• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan Oleh Oknum Polri (studi Putusan No.80 Pid.B 2010 PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan Oleh Oknum Polri (studi Putusan No.80 Pid.B 2010 PN.Mdn)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi berbagai macam tindak pidana

baik itu golongan masyarakat atas, menengah, maupun sampai pada masyarakat

golongan bawah. Tindak pidana merupakan ancaman yang sangat mempengaruhi

tatanan kehidupan, sebab tindak pidana tersebut dapat mengacaukan ketenangan

masyarakat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Tindak pidana ini

merupakan suatu penyakit yang sewaktu-waktu dapat dialami oleh setiap individu

ataupun kelompok masyarakat, dimana pelaku dari tindak pidana tersebut banyak

berasal dari kalangan masyarakat ekonomi rendah dan dengan status sosial yang

rendah.

Salah satu jenis tindak pidana yang sering terjadi dalam masyarakat adalah

tindak pidana pemerasan. Berbagai macam cara dilakukan oleh pelaku untuk

melancarkan tindak pidana pemerasan yang dilakukannya sehingga membuat

korbannya lengah dan menuruti perintah dari si pelaku, salah satu dari cara

terebut adalah dapat berupa ancaman atau intimidasi. Adapun cara yang dipakai

oleh sipelaku untuk mengkelabui korbannya sangat dipengaruhi oleh latar

(2)

belakang si pelaku yang paling dominan dipergunakan untuk mengkelabui

korbannya adalah karena si pelaku sebagai salah satu aparat penegak hukum yaitu

Polri. Kepolisian Republik Indonesia atau Polri merupakan alat negara sebagai

aparat penegak hukum yang bertugas memelihara keamanan yang memberikan

perlindungan, menjunjung tinggi hak-hak asasi masyarakat dalam negara,

menjaga keamanan dan ketertiban, serta memberikan perlindungan, pengayoman,

dan pelayanan bagi masyarakat.

Namun yang menjadi kenyataan di masayarakat adalah ketika seorang

oknum Polri yang diadili dalam kasus tindak pidana pemerasan yang

dilakukannya dijatuhi hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatannya.

Sesunggguhnya suatu hal yang tidak memenuhi rasa keadilan yang dituntut dalam

Negara Indonesia sebagai Negara Hukum. Hal inilah yang menjadi permasalahan

yang berkembang belakangan ini sehingga menimbulkan tanda tanya besar bagi

masyarakat “ mengapa aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana

dijatuhi hukuman yang berbeda dan bahkan tidak sesuai dengan peraturan hukum

yang mengaturnya? “.

Kita telah mengetahui bahwa Polri memiliki fungsi dan tugas yang mulia

sebagai aparat penegak hukum. Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi

pemerintahan Negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

(3)

kepada masyarakat. Sedangkan yang menjadi tugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 adalah :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

b. Menegakkan hukum

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat

Pengaturan lebih rinci mengenai tugas pokok Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam Pasal 13 diatas, dalam Pasal 14 UU Nomor 2 tahun 2002,

dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pokoknya, Kepolisian Negara

Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan Pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol

terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan peraturan perundang – undangan

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional

(4)

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk – bentuk

pengamanan swakarsa

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak

pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang –

undangan lainnya

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikoligi kepolisian untuk kepentingan

tugas kepolisian

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolingan dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instantsi dan/atau pihak berwenang

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang –

undangan

Selain dari fungsi, dan tugas dari Kepolisian Negara Republik Indonesia

(5)

sebagai norma atau aturan bagi anggota Polri dalam berbuat sesuai dengan tugas

dan fungsinya serta sekaligus menjamin mutu moral profesi Kepolisian diminta

masyarakat. Kode etik ini merupakan pedoman yang bersifat khusus, karena

mengandung makna dan filosofi yang sangat mendalam bagi kepolisian itu

sendiri, namun suatu hal yang tidak dapat dipungkiri masih banyak anggota

kepolisian yang menjalankan tugasnya justru tidak mematuhi pedoaman tersebut.2

Pelanggaran ataupun perbuatan pidana anggota Kepolisian yang tidak sesuai

dengan kode etik Kepolisian tentunya akan berakibat hukum.

Ketentuan mengenai Kode Etik Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan

Kapolri No 14 Tahun 2011 sebagai pembaharuan dari Peraturan Kapolri No. 7

tahun 2006 dan Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2006 Tentang organisasi dan tata

Kerja Komisi Kode Etik Polri, merupakan kaidah moral dengan harapan

tumbuhnya komitmen yang tinggi bagi seluruh anggota Polri agar menaati dan

melaksanakan (mengamalkan) Kode Etik Profesi Polri dalam segala kehidupan

sehari-hari dan dalam pengabdian masyarakat, bangsa, dan Negara. Kode etik

bagi profesi Kepolisian tidak hanya didasarkan pada kebutuhan professional,

tetapi juga telah diatur secara normatif dalam undang-undang No. 2 Tahun 2002

Tentang Polri yang ditindaklanjuti dengan peraturan Kapolri, dalam Pasal 4

Undang-undang No. 2 tahun 2002 menjelaskan bahwa Kepolisian Negara

2

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika : Palu,

(6)

Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang

meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya

hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi

hak asasi manusia, sehingga Kode Etik profesi Polri mengikat seluruh anggota

Polri.

Jika melihat keseluruhan uraian fungsi dan tugas serta Kode Etik

Kepolisian tersebut, seharusnya Polri adalah aparat penegak hukum yang dapat

memberikan rasa aman bagi masyarakat, namun kenyataan yang sering terjadi

adalah Polri sering sekali melakukan tindakan yang bertentangan dengan fungsi,

tugas, dan wewenang serta Kode etik Profesi yang dimilikinya. Masyarakat juga

memiliki harapan-harapan yang sangat besar terhadap polisi sebagai aparat

penegak hukum yaitu harapan untuk bisa “Bekerja sama”, “Kembali ke Fitrah”

yaitu mengharapkan peranan polisi lebih besar lagi dalam memberikan

ketenangan, dan ketentraman sebagai wujud pengayom masyarakat, “Lindungi Kami” merupakan harapan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan yang

layak terlebih terhadapa masyarakat golongan bawah, dan “Harapkan Keamanan”

merupakan harapan masyarakat terhadap polisi untuk mewujudkan keamanan

baik ditingkat perkotaan maupun pedesaan.3

3

(7)

Kasus tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh oknum Polri semakin

banyak terjadi dikalangan masyarakat, seperti contoh di Jakarta seorang polisi

berpangkat Aiptu melakukan pemerasan terhadap tersangka narkoba sebanyak Rp

40 Juta. Aiptu BGS melakukan pemerasan terhadap keluarga tersangka narkoba di

Surabaya, Jawa Timur dengan meminta uang sebanyak Rp 40 Juta, dan Aiptu

BGS hanya dikenakan hukuman penjara 12 hari, teguran, dan penundaan

pendidikan selama satu tahun serta dimutasi ke unit Sabhara oleh Polri.4 Selain

itu, hal yang sama juga terjadi di Medan yaitu dua polisi terlibat perampokan dan

pemerasan terhadap korban yang merupakan Bandar shabu-shabu. Empat

tersangka yang diantaranya terdapat dua oknum polisi yaitu Brigadir Charlie dan

Brigadir Tien Pardede melakukan perampokan terhadap Susyanto warga jalan

Gaperta Ujung yang merupakan bandar shabu-shabu, dan melakukan pemerasan

serta menyekap istri dan anaknya. Korban mengalami luka tembakkan di bagian

kiri pahanya sebanyak dua kali.5 Hal serupa juga terjadi di Jakarta, AKBP PN

selaku anggota Direktorak Tindak Pidana Narkotika Badan Reserse Kriminal

melakukan pemerasan terhadap bandar narkoba6

Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin menelusuri lebih dalam

mengenai tindak pidana turut serta melakukan pemerasan yang dilakukan oleh

4 Yova Adhiansyah, Polisi Peras Tersangka Narkoba , Jakarta, 2015, Sindo News,

http://daerah.sindonews.com/read/1065929/23/ diakses tanggal 1 februari 2016 Pukul 17.30.

5 Herdiansyah Talib, Dua Polisi Terlibat Perampokan dan Pemerasan, Medan, 2015, Medan

Satu, http://medansatu.com/berita/551/ diakses tanggal 1 februari 2016 pukul 17.36.

6 Sabrina Asril, Kasus Pemerasan Oleh AKBP PN, Jakarta, 2015, Kompas Nasional,

(8)

oknum Polri secara bersama-sama dengan pelaku lainnya (berkas terpisah) yang

telah diputus oleh Pengadilan Negeri Medan dengan Putusan No.

80/Pid.B/2010/PN-MDN. Pengadilan negeri yang mengadili perkara tersebut

telah menjatuhi hukuman kepada terdakwa Ferdian Purwo Setio selama 3 bulan

penjara.

Dalam perkara tersebut terdakwa dituntut oleh penuntut umum selama 6

(enam) bulan penjara, dari tuntutan tersebut sebenarnya sudah dilihat begitu

ringannya tuntutan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Hal ini sangatlah

tidak sesuai dengan Kitab Undang–undang Hukum Pidana yang mengatur tindak

pidana pemerasan tersebut. Dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP tindakan tersebut

diancam hukuman selama 9 (sembilan) tahun penjara. Begitu juga dengan Majelis

Hakim yang memutus perkara tersebut sehingga hanya memutuskan vonis 3 (tiga)

bulan penjara tanpa mempertimbangkan latar belakang tuntutan Jaksa Penuntut

Umum selama 6 (enam) bulan penjara yang jelas-jelas sangat menyimpang dari

ancaman yang tertulis di Pasal 368 KUHP. Selain itu, penulis juga akan

membahas mengenai penerapan hukuman yang diterapkankan terhadap terdakwa.

Berdasarkan masalah di atas, maka penulis mengambil judul yaitu

Tinjauan Yuridis Terhadap Turut Serta Melakukan Tindak Pidana

Pemerasan Yang Dilakukan Oleh Oknum Polri (studi Putusan

(9)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat

dirumuskan untuk menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap oknum Polri yang melakukan tindak pidana pemerasan berdasarkan

Putusan Pengadilan Negeri Medan No.80/Pid.B/2010/PN.Mdn?

2. Bagaimana penerapan hukum pidana materiil terhadap turut serta melakukan

tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh oknum Polri berdasarkan

Putusan Pengadilan Negeri Medan No.80/Pid.B/2010/PN.Mdn?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari

penelitan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana

kepada oknum Polri yang melakukan tindak pidana turut serta melakukan

pemerasan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan

No.80/Pid.B/2010/PN.Mdn.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana materiil terhadap

oknum Polri yang melakukan tindak pidana turut serta melakukan pemerasan

(10)

Adapun manfaat yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan untuk

menambah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum umumnya dan

bidang hukum pidana khususnya.

b. Untuk memberikan masukan bagi Universitas Sumatera Utara dalam

memperkaya bahan bacaan diperpustakaan, sehingga dapat dimanfaatkan

sebagai bahan bacaan untuk melakukan penelitian.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan serta kajian

pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten, baik kalangan akademisi

maupun penegak hukum, untuk menambah wawasan di bidang hukum khususnya

yang berkaitan dengan bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pemerasan yang dilakukan

oleh oknum Polri dan bagaimana penerapan hukum pidana materiil terhadap

perkara turut serta melakukan tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh

(11)

D. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Deelneming Atau Keturutsertaan

Mengenai masalah deelneming atau keturutsertaan diatur dalam Pasal 55

dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 55 KUHP

berbunyi :7

a. Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana

1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, turut

melakukan perbuatan itu.

2. Orang yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan

menyalahgunakan kekuasaan, dengan kekerasan, ancaman, atau

dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan

kesempatan, sarana-sarana, atau keterangan-keterangan, dengan

sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak

pidana.

b. Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub ke 2 itu yang boleh

dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan

sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain,

beserta akibatnya

7 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Sinar Grafika : Jakarta, 2014,

(12)

Sedangkan dalam Pasal 56 KUHP berbunyi, “Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan” yaitu :8

a. Mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan dalam melakukan

kejahatan tersebut.

b. Mereka yang dengan sengaja memberikan kesempatan, sarana-sarana,

atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.

Berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, dapat kita jumpai beberapa

perkataan seperti pelaku (dader), melakukan (plegen), menyuruh melakukan

(doen plegen), turut melakukan (doen plegen), dan lain sebagainya.

Bentuk-bentuk deelneming atau keturut sertaan yang ada menurut Pasal 55

dan Pasal 56 KUHP adalah :9

1. Doen plegen atau menyuruh melakukan atau orang yang di dalam

doktrin sering disebut sebagai middellijk daderschap

Di dalam suatu doen plegen jelas terdapat seseorang yang menyuruh

orang lain melakukan suatu tindak pidana, dan seseorang lainnya yang disuruh

melakukan tindak pidana. Dalam hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain

melakukan suatu tindak pidana disebut sebagai middellijke dader yaitu seseorang

yang tidak langsung, sebab ia tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana

8 Ibid.

(13)

tersebut, melainkan melalui perantara orang lain. Sedangkan orang lain yang

disuruh melakukan suatu tindak pidana disebut sebagai materrieele dader.10

Syarat-syarat dalam menyuruh melakukan yaitu :

a. Ada yang berkehendak melakukan tindak pidana

b. Tidak melaksanakan sendiri tindak pidana tersebut

c. Menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana

d. Orang-orang yang disuruh adalah orang-orang yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana (Pasal 44 KUHP)

2. Medeplegen atau turut melakukan ataupun yang juga sering

disebut sebagai mededaderschap

Dalam turut serta melakukan atau medeplegen terdapat seorang pelaku

(dader) dan sesorang atau lebih pelaku yang turut serta melakukan tindak pidana,

oleh karena itu bentuk deelneming ini juga sering disebut dengan

mededaderschap. Menurut Simons, daders dapat dibagi menjadi alleen daders

yakni pelaku-pelaku yang dengan sendiri melakukan tindak pidana, kemudian

middellijk daders yakni pelaku-pelaku yang tidak melakukan sendiri tindak

pidananya melainkan menyuruh orang lain melakukannya, yang akhirnya

mededaders memiliki arti yaitu pelaku-pelaku yang turut serta melakukan suatu

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang lain.11

(14)

3. Uitlokking atau menggerakkan orang lain

Van Hamel merumuskan uitlokking sebagai suatu deelneming atau

keturutsertaan berupa kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat

dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak

pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang

karena telah tergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan

tindak pidana yang bersangkutan.12 Untuk adanya suatu uitlokking haruslah

dipenuhi dua syarat objektif yaitu :13

 Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh

orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu

delik yang selesai, atau menghasilkan suatu strafbare poging atau

suatu percobaan yang dapat dihukum

 Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu

disebabkan karena orang tersebut telah tergerak oleh suatu

uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan

salah satu cara yang telah disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1)

angka (2) KUHP.

12 Ibid, hal 648.

13

(15)

Undang-undang memberikan batasan atau syarat yang harus dipenuhi

orang uitlokker dalam menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana

yaitu :

a. Pemberian, yang dimaksud pemberian adalah pemberian sesuatu

dari uitlokker kepada orang yang digerakkan .

b. Janji, meliputi segala sesuatu yang menimbulkan kepercayaan

kepada orang yang digerakkan dan akan memberikan keuntungan

kepadanya. Janji tu bukan hanya berupa memberikan hadiah uang

atau benda-benda lain tetapi juga segala macam kemurahan yang

dijanjikan akan diberikan kepada orang yang digerakkan sebagai

tanda jasa atas perbuatannya.

c. Penyalahgunaan kekuasaan, menunjuk pada arrest Hoge Raad

tanggal 10 oktober 1940 nomor 815 yang mengatakan, disitu tidak

terdapat suatu uitlooking dengan cara menyalahgunakan

kekuasaan, apabila perbuatan material itu telah dilakukan orang

lain, yaitu pada waktu hubungan kerja itu sudah tidak ada lagi.

Kekuasaan yang disalahgunakan dapat berupa kekuasaan menurut

jabatan ataupun kekuasaan seorang majikan terhadap

pembantunya.14

(16)

d. Kekerasan, penggunaan kekarasan atau ancaman dengan kekerasan

itu sifatnya tidaklah boleh sedemikian rupa sehingga orang yang

telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada di

dalam overmacht. Sebab apabila orang yang telah digerakkan

untuk melakukan tindak pidana itu berada dalam keadaan

demikian, dan ini berarti bahwa orang tidak lagi dihadapkan

dengan suatu uitlokking melainkan doen plegen. 15

e. Tipu daya, yaitu dengan rangkaian kata-kata bohong untuk

menimbulkan sesuatu di dalam jiwa yang digerakkan untuk

melakukan apa yang dikehendaki uitlokker.

f. Memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan, yaitu

dikenal sebagai cara-cara membantu (Pasal 56 ayat 2e KUHP).

Apabila keterangan-keterangan yang bersangkutan telah

menimbulkan kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana,

maka terdapat pembujukan melakukan. Akan tetapi, apabila

keterangan-keterangan itu tidak menimbulkan suatu tindak pidana

melainkan hanya bersifat memudahkan atau melancarkan suatu

tindak pidana, maka terdapat suatu membantu melakukan.

Mereka yang disebut sebagai uitlokking harus memenuhi syarat

berikut yaitu :

1. Ada orang yang berkeinginan untuk melakukan tindak pidana

(17)

2. Tidak melaksanakan sendiri niatnya

3. Menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana

4. Telah ditentukan secara limitatif oleh undang-undang

5. Orang yang digerakkan adalah orang-orang yang dapat

dipertanggungjawabkan

6. Pertanggungjawaban orang yang menggerakkan bersifat

terbatas

4. Medeplichtigheid atau membantu melakukan

Menurut Simons, medeplichtigheid merupakan on-zelfstandige

deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri sendri. Itu berarti, seorang

medeplichtige itu dapat dihukum atau tidak, bergantung pada kenyataan yaitu

apakah pelakunya sendiri telah melakukan tindak pidana atau tidak.16 Bentuk

medeplichtigheid yang pertama adalah kesengajaan membantu melakukan suatu

kejahataan, maka setiap tindakan yang telah dilakukan oleh orang dengan maksud

membantu orang lain melakukan suatu kejahatan itu, dapat membuat orang

tersebut dituntut atau dihukum karena dengan sengaja telah membantu orang lain,

pada waktu orang tersebut sedang melakukan kejahatan.17 Bantuan tersebut dapat

berupa material maupun moral yang bersifat intelektual. Bentuk medeplichtigheid

yang kedua adalah kesengajaan memberikan bantuan kepada orang lain untuk

(18)

mempermudah orang lain tersebut melakukan suatu kejahatan. Bantuan tersebut

dapat berupa material yaitu senjata atau alat-alat, dan dapat berupa intelektual

yaitu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan pencurian

terhadap barang-barang yang barada di dalam pengawasannya.18

2. Pengertian Tindak Pidana Pemerasan

Sebelum menguraikan mengenai pengertian tindak pidana pemerasan,

terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian tentang tindak pidana.

Pembentuk undang – undang telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk

menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “ tindak pidana“ di dalam Kitab

Undang – Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan

mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit

tersebut.19

Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “ sebagian

dari suatu kenyataan” atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedang strafbaar

berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat

diterjemahkan lagi sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”,

yang sudah barang tentu tidak tepat karena kelak akan kita ketahui bahwa yang

18 Ibid.

(19)

dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan

kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.20

Adami Chazawi telah menginventarisasi sejumlah istilah-istilah yang

pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam

berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah staraafbaarfeit, yaitu

sebagai berikut:21

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam

undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan

perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam

Undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun

2001.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya:

Tresna dalam Bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” H. J van

Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia,

Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk Undang

-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu dalam

UUD’S 1950 [baca pasal 14 ayat (1)];

20 Ibid.

21 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo: Jakarta, 2002, hal

(20)

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga

digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

straafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur,

misalnya E.Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain

yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I);

4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H Tirtaadmidjaja

yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana;

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni

dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana” begitu juga

Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”;

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk

Undang-Undang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang senjata Api dan Bahan

Peledak (Pasal 3);

7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisan

beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana.

Bahasa Belanda mengartikan pemerasan dengan afpersing, yaitu

barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara tidak sah, memaksa orang lain dengan kekerasan dan ancaman kekerasan

supaya orang itu menyerahkan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian saja

adalah kepunyaan orang lain, atau supaya orang itu membuat utang atau

(21)

sebagaimana telah diatur dalam hukum pidana Indonesia yang dikualifikasikan

sebagai pemerasan.22

Tindak pidana pemerasan adalah tindak pidana yang dilakukan

seseorang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

dengan melawan hukum memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan supaya orang itu memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau

sebahagian kepunyaan orang itu sendiri ataupun kepunyaan orang lain atau

supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang.23

Adapun yang menjadi unsur-unsur tindak pidana pemerasan terdiri

dari :24

a. Unsur objektif, yaitu terdiri atas

1. Memaksa orang lain

2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

3. Agar orang itu ; memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau

sebahagian milik orang itu atau orang lain

4. Membuat hutang

5. Meniadakan/menghapus piutang

22 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia , Refika Aditama :

Bandung, 2003, hal 27.

23 Moch.Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni : Bandung, 1982,

hal 31.

(22)

b. Unsur subjektif, yaitu dengan maksud menguntungkan diri sendiri

atau orang lain secara melawan hukum

Unsur memaksa orang lain atau dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan agar orang itu menyerahkan barang yaitu, seseorang melakukan

penyerahan barang, penyerahan barang tersebut merupakan akibat dipaksa dengan

kekerasan, dapat diperkirakan bahwa seseorang dipaksa untuk menyerahkan

sesuatu barang, tidak akan memenuhinya tanpa dipergunakannya alat-alat paksa.

Dengan demikian hubungan kausal antara penyerahan barang dan kekerasan

dinyatakan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, dan alat paksa tersebut

adalah kekerasan atau ancaman kekerasan.25

Unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain, bahwa tujuan yang hendak diperoleh adalah penyerahan barang. Juga tidak

perlu apa yang dikehendaki itu benar-benar melawan hukum, cukup bahwa

tujuannya dapat memberikan keuntungan baik bagi dirinya sendiri maupun orang

lain.

Unsur maksud ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang

lain, apabila dua orang melakukan perbuatan paksaan secara bersama, kejahatan

itu berlaku terhadap kedua orang itu, meskipun yang satu mempunyai maksud

(23)

untuk menguntungkan diri sendiri dan yang lain dengan maksud untuk

menguntungkan orang lain.26

Unsur membuat hutang, yaitu si pemeras memaksa orang yang diperas

untuk membuat suatu perikatan, sehingga timbul suatu kewajiban yang harus

dibayar atau dipenuhi oleh orang yang diperas kepada pemeras maupun orang lain

sesuai yang dikehendaki pemeras terhadap orang yang diperas.

Unsur menghapus atau meniadakan piutang, yaitu si pemeras dipaksa

untuk menghapuskan atau meniadakan perikatan atau hutang yang sudah ada dari

orang yang diperas kepada pemeras atau orang lain sesuai yang dikehendaki oleh

pemeras.

Adapun pengaturan tindak pidana pemerasan dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana diatur dalam Pasal 368 KUHP yang berbunyi sebagai

berikut :

1. Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau

orang lain dengan melwan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau orang lain atau supaya orang lain itu membuat hutang atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun.

2. Ketentuan dalam ayat kedua,ketiga atau keempat, dari Pasal 365

berlaku bagi kejahatan itu (K.U.H.P. 35, 89, 335, 370 s, 486).

(24)

3. Pengertian Pertimbangan Hakim

Dalam membuat putusan mengenai suatu perkara pidana tertentu,

tentunya Hakim memiliki pertimbangan- pertimbangan tertentu, yang mendukung

putusan yang akan dibuat, yaitu hal- hal mengenai pemikiran dan pendapat Hakim

tentang perkara yang bersangkutan didukung dengan fakta yang terungkap di

persidangan, meliputi aspek- aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis,

sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan

dalam putusan Hakim, dengan berorientasi pada keadilan hukum, keadilan moral,

dan keadilan masyarakat. 27 Pertimbangan Hakim meliputi pertimbangan-

pertimbangan dari beberapa aspek sebagai berikut : aspek yuridis, filosofis, dan

sosiologis. Aspek yuridis merupakan aspek pertimbangan Hakim yang pertama

dan utama dan berpatokan kepada Undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai

aplikator Undang-Undang harus memahami Undang-Undang dengan mencari

Undang-Undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim

harus menilai apakah Undang-Undang tersebut adil, kemanfaatannya, atau

memberikan kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu

unsurnya adalah menciptakan keadilan. Mengenai aspek filosofis, merupakan

aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis,

mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.

Pertimbangan filosofis dan sosiologis sangat memerlukan pengalaman dan

27 Ahmad Rivai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar

(25)

pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai- nilai

dalam masyarakat yang terabaikan.28

Menurut Lilik Mulyadi hakikat pada pertimbangan yuridis hakim

merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat

menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak

pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut

relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim.29

Ketentuan mengenai pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 197 ayat

(1) d KUHP yang berbunyi :

“Pertimbangan disusun secara ringkasmengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.”

Hal ini dijelaskan pula dalam Pasal 183 KUHP yang menyatakan

bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkanpidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi danbahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan

kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil

penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah

28Ibid.

29

(26)

satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim

merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur

tercapainya suatu kepastian hukum.

4. Pengertian Penerapan Hukum

Penerapan Hukum terdiri dari kata hukum dan penerapan. Dua kata

tersebut mengandung makna yang berbeda. Dari segi pengertian hukum, kita

ketahui bahwa sulit untuk mengetahui definisi hukum. Hampir semua sarjana

hukum memberikan pembatasan mengenai hukum yang berlainan.Hal ini

disebabkan karena hukum banyak segi dan demikian luas, sehingga tidak

mungkin orang menyatukannya dalam suatu rumus secara memuaskan.30 Hukum

adalah peraturan berupa kaidah-kaidah atau norma-norma dan sanksi yang dibuat

dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga keadilan dan

ketertiban, serta mencegah terjadinya kekacauan dalam kehidupan manusia.

Berikut pengertian hukum menurut beberapa ahli yaitu:31

a. Pengertian menurut Utrecht mengartikan hukum adalah

sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan untuk

menertibkan kehidupan bermasyarakat dan mesti ditaati oleh

seluruh anggota masyarakat karena dengan melakukan

30 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,Terjemahan Oetarid Sadino,PT Pradnya Paramita :

Jakarta, 2004, hal 1.

31 Pengertian Hukum dan Tujuan Hukum,

(27)

pelanggaran maka bisa menimbulkan tindakan dari pihak

pemerintah.

b. Pengertian hukum menurut Immanuel Kaant adalah keseluruhan

syarat yang memiliki kehendak bebas dari orang yang satu bisa

menyesuaikan diri dengan kehendak bebas yang dimiliki oleh

orang lain, sehingga tercipta kemerdekaan dengan menuruti

peraturan hukum.

c. Pengertian hukum menurut Mochtar Kusmaatmadja adalah

sekumpulan kaidah dan asas yang mengontrol pergaulan hidup

yang ada di masyarakat dimana bertujuan untuk menjaga

ketertiban serta mencakup lembaga-lembaga dan proses yang

berguna untuk mewujudkan berlakunya kaidah sebagai sebuah

kenyataan dalam bermasyarakat.

d. Pengertian hukum menurut J. Van Apeldoorn adalah untuk

mengatur pergaulan hidup dengan damai

e. Pengertian hukum menurut P. Borst adalah sekumpulan aturan

hidup yang memiliki sifat memaksa untuk menjaga dan

melindungi kepentingan manusia dalam bermasyarakat.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

hukum adalah aturan-aturan tentang perilaku dan tingkah laku manusia yang

memiliki sanksi yang bersifat memaksa yang bertujuan untuk menjaga ketertiban

(28)

Penerapan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

proses, cara, perbuatan menerapkan. 32 Sedangkan menurut beberapa ahli

berpendapat bahwa, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu

teori, metode dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu

kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah

terencana dan tersusun sebelumnya.33

Penerapan hukum pada dasarnya melibatkan proses argumentasi yang

ketat yang mendekati deduksi yang dilakukan oleh seorang ahli matematik.

Pendapat itu dipertahankan oleh suatu sisi para ahli yang beranggapan, bahwa

hukum itu adalah ilmu mantik yang menonjol. Pada sisi lain terdapat para ahli

yang berpendapat, bahwa metode mantik hanyalah menempati kedudukan yang

kedua saja, oleh karena hukum itu berkepentingan dengan pembuatan keputusan

yang adil dan dikehendaki oleh masyarakat, bukannya pengolahan dengan

ketajaman logika.34 Penalaran silogistis dalam hukum adalah suatu tipe penalaran

dengan cara memasukkan suatu kejadian nyata ke dalam suatu peraturan yang

umum atau suatu prinsip, untuk kemudian dinilai apakah penempatan kejadian

tersebut ke dalam jangkauan peraturan tersebut bisa diterima ataukah tidak.35

Jadi, penerapan hukum adalah suatu perbuatan untuk menerapkan atau

mempraktekkan hukum yang telah dibuat dan disusun sebelumnya kedalam

32 Arti Dari Penerapan, http://kamus.cektkp.com/penerapan/, diakses tanggal 06Maret 2016

pukul 11.16 Wib.

33 Pengertian Penerapan, http://internetsebagaisumberbelajar.blogspot.co.id/2010/07 diakses

tanggal 06 Maret 2016 pukul 11.20 Wib.

(29)

kehidupan nyata masyarakat. Penerapan hukum dilakukan untuk mewujudkan

adanya suatu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum di dalam kehidupan

masyarakat, sehingga orang-orang yang melanggar aturan-aturan hukum

mendapatkan sanksi yang tegas dari pemerintah selaku penyelenggara hukum.

Dalam penelitian ini, membahas mengenai hukum pidana, sehingga yang

ditujukan adalah penerapan hukum pidana kedalam masyarakat yang melakukan

tindak pidana maupun pelanggaran-pelanggaran, sehingga adanya kepastian

hukum yang tercipta serta keadilan dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya

penerapan hukum, maka hukum memiliki fungsi. Dalam hukum pidana, ada dua

fungsi hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto yaitu:36

a. Fungsi yang umum

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh

karena itu fungsi hukum pidana juda sama dengan fungsi

hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup

kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam

masyarakat.

b. Fungsi yang khusus

Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi

kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak

memperkosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi berupa

(30)

pidana yang sifatnya lebih tajam dibandingkan dengan sanksi

yang terdapat pada cabang hukum lainnya.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran Kepustakaan (library research)

khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, terhadap judul “Tinjauan

Yuridis Terhadap Turut Serta Melakukan Tindak Pidana Pemerasan Yang

Dilakukan Oleh Oknum POLRI (Studi Kasus Putusan No.

80/Pid.B/2010/PN.Mdn.)” ini, belum pernah ada judul dan permasalahan yang

sama. Dengan demikian, penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah.

Sepanjang penelurusan penulis, judul tersebut ada yang mirip dengan

skripsi pada tahun 2010 dengan judul “Analisis Hukum Pidana Terhadap Tindak

Pidana Pemerasan dengan Mengatasnamakan Ikatan Mahasiswa (Studi Putusan

Pengadilan Negeri No. 2972/Pid.B/2008 PN. Mdn)”.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan

(31)

konsisten.37 Melalui proses penelitian tersebut maka diadakan suatu analisa dan

konstruksi terhadap data yang telah diolah.

Agar suatu penelitian dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan

suatu metode penelitian yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Penelitian

normatif ini merupakan penelitian doktriner, karena penelitian ini dilakukan

melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari

dokumen-dokumen, tulisan para ahli, buku-buku literatur, jurnal hukum, situs internet,

kamus hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

materi dan isu dari permasalahan.

2. Bahan Penelitian

Dalam penelitian normatif, bahan yang didapatkan meliputi bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.38

• Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Jenis Penelitian normatif

• Sifat Penelitian deskriptif

37 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2001, hal 1. 38

(32)

b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.39 Bahan hukum sekunder yang

digunakan dalam penelitian ini seperti buku-buku literatur, dan

artikel-artikel yang berkaitan dengan judul yang dibahas yang

diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tersier, adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk,

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.40

Adapaun bahan tersier yang digunakan adalah ensikopedia hukum dan

kamus hukum yang berhubungan dengan materi dan isu

permasalahan.

3. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kasus (case

approach). Pendekatan kasus tersebut bahan yang digunakan adalah putusan

pengadilan yang selanjutnya akan dilihat ketentuan asas dan norma yang berlaku

dan terkandung dalam perundang-undangan. karena yang akan diteliti adalah

putusan pengadilan maka pendekatan ini dilakukan dengan menelaah

(33)

4. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan oleh penulis adalah teknik analisa

data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dan bahan hukum yang

berkaitan dengan isu permasalahan melalui studi kepustakaan kemudian diuraikan

yang logis dan sistematis dengan menarik kesimpulan dari penelitian.

5. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu tipe penelitian untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena.

Penelitian deskriptif tidak hanya terbatas pada masalah pengumpulan dan

penyusunan data, tetapi juga meliputi analisis dan interpretasi data tersebut.

Penelitian ini juga bertujuan menggambarkan secara lengkap dan

sistematis keadaan objek yang diteliti, yang dalam hal ini meneliti apakah

tuntutan hukuman dan penerapan hukumyang diberikan terhadap terdakwa

tersebut sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.

G. Sistematika Penulisan

Adapun untuk memberikan gambaran mengenai sistematika skripsi,

maka berikut ini akan diuraikan sistematika penulisan yang terdiri dari bab-bab

(34)

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan gambaran awal tentang penelitian, yang menguraikan

latar belakang, rumusan masalah, manfaat dan tujuan penulisan,

keaslian penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II. PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN

PIDANA TERHADAP TURUT SERTA MELAKUKAN TINDAK

PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM

POLRI BERDASARKAN PUTUSAN N0. 80/Pid.B/2010/PN.MDN

Bab ini berisikan perumusan masalah yang pertama, yaitu untuk

mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap turut serta melakukan tindak pidana pemerasan berdasarkan

Putusan No. 80/Pid.B/2010/PN.Mdn.

BAB III. PENERAPAN HUKUM PIDANA MATERIIL TERHADAP TURUT

SERTA MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG

DILAKUKAN OLEH OKNUM POLRI BERDASARKAN

PUTUSAN No. 80/Pid.B/2010/PN.MDN

Bab ini berisikan perumusan masalah kedua, yaitu untuk mengetahui

penerapan hukum pidana materiil terhadap terdakwa turut serta

melakukan tindak pidana pemerasan berdasarkan Putusan No.

(35)

BAB IV. PENUTUP

Bagian ini berisikan tentang kesimpulan jawaban dari rumusan

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu dari lokasi tersebut telah berdiri diatasnya sebuah usaha SPBU Nomor Seri 54.684-34 yang memiliki 4 (empat) dispenser dengan pendapatan bruto migas rata-rata setiap

The purpose of the research was to find out the data of students‟ ability in us ing preposition of place of the seventh grade students at first semester of SMP PGRI 6

(PSB adalah suatu aktivitas yang terorganisir yang terdiri dari seorang direktur, staf dan peralatan yang digunakan dalam pengajaran dengan berhubungan kurikulum atau

Dengan adanya komposit EPDM dengan karet alam dan bahan proses lainnya (Tabel 1) maka terjadi ikatan sambung silang yang membentuk struktur jaringan tiga dimensi

Pada unsur latar, diidentifikasi tiga jenis latar yaitu latar tempat, waktu, dan sosial.Latar yang dilukiskan dalam kumpulan cerpen Sepotong Hati yang Baru dapat

menunjukkan surat keterangan dokter,lebih sempur- na lagi bila itu dari dokter specialis kandungan, yang menyatakan bahwa ia dalam keadaan tidak ha- mil,maka ia segera

Namun bagi agama-agama lokal, pilihan gerakan yang diambil dari tindakan represif yang dilakukan baik oleh Negara maupun oleh kelompok agama mainstream, adalah dengan tetap

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh rekam medik pasien sumbing langit-langit di RS Awal Bros Sudirman Pekanbaru periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2013