BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fraktur Terbuka
2.1.1. Definisi
Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga kedalam.(7)
Komplikasi yang paling sering timbul pada fraktur terbuka adalah infeksi. Infeksi bisa berasal dari flora normal di kulit ataupun bakteri pahthogen
khususnya bakteri gram (-). Golongan flora normal kulit, seperti Staphylococus,
Propionibacterium acne , Micrococus dan dapat juga Corynebacterium. Selain
dari flora normal kulit , hasil juga menunjukan gambaran bakteri yang bersifat
pathogen, tergantung dari paparan (kontaminasi ) lingkungan pada saat terjadinya
fraktur. Seperti cedera pada lingkungan perkebunan, sering terjadi bakteri golongan Clostridium perfringens, tapi berbeda lagi Jika terpapar lingkungan berair akan dijumpai bakteri golongan Pseudomonas. Infeksi nosokomial juga sering sebagai penyebab infeksi luka pada fraktur terbuka. Kuman yang paling sering dijumpai adalah Staphylococcus Aureus.(8)
2.1.2. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur terbuka berdasarkan Gustilo : (7,8)
Fraktur terbuka dengan luka kulit kurang dari 1 cm dan bersih Kerusakan jaringan minimal,biasanya dikarenakan tulang menembus kulit dari dalam. Konfigurasi fraktur simple,transvers atau simple oblik.
2). Tipe II :
Fraktur terbuka dengan luka lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan jaringan lunak, kontusio ataupun avulsi yang luas. konfigurasi fraktur berupa kominutif sedang dengan kontaminasi sedang.
3). Tipe III :
Fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat, dengan konfigurasi fraktur kominutif.
Fraktur tipeIII dibagi menjadi tiga yaitu :
Tipe IIIa : Fraktur segmental atau sangat kominutif penutupan tulang dengan jaringan lunak cukup adekuat.
Tipe IIIb : trauma sangat berat atau kehilangan jaringan lunak yang cukup luas , terkelupasnya daerah periosteum dan tulang tampak terbuka , serta adanya kontaminasi yang cukup berat.
Tipe IIIc : Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah tanpa memperhatikan derajat kerusakan jaringan lunak.
2.1.3. Penanganan fraktur terbuka Prinsip penanganan fraktur terbuka (8)
1. Semua fraktur terbuka dikelola secara emergensi.
3. Berikan antibiotika yang sesuai dan adekuat 4. Lakukan debridement dan irigasi luka 5. Lakukan stabilisaasi fraktur
6. Lakukan rehabilitasi ektremitas yang , mengalami fraktur
Penanganan awal fraktur terbuka tetap mengedepankan keadaan umum (life – threatening) pasien terlebih dahulu yaitu : memasang cairan intravena dua jalur, pemeriksaan klinis dan radiologi terhadap toraks, abdomen, cervical dan lain-lain, pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin dan urinalisa dan pemeriksaan lain sesuai indikasi. Hal yang paling penting dalam penangan fraktur terbuka adalah untuk mengurangi atau mencegah terjadinya infeksi.(8,12)
Antibiotika
Untuk fraktur terbuka antibiotika yang dianjurkan adalah golongan
cephalosporin,dan dikombinasi dengan golongan aminoglikosida. Untuk fraktur
terbuka tipe I diberikan inisial 2 gram golongan cephalosporin, dan dilanjutkan dengan pemberian 1 gr setiap 6 sampai 8 jam selama 48 sampai 72 jam. Pada fraktur terbuka tipe II dan tipe III pemberian antibiotika kombinasi sangat di anjurkan untuk dapat mencegah infeksi dari bakteri gram positif ataupun gram negatif. Kombinasi antibiotika yang dianjurkan adalah golongan cephalosporin (2 gr) dikombinasikan dengan golongan aminoglikosida (3 – 5 mg/kg) diberikan inisial, dilanjutkan selama 3 hari. 10.000.000 unit penisilin diberikan terhadap luka sangat kotor (farm injuries). Anti tetanus di indikasikan untuk semua fraktur terbuka.(8,11,12)
Debridement
Debridement adalah pengangkatan jaringan yang rusak dan mati sehingga luka
saline yang bejumlah 1-2 liter , sedangkan tipe II dan tipe III diperlukan cairan sebanyak 5-10 liter.(7,8)
Stabilisasi fraktur
Pada fraktur terbuka, stabilisasi fraktur berguna untuk memberikan perlindungan terhadap kerusakan jaringan yang lebih parah, mempermudah akses dalam melakukan perawatan luka, mempermudah pasien dalam melakukan mobilisasi, dan pasien dapat melakukan isometric muscle exercise serta melakukan gerakan sendi di atas ataupun dibawah garis fraktur baik secara aktif ataupun pasif.(8,12)
Stabilisasi pada fraktur terbuka di bagi dua cara yaitu dengan menggunakan fiksasi internal (intramedullary nails atau plate and screw) dan fiksasi eksternal. Pemilihan implant didasarkan dari lokasi cedera, konfigurasi fraktur, tipe fraktur terbuka, cedera lain yang menyertai fraktur terbuka dan kemampuan dari ahli bedah.(8)
2.1.4. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah infeksi akut, osteomyelitis, non union, mal union dan gangguan atau kehilangan fungsi.(13)
2.1.5. Infeksi pada fraktur terbuka
Satu hal yang harus diingat adalah bahwa komplikasi yang paling sering terjadi pada fraktur terbuka adalah infeksi.
Insidensi terjadinya infeksi luka pada fraktur terbuka memiliki hubungan secara langsung terhadap kerusakan jaringan. Rata – rata infeksi yang dapat terjadi berdasarkan klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo adalah : (8)
Tipe II : 2 % sampai 7 % Tipe III : 10 % sampai 25 % Tipe IIIA : 7 %
Tipe IIIB : 10 % sampai 50 %
Tipe IIIC : 25% sampai 50% dengan rata – rata amputasi 50 % atau lebih
Diagnosis awal terhadap infeksi pada fraktur terbuka dapat ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala dari inflamasi. Anamnesa yang baik sangat di perlukan untuk menegakkan dan mencegah terjadinya infeksi pada fraktur terbuka. Gas gangrene dapat muncul 24 sampai 48 jam setelah infeksi. Peningkatan suhu tubuh yang terjadi pada hari ke 3 setelah pembedahan dapat dijadikan dugaan yang sangat kuat terhadap terjadinya infeksi luka. (9)
Tanda dan gejala kardinal dari infeksi luka adalah :
1) Peningkatan suhu 2) Nyeri
3) Kemerahan
4) Discharge serous sampai purulent
5) Bau
6) Septikemia atau bakteremia
7) Laboratorium abnormal seperti leukositosis dan peningkatan ESR
8) Pada pemeriksaan X- ray dijumpai adanya gas, reaksi periosteal, dan sequester
9) Bone scan abnormal
10) Kultur positif
Gardner et al mengembangkan suatu daftar (checklist) untuk menggambarkan tanda dan gejala klinis luka infeksi, yang terdiri dari 12 tanda yaitu :(17)
2) Eritema 3) Edema 4) Panas
5) Eksudat purulen
6) Eksudat serous yang disertai inflamasi 7) Penyembuhan yang lambat
8) Diskolorisasi jaringan granulasi 9) Jaringan granulasi yang rapuh
10)Pocketing pada dasar luka
11)Bau
12)Kerusakan luka
Penanganan infeksi pada fraktur terbuka
Prinsip penangangan infeksi akut pada fraktur terbuka atau infeksi akut pada reduksi terbuka dan internal fiksasi pada fraktur tertutup adalah(9) :
1) Debridement radikal pada jaringan nekrotik dan tulang yang mati
2) Antibiotik yang tepat
3) Pemberian antibiotic beads secara lokal 4) Menjaga stabilitas fraktur
5) Rawat luka terbuka
6) Penutupan luka pada hari ke 7 sampai ke 14
7) Penundaan cancellous bone grafting
Radikal debridement dan irigasi
Luka harus dibuka lebih lebar dengan melakukan insisi longitudinal
sebanyak 2000 sampai 3000 mL, pemberian antibiotic beads dan luka dibiarkan terbuka. Debridement diulang pada hari ke 2 atau ke 3 dan penutupan luka dilakukan pada saat ini tanpa adanya tension pada penutupan luka.(9)
Pemberian antibiotik
Antibiotik segera diberikan tanpa harus menunggu hasil kultur. Beberapa penelitian menunjukan bahwa antibiotik golongan cephalosporin merupakan pilihan untuk kebanyakan kasus. Setelah hasil kultur dan tes sensitivitas ada, diberikan 2 gr inisial dan 1 sampai 2 gr setiap 4 sampai 6 jam tergantung dari luas infeksinya. Antibiotik intravena diberikan selama 4 sampai 6 minggu.(9)
Menjaga stabilitas fraktur
Mempertahankan stabilitas fraktur dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi pada luka. Pada kasus infeksi berat pada fraktur, skeletal traksi dapat digunakan secara temporer untuk mempertahankan stabilitas fraktur. Pin atau pun plaster of paris dapat digunakan apabila material fiksasi eksternal tidak tersedia. Fiksasi internal seperti plate atau nailing
harus dihindari, dan dapat di pasang 4 – 5 hari kemudian setelah tanda – tanda infeksi menghilang.(9)
Penutupan luka
Penutupan jaringan lunak dan tulang yang adekuat.
Penutupan jaringan lunak yang tidak adekuat, ekspos dari tulang namun tidak ada kehilangan jaringan tulang.
Penutupan jaringan lunak yang tidak adekuat, ekspos dari tulang dan dijumpai adanya kehilangan sebagian jaringan tulang (gaps) atau defek parsial.
Ekspos dari material fiksasi
Cancelleous bone graft
Menurut Gustilo, fraktur terbuka tipe III dengan kerusakan jaringan yang luas memiliki komplikasi delayed union atau non union
hingga 60%. Cancelleous bone graft dianjurkan diberikan setelah luka benar – benar sembuh yaitu 4 – 6 minggu setelah prosedur penutupan luka. Pada kasus infeksi open fraktur dengan defek jaringan lunak yang luas dan
bone loss, Cancelleous bone graft dianjurkan 2 – 4 minggu segera setelah
jaringan granulasi yang sehat muncul (papineau et al), dan kemudian dilakukan split-thickness skin graft.(9)
2.2. C-Reactive Protein
2.2.1. Definisi
C – reactive protein (CRP), disebut demikian karena ketika pertama kali ditemukan merupakan suatu substansi pada pasien dengan inflamasi akut yang bereaksi dengan C- (capsular) polysaccharida dari pneumococcus.(14)
Francis membuktikan bahwa Fraksi C dapat bereaksi kuat terhadap pasien yang berada dalam tahap awal infeksi dan infeksi akut, namun setelah pasien sembuh maka reaksi dengan Fraksi C menghilang. Dalam percobaan lanjutan, ternyata Fraksi C tersebut juga dapat bereaksi dengan pasien penderita penyakit atau inflamasi lainnya, seperti endocarditis dan demam rematik akut. (14,15)
CRP adalah suatu protein fase akut yang dapat menggambarkan suatu respon fase akut pada inflamasi. Fase akut tersebut dapat bersifat lokal dan sistemik. Fase akut inflamasi yang bersifat lokal diantaranya adalah vasodilatasi, agregasi platelet, neutrophil chemotaxis dan pelepasan enzim lysosomal. Sedangkan fase akut inflamasi yang bersifat sistemik adalah demam, leukositosis, dan perubahan pada sintesis protein fase akut di hepar.(4,6,10,14,15,17)
Efek fase akut (acute phase response) yang timbul dapat dijumpai pada berbagai macam cedera jaringan seperti infeksi, reaksi imunoalergi, cedera thermal, hipoksia, trauma, pembedahan dan keganasan. Secara klinis, pemeriksaan dari acute phase protein berguna untuk membantu menegakkan diagnosa. Dikarenakan protein ini tidak bersifat spesifik, maka lokasi atau letak organ yang mengalami infeksi atau inflamasi tidak dapat diketahui sehingga kadar dari pemeriksaan acute phase protein ini dapat digunakan untuk menilai perluasan aktivitas penyakit. Serupa dengan tumor markers, acute phase protein
dapat digunakan untuk memonitor perkembangan penyakit terhadap respon terapi yang telah diberikan.(15)
CRP bukan satu-satu nya protein fase akut. Protein fase akut lainnya adalah
transport protein (hepatoglobin, ceruloplasmin,α1-trypsin inhibitor dan lain-lain),
coagulation protein (fibrinogen, protrombin dan lain-lain) dan komponen
2.2.2. Sintesis dan struktur CRP
CRP disintesis oleh hepatosit dan digolongkan sebagai suatu acute phase
protein. CRP akan meningkat didalam konsentrasi plasma apabila terjadi infeksi
ataupun inflamasi. Apabila terjadi infeksi, sel-sel inflamasi seperti neutrophil granulocyte dan makropag akan melepas cytokines yaitu : IL-1, IL-6, IL8 dan lain- lain. Cytokines, terutama IL-6, merangsang sintesis CRP di dalam hepar.(14,15,17)
Sintesa CRP di hati berlangsung sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan, konsentrasi serum meningkat diatas 5mg/L selama 6-8 jam dan mencapai puncak sekitar 24-48 jam. Waktu paruh dalam plasma adalah 19 jam dan menetap pada semua keadaan sehat dan sakit, sehingga satu-satunya penentu konsentrasi CRP di sirkulasi adalah menghitung sintesa IL-6 dengan demikian menggambarkan secara langsung intensitas proses patologi yang merangsang produksi CRP. Kadar CRP akan menurun tajam bila proses peradangan atau kerusakan jaringan mereda dan dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai normal kembali .Kadar CRP stabil dalam plasma dan tidak dipengaruhi variasi diurnal.(17)
Clearance rate CRP adalah konstan, oleh karena itu kadar CRP di dalam darah
hanya diatur oleh sintesis. CRP berfungsi sebagai opsonin terhadap bakteri, parasit dan kompleks immune. Pengukuran serial CRP dapat digunakan sebagai diagnostik untuk infeksi, monitoring efek terapi, dan deteksi dini pada kasus- kasus rekuren.(15)
Gambar 1. Sintesis CRP Sumber : www.flipper.diff.org
Kadar CRP normal di dalam plasma biasanya adalah 1 mg/L dengan batasan normal <10 mg/L. Kadar CRP di dalam plasma mulai meningkat antara 4-6 jam setelah trauma dan mencapai puncaknya setelah 24 sampai 48 jam dan kembali menurun pada hari ke 3. Peningkatan kadar CRP yang menetap setelah hari ke 3 paska pembedahan menandakan adanya infeksi.(4,15)
CRP adalah anggota keluarga dari protein pentraksin, suatu protein pengikat kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5-6 subunit polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri dari 206 residu asam amino, dan berikatan satu sama lain secara non kovalen, membentuk satu molekul berbentuk cakram (disc) dengan berat molekul 110 – 140 kDa, setiap unit mempunyai berat molekul 23 kDa.
2.2.3. Fungsi biologis CRP
Fungsi dan peranan CRP di dalam tubuh ( in vivo ) belum diketahui seluruhnya, banyak hal yang masih merupakan hipotesis. Meskipun CRP bukan suatu antibodi, tetapi CRP mempunyai berbagai fungsi biologis yang menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan mekanisme daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Beberapa hal yang diketahui tentang fungsi biologis CRP ialah: (17)
1) CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai bakteri melalui reaksi presipitasi/aglutinasi.
2) CRP dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti granulosit dan monosit/makrofag.
3) CRP dapat mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik mulai dengan C1q maupun jalur alternatif.
4) CRP mempunyai daya ikat selektif terhadap limfosit T. Dalam hal ini diduga CRP memegang peranan dalam pengaturan beberapa fungsi tertentu selama proses keradangan.
5) CRP mengenal residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein membran sel rusak, kromatin inti dan kompleks DNA-histon.
6) CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin endogen yang terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan.
2.2.4. Inflamasi dan respon fase akut
Inflamasi merupakan mekanisme proteksi yang terbatas terhadap trauma atau
invasi mikroba dengan reaksi yang menghancurkan atau membatasi bahan yang
mempertahankan diri dari berbagai bahaya yang mengganggu keseimbangan tetapi juga dapt memperbaiki kerusakan struktur serta gangguan fungsi jaringan. Reaksi inflamasi termasuk dalam respons imun nonspesifik. Bila terjadi inflamasi, sel-sel sistem imun yang tersebar di seluruh tubuh akan bergerak ke lokasi infeksi beserta produk-produk yang dihasilkannya.(17)
Selama respon ini berlangsung terjadi 3 proses yang penting yaitu: Peningkatan aliran darah ke daerah infeksi.
Peningkatan permeabilitas kapiler akibat retraksi sel-sel endotel yang mengakibatkan molekul-molekul besar dapat menembus dinding vaskuler. Migrasi leukosit ke vaskuler
Gejala inflamasi dini ditandai oleh pelepasan berbagai mediator sel mast setempat seperti histamin dan bradikinin. Kejadian ini disertai dengan aktivasi komplemen, sistem koagulasi, sel-sel inflamasi dan sel endotel yang masing-masing melepas mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas, neutrofilia dan protein fase akut. Proses inflamasi akan berjalan terus sampai antigen dapat disingkirkan.
Sejumlah protein plasma secara bersama disebut protein-protein fase akut. Protein-protein ini menunjukkan peningkatan dramatis dalam menanggapi mediator-mediator yang bertindak sebagai tanda bahaya dini.(17)
endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang tetap persisten.(15,17)
Pemeriksaan CRP tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit secara spesifik, namun dapat digunakan sebagai indikator jika ditemukan adanya inflamasi dan infeksi. Pemeriksaan CRP dapat berguna untuk menilai keadaan sebagai berikut : (14)
Inflammatory bowel disease
Rheumatoid arthritis
Gangguan system imun (penyakit lupus)
Pelvic inflammatory disease (PID)
Osteomyelitis Lymphoma
Penyakit jaringan ikat Penyakit jantung Infeksi
Pneumonia pcpneumococcal Demam rheumatik
2.3. Kerangka teori
2.4. Kerangka Konsepsional
Gambar 3. Kerangka konsepsional