• Tidak ada hasil yang ditemukan

S ITI ZULAIKHA S ITANGGANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "S ITI ZULAIKHA S ITANGGANG"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

AHMAD SETIA PEMUSI K MELAYU SUMATERA UTARA:

BIOGRAFI DAN GAYA MELODIS PERMAINAN AKORDION

SKRIPSI SARJANA OLEH:

S ITI ZULAIKHA S ITANGGANG NIM : 030707008

UNIVERSITAS SUM ATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEM EN ETNOMUSIKOLOGI

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah dan Alasan Pemilihan Judul

Kesenian tidak pernah berdiri sendiri dan lepas dari kondisi sosiobudaya masyarakat pendukungnya. Sebagai salah satu unsur kebudayaan yang penting, kesenian merupakan ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. M asyarakat yang menyangga kebudayaan dan kesenian, menciptakan, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkannya untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru. Akan tetapi, masyarakat adalah suatu perserikatan manusia, yang mana kreativitas masyarakat berasal dari manusia-manusia yang mendukungnya (Umar Kayam, 1981:38-39). M anusia-manusia dalam suatu kebudayaan, bekerja dalam bidang-bidang seperti ekonomi, bahasa, agama, teknologi, sosial, pendidikan, dan kesenian. Pekerjaannya ini ada yang bersifat sebagai pekerjaan utama, dan tak jarang pula yang menyertainya dengan pekerjaan sambilan atau tambahan, yang tujuannya adalah untuk memperkuat ekonominya.

(3)

Dali, Leonardo Davinci, M ichael Jackson, Whitney Houston, Jhon Travolta, dan masih banyak lagi yang lainnya. Di Nusantara kita mengenal Titik Puspa, Bing Slamet, P. Ramlee, S.M . Salim, Rafeh Buang, Gesang, Cornell Simanjuntak, Kusbini, Said Effendi, dan lainnya. Untuk kawasan Sumatera Utara, kita mengenal Guru Sauti, Tilhang Gultom, Jaga Depari, Lily Suheiri, Nahum Situmorang, dan lain-lainnya. M ereka menyumbangkan karya dan fikirannya untuk bidang kesenian dan menjadi bahagian dari pembangunan dan enkulturasi budaya masyarakatnya. Dengan demikian sejarah hidup tokoh-tokoh kesenian ini perlu ditulis untuk menjadi bahan perenungan, transmisi nilai-nilai, dan bahan-bahan asas untuk mencipta bagi generasi-generasi selanjutnya

M engambil nilai pelajaran dari pengalaman hidup seseorang adalah penting, baik yang positif maupun yang negatif. Khususnya bila pelajaran itu dipetik dari seseorang yang dalam hidupnya menurut ukuran masyarakat dianggap sukses. Dari nilai positif kita dapat menemukan arahan dan panduan dalam menjalani kehidupan ini agar dapat terus meningkatkan potensi yang dimiliki sehingga dapat terus menjadi penerang bagi diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya dari nilai-nilai negatif dapat dipetik pelajaran yang memberi arahan agar tidak terperangkap dalam kekeliruan yang sama seperti yang telah dilakukan mereka.

(4)

Ahmad Setia (pada tahun 2007 sekarang ini berusia 68 tahun) adalah salah seorang seniman M elayu kota M edan yang sangat handal dalam memainkan alat musik akordion, yang awalnya ia mulai dari bermain alat musik gendang, kemudian ia bermain akordion, menari, menyanyi, dan membuat gendang. Hingga saat ini ia dikenal banyak orang sebagai pemain akordion meskipun membuat gendang juga merupakan pekerjaan pokoknya disamping profesinya sebagai pemusik akordion.

Ahmad Setia lahir di Perbaungan, 12 Desember tahun 1939. Perjalannya sebagai seorang pemusik dimulai sejak tahun 1959 yang mana pada saat itu ia sedang berusia 21 tahun. Pada awalnya ia belajar gendang yang kemudian belajar akordion dari seorang temannya yaitu (Almarhum) Datuk M uhammad Nur yang merupakan seorang pemain akordion handal yang terkenal pada saat itu. Ia sering diajak mendampingi beliau setiap mengisi acara-acara yang dilakukan oleh masyarakat M elayu di seputar Sumatera Utara ini. Awal pertama kali berkesenian secara kelompok ia bergabung dengan grup Orkes Hitam M anis pimpinan Datuk M uhammad Nur di Kota M edan.

(5)

selesai ia tetap diminta sebagai pemain pengganti. Lagu yang pertama kali dibawakannya adalah lagu Cek Minah Sayang.

Pada tanggal 16 April 1961, ia bersama rombongan grup Hitam M anis mulai mendapat tawaran untuk tampil di luar kota yaitu di Sigambal dan Rantau Prapat, Kabupaten Labuhanbatu, dan itu merupakan pengalaman pertamanya tampil di luar kota M edan.

Seiring perjalanannya sebagai pemain gendang, ia juga menyempatkan diri untuk belajar menari. Ia belajar menari dari M . Saini yaitu seorang pemenang tari serampang duabelas. Tarian yang pertama sekali di pelajarinya adalah Tari Kuala Deli. Kemudian tahun 1962, ia diajak bergabung bersama Grup Joget M odern untuk ikut tampil pada pertunjukan keliling ke kota-kota seperti Padang Sidempuan kearah Sumatera Barat, yaitu Kecamatan Rao, Tapus, Panti, Pekan Baru, Dumai, Pulau Rupad, Rengat, Kecamatan Basrah, Teluk Kuantan, Hilir, Kecamatan Sungai Salak, Kecamatan Enok, Tembilahan, dan Indragiri. Pada grup joget modern ini ia masih sebagai pemain gendang. Setelah selesai melakukan pertunjukan, Grup Joget M odern kembali ke kota M edan. Sedangkan Ahmad Setia tetap tinggal di Riau dan ikut bergabung bersama rombongan grup tari penyambut kedatangan Persiden Soekarno saat itu yang berpusat di kota Rengat. Setelah itu ia sempat menetap di Riau selama beberapa tahun.

(6)

acara-acara perayaan pesta perkawinan, penyambutan orang-orang penting atau pejabat, penyambutan turis, peresmian perusahaan, dan lain sebagainya.

Tahun 1976, Ahmad Setia mulai membeli akordion dari seorang temannya. Akordion yang pertama kali di dimilikinya adalah akordion merek Satimiosofrani, 48 bass, buatan Italia. Sejak saat itu ia pun mulai menekuni profesiny a sebagai pemain akordion untuk mengiringi orkes M elayu, ronggeng M elayu, dan joget modern. Berkat ketekunannya ia pun semakin diakui tingkat kesenimannya, dan sering diajak oleh berbagai grup kesenian di Sumatera Utara, untuk tampil di luar negeri seperti Singapura, M elaka, Kedah, Kuching, Alor Setar, Pulau Pinang, Langkawi, dan Sabah. Tahun 1994, ia mendapat perhatian dari walikota M edan yang dipimpin oleh Bapak Bachtiar Jafar dan mempercayakannya untuk tampil di Ichikawa, Jepang bersama rombongan Ria Grup pimpinan Drs. Monang Butar-butar.

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap beberapa pemusik M elayu lainnya, yang ada di kota M edan atau Sumatera Utara secara lebih luas, mereka tampaknya sepakat mengakui keberadaan dari Ahmad Setia dalam memainkan alat musik M elayu terutama akordion. Bahkan ia dianggap sebagai pemusik akordion yang “paling bagus” di antara pemusik lainnya, khususnya dalam mengiringi tari serampang dua belas.

(7)

melakukan kesalahan. Selain itu ia juga memiliki keunikan yang mana dalam hal ini bisa kita lihat dari cara bagaimana ia menekan tuts akordion yaitu dengan menggunakan tangan kirinya atau menurut istilahnya biasa disebut dengan kidal. Teman-teman sepemusiknya biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Ahmad kidal (wawancara dengan M uhammad Takari, 11 November 2007).

Di antara pemusik lainnya, Ahmad Setia dianggap sebagai “ensiklopedi musik M elayu,” karena ia bisa membedakan mana musik M elayu yang benar dan mana musik yang salah. Selain itu, permainan musiknya juga sangat mirip dengan Bapak Ahmad Dahlan Siregar yaitu tokoh kesenian M elayu yang cukup dikenal sebagai pemain akordion pertama di M edan. Hal itu dapat dilihat ketika Ahmad Setia bermain akordion yang mana pada setiap akhir permainannya pada lagu serampang dua belas selalu ditutup dengan rangakian nada-nada pada tangga nada minor, sehingga memberikan kesan tempo yang semakin melambat, meskipun temponya tidak diperlambat. Hal itulah yang membuat ia mernjadi sesuatu yang kuat dan dipilih orang untuk dijadikan panutan (wawancara dengan Fadlin, 14 Agustus 2007).

(8)

Kemampuan lainnya dari Ahmad Setia adalah ia pandai menyanyi dan berpantun sambil bermain akordion. Hingga sampai sekarang ini, tawaran-tawaran dari masyarakat untuk meminta Ahmad Setia tampil masih sangat di butuhkan meskipun usianya sudah relatif tua.

Berdasarkan paparan dari latar belakang diatas, maka penulis akan mengangkat masalah kehidupan dan peranan dari Ahmad Setia yang cukup signifikan sebagai bahasan di dalam skripsi ini yang berjudul: Ahmad Setia Pemusik Melayu Sumatera Utara : Biografi dan Gaya Melodis Permainan Akordion. Penelitian dalam konteks ini akan lebih difokuskan kepada aspek biografi dan gaya permainan musiknya yang didukung dengan latar belakang kebudayaan yang melahirkan genre kesenian tradisi ini.

1. 2 Pokok Permasalahan

Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh M antle Hood dan Willi Apel (1969:298) tentang etnomusikologi, yaitu ilmu yang menggunakan suatu metode yang mempelajari musik apa pun, tidak hanya dari segi musiknya, tetapi juga melihat hubungan dengan konteks budaya, juga hubungannya dengan masyarakat. Oleh karena itu, yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah :

(9)

2. Bagaimana ciri khas gaya melodis permainan akordion Ahmad Setia yang pencakup aspek melodis sepert ; tangga nada, wilayah nada, nada dasar, jumlah nada, formula malodi, penggunaan interval, pola kadensa, kontur dan dalam mengekspresikan tangga nada lagu-lagu M elayu yang mencakup gaya cengkok, patah lagu, dan gerenek pada lagu-lagu M elayu.

1. 3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. 3. 1. Tujuan

1. Secara akademis, adalah untuk memenuhi salah satu syarat ujian sarjana seni di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

2. M endeskripsikan biografi seorang pemusik M elayu yang dianggap penting oleh masyarakat M elayu Sumatera Utara.

3. M endeskripsikan ciri khas gaya melodis permainan Akordion oleh Ahmad Setia dalam memainkan lagu-lagu M elayu.

1. 3. 2. Manfaat

(10)

2. M emperkenalkan Ahmad Setia Ahmad Setia sebagai seorang pemusik M elayu yang banyak melaksanakan pertunjukan musik, tidak hanya di Sumatera Utara, tetapi juga di luar Sumatera utara.1 3. M engetahui gaya melodis yang dimainkan Ahmad Setia pada

lagu-lagu M elayu dengan menggunakan instrumen akordion.

1. 4 Kerangka Konsep

Pada bagian kerangka konsep ini, penulis akan menerangkan kata-kata kunci (key word) pada judul tulisan, karena konsep merupakan defenisi dari apa yang diamati yaitu: akordion, M elayu, biografi, gaya dan melodis, kepada para pembaca agar mengetahui apa yang dimaksudkan oleh judul tulisan ini.

Berdasarkan terjemahan yang di kutip dari Wikipedia, The Free Encyclopedia, menyatakan bahwa akordion adalah alat musik aerofon yang di bunyikan dengan menggerakan hembusan dengan tekanan tangan. Akordion dimainkan dengan mengkompresi dan mengembangkan hembusan yang menghasilkan aliran udara melalui buluh ; keyboard atau tombol kontrol yang menerima aliran udara dari buluh dan kemudian menghasilkan nada.

Lukman Sinar Basyaryah II, mengemukakan bahwa defenisi M elayu sejak pengIslamannya di abad ke 15 M , adalah etnis secara kultural (budaya), seseorang disebut M elayu apabila ia beragama Islam, berbahasa M elayu sehari-hari dan beradat-istiadat M elayu.

(11)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2003:145), disebutkan bahwa biografi adalah riwayat hidup seseorang yang di tulis oleh orang lain. Sedangkan menurut Wikipedia Indonesia, biografi adalah kisah atau keterangan tentang kehidupan seseorang.

Gaya (style) adalah ciri-ciri struktural yang terdapat dalam berbagai bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia. Gaya dalam musik mencakup aspek-aspek seperti melodi, harmoni, ritme, tangga nada, wilayah nada, nada dasar, improvisasi. Dalam tulisan ini gaya yang dimaksud juga mengandung makna seperti yang terdapat dalam kebudayaan M elayu yaitu mencakup: gerenek, patah lagu, dan cengkok—sebagai ciri utama musik M elayu dan kemahiran seseorang pemusik atau penyanyi dalam menyajikan musik.

(12)

1. 5 Teori

Dalam pembahasan ini, penulis akan menggunakan teori-teori yang relevan dengan etnomusikologi untuk dijadikan sebagai kerangka teoritis pada tulisan mengenai biografi dan gaya permainan akordion Ahmad Setia.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan dua teori utama, masing-masing untuk mengkaji dua pokok permasalahan seperti yang telah diuraikan di atas. Adapun untuk mengkaji biografi Ahmad Setia dipergunakan teori biografi yang lazim digunakan dalam ilmu sejarah. Sedangkan untuk mengkaji gaya permainan akordion Ahmad Setia dipergunakan teori weighted scale (bobot tangga nada)—dibantu oleh sistem estetika dalam musik M elayu Sumatera Utara, yaitu mencakup : gerenek, cengkok, dan patah lagu.

1.5.1 Teori Biografi

Teori biografi dipergunakan dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang sastra misalnya melalui buku Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia (1999:3-4) dijelaskan bahwa biografi adalah suatu teori yang dip ergunakan untuk mendeskripsikan hidup pengarang atau sastrawan. Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa dalam menyusun biografi seseorang harus memuat tiga aspek yaitu:

(13)

yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepengarangannya, dan (d) kesastraannya yang menjelaskan apa yang mempengaruhi pengarang itu sehingga ia menjadi pengarang.

2. Karya-karya pengarang itu yang didaftar menurut jenisnya, baik yang berupa buku maupun yang berupa karya yang diterbitkan secara terlepas, bahkan yang masih berbentuk naskah karena kadang-kadang ada pengarang yang mempunyai naskah karyanya yang belum diterbitkan sampai ia meninggal.

3. Tanggapan para kritikus yang didaftarkan berdasarkan judul dan sumbernya dengan tujuan memberi keterangan kepada para pembaca tentang tanggapan orang kepada pengarang itu. Hal itu tegantung kepada ada atau tidak adanya orang yang menanggapi.

Karena biografi termasuk salah satu kajian dari sastra, maka teori di atas juga dapat digunakan dalam bahasan ini, dan mengganti objek bahasan yang diteliti yang mana sebelumnya membahas tentang pengarang, kemudian diubah objeknya menjadi pemusik.

(14)

Biografi menganalisis dan menerangkan kejadian-kejadian dalam hidup seseorang. M elalui biografi, akan ditemukan hubungan, keterangan arti dari tindakan tertentu atau misteri yang melingkupi hidup seseorang, serta penjelasan mengenai tindakan dan perilaku hidupnya. Biografi biasanya dapat bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal atau tidak terkenal, namun demikian, biografi tentang orang biasa akan menceritakan mengenai satu atau lebih tempat atau masa tertentu.

Biografi seringkali bercerita mengenai seorang tokoh sejarah, namun tak jarang juga tentang orang yang masih hidup. Banyak biografi ditulis secara kronologis. Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan berdasar tema-tema utama tertentu (misalnya "masa-masa awal yang susah" atau "ambisi dan pencapaian"). Walaupun demikian, beberapa hal yang lain berfokus pada topik-topik atau pencapaian tertentu.

(15)

Beberapa pertanyaan yang mungkin dapat dijadikan partimbangan misalnya: (a) apa yang membuat orang ini istimewa atau menarik; (b) dampak apa yang telah ia lakukan bagi dunia atau orang lain; (c) atau sifat apa yang mungkin akan sering peneliti gunakan untuk menggambarkan orang ini; (d) contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut; (e) kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang itu; (f) apakah ia mampu mengatasi rintangan tersebut; (g) apakah ia mengatasinya dengan mengambil resiko, atau dengan keberuntungan; (h) apakah dunia akan menjadi lebih baik atau lebih buruk jika orang ini tidak pernah hidup, bagaimana bisa, dan mengapa.

Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari perpustakaan atau internet untuk membantu anda menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas serta supaya cerita peneliti lebih menarik (terjemahan Ary (2007) dari situs: http://www.infoplease.com/homework/wsbiography.html).

Dalam tulisan ini, biografi yang penulis maksud adalah kisah riwayat hidup Ahmad Setia sebagai pemusik M elayu Sumatera Utara. Adapun bentuknya bukan berupa biografi singkat tetapi adalah biografi panjang. Adapun sejak awal penulis ingin mengemukakan secara rinci dan selengkap -lengkapnya tentang kisah kehidupan Ahmad Setia, tentu saja ditulis dalam gaya bercerita yang baik seperti yang dikemukan dalam teori biografi di atas.

(16)

biografi yang menceritakan kehidupan orang yang terkenal, yaitu Ahmad Setia yang populer di kalangan seniman, budayawan, dan rakyat awam M elayu di Sumatera Utara, Indonesia, bahkan Dunia M elayu. Di sisi lain ia adalah orang k ebanyakan dalam stratifikasi sosial rakyat biasa, tidak berdarah bangsawan. Bahkan nenek moyangnya adalah orang suku Banjar (Kalimantan) yang bermigrasi ke kawasan Sumatera Utara khususnya M edan yang kemudian dipandang dan menganggap dirinya sebagai orang M elayu. Bagaimana ini semuanya terjadi dalam diri Ahmad Setia akan penulis kaji kedalam skripsi ini. Demikian kira-kira teori biografi yang penulis pergunakan untuk menganalisis kehidupan Ahmad Setia sebagai seniman M elayu Sumatera Utara.

1.5.2 Teori Weighted Scale

Untuk mengkaji gaya permainan akordion Ahmad Setia, yang berkaitan erat dengan aplikasi estetika musik M elayu dan kreativitas individunya sekaligus, maka teori yang penulis gunakan adalah teori weighted scale. M enurut penulis teori ini relevan mengkaji melodi yang dihasilkan dalam permainan akordion yang dilakukan Ahmad Setia. Sebelum menganalisis gaya permainan itu terlebih dahulu dilakukan transkripsi, yaitu menuliskan apa yang didengar dalam bentuk visual (notasi).

(17)

Berkaitan dengan kajian terhadap analisis gaya ini, penulis menggunakan teori weighted scale dari M alm (1977:8) mengatakan bahwa ada delapan karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: (1) scale (tangga nada), (2) pitch center (nada dasar), (3) range (wilayah nada), (4) frequency of notes (jumlah nada-nada), (5) prevalents intervals (interval yang dipakai), (6) cadence patterns (pola-pola kadensa), (7) melodic formulas (formula-formula melodis), dan (8) contour (kontur).

Dalam rangka mengkaji gaya permainan akordion Ahmad Setia ini, selain menggunakan teori weighted scale, penulis juga menggunakan teori etnosains, terutama untuk mendeskripsikan gaya melodi musik M elayu Sumatera Utara, yang terangkum dalam konsep estetika: gerenek, cengkok, dan patah lagu. Teori etnosains adalah teori yang mengaplikasikan pandangan dan konsep -konsep masyarakat pendukung kebudayaan yang diselidiki. Pada prinsipnya teori ini mencoba merumuskan aturan-aturan mengenai pola pikir yang mungkin melatarbelakangi suatu kebudayaan, meskipunpun aturan-aturan itu hanya dikemukakan secara intuisi. Dengan demikian aturan-aturan itu akan dirumuskan berdasarkan analisis logis terhadap data-data etnografis, dan kemungkinan bahwa analisis itu diwarnai penilaian sepihak dari peneliti sejauh mungkin dihindari (Ihromi 1981:67). Dalam penelitian ini teori etnosains diaplikasikan untuk menganalisis bagaimana sistem estetika musik M elayu, dan bagaimana terapannya dalam permainan akordion.

(18)

sebutkan satu per satu, langsung saja diterapkan dalam kajian. Yang penting pendekatan yang digunakan adalah melalui multidisiplin dan interdisiplin ilmu.

1. 6. Metode Penelitian

Di dalam menyimpulkan data yang berhubungan dengan Ahmad Setia ini penulis melakukan penelitian lapangan, yang mana penelitian ini akan dipaparkan ke dalam beberapa tahapan.

1.6.1 Metode Penelitian Kulitatif

Ada dua pengartian metode yang menjadi rujukan dalam penelitian ini, yaitu metode dan teknis. M etode penelitian lapangan mempunyai arti dan cakupan yang lebih luas, meliputi dasar-dasar teoritis yang menjadi asas bagi teknik penelitian lapangan. Teknis menunjukkan pemecahan masalah pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan juga berbagai pemecahan masalah sebagai kerangka kerja dalam penelitian lapangan.

M etode penelitian yang digunakan untuk mengkaji biografi dan gaya permainan akordion Ahmad Setia dalam konteks ini adalah metode kualitatif. Teknik penyajian dalam bentuk tulisan adalah deskriptif analitis. Dengan menggunakan metode ini hasil penelitian akan dideskripsikan dan dianalisis.

Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit mengenai penelitian kualitatif ini adalah seperti berikut ini.

(19)

the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ... Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disciplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumptions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln 1995:1).

M enurutnya penelitian kualitatif telah lama berkembang dalam sejarah ilmu pengetahuan dalam peradaban manusia. Dalam disiplin sosiologi metode ini didirikan dalam aliran Chicago dalam dasawarsa 1920-an dan 1930-an, yang dipergunakan untuk mengkaji kehidupan kelompok-kelompok manusia. Dalam disiplin antropologi pula, dalam periode yang sama pendekatan ini digunakan untuk mengkaji adat-istiadat dan kelompok manusia yang berbeda.

Lebih jauh lagi kedudukan penelitian kualitatif ini dan hubungannya secara keilmuan dan politik dijelaskan oleh Nelson dan Grossberg seperti dalam kalimat-kalimat berikut ini.

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciencies. Qualitative research in many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political position (Nelson dan Grossberg 1992:4).

(20)

berbagai metode pendekatan. Selalu mempercayakan kepada pendekatan alamiah (apa adanya), dan menginterpretasi pengalaman manusia. Pendekatan ini tergabung dengan politik dan dibentuk oleh berbagai etika dan posisi politis.

Dalam konteks penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengkaji keberadaan hidup dan kehidupan Ahmad Setia menurut perspektif berbagai disiplin seperti: sejarah (biografi), kesenimanan, gaya permainan, pandangan sosiobudaya masyarakat, dan lainnya.

Namun demikian, penelitian ini juga melibatkan data-data yang bersifat kuantitatif, dengan melihat kepada pernyataan S. Nasution bahwa setiap penelitian (kuantitatif atau kualitatif) harus dir encanakan. Untuk itu diperlukan desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis dengan tujuan penelitian itu. Dalam desain antara lain harus dipikirkan: (a) populasi sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d) prosedur pengumpulan data, (e) cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya menggunakan statistik, (g) cara mengambil kesimpulan dan sebagainya (S. Nasution 1982:31).

1. 6. 1 Pemilihan Lokasi Penelitian

(21)

ini penulis mengangkat peran informan tersebut sebagai informan kunci (key informant).

Setelah mendapatkan informasi tersebut, kemudian penulis melanjutkan penelitiannya dengan menghubungi objek yang diteliti melalui media telepon, dan ternyata dalam beberapa hari kedepannya, Ahmad Setia akan tampil pada resepsi pernikahan Rini Sinaga dan Andi Sirait yang diselenggarakan dengan adat M elayu yaitu pada hari sabtu, 14 April 2007, pukul 09.15 wib di Kompleks Johor Katelia nomor 173 Johor Indah M edan. Dikarenakan oleh Ahmad Setia yang berperan sebagai informan pokok bertempat tinggal di Jalan Sutrisno Gang Cempaka Nomor 29 M edan, maka penulis memilih kota M edan sebagai lokasi penelitian, Khususnya pada pertunjukan dalam konteks kebudayaan M elayu. Namun demikian, sebenarnya Ahmad Setia bukan saja mewakili seniman M elayu M edan, tetapi juga Sumatera Utara dan Dunia M elayu.

1. 6. 2 S tudi Kepustakaan

(22)

1. 6. 3 Penelitian Lapangan

Penulis memulai penelitian pada hari Sabtu, 14 April 2007, di Kompleks Johor Katelia, Nomor 173, Johor Indah, Kota M edan. Pada saat itu Ahmad Setia sedang turut sebagai pemain akordian bersama teman-teman pemusiknya pada suatu acara resepsi pernikahan Rini Sinaga dan Andi Sirait yang diselenggarakan dengan adat M elayu, tepatnya pada pukul 09.15 wib. Sebelum Ahmad Setia tampil, penulis menyempatkan diri untuk melakukan wawancara guna mendapatkan informasi. Dari wawancara tersebut, penulis mulai mendapatkan informasi mengenai latar belakang keluarganya, pendidikannya, pekerjaannya, maupun perjalanannya dalam mengembangkan kesenian M elayu, khususnya perjalanan musikny a, sebagai pemusik akordion. Tetapi penelitian tidak terhenti sampai di situ saja, tetapi peneliti tetap meneruskan pencarian data ke tempat tinggal Ahmad Setia yaitu di Jalan Sutrisno Gang Cempaka Nomor 29 M edan secara berulang-ulang.

(23)

1. 6. 4 Wawancara

Untuk menyimpulkan informasi tentang Ahmad Setia ini, penulis menggunakan metode wawancara terancana (Koentjaraningrat,1983:174). M etode ini mengarahkan peneliti bahwa sebelum melakukan wawancara, penulis terlebih dahulu menyusun daftar pertanyaan (interview guide) sebagai pedoman untuk melakukan wawancara. Akan tetapi, setiap pertanyaan dari wawancara tersebut akan dikembangkan lagi dan tidak hanya terbatas pada pertanyaan yang telah disusun.

1. 6. 5 Rekaman

Untuk merekam wawancara, penulis menggunakan Tape Recorder Sony TCM -150. Kaset yang digunakan adalah Sony ZX C-60, yang digunakan untuk kepentingan tulisan pada tanggal 14 April 2007. dan pada penelitian selajutnya penulis juga menggunakan Tape Recorder Aiwa TP-VS450, dan kaset yang digunakan adalah M axell IEC-60. Di samping itu penulis juga menggunakan catatan-catatan untuk mencatat hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan Ahmad Setia, seperti perjalanan karirnya yang telah berhasil dicapai beliau hingga sampai ke luar negeri.

1. 6. 6 Kerja Laboratorium

(24)

masalah yang penulis bahas. Jika masih ada data yang dirasa kurang lengkap, maka penulis akan kembali ke lokasi penelitian menemui narasumber guna melengkapi materi pembahasan melalui saran-saran dari dosen pembimbing penulis. Data-data yang penulis dapatkan dilapangan dibagi ke dalam dua bahagian media yaitu data yang direkam dan data yang ditulis.

(25)

BAB II

GAMBARAN UMUM

SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT MELAYU

SUMATERA UTARA

Ahmad Setia adalah seorang seniman M elayu, khususnya ahli di dalam memainkan alat musik akordion. Selain itu ia juga dapat bermain gendang M elayu, gong, menari, menyanyi, berpantun dan juga membuat alat musik gendang. Ahmad Setia bukan hanya milik masyarakat M elayu M edan, tetapi ia juga milik masyarakat M elayu Sumatera Utara, dan lebih jauh lagi Dunia M elayu. Dalam konsep masyarakat M elayu dikenal Dunia M elayu, maka alangkah baiknya dideskripsikan lebih dahulu Dunia M elayu ini sebagai wilayah budaya yang luas yang juga merasa memiliki Ahmad Setia.

2.1 Dunia Melayu

(26)

terkahir muncul istilah Dunia M elayu atau Alam M elayu serta Dunia M elayu Dunia Islam, terutama yang digagas para pakar kebudayaan dan ahli politik dari Negeri M elaka, M alaysia.

M enurut Islamil Hussein (1994) kata M elayu merupakan istilah yang meluas dan agak kabur. Istilah ini maknanya mencakup suku bangsa serumpun di Nusantara yang pada zaman dahulu dikenal oleh orang-orang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa dalam perdagangan dan perniagaan. M asyarakat M elayu adalah orang-orang yang terkenal dan mahir dalam ilmu pelayaran dan turut terlibat dalam aktivitas perdagangan dan pertukaran barang dagangan dan kesenian dari berbagai wilayah dunia.

(27)

Kelompok ras M elayu dapat digolongkan kepada kumpulan M elayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepuluan M elayu, Polinesia dan M adagaskar. Gathercole (1983) seorang pakar antropologi Inggris telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik dan etnologi, yang menunjukkan bahwa bangsa M elayu-Polinesia ialah golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan Samudera Pasifik dan Hindia. Ia menggambarkan bahwa ras M elayu-Polinesia sebagai kelompok penjajah yang dominan pada zaman dahulu, yang meliputi kawasan yang luas di sebelah barat hingga ke M adagaskar, di sebelah timur hingga ke Kepulauan Easter, di sebelah utara hingga ke Hawaii dan di sebelah selatan hingga ke Selandia Baru.

(28)

Untuk menentukan kawasan kebudayaan M elayu dua perkara menjadi kriteria penjelasan, yaitu kawasan dan bahasa. Dari segi kawasan, Dunia M elayu tidak terbatas kepada Asia Tenggara saja, namun meliputi kawasan di sebelah barat mencakup Lautan Hindia ke M alagasi dan pantai timur benua Afrika; di sebelah timur mencakup Gugusan Kepulauan M elayu-M ikronesia dan Paskah di Lautan Pasifik, kira-kira 103,6 kilometer dari Amerika Selatan; di sebelah selatan meliputi Selandia Baru; dan di sebelah utara melingkupi kepulauan Taiwan dan Hokkaido, Jepang (Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu 1994). Dari sudut bahasa, M elayu memiliki ciri-ciri persamaan dengan rumpun keluarga bahasa M elayu-Austronesia (menurut istilah arkeologi) atau keluarga M elayu-Polinesia (menurut istilah linguisik) (Haziyah Husein 2006:6).

Demikian pula keberadaan masyarakat M elayu di Sumatera Utara, mereka menyadari bahwa mereka adalah berada di negara Indonesia, menjadi bagian dari pada Dunia M elayu, dan merasa saling memiliki kebudayaan M elayu. M ereka merasa bersaudara secara etnik dengan masyarakat M elayu di berbagai tempat seperti yang disebutkan sebelumnya. Secara budaya, persamaan bahasa dan kawasan, memiliki alur budaya yang sama, namun tetap memiliki varian-varian yang menjadi ciri khas atau identitas setiap kawasan budaya M elayu.

(29)

yang memiliki hubungan kebudayaan dengan etnik M elayu yang ada di Sumatera Utara.

2.2 Etnik Melayu di S umatera Utara

2.2.1 Definisi Etnik

Lagu M elayu yang dihasilkan dari permainan akordion Ahmad Setia adalah cerminan dari identitas etnik M elayu. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, di dalam seni persembahan M elayu terdapat unsur heterogenitas budaya, akulturasi, fungsi pada segenap strata sosial (awam dan bangsawan), dan lain-lain. Keberadaan seni M elayu ini didasari oleh identitas etnik M elayu. Untuk dapat memahami siapakah orang M elayu, yang menjadi pendukung seni ronggeng M elayu, maka sebelumnya dijelaskan pengertian kelompok etnik (ethnic group). Naroll (1965) memberikan pengertian kelompok etnik sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Naroll 1965:32).

(30)

disiplin; wilayah budaya; masalah-masalah pembauran (integrasi), disintegrasi, kepribadian, perkawinan, kekerabatan, sistem garis keturunan, religi, dan sejumlah faktor sosial lainnya.

Kelompok etnik (suku bangsa) merupakan golongan sosial yang dibedakan dari golongan-golongan sosial lainnya, karena mempunyai ciri-ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal-usul, tempat, serta budayanya. Kelompok etnik adalah segolongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitasnya yang diperkuat oleh kesamaan bahasa. Kesamaan dalam kesenian, adat-istiadat, dan nenek moyang merupakan ciri-ciri sebuah kelompok etnik. Jika ras lebih dilihat dari sudut perbedaan fisik, maka etnik lebih dilihat dari perbedaan kebudayaan dalam arti yang luas. Suatu ras dapat terdiri dari berbagai macam kelompok etnik yang berbeda.

(31)

proses setiap individu di dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban yang berbeda dengan orang lain di dalam masyarakat, atas dasar perbedaan-perbedaan sosial (Takari, 1997). Demikian pula yang terjadi dalam kebudayaan M elayu.

2.2.2 Pengertian Melayu Sebagai Kelompok Etnik

Sampai sekarang ini, definisi M elayu kiranya belum disepakati oleh para ilmuwan, karena pengertian M elayu itu maknanya dapat berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Untuk dapat memahami pengertian M elayu sebagai kelompok etnik, biasanya selalu ditelusuri melalui munculny a istilah M elayu, yaitu sebuah kerajaan di daerah Jambi, dan yang ada pada masa Kerajaan Sriwijaya.

2.2.2.1 Asal-Usul Istilah Melayu pada Kerajaan Melayu di Jambi

(32)

685 dia singgah di Kerajaan M elayu, yang sudah ditaklukkan oleh Sriwijaya (tahun 645-685 M ). M enurut I-Tsing, pelayaran dari Sriwijaya ke M elayu memerlukan waktu lima belas hari (Luckman Sinar 1994:2).

M enurut Casparis, Kerajaan M elayu ditaklukkan Sriwijaya sebelum tahun 688, sesuai dengan prasasti di Karang Berahi di tepi Sungai M erangin, yaitu cabang Sungai Batang Hari, di Hulu Sungai Jambi. Pada masa akhir abad ke-11 sampai tahun 1400, Kerajaan M elayu pulih kembali. Kerajaan M elayu bekerjasama dengan Kerajaan Singosari dari Jawa, yang mengirimkan pasukan dalam jumlah besar, untuk menghancurkan Sriwijaya. Peristiwa itu terkenal dengan ekspedisi Pamalayu, terjadi tahun 1275 serta dikirimnya arca Amoghapasa Lokeswara tahun 1286 di Padang Roco, yang membuat rakyat Kerajaan M elayu gembira, terlebih lagi rajanya Srimat Tribhuwanaraja M auliwarmadewa. Selanjutnya tahun 1347 di belakang arca itu kemudian ditulis prasasti Raja Adityawarman, raja M elayu Damasraya, penerus Kerajaan M elayu ini. Kerajaan M elayu dan Sriwijaya menggunakan bahasa dan aksara M elayu kuna (Luckman Sinar 1994:3).

Pada abad ke-12 sampai ke-14, Jambi merupakan salah satu dari tiga bandar penting di Pesisir Timur Sumatera, yaitu: (1) Jambi, (2) Palembang di sebelah selatan, dan (3) Kota China di Kerajaan Haru/Deli tepatnya di Labuhan Deli sebelah utara (Hasan M . Hambari 1980:51-63).

(33)

dapat dijangkau dengan naik sampan, dengan alasan kemananan, tetapi kerajaan ini mengawasi sumber tambang emas dari daerah pedalaman Sumatera Barat. M eskipun kemudian Kerajaan M elayu yang berpusat di hulu Sungai Jambi itu di masa Raja Adityawarman (1347) dipindahkan ke wilayah Saruaso M inangkabau, dia tidak pernah menyebut kerajaan ini dengan Kerajaan M inangkabau, tetapi menyebutnya sebagai Kanakamedininindra Suwarnabhumi (Penguasa Negeri Emas), yang dahulunya dikuasai Kerajaan M elayu dan Sriwijaya (Luckman Sinar 1994:3).

R.C. Rajumdar mengatakan bahwa ada satu suku di India yang bernama M alaya, yang disebut orang Yunani sebagai M alloi. Selain itu ada gunung M alaya yang menjadi sumber kayu sandal, yang di dalam kitab Purana disebut sebagai salah satu dari tujuh batas (kulaparvatas) pegunungan di India. Banyak lagi nama-nama tempat di Asia Tenggara dan Nusantara yang nama-namanya berasal dari India. Ada legenda pada orang M elayu M inangkabau bahwa leluhur mereka berasal dari India, yaitu Sang Sapurba yang turun dari Bukit Siguntang M ahameru bersama dua saudaranya yang lain (Luckman Sinar 1994:6).

(34)

budaya M elayu, termasuk agama Islam awalnya ke pesisir timur Sumatera. Kemudian Kalimantan, dan ke seluruh Semenanjung Tanah M elayu sampai Patani di Thailand sebelah selatan

2.2.2.2 Pengertian Melayu sebagai Ras, Budaya, dan Orang yang Beragama Islam

Istilah M elayu biasanya dipergunakan untuk mengidentifikasi semua orang dalam rumpun Austronesia yang meliputi wilayah Semenanjung M alaya, kepulauan Nusantara, kepulauan Filipina, dan Pulau-pulau di Lautan Pasifik Selatan. Dalam pengertian umum, orang M elayu adalah mereka yang dapat dikelompokkan pada ras M elayu. Dengan demikian, istilah M elayu sebagai ras ini mencakup orang-orang yang merupakan campuran dari berbagai suku di kawasan Nusantara.

Ras M elayu yang sudah memeluk agama Islam pada abad ke-13, identitas budayanya selalu dipandang berbeda dengan masyarakat ras Proto-M elayu pedalaman, yaitu orang Batak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, yang masih menganut kepercayaan mereka sendiri; baik oleh mer eka sendiri maupun orang luar. Namun demikian, di sisi lain terjadi adaptasi/asimilasi orang Batak dengan orang M elayu jika masuk agama Islam.

Ada perbedaan mengenai pengertian M elayu ini di Indonesia, M alaysia, dan Singapura, seperti yang dikemukakan oleh Vivienne Wee :

(35)

respective governments. The Singapore government regards 'M alay' as a 'race', a genetically engendered category in the state-imposed system of ethnicity. ... In Singapore, a Christian Englishspeaking 'M alay' is still legally considered 'M alays'. Indeed there is apparently a sufficientnumber of Christian 'M alays', that they are considering setting up a M alay Christian Association. ...

In M alaysia, however, 'M alayness' is constitutionally tied to Islam, such that a 'M alay' convert to Christianity would no longer the legally considered 'M alay'. This was stated to me categorically by Anwar Ibrahim, a M inister in the M alaysian Cabinet. But not all M alaysian M uslims qualify as 'M alays': the constitutional category 'M alay' includes only M uslims who speak M alay, conform to M alay custom, and who were borm in M alaysia or born of M alaysia parents.

In contrast to the governments of Singapore and M alaysia, the Indonesian government evidently has no interest in giving a legal definition of 'M alayness'. In Indonesia, 'M alay' or M elayuis just one label in the loose array of regional identities that people may profess. In other words, from the Indonesian governement's point of view, anyone who wants to identify herself/himself as M elayu may do so; conversely, if she/he does not want to do so, then she/he may choose practically any other regional identity. The Indonesian government's laissez-faire attitude towards the ethnic labelling of the population is evident in the identity cards issued to all citizens. Whereas the identity cards issued by the Singapore and M alaysia governments stipulate the respective ethnic labels of their citizens, the Indonesian identity card does not include any ethnic labelling. So in Indonesia, 'M alayness' is a matter of subjective-identification, rather than objective category belonging to legally imposed set (Vivienne Wee 1985:7-8).

(36)

kenyataannya terdapat sejumlah kecil orang M elayu Kristen, dan mereka dipandang sebagai suatu Asosiasi Kristen M elayu di Singapura.

Di M alaysia, M elayu secara konstitusional diikat identitasnya dengan agama Islam, dan jika seorang M elayu menjadi Kristen, dia tidak dipandang lagi sebagai M elayu. Namun demikian, tidak semua orang Islam M alaysia dipandang sebagai M elayu: konstitusi M alaysia menyatakan bahwa orang M elayu itu hanyalah orang Islam yang berbahasa M elayu, mengikuti adat-istiadat M elayu, lahir di M alaysia, atau lahir dari orang tuanya yang berkebangsaan M alaysia.

Berbeda dengan pemerintah Singapura dan M alaysia, pemerintah Indonesia, tidak begitu berminat memberikan definisi secara legal terhadap M elayu. Di Indonesia, M elayu adalah satu istilah yang mengandung makna identitas regional berdasarkan pengakuan penduduknya. Dengan kata lain, dalam pandangan pemerintah Indonesia, seseorang dapat saja menyatakan dirinya sendiri sebagai atau bukan sebagai orang M elayu, dan dia boleh saja memilih identitas regional. Pemerintah Indonesia tidak mencantumkan label etnik dalam kartu tanda penduduk bagi seluruh warga negaranya. Pemerintah Singapura dan M alaysia mencantumkan label etnik ini. M enurut Wee, pengertian M elayu di Indonesia bersifat subyektif.

(37)

M alayan; M alay; (occasionally) M oslem, e.g. masok M elayu (to turn M ohammedan). In early times the word did not cover the whole M alay word; and even Abdullah draws a distinction between anak M elaka M elaka native] and Orang M elayu (Hikayat Abdullah separate entities. Rouffaer identifies M elayu with Jambi (Wilkinson 1959:755).

M enurut Wilkinson seperti dikutip di atas, seorang M elayu adalah beragama Islam. M isalnya masuk M elayu berarti masuk Islam. Pada zaman dahulu, kata M elayu tidak mencakup keseluruhan Dunia M elayu (Alam M elayu1)2 yang Sriwijaya menguasai negeri M oloyu. M asyarakat M inangkabau mempunyai sebuah suku yang disebut M elayu. Rajendra Coladewa (1012 sampai 1042) yang menaklukkan M elayu dan Sriwijaya sebagai dua negeri yang terpisah.

2

(38)

rekaman sejarah di Thailand menyatakan bahwa M elaka dan M elayu adalah sebuah entitas (komunitas) yang terpisah. Rouffaer mengidentifikasikan M elayu dengan Jambi.

Ketika orang-orang Portugis dan orang-orang Barat lainnya (Inggris, Belanda) datang ke kawasan ini, maka mereka mengenal orang M elayu yang dikaitkan erat dengan agama Islam. Oleh karena bahasa M elayu sudah menjadi bahasa pengantar (lingua franca) di kawasan Nusantara dan sebagian besar mereka beragama Islam, maka orang-orang Barat ini memandang secara umum semua penghuni Nusantara in i sebagai orang M elayu, walaupun dalam kenyataannya masyarakat di Nusantara terdiri dari berbagai etnik dan menggunakan bahasa daerahnya masing-masing pula.

Dalam kebudayaan M elayu, garis keturunan ditentukan berdasarkan pada garis keturunan bilateral, yaitu garis keturunan dari pihak ayah ataupun ibu, namun dengan masuknya agama Islam dalam kehidupan etnik M elayu yang dijadikan pandangan hidupnya, maka garis keturunan cenderung ke arah garis keturunan patriachart atau patrilineal, yaitu berdasarkan kepada pihak ayah.

(39)

M enurut Zein, yang dimaksud dengan M elayu adalah bangsa yang menduduki sebagian besar pulau Sumatera serta pulau-pulau Riau-Lingga, Bangka, Belitung, Semenanjung M elaka, dan Pantai Laut Kalimantan. Banyak orang menyangka bahwa nama M elayu itu artinya lari, yang berasal dari bahasa Jawa yaitu lari dari bangsa sendiri dan menganut agama Islam. Namun nyatanya nama M elayu sudah lama terpakai sebelum agama Islam datang ke Nusantara ini. Jadi menurut Zein pernyataan di atas adalah salah. M enurutnya, istilah M elayu itu adalah kependekan dari M alayapura, yang artinya adalah kota di atas bukit M elayu, kemudian dipendekkan menjadi M alaipur, kemudian menjadi M alaiur, dan akhirnya menjadi M elayu (Zein 1957:89).

2.2.2.3 Etnik Melayu Terbentuk dari Proses Campuran Antara Ras Melayu

(40)

berdasarkan falsafah hidupnya, terdiri dari lima dasar : Islam, beradat, berbudaya, berturai, dan berilmu (Lah Husni 1975:100). Berturai maksudnya adalah mempunyai susunan-susunan sosial, dan berusaha menjaga integrasi dalam perbedaan-perbedaan di antara individu.

Ketika seorang pejabat pemerintah Inggris, yang bernama John Anderson berkunjung ke Sumatera Timur pada tahun 1823, dia menjelaskan bahwa pemukiman orang M elayu merupakan jalur yang sempit terbentang di sepanjang pantai. Penghuni-penghuni di Sumatera Timur tersebut, diperkirakan sebagai keturunan para migran dari berbagai daerah kebudayaan, seperti: Semenanjung M elaka, Jambi, Palembang, Jawa, M inangkabau, dan Bugis, yang telah menetap dan bercampur baur di daerah setempat (Pelzer 1985:18-19).

Percampuran dan adaptasi M elayu dalam pengertian sebagai kelompok etnik dengan kelompok etnik lain, terjadi di sepanjang pantai pulau Sumatera, Semenanjung M alaysia, dan pesisir Kalimantan, contohnya: (1) orang M elayu di Tamiang bercampur dengan orang Aceh, (2) orang M elayu di Siak bercampur dengan M inangkabau, (3) orang M elayu di Kepulauan Riau banyak yang berasal dari Bugis, dan (4) orang M elayu di Tapanuli Tengah bercampur dengan M inangkabau, orang Batak Toba, dan M andailing Angkola.

(41)

maka masyarakat M elayu itu dapat difahami sebagai suatu percampuran yang terdiri dari berbagai unsur yang asal-usulnya berbeda-beda dan terbentuk dengan terus-menerus menerima unsur-unsur luar. Dalam arti wilayah, budaya yang didiami orang M elayu adalah mereka yang mendiami daerah pesisir dan daerah sepanjang sungai bagian hilir. M ereka hidup di daerah maritim dan kelangsungan hidupnya sangat erat berkaitan dengan lingkungan alam di laut ataupun pesisir. Sering mengadakan perpindahan untuk mencari nafkah dan bandar sebagai pusat kegiatan mereka. Perpindahan mereka sebenarnya tidak dibatasi oleh wilayah kekuasaan suatu penguasa atau batas administrasi negara yang berasal dari penjajahan yang kini memisahkan orang M elayu dengan berbagai konsep kenegaraan.

2.2.2.4 Sifat-sifat dan Adat Resam

Sifat-sifat orang yang dikategorikan dalam M elayu sering dibicarakan dalam berbagai kesempatan, yaitu mereka yang tingkah lakunya lemah lembut, ramah-tamah, mengutamakan sopan-santun, menghormati tamu-tamu. Ini semua tidak mengherankan jika dikaitkan dengan adanya pengaruh-pengaruh dari luar dan sejumlah pendatang yang mengunjungi daerah pesisir yang dihuni mereka. Kepentingan dagang menghendaki orang M elayu menciptakan suasana penegakan orde dan hukum. M ereka pemberani, perajin, dan mementingkan keharmonisan dalam melaksanakan mata pencaharian mereka. Kesemuanya itu tidak bertentangan dengan agama Islam yang mereka anut (Luckman Sinar 1985:3).

(42)

orang M elayu itu "unggul" dalam bahasa, adat-istiadat, dan sistem pemerintahan. Kelemahan orang M elayu adalah suka mencampurbaurkan bahasa, misalnya: "I telefon you nanti." Selain itu, kelemahan orang M elayu adalah kurang menghargai budaya lama, "pemalas" dan kurangnya sifat ingin tahu (M etzger 1994:158-175).

Hal mendasar yang dijadikan identitas etnik M elayu adalah adat resam, termasuk aplikasinya dalam lagu dan tari. Dalam bahasa Arab, adat berarti kebiasaan, lembaga, peraturan, atau hukum. Sedangkan dalam bahasa M elayu dapat dipadankan dengan kata resam. Resam adalah jenis tumbuhan pakis besar, tangkai daunnya biasanya dipergunakan untuk kalam, alat tulis untuk menulis huruf-huruf Arab. Arti lain kata resam adalah adat. Jadi dalam bahasa M elayu yang sekarang ini, adat dan resam sudah digabung menjadi satu yaitu adat resam.

M enurut Lah Husni, adat pada etnik M elayu tercakup dalam empat ragam, yaitu: (1) adat yang sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; (3) adat yang teradat, dan (4) adat istiadat.

(1) Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan, jika dikurangi akan merusak, jika dilebihi akan mubazir (sia-sia). Proses ini berdasarkan kepada: (a) hati nurani manusia budiman, yang tercermin dalam ajaran adat : Pisang emas bawa belayar; Masak sebiji di dalam peti; Hutang emas dapat dibayar;

(43)

tak mungkin berkicau. Adat sebenar adat ini menurut konsep etnosains M elayu adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, yang besar dibesarkan, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, yang sakit diobati, yang bodoh diajari, yang benar diberi hak, yang kuat tidak melanda, yang tinggi tidak menghimpit, yang pintar tidak menipu, hidup berpatutan, makan berpadanan. Jadi ringkasnya, hidup itu seharusnya harmonis, baik mencakup diri sendiri, seluruh negara, dan lingkungan hidupnya. Tak ada hidup yang bernafsi-nafsi. Inilah adat yang tak boleh berubah (Lah Husni 1986:51).

Adat yang sebenarnya adat adalah adat yang tidak lekang karena hujan, tidak lapuk karena panas atau yang di sebut dengan adat pokok karena tidak dapat di ubah atau dihilangkan. Dalam adat terkandung ajaran atau norma-norma masyarakat M elayu dalam mengahadapi arus perkembangan zaman. Selain itu berhubungan langsung dengan kehidupan antar keluarga, masyarakat, serta tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Apabila ditinggalkan atau diubah maka seseorang itu dianggap sebagai orang yang memiliki budi pekerti dan hidup dalam tatanan hidup rimba sehingga dapat disamakan dengan kehidupan hewan atau binatang.

(44)

lain belalangnya. Perbedaan keadaan, tempat, dan kemajuan sesuatu negeri itu membawa resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, yang diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam lahirnya saja, tidak dalam hakikinya. Adat yang diadatkan ini adalah sesuatu yang telah diterima untuk menjadi kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran yang patut dan benar, yang dapat dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar dari adat yang diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, terapung tidak hanyut, terendam tidak basah (Lah Husni 1986:62).

(3) Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsur-angsur atau cepat menjadi adat. Sesuai dengan patah: sekali air bah, sekali tepian berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. walaupun terjadi perubahan adat itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turun-naik, adat api panas, dalam gerak berseimbangan, antara akhlak dan pengetahuan. Perubahan itu hanya terjadi dalam bentuk ragam, bukan dalam hakiki dan tujuan semula. Umpamanya jika dulu orang memakai tengkuluk atau ikat kepala dalam suatu perhelatan atau upacara adat, kemudian sekarang memakai kupiah itu menjadi pakaian yang teradat. Jika dulu berjalan berkeris atau disertai pengiring, sekarang tidak. Jika dulu warna kuning hanya raja yang boleh memakainya, sekarang siapaun boleh memakainya (Lah Husni 1986:62).

(45)

merisik (menanyakan keadaan si calon pengantin, apakah baik atau tidak baik), melainkan langsung ke acara peminangan karena permufakatan sebelumnya.

(4) Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai kebiasaan, yang lebih banyak diartikan dan tertuju kepada upacara khusus seperti adat: perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman raja. Jika hanya adat saja, maka kecenderungan pengertiannya adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum ulayat, hak azasi, dan lainnya

Adat-istiadat adalah adat yang boleh di pakai, boleh tidak. Tergantung dari kondisi dan situasi. M isalnya saja dalam menanam padi, dahulu selalu diadakan upacara tolak bala sebelum padi ditanam. Namun bagi yang tidak ingin mengadakan upacara tersebut, maka tidak ada larangan.

2.2.2.5 Tingkatan Kebangsawanan Melayu

(46)

adalah dari Allah, kemudian berturut-turut ke negara, raja, pimpinan, rakyat, keluarga dan keturunannya.

Dalam kebudayaan M elayu, tingkatan golongan bangsawan itu adalah sebagai berikut:

(a) Tengku (di Riau disebut juga Tengku Syaid) adalah pemimpin atau guru baik dalam agama, akhlak, maupun adat-istiadat. M enurut penjelasan Tengku Liza Nelita (wawancara 17 M aret 2007) istilah Tengku pada budaya M elayu Sumatera Timur, secara resmi diambil dari Kerajaan Siak pada tahun 1857. Dalam konteks kebangsawanan, seseorang dapat memakai gelar Tengku apabila ayahnya bergelar Tengku dan ibunya juga bergelar Tengku. Atau ayahnya bergelar Tengku dan ibunya bukan Tengku. Jadi gelar Tengku secara genealogis diwariskan berdasarkan hubungan darah secara patrilineal.

(b) Syaid, adalah golongan orang-orang keturunan Arab dan dianggap sebagai utusan dari Nabi M uhammad. Gelar ini terdapat di Riau dan Semenanjung M alaysia.

(47)

II, seperti yang termaktub dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, jika seorang wanita M elayu bergelar Tengku nikah dengan seorang bangsawan yang bergelar Raden dari Tanah Jawa atau seorang bangsawan yang bergelar Sutan dari M inangkabau (Kerajaan Pagaruyung), maka anak-anak yang diperoleh dari perkawinan ini berhak memakai gelar raja.

(d) Wan. Jika seorang wanita M elay u bergelar Tengku kawin dengan seorang yang bukan Tengku, dengan seseorang dari golongan bangsawan lain atau masyarakat awam, maka anak-anaknya berhak memakai gelar wan. Anak lelaki keturunan mereka seterusnya dapat memakai gelar ini, sedangkan yang wanita tergantung dengan siapa dia menikah. Jika martabat suaminya lebih rendah dari wan, maka gelar ini berubah untuk anaknya, mengikuti gelar suaminya, dan hilang jika kawin dengan orang kebanyakan.

(e) Datuk. Terminologi kebangsawanan datuk ini, awalnya berasal dari Kesultanan Aceh, baik langsung ataupun melalui perantaraan Wakil Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan otonomi yang dibatasi oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatuan atau kejeruan. Anak-anak lelaki dari datuk dapat menyandang gelar datuk pula. Sultan atau raja dapat pula memberikan gelar datuk kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaan dan bangsanya. Di M alaysia gelar datuk diperolehi oleh orang-orang yang dianggap berjasa dalam pengembangan budaya M alaysia. Kemudian tingkatan datuk lainnya adalah datuk seri.

(48)

masyarakat Bugis banyak yang menetap di kawasan M elayu dan menjadi bagian dari etnik M elayu setempat.

(g) Kaja. Gelar ini dipergunakan oleh anak-anak wanita seorang datuk.

(h) Encik dan Tuan adalah sebuah terminologi untuk memberikan penghormatan kepada seseorang, lelaki atau wanita, yang mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu dalam berbagai bidang sosial dan budaya seperti: kesenian, dagang, bahasa, agama, dan lainnya. Panggilan itu bisa diucapkan oleh sultan, raja, bangsawan, atau masyarakat kebanyakan.3

Sesuai dengan peralihan zaman, maka penggolongan kebangsawanan ini tidak lagi dominan dan memberi pengaruh yang luas dalam konteks sosial budaya etnik M elayu di Sumatera Utara, walaupun biasanya golongan bangsawan tetap mempergunakan gelarnya. Kini yang menjadi orientasi kehidupan sebagian besar etnik M elayu adalah menyerap ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan didasari oleh adat-istiadat M elayu.

2.2.2.6 Sistem Kekerabatan

Dalam kebudayaan M elayu sistem kekerabatan berdasarkan dari pihak ayah maupun ibu, dan masing-masing anak wanita atau pria mendapat hak hukum adat yang sama. Dengan demikian hal ini termasuk ke dalam sistem parental atau bilateral.

3

(49)

Pembagian harta pusaka berdasarkan kepada hukum Islam (syara'), yang terlebih dahulu mengatur pembagian yang adil terhadap hak syarikat, yaitu harta yang diperoleh bersama dalam sebuah pernikahan suami-istri. Hak syarikat ini tidak mengenal harta bawaan dari masing-masing pihak. Harta syarikat dilandaskan pada pengertian saham yang sama diberikan dalam usaha hidup, yang artinya mencakup: (1) suami berusaha dan mencari rezeki di luar rumah; (2) istri berusaha mengurus rumah tangga, membela, dan mendidik anak-anak. Hak masing-masing adalah 50 %, separuh dari harta pencaharian. Hukum ini dalam budaya M elayu Sumatera Utara, pertama sekali ditetapkan oleh Sultan Gocah Pahlawan, pada saat menjadi Wakil Sultan Aceh, Iskandar M uda, di Tanah Deli. Sampai sekarang hukum ini tetap berlangsung

(50)

moyang perempuan bersaudara. Demikian seterusnya empat kali wali, lima kali wali, empat kali impal, dan lima kali impal. Sampai tiga kali impal atau tiga wali dihitung alur kerabat yang belum jauh hubungannya.

Dalam sistem kekerabatan M elayu Sumatera Utara dikenal tiga jenis impal: (1) impal larangan, yaitu anak-anak gadis dari makcik kandung, saudara perempuan ayah. Anak gadis makcik ini tidak boleh kawin dengan pihak lain tanpa persetujuan dari larangan impalnya. Kalau terjadi, dan impal larangan mengadu kepada raja, maka orang tua si gadis didenda 10 tail atau 16 ringgit. Sebaliknya jika si gadis itu cacat atau buruk sekali rupanya, impal larangan wajib mengawininya untuk menutup malu "si gadis yang tak laku;" (2) impal biasa, yaitu anak laki-laki dari makcik; (3) impal langgisan, yaitu anak-anak dari emak-emak yang bersaudara.

(51)

ayah atau mak yang ketujuh baik laki-laki atau perempuan; (15) wak ulung cik, saudara ayah atau mak yang kedelapan baik laki-laki atau perempuan; dilanjutkan ke uwak ngah cik, uwak alang cik, dan seterusnya. Jika anak yang dimaksud adalah anak dari andak misalnya, maka panggilan pada nomor 8 sampai 11 tetap uwak, dan nomor 11 dan seterusnya ke bawah disebut dengan: (1) ayah uda, (2) ayah ucu, (3) ayah ulung cik, (4) ayah ngah cik, (5) ayah alang cik, dan seterusnya.

(52)

2.2.2.7 Kesimpulan tentang Identitas Etnik Melayu

(53)

Dari kesimpulan di atas, penulis menyimpulkan identitas etnik M elayu kepada dua pengertian umum. (1) Dalam pengertian M elayu sebagai ras, maka seluruh ras M elayu (Proto-M elayu dan Deutro-M elayu) dapat menyebut dirinya sebagai M elayu. (2) Dalam pengertian sebagai orang yang tergolong ke dalam ras M elayu, mempergunakan budaya M elayu, dan beragama Islam, mencakup orang-orang M elayu yang ada di M alaysia, Singapura, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan, Sumatera Selatan, Jambi, dan lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, etnik Betawi dan M inangkabau juga sering menyebutkan dirinya sebagai etnik M elayu dengan tambahan M elayu Betawi atau M elayu M inangkabau.

Etnik M elayu Sumatera Utara mengidentitaskan kelompok etniknya dalam pengertian seperti kesimpulan nomor (2) di atas, yaitu orang yang tergolong ke dalam ras M elayu, mempergunakan budaya M elayu, dan beragama Islam.

2.3 Kepercayaan Masyarakat Melayu

M asyarakat M elayu, khususnya masyarakat M elayu desa pesisir, sebelum masuknya agama Islam menganut kepercayaan pada pal begu, yaitu takut kepada roh jahat (mambang) yang dapat mengganggu kebahagiaan dan kehidupan manusia di permuakaan bumi. Husny (1986:3) mengatakan bahwa kepercayaan orang M elayu pesisir Sumatera Timur sebelum masuknya agama Islam adalah pal begu atau animisme.

(54)

perasaan hormat dan takut dalam diri pemeluknya, seperti laut, gunung, hutan, pohon kayu besar, dan peristiwa-peristiwa alam misalnya gempa bumi, gunung meletus, angin badai, petir, dan lain-lain. Selanjutnya menurut Hamid (1991:120) roh-roh tersebut memiliki kekuatan, dapat makan, dan memiliki usia. Roh juga memiliki kekuatan dan kehendak, bisa merasa senang maupun marah. Jika roh marah, maka ia dapat membahayakan hidup manusia. Oleh karena itu, agar roh tidak marah maka manusia harus memberi makan atau sesajen (atau mengadakan persembahan) dan mengadakan upacara-upacara khusus untuk roh tersebut guna meminta berkah atau keselamatan seperti yang terjadi pada masyarakat desa pesisir. Lebih lanjut Husny (1989:39) mengatakan bahwa pemujaan terhadap arwah atau roh nenek moyang tersebut serta alam gaib yang lain, dilakukan langsung atau melalui perantara pawang/bomoh/guru/dukun yaitu orang yang d apat berhubungan dengan yang di puja atau dipercayai memiliki “mana”(tenaga hidup yang tidak berpribadi dan ada pada manusia, binatang, tumbuhan, hewan dan lain-lain).

(55)

Untuk mengontrol eksistensi dan aktivitas roh-roh tersebut, maka dibutuhkan peran dukun/bomoh/pawang. Dukun atau bomoh dapat mengusir roh yang marah dari pesakit dan dapat mengupayakan agar roh jangan marah. Dengan demikian orang-orang atau masyarakat dapat diselamatkan dari bahaya seperti banjir, letusan gunung berapi, bencana penyakit, atau yang lainnya. Dukun atau bomoh juga memiliki kemampuan untuk menangkap roh-roh yang berkeliaran di alam ini dan membungkusnya untuk dijual kepada keluarga yang percaya bahwa orang yang jatuh sakit di dalam keluargany a adalah karena kehilangan semangat atau roh kehidupan. M elalui cara itu, kehidupan si pesakit akan kembali dan ia menjadi sembuh. Di samping itu dukun juga bisa menarik kembali roh-roh agar menempati benda-benda yang dianggap memiliki “kekuatan atau bertuan” yang di kenal dengan istilah fetish (tuah atau keramat), seperti batu, tanah kuburan, gigi binatang, patung-patung yang dibuat khusus untuk itu, senjata tajam, dan lain-lain. Selama roh tersebut diyakini masih berada didalam fetish, maka pemiliknya masih tetap menyembah, menghormati, dan menghargai fetish tersebut. Namun, apabila roh tersebut telah meninggalkan fetish, maka fetish tidak akan berharga lagi dan dapat saja dibuang atau dijadikan bahan kenangan (Rizal 1997:45).

(56)

dewa matahari dan dewa bulan, dewa-dewa yang lain bertugas untuk membantu pekerjaan Dang Empu Hiang. Dewa-dewa tersebut tidak memiliki kuasa untuk mengatur sesuatu, tetapi dapat menganggu manusia. Sedangkan dewa matahari dan dewa bulan adalah dewa-dewa yang bertugas sebagai penghubung segala sesuatu yang berhubungan dengan Dang Emp u Hiang dan memiliki kuasa untuk mengatur segala sesuatu di dunia. Namun, yang terutama di sembah manusia adalah dewa matahari karena dianggap memberi rahmat kepada mereka.

Pemeluk animisme juga memepercayai keberadaan hantu-hantu (hantu laut, air, rimba, kayu, gunung, dan lain-lain) tetapi tidak akan mengganggu kehidupan manusia kecuali jika manusia melanggar daerah kediaman mereka. Begitu juga dengan pemeluk animisme tetap menjaga hubungan baik dengan mereka melalui persembahan korban (sesajen) untuk men ghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Berdasarkan dari uraian diatas tentang kepercayaan animisme, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :

1. Di dalam alam semesta (kosmos) ini, didiami oleh manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati, roh-roh, jin-jin dan dewa-dewa.

2. dukun/bomoh/pawang berfungsi sebagai mediator antara alam nyata dengan alam tak nyata (alam gaib).

3. Dewa matahari dan bulan adalah penghubung segala sesuatu yang berhubungan dengan Dang Empu Hiang dan pengatur segala sesuatu yang terjadi di bumi. 4. Dukun/bomoh/pawang adalah pengontrol roh-roh yang berkeliaran di permukaan

(57)

5. Dukun /bomoh/pawang dan manusia memuja dewa matahari, dewa-dewa lain, arwah nenek moyang, dan Fetish.

6. M anusia memberi persembahan atau sesajen kepada hantu-hantu, arwah nenek moyang, dan Fetish.

2.4 Agama Masyarakat Melayu

Agama resmi masyarakat M elayu pada umumnya adalah agama Islam. Kedatangan Islam membawa dampak yang besar dalam strruktur sosial dan kebudayaan masyarakat M elayu. Kepercayaan yang sebelumnya yakni memuja dewa-dewa, hantu-hantu, dan roh-roh berubah menjadi menyembah kepada Allah Subhanahuwata’ala (Tuhan Yang M aha Tunggal).

Puncak penerimaan Islam secara keseluruhan pada masyarakat M elayu ditandai dengan adanya falsafah masyarakat, yaitu adat yang berlandaskan kepada hukum Allah, yang dituangkan lewat firman-firman-Nya kedalam Al-qur’anulkarim melalui hadist-hadist serta perilaku Nabi M uhammad Saw. Atau yang lebih dikenal dengan falsafah : Adat ber-sendikan syarak (syari’at hukum Islam), syarak ber-sendikan Kitabullah (Kitab Allah atau Al-Qur’an).

(58)

M enurut Gazalba (1983:51-55), agama Islam yang dianut masyarakat M elayu dianggap mereka sebagai petunjuk, yang memadukan kepentingan agama dengan kebudayaan dalam bentuk peraturan yang tetap. Aturan tentang kebudayaan adalah mengenai prinsip-prinsip dasar kehidupan manusia dan cara pelaksanaannya. M isalnya, bagaimana seseorang mencari nafkah, membina hubungan antar manusia, melestarikan alam, menikah, melaksanakan shalat, serta fadhu kifayah, dan lain-lain.

Aturan tentang kebudayaan adalah mengenai prinsip -prinsip dasar saja, sedangkan cara pelaksanaannya dapat berubah sesuai dengan keinginan manusia sebagai pelaku budaya, tetapi tidak melanggar ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. M isalnya saja dalam berkesenian, dalam Islam dianjurkan untuk tidak membuat seni yang menimbulkan khay alan sensual yang dapat menjerumuskan manusia kedalam keasyikan sehingga melupakan kewajibannya dalam melaksanakan perintah Allah Swt. Begitu pula dalam berpakaian. Islam telah menetapkan agar umat Islam memakai pakaian yang menutup segala auratnya sehingga terhindar dari dosa ; sedangkan bagaimana cara memakainya diserahkan kepada manusianya.

(59)

Setelah masuknya Islam dan dijadikan falsafah hidup oleh masyarakat M elayu. M aka kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut disesuaikan dengan ajaran Islam. Di dalam ajaran Islam juga di kenal konsep alam gaib, yakni percaya kepada makhluk gaib seperti malaikat, setan, jin, dan lain-lain. Inilah yang akhirnya dijadikan alasan masyarakat M elayu untuk tetap percaya kepada dunia gaib dan makhluk-makhluknya, yang dikenal dengan istilah “sinkretisme”. Sinkretisme adalah penggabungan dua ajaran antara kepercayaan dengan agama. Ini masih terus berlangsung pada masyarakat M elayu desa pesisir, baik dalam aktivitas kesenian mereka maupun dalam kehidupan sosial budaya mereka. Penggabungan itu terjadi karena pengaruh kepercayaan animisme begitu kuat melekat dalam diri masyarakat M elayu secara umum sehingga sulit dihilangkan. Walaupun dalam agama Islam sangat dilarang untuk menyembah kekuatan dan kekuasaan apapun di bumi selain kepada Allah SWT.

(60)

2. 5 Bahasa

Bahasa merupakan cerminan dari suatu masyarakat penuturnya. Bahasa juga merupakan sub-kebudayaan. melihat tingkah polah individu, keluarga, etnis, ataupun bangsa dapat dilihat melalui bahasa yang di gunakan (H. Amir Ridwan, 2002:108).

Sikap dan kebiasaan berbahasa dari suatu kelompok individu merupakan satu wujud kebudayaan yang dihasilkan melalui ide, norma dan gagasan. Penutur bahasa M elayu adalah masyarakat yang merupakan sekelompok manusia atau homo loques yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, walaupun p ada dasarnya penutur bahasa M elayu mempergunakan bahasa yang sama (bersifat universalisme), namun untuk mencapai suatu kesamaan mutlak tetap tidak memungkinkan. Karena bahasa M elayu sangat dinamis, dapat disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat M elayu sendiri, bahasa M elayu khususnya dalam memperkaya kosa-kata selalu terbuka untuk bahasa asing melalui kontak bahasa. Sebagai contoh dari bahasa Belanda, seperti kata dongkrak berasal dari kata dommekracht, bengkel dari winkel, supir dari chauffeur. Namun demikian, struktur bahasa M elayu tidak berubah mengkekalkan identitas yang diwarisi sebagai pernyataan orang M elayu dan keturunanya.

Dalam bahasa M elayu, ada beberapa pokok mengenai kajian latar belakang, sistem dan keberadaan linguistik bahasa M elayu yaitu sebagai berikut:

1. Bahasa M elayu merupakan alat untuk mengekspresikan harapan, kehendak, cita-cita dan sebagainya, baik mengenai alam maupun lingkungan sekitar.

Gambar

Tabel 4.3.4.1
Tabel 4.3.4.2
Tabel 4.3.4.4
Tabel 4.3.4.5
+5

Referensi

Dokumen terkait

syringae; II grupa sojeva izolovana je iz nekrotičnih cvetnih pupoljaka šljive i oni ispoljava- ju karakteristike tipične za Pseudomonas syringae pv.. Iz obolelih grana šljive,

Data yang digunakan adalah data sekunder jumlah uang beredar (dalam arti sempit) dan inflasi Indonesia, yang diambil dari indicator ekonomi yang diterbitkan oleh BPS dan

Sesuai dengan namanya, teknik ini berisi lima langkah/sesi yang ditujukan untuk menurunkan frekuensi merokok pada remaja putri akhir (17-22 tahun).Sesi pertama

Sarana pendidikan adalah semua peralatan serta perlengkapan yang langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, sedangkan prasarana pendidikan merupakan semua komponen

Hal ini berarti tingkat laju eksploitasi ikan pedang di Samudera Hindia berdasarkan hasil tangkapan armada rawai tuna Indonesia berada pada kondisi padat tangkap (fully exploited)

Kolom ini digunakan untuk menentukan tipe data dari variabel yang akan dimasukkan data dari variabel yang akan dimasukkan ke dalam program SPSS.. ke dalam

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengembangkan program notifikasi berbasis komputer dengan program facebook untuk memperlancar proses pengembalian buku pinjaman