CRITICAL REVIEW
POLA DISTRIBUSI SPASIAL MINIMERKET DI KOTA
–
KOTA KECIL
DISUSUN OLEH :
REZZA PERDANA AL HANIF 3613100341
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
BAB I
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ritel modern yang cukup pesat terjadi setelah dicanangkannya era otonomi daerah. Pendirian ritel modern yang berkapasitas besar (supermarket dan
hypermarket) merupakan salah satu sumber bagi pemerintah Kabupaten dan Kota untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Selain itu, terdapat juga suatu fenomena menjamurnya persebaran ritel modern (minimarket) di permukiman penduduk dan di kawasan pinggiran kota-kota besar di Indonesia (Bappeda Kota Bandung, 2007; Natawidjaja, 2005). Pada perkembangan selanjutnya, persebaran minimarket tersebut sudah sampai ke kota-kota kecil di Indonesia. Masuknya minimarket ini memberi warna baru dalam sarana perdagangan di kota-kota kecil. Selama ini, masyarakat di kota-kota kecil melakukan aktivitas berbelanja di warung tradisional dengan fasilitas yang terbatas namun dengan kehadiran minimarket, masyarakat diperkenalkan dengan konsep berbelanja yang nyaman dan visualisasi barang yang menarik. Tujuan berbelanja menjadi tidak hanya mencari barang yang dibutuhkan namun juga terdapat orientasi “rekreasi”(Ma’ruf, 2006). Selain mempengaruhi aktivitas berbelanja masyarakat, masuknya minimarket ke kota-kota kecil juga mempengaruhi kinerja warung-warung tradisional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Teori Lokasi
Model Teori Hotteling adalah strategi dua industri yang bersaing, baik dari segi lokasi
maupun harga produknya yang bertujuan memaksimalisasi laba pasar. Tujuan analisis wilayah pasar model hotteling adalah menganalisis strategi lokasi dua industri yang bersaing
merebutkan suatu wilayah pasar. Menurut Hotteling, elastisitas permintaan akan mendorong difusi industri. Teori Hotteling ini muncul sebagai kelemahan teori lokasi yang mengansumsikan bahwa karakter demand dalam suatu ruang (space) adalah seragam. Teori
ini merupakan pengembangan dari konsep “least-cost location” dengan mempertimbangkan
“ketergantungan lokasi”. Produsen dalam memilih lokasi industri berperilaku untuk
menguasai market area seluas-luasnya yang dipengaruhi oleh perilaku konsumen dan keputusan berlokasi produsen lainnya.
Teori Hotelling sendiri pertama kali disampaikan oleh Harold Hotelling (1895–1973)
yang merupakan ahli di bidang statistika pada sebuah artikel berjudul “Stability in Competition” pada majalahEconomic Journal di tahun 1929. Teori ini secara garis besar memperlihatkan pengaruh lokasi produsen terhadap kemampuan meraih laba dan konsumen. Teori ini mucul dari kelemahan teori Webber yang lebih mengedepankan pada preferensi lokasi dari sisi produsen serta teori Losch yang mengedepankan pada preferensi lokasi dari sisi konsumen (dalam hal ini teori Hotelling berdiri sebagai penengah dari dua teori tersebut).
2.2 Alasan Pemilihan Lokasi
Pemilihan lokasi menurut teori Hotelling terbagi atas 2 jenis kondisi, yaitu
Interdependence Location (Demand Dalam Kondisi Inelastic) dan Interdependence Location
(Demand Dalam Kondisi Elastic). Pada pembahasan ini, akan dibahas Interdependence
Location (Demand Dalam Kondisi Elastic) karena sesuai dengan studi kasus pola distribusi spasial minimarket di kota-kota kecil.
Dalam kondisi ini, dua industri A dan B berkolusi untuk mendapatkan keuntungan
yang sama besar dengan memonopoli pasar dan berlokasi pada area kuartil (area pasar dibagi menjadi 4 bagian sama rata). Keduanya membagi area pasar menjadi dua sama rata.
Gambar 2.1 Interdependence Location (Demand Dalam Kondisi Elastic). Kondisi ini dimana Industri A
menguasai market dengan area cakupan sama Industri B. Kedua wilayah cakupan indutri dibagi oleh garis
deferensial (X)
Sumber : Diktat Analisis Lokasi Ruang
Gambar 2.2 Interdependence Location (Demand Dalam Kondisi Elastic). Kondisi ini dimana Industri A dan
Industri B memindahkan lokasi di tengah (A’ dan B’).
Sumber : Diktat Analisis Lokasi Ruang
Pada kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa keuntungan berlokasi di kuartil melebihi berbagai kemungkinan alternatif lainnya. Pada gambar pertama, A dan B berlokasi di tengah dan market dibagi sama rata dengan garis X sebagai pembatas. Apabila posisi A dan B dipindah pada lokasi kuartil seperti pada gambar kedua yang ditunjukkan dengan titik
Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.1 yang ditunjukkan dengan area yang diarsir dan diwarna. Area yang diwarna menunjukkan keuntungan ketika lokasi berpindah ke arah kuartil, sedangkan area yang diarsir menunjukkan keuntungan ketika berlokasi di tengah. Besar area yang diwarnai jauh lebih besar daripada area yang diarsir. Hal ini disebabkan karena semakin menjauhi area produksi maka harga barang akan semakin naik dan kenaikan harga tersebut akan makin menguntungkan produsen (industri A dan B). Penjelasan tersebut memperkuat pernyataan yang menyatakan bahwa keuntungan berlokasi di kuartil lebih besar daripada berbagai kemungkinan alternatif lainnya.
2.3 Faktor – Faktor Lokasi
Secara garis besar, keputusan pemilihan lokasi ritel terjadi atas dua hal, yaitu:
1. Faktor skala permukiman
Pada skala permukiman, ritel berlokasi mengikuti pasar (konsumen) dimana
jangkauan pelanyanan (baik secara luas maupun jenis konsumen yang dilayani) dipengaruhi oleh ukuran dan struktur permukiman. Kemudian, keputusan untuk berlokasi pada salah satu permukiman tidak dipengaruhi oleh harga lahan maupun harga sewa lahan yang berbeda-beda antar kota kecil.
2. Faktor skala struktur ritel
Pada skala struktur ritel, perbedaan pasar ritel dari suatu tempat terhadap termpat yang lain dipengaruhi oleh variasi ritel dan fasilitas pelayanannya. Pusat perbelanjaan yang lebih besar akan menciptakan jumlah penjualan, jumlah lantai dan variasi toko, serta jumlah pekerja yang lebih banyak. Hirarki ritel yang lebih tinggi (misalnya supermarket) akan melayani pasar yang lebih besar, namun hirarki yang kecil (misalnya minimarket) akan menyediakan barang kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan penduduk di sekitarnya.
2.4 Impilasi Teori Terhadap Lokasi yang Dipilih
Lokasi yang dipilih adalah tiga kota kecil di sekitar Kota Bandung, yaitu Tanjungsari, Soreang, dan Lembang. Ketiga kota ini dipilih karena mengakomodir implementasi dari teori Hotelling yang lebih menekankan pada perebutan wilayah pasar antar jenis pasar dibandingkan dengan harga sewa lahan. Secara umum, pesebaran toko pengecer modern di 3
yang sangat besar yaitu yang datang dari mana saja baik penduduk maupun dari pengunjung dari luar kota. Berbeda halnya dengan toko pengecer tradisional, tidak hanya berlokasi di pinggiran jalan-jalan utama namun juga sudah memasuki kawasan permukiman penduduk. Kedekatan lokasi toko pengecer tradisional dengan tempat tinggal penduduk merupakan salah satu upaya meminimasi biaya transportasi konsumen
Melalui perolehan data, dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di setiap kawasan di dalam suatu kota berbanding lurus dengan jumlah toko. Semakin besar jumlah penduduk di suatu kawasan, maka jumlah minimarket dan toko tradisional semakin besar. Selain itu, terdapat juga fenomena beraglomerasinya toko pengecer di satu lokasi khususnya pengecer di satu lokasi khususnya pengecer modern. Jika melihat dari persebarannya, pengecer modern
tersebut beraglomerasi di kawasan yang memiliki bangkitan yang tinggi baik dari jumlah penduduk setempat maupun kegiatan yang menyebabkan bangkitan tinggi seperti
perdagangan dan pendidikan.
Gambar 2.3
Sebaran Pengecer Modern dan Tradisional di Tiga Kawasan Perkotaan Sumber: Septyaningsih, 2009
2.5 Lesson Learned
Secara umum, ritel modern yang berkembang di kawasan perkotaan berbentuk
minimarket yang tersebar di sepanjang jalan utama.
Perkembangan sebuah minimarket di suatu wilayah akan menjadi sebuah tarikan bagi
minimarket yang lain untuk memiliki pasar di lokasi yang berdampingan.
Aglomerasi menjadi salah satu solusi yang diambil beberapa pengusaha minimarket
agar dapat mendapatkan profit dengan baik dengan memilih lokasi yang menjadi titik ekulibrium bagi wilayah pasar.
Referensi
Bappeda Kota Bandung, 2007. Laporan Akhir Kajian Dampak Pembangunan Pasar Modern terhadap Eksistensi Pasar Tradisional di Kota Bandung.
Natawidjaja, Ronnie S, 2005. Modern Market Growth and The Changing Map of The Retail
Food Sector in Indonesia dipresentasikan dalam Pacific Food System Outlook (PFSO) 9 thAnnual Forecasters Meeting di Kunming,China. May 10-13, 2005.
Septyaningsih, Lina Dwi. 2009. Tumpang Tindih Jangkauan Pelayanan Pengecer Modern
dan Pengecer Tradisional di Kota Kecil (Studi Kasus: Kawasan Perkotaan Lembang, Kota
Soreang, dan Tanjungsari). Tugas Akhir. Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB.
Wee, Lyndia dan Ng-Tang, Cynthia. 2005. Managing the Brick-and-Mortar Retail Stores. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.