat beserta dokumen lainnya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Suatu requirement of writing.

6

Ibid.

7Misalnya dalam istilah “contractsoverneming”

yang terdapat dalam Bagian 3 Bab 2 Buku 6 NBW. 8

(4)

Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab

kontrak pun dapat dibuat secara lisan.9

Terdapat dua fungsi penting dalam kontrak, yaitu: pertama, untuk menjamin

terciptanya harapan atas janji yang telah dipertukarkan; dan kedua, mempunyai fungsi

konstitutif untuk memfasilitasi transaksi yang direncanakan dan memberikan aturan bagi

kelanjutannya ke depan.10 Semakin kompleks suatu transaksi akan semakin tinggi kebutuhan

mengenai perencanaan dan semakin rinci pula ketentuan-ketentuan (dalam kontrak) yang

dibuat. Dalam kaitan dengan fungsi kontrak bagi perencanaan transaksi, perlu diperhatikan

pada empat hal, yaitu:

a. Kontrak pada umumnya menetapkan nilai pertukaran (the value of exchange);

b. Dalam kontrak terdapat kewajiban timbal balik dan standar pelaksanaan kewajiban;

c. Kontrak membutuhkan alokasi pengaturan tentang resiko ekonomi (economic risk)

bagi para pihak; dan

d. Kontrak dapat mengatur kemungkinan kegagalan dan konsekusensi hukumnya.11

2. Status Subjek Hukum dalam Kontrak

Menurut Mochtar Kusumaatmaja yang dikutip dalam Chaidir Ali, hukum itu tidak

saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia

dalam masyarakat. Hukum meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) demi proses-proses

(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah ini dalam kenyataan. Hal ini diperkuat

lagi oleh Ciceroyang mengatakan: “dimana ada masyarakat, disana ada hukum.”12

Hukum hidup dan dibutuhkan oleh masyarakat. Hukum bukan hanya seperangkat

aturan, namun termasuk juga di dalamnya lembaga-lembaga (institusi) dalam proses-proses

yang menyebabkan terjadinya kaidah-kaidah tersebut.

9

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Loc. Cit. 10

J. Beatson, Op. Cit., p. 3. 11Ibid.

12

(5)

Sebagai bagian dari masyarakat, tiap-tiap orang adalah pembawa hak. Dalam artian,

tiap orang memiliki hak dan kewajiban. Sehingga, tiap-tiap orang disebut sebagai subyek

hukum (subjetcum juris).

Menurut C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, subjek hukum ialah: “Siapa yang dapat

mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yang

cakap menurut hukum untuk bertindak.”13

Adalah merupakan suatu yang sangat mendasar, dan oleh sebab itu harus ada dalam

suatu perikatan konvensional, perjanjian atau suatu kontrak, apa yang disebut dalam Kontrak

sebagai nama Ilmu Hukum sebagai pihak atau para pihak. Dalam setiap perikatan

konvensional, selalu ada dua atau lebih pihak (legal persons), atau apa yang di dalam sistem

hukum di Indonesia disebut dengan subyek hukum. Pihak itu berdiri sendiri-sendiri, tertentu,

dan nyata. Paling sedikit harus ada satu pihak dalam tiap sisi dari perikatan itu, baik satu

pihak di sisi kreditur, maupun satu pihak lagi di sisi debitur.14

Jeferson Kameo mengemukakan suatu maxim Latin yang telah sering dikutip berbagai

jurists untuk menunjuk kepada prinsip hukum, yaitu: “Pactum, atau suatu pakta di dalam

hukum, telah diartikan sebagai duorum pluriumve in idem placitum consensus atque

convention… atau sepakat dari dua atau lebih pihak (orang) mengenai beberapa hal untuk

dilaksanakan oleh masing-masing pihak. Baik hal itu dilaksanakan oleh satu pihak di satu

sisi, maupun hal itu dilaksanakan oleh pihak lainnya di sisi yang lain.”15

Apabila maxim tersebut di atas diperhatikan secara selintas, maka orang mungkin saja

bakal terjatuh dalam suatu pandangan bahwa seseorang tidak dapat membuat suatu perikatan

atau suatu kontrak oleh dirinya sendiri.16 Demikian pula, satu orang atau satu pihak tidak

13

C.S.T. Kansil dan Christine Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta, Harapan, 2002), hlm. 1. 14

Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Op. Cit., hlm. 179, 15Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…

. 16

(6)

dapat memasuki suatu perikatan, atau mengikatkan diri (dalam pengertian) memikul

kewajiban-kewajiban atau menyanggupi memberikan sesuatu, atau menyanggupi melakukan

sesuatu, atau sepakat untuk tidak melakukan sesuatu dengan dirinya sendiri.17 Demikian pula

satu orang saja tidak dapat menggunakan akta apapun untuk membuat suatu hutang kepada

dirinya sendiri, dengan atau tanpa jaminan.18 Lebih jauh, di dalam sistem hukum Inggris,

telah diatur suatu ketentuan yang tidak benar, bahwa suatu perjanjian yang diadakan oleh

seorang bernama (B) dengan (B) yang bersekutu dengan orang lain adalah batal.19

B. Jenis-Jenis Kontrak

Para ahli dibidang kontrak tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian kontrak.

Ada ahli yang mengkaji dari sumber hukumnya, namanya, bentuknya, aspek kewajibannya,

maupun aspek larangnnya. Salim H.S. memaparkan jenis perjanjian dengan cara yang sedikit

berbeda dibandingkan dengan para sarjana. Salim H.S di dalam bukunya menyebutkan bahwa

jenis kontrak atau perjanjian adalah:20

Kontrak Menurut Sumber Hukumnya.

Kontrak berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan kontrak yang

didasarkan pada tempat kontrak itu ditemukan. Perjanjian (kontrak) dibagi jenisnya menjadi

lima macam, yaitu:

 Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;

 Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan

hukum benda, misalnya peralihan hak milik;

 Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

dengan privity of contract dalam sistem hukum Inggris, atau oleh sejumlah penerjemah KUHPerdata dinamakan asas kepribadian. Ibid., hlm. 180.

17Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum… 18

Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum…. 19Supra Jeferson Kameo, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum… 20

(7)

 Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut

dengan bewijsovereenkomst;

 Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut

dengan publieckrechtelijke overeenkomst;

Kontrak menurut namanya.

Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal

1319 BW dan Artikel 1355 NBW. Di dalam Pasal 1319 BW dan Artikel 1355 NBW hanya

disebutkan dua macam kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat (bernama) dan

kontrak innominaat (tidak bernama). Kontrak nominnat adalah kontrak yang dikenal dalam

BW. Yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar menukar, sewa

menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam,

pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian. Sedangkan kontrak innominaat adalah

kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum

dikenal dalam BW. Yang termasuk dalam kontrak innominat adalah leasing, beli

sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing,

dan lain-lain. Namun, Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan

tidak bernama, yaitu kontrak campuran. Kontrak campuran yaitu kontrak atau perjanjian yang

tidak hanya diliputi oleh ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam

title I, II, dan IV karena kekhilafan, title yang terakhir ini (title IV) tidak disebut oleh Pasal

1355 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus untuk sebagian

menyimpang dari ketentuan umum. Contoh kontrak campuran, pengusaha sewa rumah

penginapan (hotel) menyewakan kamar-kamar (sewa menyewa), tetapi juga menyediakan

makanan (jual beli), dan menyediakan pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa).

Kontrak campuran disebut juga dengan contractus sui generis, yaitu ketentuan-ketentuan

(8)

10 Desember 1936) atau orang menerapkan teori absorpsi (absorptietheorie), artinya

diterapkanlah peraturan perundangundangan dari perjanjian, dalam peristiwa yang terjadi

merupakan peristiwa yang paling menonjol, sedangkan dalam Tahun 1947 Hoge Raad

menyatakan diri (HR, 21 Februari 1947) secara tegas sebagai penganut teori kombinasi.

1. Kontrak menurut bentuknya. Di dalam KUHPerdata, tidak disebutkan secara

sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila kita menelaah berbagai ketentuan

yang tercantum dalam KUHPerdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi

menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak

atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para

pihak (Pasal 1320 BW). Dengan adanya konsensus maka perjanjian ini telah terjadi.

Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Pembedaan ini

diilhami dari hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, tidak hanya memerlukan

adanya kata sepakat, tetapi perlu diucapkan kata-kata dengan yang suci dan juga harus

didasarkan atas penyerahkan nyata dari suatu benda. Perjanjian konsensual adalah

suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil

adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Kontrak tertulis

merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat

kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682

BW). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah

tangan dan akta autentik. Akta autentik terdiri dari akta pejabat dan akta para pihak.

Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Contohnya, berita acara

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam sebuah PT. Akta yang dibuat di

hadapan Notaris merupakan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan Notaris. Di

(9)

standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk

formulir.

2. Kontrak timbal balik. Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak.

Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang dilakukan para pihak menimbulkan

hak dan kewajiban-kewajiban pokok seperti pada jual beli dan sewa-menyewa.

Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu timbal balik tidak

sempurna dan yang sepihak.

 Kontak timbal balik tidak sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak,

sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Di sini tampak ada prestasi-prestasi

seimbang satu sama lain. Misalnya, si penerima pesan senantiasa berkewajiban untuk

melaksanakan pesan yang dikenakan atas pundaknya oleh orang pemberi pesan.

Apabila si penerima pesan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut telah

mengeluarkan biaya-biaya atau olehnya telah diperjanjikan upah, maka pemberi pesan

harus menggantinya.

 Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang selalu menimbulkan

kewajiban-kewajiban hanya bagi satu pihak. Tipe perjanjian ini adalah perjanjian pinjam

mengganti. Pentingnya pembedaan di sini adalah dalam rangka pembubaran

perjanjian.

1. Perjanjian cuma-cuma atau dengan alas hak yang membebani. Penggolongan ini

didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya.

Perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian, yang menurut hukum hanyalah

menimbulkan keuntungan bagi salah satu pihak. Contohnya, hadiah dan pinjam pakai.

Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian,

(10)

yang menurut hukum saling berkaitan. Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu

jumlah tertentu, jika B menyerahkan sebuah benda tertentu pula kepada A.

2. Perjanjian berdasarkan sifatnya. Penggolongan ini didasarkan pada hak kebendaan

dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian menurut

sifatnya dibagi menjadi dua macam, yaitu perjanjian kebendaan (zakelijke

overeenkomst) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah suatu

perjanjian, yang ditimbulkan hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan, hal demikian

untuk memenuhi perikatan. Contoh perjanjian ini adalah perjanjian pembebanan

jaminan dan penyerahan hak milik. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan

perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari para pihak. Disamping itu, dikenal juga

jenis perjanjian dari sifatnya, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accesoir.

Perjanjian pokok merupakan perjanjian yang utama, yaitu perjanjian pinjam

meminjam uang, baik kepada individu maupun pada lembaga perbankan. Sedangkan

perjanjian accesoir merupakan perjanjian tambahan, seperti perjanjian pembebanan

hak tanggungan atau fidusia.

3. Perjanjian dari aspek larangannya. Penggolongan perjanjian berdasarkan larangannya

merupakan penggolongan perjanjian dari aspek tidak diperkenankannya para pihak

untuk membuat perjanjian yang bertentang dengan undang-undang, kesusilaan, dan

ketertiban umum. Ini disebabkan perjanjian itu mengandung praktik monopoli dan

atau persaingan usaha tidak sehat. Di dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perjanjian yang

dilarang dibagi menjadi tiga belas jenis, sebagaimana disajikan berikut ini.

 Perjanjian oligopoli, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku

(11)

pemasaran barang atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

 Perjanjian penetapan harga, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan

pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa

yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggaran pada pasar yang bersangkutan

sama. Pengecualian dari ketentuan ini adalah; Suatu perjanjian yang dibuat usaha

patungan, dan suatu perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.

 Perjanjian dengan harga berbeda, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku-pelaku

usaha yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga berbeda

dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang berbeda.

 Perjanjian dengan harga di bawah harga pasar, yaitu perjanjian yang dibuat antara

pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga yang berada

di bawah harga pasar, perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha

tidak sehat.

 Perjanjian yang memuat persyaratan, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan

atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang

diterimanya. Tindakan ini dilakukan dengan harga yang lebih rendah dari pada harga

yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha

tidak sehat.

 Perjanjian pembagian wilayah, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran

atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa. Perjanjian ini dapat mengakibatkan

(12)

 Perjanjian pemboikotan, yaitu suatu perjanjian yang dilarang, yang dibuat pelaku

usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk mengahalangi pelaku usaha lain untuk

melakukan usah yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

 Perjanjian kartel, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku

usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur

produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

 Perjanjian trust, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha

lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau

perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan

hidup masing-masing perseroan anggotanya. Perjanjian ini bertujuan untuk

mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

 Perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku

usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau

penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam

pasar yang bersangkutan. Perjanjian ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

 Perjanjian integrasi vertikal, perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan

pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang

termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/ atau jasa tertentu. Setiap rangkaian

produksi itu merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu

rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Perjanjian tertutup,

(13)

memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan

memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau pada tempat

tertentu.

 Perjanjian dengan pihak luar negeri, yaitu perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha

dengan pihak lainnya di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat.

Dari berbagai perjanjian yang dipaparkan di atas, menurut Salim H.S., jenis atau

pembagian yang paling asasi adalah pembagian berdasarkan namanya, yaitu kontrak

nominaat dan innominaat. Dari kedua perjanjian ini maka lahirlah

perjanjian-perjanjian jenis lainnya, seperti segi bentuknya, sumbernya, maupun dari aspek hak

dan kewajiban. Misalnya, perjanjian jual beli maka lahirlah perjanjian konsensual,

obligator dan lain-lain.

C. Hakekat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagai suatu kontrak dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Pada dasarnya, PKWT itu adalah salah satu jenis kontrak. Kontrak yang dimaksud di

dalam penelitian ini adalah kontrak sebagai nama dari Ilmu Hukum, yang mana telah Penulis

pinjam untuk memberikan gambaran dalam penelitian ini dari Jeferson Kameo. Adapun

definisi kontrak adalah:21

“Segenap kewajiban bagi setiap orang berjanji atau bersepakat dengan orang lain

untuk memberikan, atau berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap atau untuk

orang lain tersebut, atau berkenaan dengan segenap kewajiban yang dituntut oleh

hukum kepada setiap orang untuk memberikan atau berbuat atau tidak berbuat

21

(14)

sesuatu terhadap atau untuk orang lain apabila keadilan menghendaki meskipun

tidak diperjanjikan sebelumnya.”

Ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan

kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Adanya

perjanjian demikian sangatlah esensial.22

Pemahaman di atas pada prinsipnya serupa dengan apa yang ada di Eropa. Di

kebanyakan negara di Eropa, dasar atau landasan hukum perburuhan dapat ditemukan di

dalam „perjanjian kerja‟. Di negara-negara di Eropa (baik di dalam peraturan

perundang-undangan maupun dalam yurisprudensi), perjanjian kerja dipahami mencakup tiga elemen

inti: pekerjaan, upah, dan otoritas/kewenangan. Ini berarti bahwa perjanjian kerja adalah

suatu kesepakatan dengan mana buruh/pekerja mengikatkan diri sendiri untuk bekerja di

bawah otoritas/kewenangan majikan dengan menerima pembayaran upah.23

Hukum Indonesia tidak mendefinisikan perjanjian kerja dengan cara serupa. Namun,

Undang-Undang Ketenagakerjaan mendefinisikan „pekerja‟ dan „majikan‟ sebagai berikut:

“(3) Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain.

(4) Pemberi kerja (majikan) adalah orang perseorangan, persekutuan, badan

hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan

membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”24

Bila kita bandingkan pengertian kontrak kerja Eropa dengan versi Indonesia di atas,

maka dapat dikatakan keduanya identik berkenaan dengan dua elemen esensial, yaitu „kerja‟

dan „upah/imbalan‟. Tetapi elemen ketiga, otoritas tidak secara eksplisit merupakan bagian

22

Agusmidah dkk., Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Edisi 1, Denpasar: Pustaka Larasan, Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, Editor: Guus Heerma van Voss dan Surya Tjandra, 2012, hlmn., 13-15.

23

Ibid.

24

(15)

dari definisi kontrak kerja versi Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan dengan menyatakan

bahwa pembuat undang-undang Indonesia kiranya hendak memberikan definisi dengan

cakupan yang luas, sedemikian sehingga dapat mencakup segala bentuk kerja paruh waktu

atau sementara sekalipun otoritas pemberi kerja tidak tampak serta-merta di dalamnya.25

Penggunaan istilah „imbalan‟ daripada sekadar „upah‟ dan „pekerja‟ bukan „buruh‟

juga mengindikasikan bahwa pembuat undang-undang hendak menghindari penggunaan

definisi atau pengertian yang terlalu sempit. Dari sudut pandang kepentingan melindungi

buruh yang berada dalam situasi ketergantungan ekonomi, hal di atas kiranya sangat

menguntungkan.26

Pada lain pihak, salah satu kerugian ialah bahwa kemudian definisi yang diberikan

menjadi terlalu kabur dan luas. Dalam banyak kasus di mana seseorang sebenarnya kurang

lebih mempekerjakan diri sendiri, namun melakukan pekerjaan tersebut untuk orang lain,

maka muncul persoalan apakah mereka juga dapat dianggap tercakup ke dalam pengertian

pekerja menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan?

Ketiadaan definisi Perjanjian Kerja di dalam undang-undang sama turut memperparah

ambiguitas tersebut. Patut dicermati bahwa KUHPerdata, sebaliknya, memberikan definisi

yang lebih tegas. Perjanjian tersebut dalam KUPerdata disebut sebagai „perjanjian

perburuhan‟ (labour agreement). Tampaknya tidak ada kehendak untuk membedakan antara

„perjanjian kerja‟ dari UU Ketenagakerjaan dengan „perjanjian perburuhan‟ di dalam

KUHPerdata.27

Perjanjian perburuhan didefinisikan sebagai: “suatu persetujuan bahwa pihak kesatu,

yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu

majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.” (an agreement in which one party, the

25

Agusmidah, Loc. Cit.

26

Ibid.

27

(16)

labourer, agreesto render his services to the other party, the employer, for a specific term in

return for remuneration).28 Berbeda dengan bunyi naskah asli dalam bahasa Belanda,

KUHPerdata sebagaimana diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tidak mensyaratkan bahwa

buruh berada „dalam ikatan kerja/mengabdi (in dienst), yang berarti bahwa buruh bekerja di

bawah otoritas majikan. Dalam hal ini, naskah berbahasa Inggris dari KUHPerdata sama

tidak kaburnya dengan Undang-undang Ketenagakerjaan.29

Persoalan lain berkenaan dengan frasa for a specific term dalam naskah berbahasa

Inggris. Dalam naskah asli berbahasa Belanda, frasa yang sama berbunyi gedurende een

zekere tijd yang dapat diterjemahkan sebagai “untuk atau selama (jangka) waktu yang

tertentu”. Frasa “untuk jangka waktu tertentu” (for a certain period of time) mengesankan

bahwa kontrak atau perjanjian kerja itu memiliki batas waktu tertentu. Ini kiranya merupakan

terjemahan yang keliru, karena definisi di atas sesungguhnya hendak juga mencakup

perjanjian atau kesepakatan tanpa batas waktu tertentu, dinamakan juga “kontrak terbuka”

(openended contract). Di samping itu, KUHPerdata nyata membedakan perjanjian

kerja/perburuhan dengan kontrak (pemborongan) kerja (contract for work): “perjanjian

pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikat

diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga

yang telah ditentukan.” (the contract for work is the agreement by which one party, the

contractor, binds himself to the other party, the client, to carry out specific tasks for a

specific price).30

Berkaitan dengan ini tampak bahwa KUHPerdata mengindikasikan adanya perbedaan

antara perjanjian kerja/perburuhan dengan perjanjian pemborongan kerja. Perjanjian

pemborongan kerja berkenaan dengan pekerjaan yang digambarkan dengan lebih rinci, dan

28

Pasal 1601a KUHPerdata.

29

Agusmidah, Loc. Cit.

30

(17)

sebab itu pula berjangka waktu tertentu. Sebaliknya untuk perjanjian kerja/perburuhan,

pekerjaan apa yang dilakukan tidak dirinci dan perjanjian bisa jadi dimaksudkan untuk jangka

waktu tidak terbatas. Di dalam teori (hukum) Belanda, perbedaan dibuat antara kewajiban

untuk menyerahkan tenaga (make effort) (perjanjian kerja/perburuhan) dengan kewajiban

untuk menuntaskan atau mencapai target tertentu (reach a specific result; perjanjian

pemborongan kerja/contract for work). Perjanjian pemborongan kerja digunakan oleh

seseorang yang mempekerjakan diri sendiri (self-employed persons) yang umumnya

menerima atau mengikatkan diri untuk melakukan sejumlah penugasan dari mitra kontrak

yang berbeda-beda. Sedangkan perjanjian kerja/perburuhan dipergunakan oleh buruh/pekerja

yang mengabdikan diri bekerja di suatu perusahaan tertentu selama beberapa jam (dalam

sehari).31

Terjemahan ke dalam bahasa Inggris dari UU Ketenagakerjaan menggunakan istilah

perjanjian kerja waktu tertentu (agreements for a specified time), disingkat PKWT,

sedangkan negara-negara lain lebih kerap menggunakan istilah fixed-term contracts (kontrak

dengan jangka waktu tetap). Di dalam hukum perburuhan, jenis kontrak seperti ini seringkali

dibatasi, yakni untuk mendorong penggunaan kontrak dengan waktu tidak tertentu. Kontrak

kerja waktu tidak tertentu kiranya dalam jangka panjang memberikan jaminan perlindungan

yang jauh lebih baik bagi pekerja/buruh. Pembatasan demikian dapat berbentuk pembatasan

alasan untuk mana perjanjian untuk waktu tertentu dapat dibuat, jangka waktu yang

diperkenankan bagi kontrak seperti ini ataupun jumlah perjanjian untuk waktu tertentu yang

dibuat berturut-turut yang dapat ditutup. Hukum perburuhan Indonesia menggunakan ketiga

macam pembatasan di atas.32

Berdasarkan ketentuan Pasal 59 UUKetenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tertentu

hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan

31

Agusmidah, Loc. Cit.

32

(18)

pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Selanjutnya ketentuan tersebut menjelaskan

bahwa pekerjaan demikian mencakup:

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan

paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan

yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Ketentuan penjelasan dari Pasal ini menetapkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu

tertentu harus didaftarkan di instansi pemerintah yang bertanggungjawab atas urusan

ketenagakerjaan.

Ketentuan ayat (2) dari Pasal 59 UU Ketenagakerjaan di atas secara tegas menyatakan

bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat

tetap. Hal ini kiranya sudah dapat disimpulkan dari ketentuan ayat terdahulu pasal ini.

Penjelasan dari ketentuan di atas menerangkan bahwa pekerjaan yang bersifat tetap merujuk

pada pekerjaan yang bersifat berlanjut, terus menerus atau tanpa jeda, yang terikat pada

jangka waktu tertentu, dan merupakan bagian dari proses produksi dalam kegiatan atau

pekerjaan yang tidak bersifat musiman. Pekerjaan tidak musiman adalah pekerjaan yang tidak

tergantung pada cuaca/iklim atau situasi-kondisi tertentu. Jika suatu pekerjaan bersifat terus

menerus serta berlanjut, namun tidak terikat jangka/kerangka waktu (timeframe) dan

merupakan bagian dari proses produksi, tetapi terikat/tergantung pada cuaca/iklim ataupun

pekerjaan diadakan karena adanya situasi-kondisi tertentu, maka dikatakan bahwa pekerjaan

demikian adalah pekerjaan musiman. Pekerjaan demikian tidak termasuk pekerjaan tetap dan

sebab itu dapat ditundukkan pada ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi perjanjian kerja

(19)

Menurut ketentuan Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan di atas, perjanjian kerja

waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perbedaan antara keduanya harus

dikaitkan dengan upaya-upaya lain untuk membatasi penggunaan kontrak-kontrak kerja

seperti ini. Kiranya dengan perpanjangan (extension) dimaksudkan bahwa perjanjian lama

langsung diteruskan seketika berakhir. Pembaharuan (renewal) sebaliknya merujuk pada

pengertian bahwa setelah lewat jangka waktu tertentu setelah perjanjian berakhir, dibuat

perjanjian baru.33

Ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa perjanjian kerja

waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama

2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1

(satu) tahun. Satu syarat tambahan ialah bahwa pengusaha yang bermaksud memperpanjang

perjanjian kerja waktu tertentu, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu

tertentu tersebut berakhir, harus telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada

pekerja/buruh yang bersangkutan.34

Ketentuan Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan berkenaan dengan pembaharuan

perjanjian kerja waktu tertentu. Pembaharuan hanya dapat diadakan setelah melebihi masa

tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari (sejak) berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang

lama. Pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan

paling lama 2 (dua) tahun.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat kita temukan empat ketentuan

tambahan berkenaan dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pertama, hubungan kerja

berakhir demi hukum, jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau dalam

peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan.35

33

Ibid.

34

Lihat Pasal 59 ayat (5) UU Ketenagakerjaan.

35

(20)

Sebagai akibatnya, KUHPerdata secara tegas menetapkan bahwa jika lamanya hubungan

kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau reglemen, maupun dalam peraturan

perundang-undangan atau menurut kebiasaan, maka hubungan kerja itu dipandang diadakan

untuk waktu tidak tentu.36 Ketentuan kedua yang dapat kita temukan dalam KUHPerdata

berkenaan dengan kapan pemberitahuan perihal pemutusan hubungan kerja disyaratkan

dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu.

Menurut ketentuan Pasal 1603e KUHPerdata yang sudah disebut di atas,

pemberitahuan tentang pemutusan hubungan hanya akan disyarakatkan dalam hal-hal berikut

ini:

1. Jika hal itu dijanjikan dalam surat perjanjian atau dalam reglemen;

2. Jika menurut peraturan perundang-undangan atau menurut hukum kebiasaan, juga dalam

hal lamanya hubungan kerja ditetapkan sebelumnya, diharuskan adanya pemberitahuan

tentang pemutusan itu dari kedua belah pihak, dalam hal yang diperbolehkan, tidak

mengadakan penyimpangan dengan perjanjian tertulis atau dengan reglemen.

Ketentuan ketiga berkenaan dengan situasi pekerja/buruh terus melanjutkan pekerjaan

padahal jangka waktu telah lampau dan belum ada kesepakatan baru dibuat berkenaan dengan

pelanjutan pekerjaan tersebut. Ketentuan Pasal 1603f KUHPerdata menetapkan bahwa jika

hubungan kerja, setelah waktunya habis sebagaimana diuraikan pada alinea pertama Pasal

1603e diteruskan oleh kedua belah pihak tanpa bantahan, maka hubungan kerja itu dianggap

diadakan lagi untuk waktu yang sama. Dalam hal hubungan kerja yang diperpanjang itu akan

berlangsung untuk waktu kurang dari enam bulan maka hubungan kerja tersebut dianggap

diadakan untuk waktu tidak tentu, hanya dengan syarat-syarat yang sama.

Ketentuan di atas berlaku pula jika dalam hal-hal tersebut pada alinea kedua Pasal

1603e KUHPerdata, pemberitahuan pemutusan hubungan kerja tidak dilakukan pada waktu

36

(21)

yang tepat. Dalam surat perjanjian atau dalam reglemen, akibat-akibat dari pemberitahuan

pemutusan hubungan kerja yang tidak dilakukan tepat pada waktunya dapat diatur dengan

cara lain, asal hubungan kerja diperpanjang untuk waktu sedikit-dikitnya enam bulan.

Terakhir, dapat kita temukan aturan yang berlaku bagi kontrak waktu tertentu yang

dibuat berkelanjutan (consecutive fixedterm contracts). Suatu perjanjian kerja baru yang

diadakan seorang buruh dalam waktu empat minggu setelah berakhirnya hubungan kerja

sebelumnya, tidak peduli apakah hubungan kerja yang lalu itu diadakan untuk waktu tertentu

atau waktu tidak tentu, dengan majikan yang sama dan untuk waktu tertentu yang kurang dari

enam bulan, dipandang diadakan untuk waktu tidak tentu.37 Ketentuan terakhir ini tampaknya

bertentangan dengan sistem perpanjangan maupun pembaharuan dalam Pasal 59 UU

Ketenagakerjaan.

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”), pengertian Perjanjian

Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh

dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib

mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara

lisan, maka klausul-klausul yang berlaku di antara mereka (antara pengusaha dengan pekerja)

adalah klausul-klausul sebagaimana yang di atur dalam UU Ketenagakerjaan.

PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Selama

masa percobaan pengusaha wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih

rendah dari upah minimum yang berlaku.

37

(22)

Menurut Pasal 15 Kepmenakertrans 100/2004, PKWT dapat berubah menjadi PKWTT,

apabila:

1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi

PKWTT sejak adanya hubungan kerja;

2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

jenis pekerjaan yang dipersyaratkan, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak

adanya hubungan kerja;

3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru

menyimpang dari ketentuan jangka waktu perpanjangan, maka PKWT berubah

menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan;

4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tiga puluh)

hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain, maka

PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut;

5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja dengan hubungan

kerja PKWT sebagaimana dimaksud dalam angka (1), angka (2), angka (3) dan angka

(4), maka hak-hak pekerja dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan

peraturan perundang- undangan bagi PKWTT.

Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh

c. jabatan atau jenis pekerjaan

d. tempat pekerjaan

e. besarnya upah dan cara pembayarannya

(23)

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja

h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam

perjanjian kerja.

Perbedaan antara Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu

Tidak Tertentu(PKWT) paling terlihat :

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) tidak boleh mensyaratkan masa Percobaan

kerja sesuai dengan Pasal 58 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang

ketenagakerjaan.

2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu(PKWTT) boleh mensyaratkan masa

Percobaan kerja Paling lama 3(tiga) bulan, sesuai dengan Pasal 60 Undang-Undang

No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan.

D. Perjanjian Tidak Tertulis atau Lisan

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

menentukan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.

2. Cakap untuk membuat perikatan.

3. Sesuatu hal tertentu.

4. Suatu sebab atau causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek perjanjian, sedangkan syarat

(24)

Sehubungan bahwa pernyataan dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian

itu tidak selalu sesuai dengan kehendak, maka timbullah persoalan bagaimanakah

caranya untuk menentukan telah terjadinya kata sepakat.

Ada beberapa teori yang digunakan untuk menentukan terjadinya kata sepakat,

yaitu :

a. Teori Penawaran dan penerimaan (offer and acceptance)

Yang merupakan teori dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori

“penawaran dan penerimaan”. Yang dimaksudkan adalah bahwa pada prinsipnya

suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah

satu pihak dan diikuti dengan penerimaan lamaran (acceptance) oleh pihak lain dalam

kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum di setiap sistem hukum, sungguhpun

pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang menganut

sistem hukum common law.

b. Teori Kehendak (Wilstheorie).

Teori kehendak adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak.

Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa

yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.

Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul kesulitan apabila terdapat ketidak

sesuaian antara kehendak dan pernyataan. Karena dalam kehidupan sehari-hari

seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang lain.38

c. Teori Pernyataan (Verklaringstheorie).

Menurut teori ini, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan

seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya

terdapat didalam benak seseorang. Dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat

38

(25)

dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu dasar

dari terbentuknya suatu perjanjian.39

Agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, maka kehendak tersebut harus

dinyatakan. Sehingga yang menjadi dasar dari terikatnya seseorang terhadap suatu

perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut menurut teori

ini, jika terdapat ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak

akan menghalangi terbentuknya perjanjian.40

Teori pernytaan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori kehendak.

Namun teori ini juga mempunyai kelemahan. Karena teori pernyataan hanya focus

pada pernyataan dan tidak memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat

potensi kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat kesesuaian antara kehendak dan

pernyataan.41 Contoh : Jika A menawarkan sesuatu barang kepada B dan diterima

oleh B, maka antara A dan B telah terjadi persetujuan tanpa menghiraukan apakah

yang dinyatakan A atau B itu sesuai dengan kehendaknya masing-masing pihak atau

tidak.

d. Teori Kepercayaan (Vetrouwenstheorie).

Teori yang sekarang dianut juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan,

di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi, jika ada pernyataan yang secara

obyektif dapat dipercaya.

Teori kepercayaan berusaha mengatasi kelemahan dari teori pernyataan.

Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian. Suatu penyataan

akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang

39

Ibid, hal 79.

40

Ibid, hal 77.

41

(26)

berlaku didalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan

memang benar dikehendaki.42

Tidak dapat dipungkiri bahwa semua aspek dalam kehidupan kita erat

kaitannya dengan perjanjian. Demikian pula dalam kegiatan sehari-hari selalu

berhubungan dengan perjanjian, kontrak, kesepakatan dan kesepahaman baik yang

berbentuk lisan maupun tertulis.

Konsekuensi dari perjanjian yang telah dibuat berdasarkan pasal 1320 KUH

Perdata. Maka ketentuan pasal 1338 (1) berlaku yaitu “perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.43

Guna memberi landasan bagi pelaksanaan pembuatan suatu perjanjian,

maka ada beberapa asas/perinsip di bidang hukum perjanjian. Asas/perinisp itu

merupakan pondasi, tiang atau pilar dari pembuatan perjanjian, yaitu :

1. Asas Kebebasan berkontrak (Sistem terbuka)

Artinya para pihak dalam perjajian bebas mengemukakan kehednak, mengatur

hubungan yang berisi apa saja, asalkan memenuhi syarat sahnya perjanjian. Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua”

menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap orang untuk membuat perjanjian dengan

siapa saja dan tentang apa saja, asalkan tidak dilarang oleh hukum.

2. Asas Konsensualitas (Kesepakatan)

Artinya perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak.

Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak

tercapainya kata sepakat meskipun tanpa formalitas. Hal ini berarti, perjanjian yang

42

Ibid. hal 80

43

(27)

dibuat itu dapat secara lisan dan dapat juga dituangkan dalam bentuk tulisan yang

disebut akte.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Artinya perjanjian yang dibuat secara sah (telah memenuhi syarat sahnya

perjanjian) mengikat para pihak untuk ditaati ( Pasal 1338 ayat (1). Perjanjian tersebut

hanya dapat dicabut atau dirubah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal

1338 ayat 2).

Namun perlu dipertimbangkan bahwa sebagain masyarakat kurang menghormati

moral/norma hukum yang ada. Artinya perjnjian yang dilakukan secara

lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Disamping itu dari segi pembuktian perjanjian

lisan sulit dibuktikan, oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara tertulis,

terinci, tegas dan mudah dipahami.

Di dalam hukum perjanjian kita mengenal lima asas penting yang sekaligus

merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah :

1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian

Kebebasan mengadakan perjanjian adalah salah satu asas dalam hukum umum

yang berlaku di dunia. Asas ini memberi kebebasan kepada setiap warga negara untuk

mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum.

Pasal 133 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan, “Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang memberi kebebasan

kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk :

(28)

b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;

d. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau tidak tertulis;

e. Menerima atau menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang bersifat

rasional.

Semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi

syarat, berlaku bagi pembuatnya dengan kekuataan yang sama seperti undang-undang.

Para pihak pembuat perjanjian bebas untuk membuat perjanjian dengan isi apa saja di

dalam sebuah perjanjian dengan memeperhatikan batasan-batasan hukum yang

berlaku.

2. Asas konsensualisme

Dapat ditelusuri dalam rumusan Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal ini

ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan

kedua belah pihak. Perjanjian itu sah jika sudah tercapai kesepakatan mengenai

hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas. Namun berbagai ketentuan

undang-undang menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian harus dilakukan secara tertulis

atau yang diharuskan dibuat dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang

(misalnya akta pendirian Perseroan Terbatas). Asas konsensulisme yang dikenal

dalam KUHPerdata berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas pacta sunt servanda

Asas ini diterjemahkan sebagai asas kepastian hukum terangkum dalam rumusan

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

(29)

ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak,

sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan

intervensi atau campur tangan terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para

pihak.

4. Asas itikad baik

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa, “Semua perjanjian harus

dilaksanakan dengan itikad baik‟. Asas ini menyatakan bahwa para pihak yaitu pihak

kresitur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berlandaskan kepercayaan

atau keyakinan teguh atau kemauan baik dari para pihak.

5. Asas kepribadian

Adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau

membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Dalam Pasal 1315 dirumuskan, “Pada

umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta

ditetapkannya suatu janji, kecuali untuk dirinya sendiri “. Pasal 1315 ini berkaitan

dengan rumusan Pasal 1340 KUHPerdata, “Perjanjian-perjanjian hanya berlaku

diantara pihak-pihak yang membuatnya”.

Selain lima asas diatas, masih ada beberapa hal mendasar yang dapat dijadikan

pedoman dalam pembuatan perjanjian. Ketentuan ini berlaku universal dan dapat

dipertanggung jawabkan secara moral. Beberapa dari perinsip dasar tersebut adalah :

- Asas kepercayaan

- Asas persamaan hukum

(30)

- Asas kepastian hukum

- Asas moral

- Asas kepatutan

- Asas kebiasaan

- Asas perlindungan

KUHPerdata tidak menyebutkan secara eksplisit kapan suatu perjanjian mulai

berlaku dan baaimana tahap-tahap terjadinya perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata

hanya menyatakan perjanjian eksis berdasarkan consensus para pihak dan tidak

memberi penjelasan rinci kapan suatu perjanjian mulai eksis setelah melalui

tahapan-tahapan pembentukannya. Lahirnya suatu perjanjian menimbulkan hubungan hukumn

perikatan dalam bentuk hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dankewajiban inilah yang

merupakan akibat hukum suatu perjanjian.

Secara umum, perjanjian sesuai dengan bentuk dibedakan atas44:

1. Perjanjian lisan.

Yaitu perjanjian yang kesepakatan/kalusul yang diperjanjikan disepakati secara lisan.

Perjanjian lisn seperti ini tetaplah sah, tetapi yang menjadi masalah adalah jika ada sengketa

yang lahir terkait dengan perjanjian ini maka para pihak akan kesulitan melakukan

pembuktian.

2. Perjanjian tertulis.

Bentuk perjanjian ini ada 2 yaitu perjanjian tertulis dengan kata dibawah

tangan dan perjanjian tertulis dengan akta otentik.

Perjanjian tertulis dengan akta dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat

oleh para pihak saja tanpa melibatkan pejabat yang berwenang. Bagaimana jika tidak

disertai dengan materai? Apakah perjanjian itu sah, yang menjadi masalah adalah

44

(31)

bukti tertulis dari perjanjian itu tidak bisa dijadikan alat bukti karena hakim akan

menolaknya menjadikannya sebagai alat bukti. Hal ini dikarenakan UU Bea Materai

kita mengatur tentang itu.

Perjanjian dengan akta dibawah tangan ini masih memberikan ruang bagi

salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian. Perjanjian dengan akta otentik

adalah perjanjian yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat yang berwenang. Siapa

pejabat yang berwenang membuat perjanjian otentik ? Terdapat 2 pejabat yang

berwenng yaitu notaries (untuk objek selain tanah) dan pejabat pembuat akta

tanah/PPAT (untuk objek tanah). Konsekuensi dari perjanjian dengan akta otentik ini

adalah tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk mengingkari isi

perjanjian.

Sangat jelas bahwa perjanjian lisan merupakan kesepakatan tidak tertulis antara para

pihak yang berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang membuatnya.

Perjanjian lisan hanya membutuhkan kata sepakat antara para pihak dalam perjanjian, dalam

asas kebebasan berkontrak kata sepakat dalam perjanjian lisan sering kali menjadi masalah

seperti ada pihak dengan bargainin position yang lemah dipaksa atau diintimidasi oleh pihak

lainnya dengan bargaining position yang lebih kuat untuk mencapai kata sepakat dengan apa

yang dijanjikan dalam perjanjian lisan.

Pada umumnya perjanjian dibuat tertulis antara para pihak yang terlibat dalam

perjanjian namun ada pula perjanjian dibuat secara lisan dimana subjek dan objek perjanjian

hanya dapat diyakini oleh para pihak yang membuat perjanjian perikatan. Dalam perjanjian

yang dibuat secara lisan tidak diatur secara spesifik dalam KUHPerdata maupun dalam

peraturan perundang-undangan lainnya sehinga pengaturan perjanjian lisan hanya mengikuti

(32)

Perjanjian lisan baru merupakan perjanjian permulaan yang akan ditindaklanjuti dan

belum dibuat di depan Notaris, belum mempunyai kekuataan mengikat bagi para pihak yang

membuat sehinga tidak mempunyai akibat hukum.

Perjanjian secara lisan sebaiknya tidak dipergunakan karena dalam hal

pembuktiannya sulit karena beban pembuktian dalam hukum perdata dibebankan pada

kebenaran formil. Dan sangat jelas bahwa perjanjian secara lisan menimbulkan tidak adanya

kepastian hukum dan menjadi sulit ketika timbul sengketa atau ketidaksesuaian pendapat.

Sebagian masyarakat kurang menghormati moral/norma hukum yang ada. Artinya

perjanjian yang dilakukan secara lisan/diucapkan saja kurang ditaati. Perjanjian lisan ini dari

segi pembuktian sulit untuk dibuktikan oleh sebab itu sebaiknya perjanjian dibuat secara

tertulis, terinci, tegas dan mudah dipahami.

E. Konsep Pengurangan Hak

Hak-hak tenaga kerja (termasuk pekerja/buruh dalam hubungan kerja) yang diatur

dan dituangkan dalam UU mengenai Ketenagakerjaan, relatif sangat banyak. Dapat saya

contohkan (hak-hak langsung) secara berurut, antara lain misalnya:

- hak non-diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Dalam arti, pekerja/buruh tidak

boleh dibedakan dalam proses recruit (khususnya dalam hubungan kerja) atas

dasar suku, agama, ras, atau etnis tertentu, dan menolak bagi yang berbeda.45

- hak memperoleh perlakukan dan hak-hak yang sama di tempat kerja (tanpa

diskriminasi).46

- hak memperoleh peningkatan dan pengembangan serta pengakuan kompetensi

kerja.47

45

Pasal 5 UU Ketenagakerjaan. 46

Pasal 6 jo Pasal 65 ayat (4) dan Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan beserta penjelasannya. 47

(33)

- hak memperoleh kesempatan yang sama dalam memilih/mendapatkan pekerjaan,

pindah kerja, dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar

negeri.48

- hak memperoleh upah dan/atau upah kerja lembur apabila dipekerjakan melebihi

waktu kerja normal, atau bekerja lembur pada hari istirahat mingguan atau hari

libur resmi.49 Hak inilah yang menjadi fokus penelitian saya. Manakala hak ini

dikurangi ataupun tidak diberikan sama sekali, maka telah terjadi suatu

pengurangan hak terhadap buruh oleh pengusaha.

- hak menunaikan ibadah (termasuk ibadah dalam jangka waktu yang lama) dengan

hak upah.50

- hak untuk tidak bekerja pada saat (sakit) haid (khusus bagi wanita), walaupun no

work no pay.51

- hak cuti hamil dan melahirkan (termasuk gugur kandung) dengan hak upah.52

- hak dan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3), perlindungan

moral dan kesusilaan, serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat

manusia serta nilai-nilai agama.53

- hak jaminan sosial tenaga kerja.54

- hak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja sesuai ketentuan.55

- hak mogok kerja sesuai prosedur.56 Dan,

48

Pasal 31 jo Pasal 88 UU Ketenagakerjaan. 49

Pasal 1 angka 30 dan Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. 50

Pasal 81 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan. 51

Pasal 81 UU Ketenagakerjaan. 52

Pasal 82 jo Pasal 84 UU Ketenagakerjaan. 53

Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

54

Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

55

Pasal 104 UU Ketenagakerjaan jo Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. 56

(34)

- hak memperoleh “pesangon” bila hubungan kerjanya PKWTT atau dianggap (dan

memenuhi syarat) PKWTT.57

Mengenai hak atas bantuan hukum bagi tenaga kerja, perlu dipahami, bahwa saat ini

telah ada UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bankum”) yang

memberikan jaminan hak konstitusional kepada setiap orang untuk mendapatkan pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Dengan UU Bankum tersebut,

Negara bertanggung-jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin yang

menghadapi masalah hukum untuk mendapatkan akses keadilan.

Bantuan hukum kepada masyarakat (orang miskin atau kelompok orang miskin)

selaku penerima bantuan hukum dimaksud, diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia (Menkum HAM) yang secara operasional dilakukan oleh Pemberi Bantuan

Hukum, yakni Lembaga Bantuan Uukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang

memberi layanan bantuan hukum (Layanan BH) secara percuma (gratis), dengan syarat:

a. Mengajukan permohonan secara tertulis (kecuali bagi yang tidak mampu menyusun

permohonan secara tertulis);

b. Menyerahkan dokumen yang terkait dengan pokok perkara; dan

c. Melampirkan surat keterangan miskin.58

F. Para Pihak dalam Perjanjian Kerja

a. Buruh atau Pekerja

Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain istilah

ini sudah dipergunakan sejak lama mulai dari zaman penjajahan Belanda, juga karena

peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum UU Ketenagakerjaan) menggunakan

istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda, yang dimaksudkan dengan buruh adalah

57

Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. 58

(35)

pekerja keras seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini

disebutnya sebagai “Blue Collar”. Sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor

pemerintah maupun swasta disebut sebagai “karyawan/pegawai” (White Collar). Pembedaan

yang membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah

Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang-orang pribumi.

Setelah merdeka kita tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh

kasar tersebut, semua orang yang bekerja di sektor swasta baik pada orang maupun badan

hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan, yakni buruh adalah “barang siapa yang bekerja pada majikan

dengan menerima upah”.59

Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan

untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah

(Depnaker) pada waktu kongres FBSI 11 Tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah

buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada

golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain, yakni majikan.

Pada masa Orde Baru, istilah pekerja khususnya Serikat Pekerja yang banyak

diintervensi oleh kepentingan pemerintah, maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan

istilah tersebut, sehingga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah, maka

istilah tersebut disandingkan.

Dalam RUU Ketenagakerjaan ini, sebelumnya hanya menggunakan istilah pekerja

saja, namun agar selaras dengan undang-undang yang lahir sebelumnya, yakni UU No. 21

Tahun 2000 yang menggunakan istilah Serikat Buruh/Pekerja. UU No.13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjan, Pasal 1 angka 4 memberikan pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang

yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.

59

(36)

Untuk kepentingan santunan jaminan kecelakaan kerja dalam perlindungan Jaminan

Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) berdasarkan UU No. 3 Tahun 1992, pengertian

“pekerja” diperluas, yakni termasuk:

1. Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan, baik yang menerima upah maupun

tidak;

2. Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan;

dan

3. Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

b. Pengusaha atau Majikan

Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat populer

karena perundang-undangan sebelum UU No. 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan.

UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaiaan Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa

Majikan adalah ”orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh.”

Sehubungan dengan hal tersebut, perundang-undangan yang lahir kemudian seperti

UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan

menggunakan istilah Pengusaha. Dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 13 tahun 2003, menjelaskan

pengertian pengusaha yakni:

1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan sutu

perusahaan milik sendiri;

2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri

menjalankan perusahaan bukan miliknya; dan

3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia

mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 yang berkedudukan di luar

(37)

Selain pengertian pengusaha, UU No. 13 Tahun 2003 juga memberikan pengertian

pemberi kerja, yakni orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya

yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.60

Sedangkan pengertian perusahaan dalam UU No. 13 Tahun 2003 adalah:

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, yang mempekerjakan pekerja

dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan, atau

badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan buruh/pekerja

dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk apapun; dan

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lai

Referensi

Dokumen terkait

kedatangan pasukan bola sepak Chelsea menjadi isu apabila terdapat warga Israel dalam pasukan tersebut.. Avram Grant

menyerah segala yg berkaitan dgn bola jaring kpd sk bukit balai.sk bukit balai bercadang utk menghantar dua pasukan iaitu johan tahun lepas sk lenggong dan yg kedua akan

kepemilikan saham yang ditanamkan oleh investor pada suatu perusahaan, antara lain.. struktur kepemilikan keluarga dan struktur

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio leverage (Debt to Equity Ratio), solvabilitas (Debt to Asset Ratio), profitabilitas (Return On Asset)

Common language, common interests, common environment, common experiences promote successful communication.... Propaganda

For instance, in (Farooq, Bolle, Jea, & Ratha, 2007), the writer presented the conversion of a fingerprint into a binary-string area based on its minutiae series.

Pada zaman Mesir Kuno belum ada pengetahuan atau teknologi yang bisa dipakai untuk mengukur jarak Bulan dan jarak Matahari dari Bumi, tetapi ada orang-orang

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan Identifikasi Training Needs Assessment yang diselenggarakan Badan Kepegawaian kabupaten Jember dengan metode pengumpulan informasi