Sriana Azis, M.J.Herman, Abdul Mun’im
Puslitbang Farmasi dan Obat Traditional, Badan Litbang Kesehatan
KEMAMPUAN PETUGAS MENGGUNAKAN
PEDOMAN EVALUASI PENGELOLAAN
DAN PEMBIAYAAN OBAT
Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.2, Agustus 2005, 62 - 73 ISSN : 1693-9883
ABSTRACT
One important aspect of district public health service is the management and budgeting of drugs. Up to this time no indicators can be used yet as guidelines for evaluating drug management and budgeting effectiveness in a district in Indonesia. The objective of this study is to determine the effect of training managing drug staff on the evaluation capability increase and their knowledge.
Training has been conducted twice in 2 provinces, 4 districts ex HP IV each, covering Dinas Kesehatan, GFK, 5 PHCs per district and 300 outpatients. There are 7 groups of indicator which include a total of 29 indicators. Training involved com-putation of indicators of drug management and budgeting in a district.
Tests were carried out before training and after the first and second training. Data were analyzed using paired t-test for the effect of training on the increase of knowledge and capability of managing drug staff in indicator computation for the evaluation of drug management and budgeting as well as linear regression for the relation between education and working experience of the staff and unpaired t-test for the difference in the increase in knowledge of pharmacy assistant and non pharmacy assistant.
Results from the study on 54 managing drug staff in 8 district shows that knowledge increase significantly after the first and second training, whilst the latter increase is greater than the former one and that the increase in knowledge of pharmacy assistant exceeds that of non pharmacy assistant.
Key word: capability, drug management, budgeting
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan masyarakat sektor pemerintah di kabupaten ter-diri dari pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan. Pelayanan kesehatan dasar mencakup bidan desa, puskesmas pembantu,
A.1. Pengelolaan obat
Pengelolaan obat adalah suatu urutan kegiatan yang mencakup perencanaan, pengadaan, penyim-panan, pendistribusian, dan penca-tatan/pelaporan obat. (Ditjen POM, 2000).
Perencanaan obat di kabupaten dilakukan oleh tim perencana obat terpadu kabupaten yang dibentuk dengan keputusan bupati atau pejabat yang mewakilinya. Perencanaan obat dapat dihitung menggunakan me-tode konsumsi obat dan meme-tode morbiditas. (Ditjen POM, 2000).
Pengadaan obat dilakukan se-telah tim perencanaan obat terpadu kabupaten melakukan penghitungan biaya kebutuhan obat dalam rupiah yang disesuaikan dengan dana yang tersedia. Salah satu hal yang penting dalam pengadaan obat adalah kese-suaian jumlah dan jenis obat antara yang direncanakan dan yang diada-kan, untuk mencegah kekurangan atau kelebihan obat (Ditjen POM, 2000).
Penyimpanan obat setiap obat yang disimpan dilengkapi dengan kartu stok untuk mencatat setiap mutasi obat. Penyimpanan obat harus sedemikian rupa sehingga memudah-kan distribusi obat secara FIFO (first in first out), yaitu sisa stok tahun lalu digunakan lebih dahulu daripada pengadaan baru untuk mencegah terjadinya obat rusak atau obat daluwarsa (Ditjen POM, 2000).
Pendistribusian obat dari GFK ke puskesmas dilakukan secara bijak-sana agar obat yang tersedia di
kabu-paten dapat tersebar merata meme-nuhi kebutuhan puskesmas. (Ditjen POM, 2000).
Pencatatan /Pelaporan obat me-rupakan fungsi pengendalian dan evaluasi administratif obat mulai dari perencanaan, pengadaan, penyim-panan, sampai pendistribusian obat. Pencatatan perencanaan kebutuhan jumlah dan jenis obat digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian dengan pengadaan obat. Pencatatan penggunaan total semua jenis obat pada pasien puskesmas, sisa stok obat, dan pola penyakit dapat di-gunakan untuk perencanaan kebu-tuhan obat tahun mendatang (Ditjen POM, 2000).
A.2. Pembiayaan Obat
Pembiayaan obat mencakup biaya obat dan biaya pengobatan penyakit yang harus dibayar masya-rakat, juga pendapatan, kemampuan dan kemauan pasien membayar.
A.3. Pedoman Evaluasi Pengelolaan dan Pembiayaan Obat
Approach”, yang telah diuji coba di 10 negara Amerika Latin dan Afrika. Pedoman evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat digunakan dalam upaya efektivitas dan efisiensi, melalui (a) peningkatan kemampuan tenaga pengelolaan obat untuk meng-hitung dan menetapkan sendiri keberhasilan sistem pengelolaan obat, (b) pemanfaatan indikator seba-gai data dasar untuk perencanaan biaya, dan (c) pemanfaatan indikator sebagai alat untuk membandingkan keberhasilan pengelolaan obat dengan tahun sebelumnya, daerah lain, atau negara lain (PAHO, 1995). Evaluasi memerlukan indikator yang tepat, valid, dan reliabel. Indi-kator merupakan jenis data berdasar-kan gejala yang dapat dihitung, yang digunakan untuk menilai secara mudah dan cepat tanpa memerlukan data yang rumit. Indikator diguna-kan untuk menetapdiguna-kan prioritas, pengambilan keputusan, dan untuk pengujian cara/ metode mencapai sasaran yang ditetapkan. Hasil pengujian dapat digunakan oleh penentu kebijakan untuk menge-valuasi cara/ metode dan sasaran yang ditetapkan.
Masalah Penelitian
Masalah penelitian adalah belum adanya indikator yang dapat di-gunakan sebagai pedoman evaluasi keberhasilan pengelolaan dan pem-biayaan obat di kabupaten. Indikator evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat yang dibuat oleh PAHO belum tentu cocok untuk negara Indonesia
karena perbedaan sistem pengelolaan obat antara satu negara dan negara lain (PAHO, 1995).
Ujicoba indikator melalui pene-litian “Pedoman Evaluasi Pengelolaan dan Pembiayaan Obat di Puskesmas” telah dilakukan di Kabupaten Peka-longan pada tahun 1999-2001 (Sriana, dkk, 2000).
Dengan diterapkannya otonomi daerah tingkat kabupaten, maka perlu dilakukan uji coba pedoman evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat di beberapa kabupaten di Indo-nesia.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah membuat pedoman yang berisi indi-kator evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat di kabupaten.
Tujuan khusus penelitian adalah menilai pengaruh pelatihan tenaga pengelola obat terhadap peningkatan pengetahuan dan kemampuannya untuk menghitung sendiri indikator evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat di wilayah kerjanya.
Manfaat Penelitian
METODA PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah eks pi-lot proyek HP IV, yaitu Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Sumatera Barat. Setiap provinsi diambil 2 kabupaten yang mewakili eks lokasi HP IV dan 2 kabupaten kontrol. Setiap kabu-paten diwakili oleh dinas kesehatan kabupaten, gudang farmasi dan 5 puskesmas.
B. Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang di-gunakan adalah “pre and post-test without control” (Suryabrata, 1983). Intervensi dilakukan dua kali, berupa pelatihan tentang pedoman evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat yang dilakukan oleh peneliti terhadap 5 orang pengelola obat di
puskes-mas, seorang pengelola obat di gudang farmasi kabupaten (GFK) dan seorang pengelola obat di Dinas Kesehatan Kabupaten. Pre-test sama dengan post-test, berisi cara peng-hitungan indikator pedoman, post-test dilakukan dua kali. Rancangan pene-litian dapat digambarkan sebagai berikut :
O1 X --- O2 X --- O3E
O1 : pre-test X : pelatihan O2 : post-test O3 : post-test
E : Evaluasi pelatihan
C. Jumlah dan Kriteria Sampel
Sampel penelitian adalah puskes-mas, GFK, dan Dinas Kesehatan dengan responden tenaga pengelola obat sebagai berikut (lihat tabel) :
KABUPATEN Dinas Gudang Pus- MR Pasien
Kesehatan Farmasi kesmas Puskesmas rwt jalan
Di Jawa Timur :
- Jombang 1 1 5 300 300
- Lumajang 1 1 5 300 300
- Malang 1 1 5 300 300
- Pasuruan 1 1 5 300 300
Di Sumatera Barat :
- Padang Pariaman 1 1 5 300 299
- Pasisir Selatan 1 1 5 300 297
- Payakumbuh 1 1 5 300 300
- Sawahlunto Sijunjung 1 1 5 300 299
D. Kelompok Indikator yang dinilai
Ada 7 kelompok indikator yang dinilai, setiap kelompok terdiri dari beberapa indikator yang ditetapkan
secara kuantitatif, sehingga semua ada 29 indikator. Kelompok indi-kator yang dinilai sebagai berikut (Sriana, 2000) (lihat tabel di bawah ini):
A. Anggaran dan biaya kesehatan (GFK)
1. Biaya obat per kapita per tahun
2. % biaya obat kabupaten per anggaran rutin kesehatan 3. % biaya obat sumber lain per biaya obat total
4. Rerata biaya obat per kunjungan puskesmas
B. Pemulihan Biaya (cost recovery ) puskesmas
1. % pasien yang membayar retribusi puskesmas (dalam ribuan Rp.) 2. Penerimaan retribusi puskesmas
3. % retribusi puskesmas yang disetorkan 4. % pemulihan biaya (cost recovery rate = CRR)
C. Pengadaan obat (GFK)
1. % pengadaan obat kabupaten per pengadaan obat total 2. % pengadaan obat kabupaten dengan tender terbuka
D.Penyimpanan obat (Puskesmas)
1. % rerata penggunaan obat dari set indikator obat 2. % rerata obat daluarsa dari set indikator obat daluarsa 3. % rerata waktu kekosongan obat dari set indikator obat
E. Akses pasien dan pemanfaatan obat (Puskesmas)
1. Rasio jumlah penduduk per jumlah sarana pelayanan kesehatan 2. Rasio jumlah penduduk per jumlah peracik obat
3. Rasio jumlah penduduk per jumlah penulis resep 4. Lamanya pelayanan medik di puskesmas (dalam menit) 5. Lamanya peracikan obat di puskesmas (dalam menit) 6. Rerata jumlah jenis obat per lembar resep
7. % jumlah jenis obat generik per lembar resep 8. % jumlah lembar resep yang mengandung antibiotika 9. % jumlah lembar resep yang mengandung obat suntik
10. % jumlah lembar resep yang obat dan dosisnya sesuai dengan pedoman pengobatan dasar puskesmas
F. Biaya obat dan pengobatan yang sebenarnya (Puskesmas)
1. Biaya riel obat per kuratif per pasien 2. Biaya riel pengobatan per kuratif per pasien
G. Kemampuan pasien membayar (GFK dan puskesmas)
1. Rerata pendapatan penduduk/ pasien
E. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan oleh peserta pelatihan setelah dilakukan pelatihan terhadap petugas pengelola obat di tiap kabupaten. Materi pelatihan mengenai cara penghitungan indikator evaluasi
pengelolaan dan pembiayaan obat di kabupaten. Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder, serta alat pengumpul data untuk penghitungan indikator evaluasi sebagai berikut :
Tahapan penelitian dilakukan sebagai berikut :
1. Persiapan, mencakup penentuan kabupaten penelitian dan peneliti daerah melalui koordinasi de-ngan Dinas Kesehatan Provinsi. 2. Pre-test dan pelatihan tenaga pengelola obat tentang peng-hitungan indikator evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat serta data yang perlu
DATA YANG DIKUMPULKAN
Data sekunder yang berasal dari buku Profil Kesehatan Kabupaten/ Kota, laporan bulanan pro-gram kesehatan, dan anggaran/ biaya kesehatan.
Data sekunder yang berasal dari Laporan Tahunan Gudang Farmasi, anggaran/ biaya pengadaan obat, bantuan pengadaan obat dari pihak lain/ non pemerintah, laporan puskesmas dan harga obat.
Data sekunder yang berasal dari laporan bulanan puskesmas kepada Dinas Kesehatan Kabupaten, profil puskesmas, bantuan kesehatan yang diterima, dsb.
Data sekunder 20 medical record pasien rawat jalan, untuk masing-masing penyakit myalgia, ISPA non pneumonia dan diare = 60 medical record/ puskesmas
ALAT PENGUMPUL DATA
Kuesioner dan
formulirDinas Kesehatan Kabupaten
Kuesioner dan formulir Gudang Farmasi Kabupaten
Kuesioner dan Formulir Puskesmas
Medical Record pasien
kumpulkan post-test.
3. Post-test, kemudian pelatihan tentang penghitungan indikator evaluasi pengelolaan dan pem-biayaan obat.
F. Analisis Data
Analisis data dilakukan per kabupaten mencakup : (1) uji-t ber-pasangan untuk mengetahui penga-ruh pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan dan kemampuan petugas pengelola obat dalam penghitungan indikator evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat, (2) analisis trend indikator evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat di kabupaten 4 tahun terakhir.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil disajikan dalam bentuk (1) karakteristik pengelola obat, (2) pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan tenaga pengelola obat dan (3) hubungan antara masa kerja, pendidikan dan peningkatan penge-tahuan pengelola obat.
1. Karakteristik Pengelolaan Obat
Tabel 1 menunjukkan pendidikan tenaga pengelola obat di semua kabupaten yang mengikuti pelatihan, seharusnya 56 orang, tetapi 2 orang dianggap drop-out karena tidak dapat mengikuti post-test. Persentase terbesar tenaga pengelola obat yang mengikuti pelatihan adalah tamat asisten apoteker (91,5%).
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tenaga Pengelola Obat Berdasarkan Pendidikannya, 2002
PENDIDIKAN JUMLAH %
SMA 1 1,9
Asisten apoteker/ SMF 44 91,5
Akademi perawat 3 5,6
Apoteker 5 9,3
SKM 1 1,9
JUMLAH 54 100,0
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tenaga Pengelola Obat Berdasarkan Masa Kerjanya, 2002
MASA KERJA JUMLAH %
0 – 5 tahun 5 9,3
6 – 10 tahun 26 48,1
11 – 15 tahun 13 24,1
15 – 20 tahun 6 11,1
Lebih 20 tahun 4 7,4
Tabel 2 menunjukkan masa kerja tenaga pengelola obat di semua kabupaten yang mengikuti pelatihan. Persentase terbesar tenaga pengelola obat yang mengikuti pelatihan mempunyai masa kerja 6-10 tahun (48,1%).
2. Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengetahuan Tenaga Pengelola Obat
Tabel 3 menunjukkan skor pengetahuan tenaga pengelola obat di semua kabupaten yang mengikuti pelatihan. Hasil post-test pertama menunjukkan peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat secara bermakna (p<0,05), dari skor 6,793 menjadi 8,796. Peningkatan pengetahuan hampir terjadi pada semua item pertanyaan, kecuali pertanyaan tentang persentase yang membayar retribusi dan rerata jumlah jenis obat per lembar resep.
PENGETAHUAN KRITE- p0 p1 p hasil uji-t
RIA berpasangan
1. Biaya obat per kapita Tahu 42 51
Tak tahu 12 3 0,006 *)
2. Persentase yang membayar Tahu 50 54
retribusi Tak tahu 4 0 0,440
3. Persentase biaya pemulihan Tahu 23 48
Tak tahu 31 6 0,000 *)
4. Persentase pengadaan Tahu 41 48
obat pusat Tak tahu 13 6 0,033 *)
5. Rerata penggunaan obat Tahu 39 54
Tak tahu 15 0 0,000 *)
6. Rerata kekosongan obat Tahu 8 53
Tak tahu 46 1 0,000 *)
7. Rerata jumlah jenis obat per R/ Tahu 52 54
Tak tahu 2 0 0,159
8. Persentase lembar resep yang Tahu 47 53
mengandung antibiotika Tak tahu 7 1 0,033 *)
9. Biaya obat TB yang sebenarnya Tahu 23 31
Tak tahu 31 23 0,031 *)
10. Kemampuan pasien membayar Tahu 2 29
tarif puskesmas Tak tahu 52 25 0,000 *)
Rerata jumlah 6,793 8,796 0,000 *)
*) hasil uji statistik bermakna
Tabel 4 menunjukkan skor pengetahuan tenaga pengelola obat di semua kabupaten yang mengikuti pelatihan. Hasil post-test kedua menunjukkan peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat secara bermakna (p<0,05) dari skor 6,793 menjadi 9,870. Peningkatan pengetahuan hampir terjadi pada semua item pertanyaan, kecuali pertanyaan tentang rerata jumlah jenis obat per lembar resep.
PENGETAHUAN KRITE- p0 p2 p
RIA p1-p0
1. Biaya obat per kapita Tahu 42 53
Tak tahu 12 1 0,002 *)
2. Persentase yang membayar Tahu 50 54
retribusi Tak tahu 4 0 0,044 *)
3. Persentase biaya pemulihan Tahu 23 46
Tak tahu 31 8 0,000 *)
4. Persentase pengadaan Tahu 41 48
obat pusat Tak tahu 13 6 0,007 *)
5. Rerata penggunaan obat Tahu 39 47
Tak tahu 15 7 0,044 *)
6. Rerata kekosongan obat Tahu 8 52
Tak tahu 46 2 0,000 *)
7. Rerata jumlah jenis obat per R/ Tahu 52 54
Tak tahu 2 0 0,159
8. Persentase lembar resep yang Tahu 47 53
mengandung antibiotika Tak tahu 7 1 0,013 *)
9. Biaya obat TB yang sebenarnya Tahu 23 43
Tak tahu 31 11 0,000 *)
10. Kemampuan pasien membayar Tahu 2 43
tarif puskesmas Tak tahu 52 11 0,000 *)
Rerata jumlah 6,796 9,870 0,000 *)
*) hasil uji statistik bermakna
3. Hubungan antara masa kerja, pendidikan dan peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat
Tabel 5 menunjukkan pengaruh pendidikan dan masa kerja terhadap peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat. Ada hubungan bermakna antara pendidikan (AA /bukan AA) dan peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat, tetapitidak ada hubungan bermakna antara masa kerja dan peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat. Pengaruh pendidikan terhadap peningkatan pengetahuan sebesar 8,4% pada post-test I. Ada hubungan bermakna antara pendidikan (AA /bukan AA) dan peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat, tetapi tidak ada hubungan bermakna antara masa kerja dan peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat. Pengaruh pendidikan terhadap peningkatan pengetahuan sebesar 15% pada post-test II. Hal ini menunjukkan pelatihan dua kali lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan tenaga pengelola.
Tabel 6. Hasil Uji-t tidak Berpasangan antara Peningkatan Pengetahuan Tenaga Pengelola Obat yang Berpendidikan AA dan bukan AA, 2002
Pendidikan Rerata Standar Perbedaan p deviasi rerata
Pengetahuan Bukan AA 8,80 4,78 2,45 0,042 *
Saat Pre-test AA 6,35 2,98
Peningkatan P Bukan AA 0,30 4,44 - 2,08 0,055
Pada post-test I AA 2,38 2,65
Peningkatan P Bukan AA 0,60 4,40 -3,03 0,027 *
Pada post-test II AA 3,63 3,66
* hasil uji statistik bermakna
Tabel 5. Hasil Uji Regresi Linier Antara Masa Kerja, Pendidikan dan Peningkatan Pengetahuan Tenaga Pengelola Obat, 2002
VARIABEL konstanta Standar error p
Hasil post-test I
Pendidikan (AA/non AA) 2,316 1,094 0,039 *) R Square = 0,084 Masa kerja (th) -0,380 0,407 0,355 p regresi = 0,106
Konstanta 1,097 1,287 0,398
Hasil post-test II
Pendidikan (AA/non AA) 3,601 1,335 0,009 *) R Square = 0,150 Masa kerja (th) -0,933 0,496 0,066 p regresi = 0,016
Konstanta 2,560 1,570 0,109
Tabel 6 menunjukkan penge-tahuan tenaga pengelola obat yang berpendidikan AA dan bukan AA. Pada saat pre-test terlihat rerata pengetahuan tenaga pengelola obat yang berpendidikan AA (6,35) lebih rendah secara bermakna daripada rerata pengetahuan bukan AA (8,80). Setelah post-test I terlihat rerata peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat yang berpendidikan AA (2,38) lebih tinggi daripada rerata peningkatan pengetahuan bukan AA (0,30). Setelah post-test II terlihat rerata peningkatan penge-tahuan tenaga pengelola obat yang berpendidikan AA (3,63) lebih tinggi secara bermakna daripada rerata peningkatan pengetahuan bukan AA (0,60). Hal ini menunjukkan pelatihan dua kali lebih efektif dalam mening-katkan pengetahuan tenaga pengelola obat tentang indikator evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat di pelayanan kesehatan.
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengetahuan Tenaga Pengelola Obat
Pengaruh pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat tentang indikator evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat di pelayanan kesehatan kabu-paten lebih bermakna pada hasil pelatihan kedua dibandingkan pela-tihan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan tenaga pengelola
obat dua kali dengan selang waktu sebulan lebih baik daripada pelatihan satu kali. Rerata peningkatan penge-tahuan tenaga pengelola obat yang berpendidikan asisten apoteker lebih tinggi secara bermakna daripada yang berpendidikan bukan asisten apoteker. Hal ini sesuai dengan teori perilaku Green, et al. (1980) yang menyatakan pendidikan berhubung-an bermakna dengberhubung-an pengetahuberhubung-an.
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan, diambil simpulan sebagai berikut : Hasil pelatihan Indikator Evaluasi Pengelolaan dan Pembiayaan Obat terhadap 54 tenaga pengelola obat di 8 Kabupaten menunjukkan pening-katan pengetahuan secara bermakna pada pelatihan pertama dan pela-tihan kedua. Peningkatan penge-tahuan tenaga pengelola obat pada pelatihan kedua lebih tinggi dari pada pelatihan pertama. Peningkatan pengetahuan tenaga pengelola obat yang berpendidikan AA lebih tinggi dari pada yang bukan berpendidikan AA.
B. SARAN
1. Perlu adanya sosialisasi yang lebih intensif bagi dokter Pus-kesmas untuk menulis resep sesuai dengan pedoman pengo-batan dasar di Puskesmas. 2. Sosialisasi penggunaan pedoman
pem-biayaan obat untuk mening-katkan efisiensi pengelolaan dan pembiayaan obat di kabupaten. 3. Kenaikan retribusi puskesmas
masih memungkinkan karena rerata kemampuan pasien pus-kesmas lebih tinggi dari tarif puskesmas saat ini.
4. Dalam rangka meningkatkan swadana Puskesmas diharapkan pemerintah daerah mengembali-kan seluruh retribusi ke Pus-kesmas
5. Melanjutkan uji-coba pedoman meningkatkan pengetahuan tentang evaluasi pengelolaan dan pembiayaan obat untuk penyakit menular di Puskemas Kabupaten lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Perencanaan Depkes RI. , 1989. Health Economic and Health Policy Report. Series no.3
Credes. , 2000, Responding to the Crissis Supply and Distribution of
Pharma-ceutical in Indonesia, ASEM TRUS FUND.
PAHO. 1995, Rapid Pharmaceutical Management Assesement an Indica-tor-based Approach, Washington DC
Pedoman Teknis Pengelolaan Obat untuk Unit Pelayanan Kesehatan Kabu-paten/ Kota Tahun 2000. Direk-torat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kese-hatan RI.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pemerin-tahan Daerah
Sriana Azis, dkk. 2000, Laporan Pene-litian Pengembangan Pola Pembia-yaan Obat Penyakit Menular (Ma-laria, ISPA, TBC, dan Campak) di Rumah Sakit Umum dan 4 Puskes-mas di Kabupaten Pekalongan. Jakarta.
Sumadi Suryapraja. 1983. Metodologi Penelitian. CV. Rajawali, Jakarta Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,