• Tidak ada hasil yang ditemukan

[klik di sini untuk DOWNLOAD] Modul Bahan Ajar 2 « Dr. Tjahjanulin Domai, MS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "[klik di sini untuk DOWNLOAD] Modul Bahan Ajar 2 « Dr. Tjahjanulin Domai, MS"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

M

Karena kompleksitas leadership, ada beberapa pendekatan yang bisa membantu pemahaman. Sebelumnya difokuskan ke pendekatan manajemen awal, sifat, transaksional dan transformasional. Fenomena leadership bisa dikatakan sangat luas sehingga pendekatan ini didukung oleh pendekatan lain.

Dalam naskah ini, kita akan membahas leadership distributif karena fungsi leadership terdistribusi lebih luas dibanding bentuk hirarkis leadership vertikal dimana peran leader dalam proses leadership adalah fokusnya. Meski ini adalah perspektif instruktif, ini tidak merepresentasikan proses leadership keseluruhan. Leadership sebagai proses bukan hanya berisi leader, tapi juga follower yang memainkan banyak peran, dan set kondisi lingkungan.

Semua pendekatan yang didiskusikan sejauh ini memberikan pertanyaan: Bagaimana leader formal bisa memaksimalkan perannya dalam meningkatkan efektivitas di berbagai kondisi? Pendekatan leadership distributif merubah pertanyaan itu. Sebaliknya, yang ditanyakan adalah: Dalam kondisi apa leader formal bisa meminimalkan perannya untuk meningkatkan efektivitas? Kemudian, pertanyaan diajukan: Bagaimana fungsi tradisional dari leadership (misal, pembuatan keputusan, koordinasi, feedback, dukungan, dst) bisa dicapai jika tidak oleh leader formal?

2. PENDEKATAN LEADERSHIP DISTRIBUTIF

Leadership distributif menitikberatkan pada pembagian fungsi leadership dari perspektif berbeda dan lewat berbagai mekanisme. Leadership distributif ini sangat lambat berkembang menjadi area

DAN DISTRIBUTIF

DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS

(2)

studi dengan nomenklatur standar dan set konsep yang diterima luas (Conger dan Pearce, 2003). Bahkan di jaman sekarang, banyak istilah berbeda digunakan untuk konsep sama, sehingga terjadi overlap konseptual yang membingungkan, dan koneksi antara tipe leadership distributif dan leadership tradisional menjadi lemah (Pearce dan Conger, 2003a; Clarke, 2006). Pendekatan leadership distributif dipecah menjadi tujuh kerangka teori berbeda, yaitu leadership informal, followership, superleadership, substitusi untuk leadership, self-leadership, leadership tim, dan leadership network.

Perlu dicatat bahwa ada overlap dalam model dan teori leadership distributif. Sebuah teori yang menggabungkan beberapa perspektif, yaitu shared leadership.

2.1 Teori Leadership Informal

Ada truisme bahwa semua pihak yang berposisi dalam otoritas – leader formal – bukanlah leader “sebenarnya”, karena mereka bisa gagal memimpin atau tidak memimpin sama sekali. Orang yang kurang posisi power formal malah dianggap sebagai leader. Meski organisasi informal menerima perhatian dari Barnard (1938/1987), paham hubungan manusia, dan peneliti manajemen (misal, studi klasik dari Davis, 1953), leadership informal jarang dipelajari (Pielstick, 2000). Leader informal adalah orang yang kurang posisi formal tapi bisa mempengaruhi pihak lain, apakah mereka mendukung leader formal atau tidak. Leader formal dan leader informal bisa menggunakan keahlian dan pengetahuan dalam berbagai tipe dan tentang dinamisme personal (yang disebut karisma dan power referen). Hanya leader formal yang memiliki posisi substansial atau power legitimate, yaitu, punya pangkat dan kemampuan untuk mereward dan menghukum. Bahkan tanpa otoritas formal, leader tertentu bisa naik ke level pengaruh yang besar, seperti Spartacus di Romawi kuno yang memimpin pemberontakan budak yang hampir menggulingkan kerajaan, sampai berbagai pemberontakan petani “tanpa leader”, di Eropa yang ingin mengingatkan majikan aristokratiknya bahwa ada batas untuk ketamakan (Bass, 2008). Banyak pekerja modern memiliki power legitimate yang didapatnya dari sistem yang memiliki hak civil service atau union yang kuat. Lingkungan tersebut bisa mendorong terjadinya leadership informal dengan membatasi perubahan manajemen dan pembalasan manajerial, dan dengan memberikan hak hukum atau power solidaritas frontline ke pekerja frontline. Karena itu, lingkungan organisasi cenderung menciptakan atau menghapus kecenderungan leader informal. Meski begitu, keberadaan individu yang berkemauan kuat yang memiliki skill yang dibutuhkan juga penting bagi perkembangan leader informal yang kuat.

(3)

ide baik karena itu baru, menyimpangkan dan memanipulasi informasi, dan menciptakan atmosfir permusuhan. Power yang dihubungkan dengan leader informal yang berpengaruh besar cenderung didapatkan dari skill komunikasi yang baik, termasuk mendengar, keahlian dan kredibilitas, dan kehormatan dan kepercayaan kolega.

Berdasarkan tujuan kinerja, leader informal cenderung menfokuskan diri ke kepentingan dan kebutuhan pegawai atau konstituen lebih rendah. Mereka sering menggunakan power informal untuk melindungi hak pegawai atau klien, kadang dengan menggunakan dirinya sendiri sebagai kasus tes. Leader informal bisa meningkatkan produksi dengan menuntut perubahan proses, alat yang lebih baik, atau pemberhentian manajer yang tidak efektif. Seringkali, leader informal tidak peduli dengan produktivitas atau efisiensi karena lebih peduli dengan kebutuhan dan hak pegawai. Kadang leader informal ingin mengurangi produktivitas untuk menghukum manajemen dan meningkatkan power leader. Karena leadership informal cenderung menjadi lebih penting, baik untuk kebaikan atau keburukan dalam tatanan power-sharing, maka ini penting bagi tim dengan banyak determinasi-diri, dan ini adalah topik yang perlu diteliti (sering disebut leadership emergent). Leadership informal bisa kadang terjadi dalam manajemen, dimana leader junior bisa memiliki pengaruh karena rekan satu manajerialnya, atau karena popularitasnya di mata pegawai atau stakeholder eksternal. Meski leader formal mengabaikan leader informal, mereka harus berhati-hati dalm menjaga keseimbangan antara rasa hormat yang sehat dan independensi (Barnard, 1938/1987). Ketika leader formal dan informal yang baik berfungsi secara ideal, ada satu tipe ko-produksi dimana leader informal membantu memanusiawikan organisasi, memberikan feedback yang berguna dan lebih awal, dan meningkatkan motivasi pekerja dengan memfasilitasi penalaran dan hubungan.

2.2 Teori Followership

Teori followership berhubungan dengan teori leadership informal, tapi ini berbeda secara analitik (Shamir dkk, 2007). Bila leadership informal cenderung memberikan emphasis ke basis power terpisah yang dimiliki pihak yang minim posisi fromal (apapun keuntungan atau kerugiannya), followership menitikberatkan ke pentingnya follower dalam mengevaluasi kinerja leadership formal. Kita akan menjelaskan penelitian Barbara Kellerman (2007, 2008).

(4)

terbatas pada pegawai frontline. Dewan korporat memiliki tipe fungsi institusionalis untuk membangun kepentingan follower dalam kasus stockholder (Pick, 2009).

2.3 Teori Superleadership

Manz dan Sims adalah proponen dari proses “memimpin orang lain untuk memimpin dirinya sendiri”, dan ini disebut superleadership (1987, 1989, 1991). Leadership distributif memberikan keuntungan bagi leader dan follower. Superleadership memiliki persamaan dengan teori leadership situasional Hersey dan Blanchard (1969, 1972), yang mendukung empat gaya berbeda berdasarkan sub-variabel maturitas bawahan. Meski begitu, superleadership menghapus gaya direktif, dan memadukan tiga gaya lain menjadi gaya gabungan, dan ini dikatakan sebagai teori universal, bukan teori kontingensi.

Gaya gabungan yang direkomendasikan Hersey dan Blanchard memiliki tiga elemen, yaitu mendukung pihak lain, mempermudah partisipan dalam pembuatan keputusan, dan mendelegasikan tanggungjawab substansial ke bawahan. Elemen supportif yang dimaksud menitikberatkan pada perkembangan staff, konsultasi dan dukungan psikologi. Elemen partisipatif menekankan pada konsultasi, mendengar dan peningkatan inklusi dalam area tanggungjawab. Elemen delegasi difokuskan ke penciptaan otonomi pekerja relatif dan self-review oleh bawahan.

Superleadership adalah sebuah teori universal karena ini merekomendasikan satu gaya. Penganut superleadership berpendapat bahwa teori universal menggunakan pendekatan jangka panjang karena kebutuhan jangka pendek seperti krisis bisa membuat gaya lain menjadi lebih efektif (Houghton, Neck dan Manz, 2003). Kualitas penerapan strategi memoderasi efektivitas. Strategi ini berisi pemberian perintah yang lebih sedikit, mendukung penyelesaian masalah dan pembuatan keputusan oleh individu dan tim, memodelkan self-leadership, mendukung self-leadership, menghindari hukuman, mendengar banyak dan bicara sedikit, menguatkan kreativitas, mendorong pihak lain belajar dari kesalahan, dan menciptakan independensi dan interdependensi antar pekerja. Variabel kinerja primer adalah perkembangan dan empowerment bagi follower. Variabel kinerja sekunder berisi kepuasan follower dan efisiensi produksi..

Superleadership berusaha memberikan basis teori literatur “empowerment” yang ada di akhir 1980-an. Ini memberikan gambaran lebih jelas tentang aspek empowerment

sebagai sebuah gaya dan sebagai rangkaian strategi konkrit. Lebih jauh, superleadership mengingatkan kita bahwa shared leadership diawali dengan peran aktif leader formal dalam mempersiapkan, merekognisi, dan “membiarkan” follower. Jika follower tidak siap untuk self-leadership and leadership tim, maka ini karena defisiensi dalam leader formal. Terakhir, dengan pentingnya organisasi yang rata dan bergerak cepat di jaman sekarang, superleadership menyatakan bahwa fungsi utama dari leader efektif jaman sekarang adalah perkembangan. Di waktu sama, istilah superleadership adalah jingoistic, dan teori ini kadang simplistik. Selain itu, teori bukan baru yang sebenarnya, tapi kemasan kontemporer dari teori lama yang melihat leadership sebagai “perkembangan follower”.

2.4 Substitusi Bagi Teori Leadership

(5)

public relation, perencanaan strategis, pengembangan sumberdaya dan sebagainya. Leader formal bisa dikatakan mahal, sehingga pengurangan jumlah bisa menghemat uang. Leadership formal cenderung menekankan aspek eksternal dari pengawasan dan sumber eksternal dari kreativitas. Leadership yang rendah menghasilkan level lebih tinggi untuk pengawasan dan inovasi self atau kelompok. Leadership formal cenderung membatasi dan mengontrol ketat aliran informasi. Di banyak situasi bisnis, batasan tersebut selalu disfungsional karena ide yang baik dan antusiasme bisa terbentuk lewat networking informal, komunikasi penyelesaian masalah lateral, dan bentuk non-hirarkis dari difusi inovasi. Terakhir, leadership formal cenderung mengkonsentrasikan power yang tinggi di rantai komando. Empowerment membutuhkan sebuah model leadership devolusi dan desentralis. Ketika sukses diimplementasikan, empowerment bisa meningkatkan akuntabilitas internal, semangat ownership, afiliasi profesional, dan proses buy-in dengan tujuan kelompok.

Meski sudah dijelaskan dalam teori path-goal, Kerr (1977) dan Kerr dan Jermier (1978) mengartikulasikan sebuah teori situasi dimana leadership rendah dibutuhkan karena ini dimudahkan oleh “substitusi” untuk leadership. Mereka juga mengidentifikasi kapan leadership bisa terbatas atau “netral”. Howell, Dorfman, dan Kerr (1986) mengemukakan teori dengan moderator leadership lain, yaitu “enhancer” dan “supplement”. Ini akan menghasilkan banyak dukungan (Hui dkk, 2007).

Ada dua gaya leadership yang dijelaskan teori substitusi. Pertama, sebuah gaya delegasi dibuat ketika dibutuhkan leadership yang sedikit. Gaya delegasi memberikan kebebasan relatif ke bawahan dalam pembuatan keputusan, dan memberikan kebebasan dari pengawasan harian dan review jangka pendek. Meski begitu, perlu dicatat bahwa dalam teorinya, delegasi leadership bukanlah elemen aktif, tapi sering ini menjadi fenomena pasif. Contoh, ketika pekerja menjadi lebih berpengalaman dalam kerjanya, level supervisi bisa jadi berkurang. Leadership formal atau aktif bisa dikurangi bila tidak perlu.

Substitusi untuk leadership adalah variabel intervensi yang membuat bentuk leadership non-delegasi menjadi redundan atau tidak terjamin. Variabel yang dimaksud adalah karakteristik tugas, bawahan dan organisasi. Contoh substitusi yang dihasilkan oleh tugas adalah kerja memuaskan, aliran kerja terprediksi, dan mekanisme feedback yang dimasukkan dalam tugas. Contoh dari substitusi organisasi berisi aturan, prosedur dan protokol formal (birokratisasi dan sentralisasi), kohesivitas kelompok kerja dan self-management, dan budaya organisasi yang kuat. Contoh substitusi yang diberikan oleh karakteristik bawahan adalah orientasi profesional dan kemampuan bawahan untuk berfungsi otonom karena pengalaman dan pendidikan yang didapat sebelumnya. Kasus substitusi untuk leadership yang berfungsi efektif bisa terjadi dalam setting tertentu, seperti pabrik yang berjalan baik karena menggunakan fungsi spesialisasi, laporan error individualis, dan protokol kerja yang detail; dan layanan sosial efektif yang dikolaborasi tim manajemen senior layanan secara efektif beberapa tahun sehingga kepala agensi mampu menfokuskan diri pada permintaan dana dan hubungan publik eksternal.

(6)

lain, dan kapan bawahan jauh dari leader. Enhancer memiliki efek sebaliknya. Enhancer meningkatkan kemampuan leader dalam mempengaruhi kinerja bawahan. Ini bisa berupa pengaruh ke atas dan lateral dari leader, kemampuan sanksi, kohesivitas kelompok kerja ketika ada kecocokan nilai dengan leader, basis sumberdaya kuat yang bisa dikontrol leader, budaya pro-manajemen, dan imej positif tentang leadership oleh bawahan. Suplemen yang ada meningkatkan kemampuan leader dengan secara langsung menguatkan alat leadership, seperti bantuan analitik, atau kapasitas leadership, seperti pelatihan dan pendidikan. Karena itu, neutralizer, enhancer, dan suplemen, semuanya memoderasi efektivitas bentuk leadership non-delegasi.

Ada hasil kinerja yang tidak terhitung besarnya tapi ini tergantung dari variabel intervensi dan variabel moderasi yang terlibat. Hasil positif dari substitusi, enhancer, dan suplemen bisa berupa efisiensi produksi, pembebasan waktu leader, motivasi pegawai, dan peningkat pengaruh dan kapasitas leader. Hasil negatif dari neutralizer berisi pengurangan pengaruh leader dan pengurangan pencapaian tujuan kelompok

Teori substitusi untuk leadership memiliki banyak kontribusi ke literatur. Pertama, ada wawasan sentral bahwa leadership lebih banyak tidak selalu lebih baik. Waktu dan sumberdaya leadership adalah komoditas yang harus dijaga dan digunakan secara strategis seperti lainnya. Kedua, teori substitusi menciptakan basis intelektual bagi pemberdayaan, self-management, dan literatur tim dimana leadership formal atau vertikal akan berkurang. Ketiga, teori substitusi memberikan arah yang jelas bagi perubahan sistem kerja sehingga waktu dan energi leader bisa dijaga, sedangkan efektivitas pekerja bisa dipertahankan. Terakhir, teori substitusi memadukan berbagai literatur studi dan wawasan level mikro tentang kapan dan bagaimana leadership berfungsi. Masalah utama terkait dengan teori adalah bahwa ini hanyalah kerangka, bukan teori. Mungkin, ini cocok dilihat sebagai dua teori. Meski substitusi, neutralizer, enhancer, dan suplemen adalah semuanya variabel situasional, substitusi adalah variabel intervensi, sedangkan neutralizer, enhancer, dan suplemen adalah variabel moderasi. Karena itu, bukannya menjelaskan fenomena leadership secara elegan, ini hanya memberikan daftar kelas situasional yang sifatnya berbeda (Dionne dkk, 2005).

2.5 Teori Self-Leadership

Berdasarkan satu definisi paling umumnya, leadership adalah seni dan praktek dari pengaruh yang efektif (Bass, 1990). Self-Leadership adalah “proses mempengaruhi diri sendiri” (Manz, 1992). Wawasan sentral dari teori self-leadership adalah bahwa sikap, keyakinan, pola perilaku self-designed, dan preferensi motivasi individu, menghasilkan sebuah perbedaan dalam pencapaian dan kepuasan personal ke pekerjaan, apakah itu melibatkan eksekutif atau pekerja frontline. Self-Leadership berpendapat bahwa orang yang cakap dengan praktek self-leadership adalah yang sering sukses dalam mendapat posisi leadership yang lebih tinggi dan bisa dikatakan lebih efektif dalam posisinya. Sifat yang mempengaruhi, atau yang dipengaruhi oleh, self-leadership berupa konfidensi diri, ketegasan, resiliensi, energi, kebutuhan akan prestasi, kemauan memikul tanggungjawab, fleksibilitas dan maturitas emosional. Skill pembelajaran kontinyu berhubungan langsung dengan self-leadership.

(7)

dipopulerkan oleh Norman Vincent Peale di akhir tahun 1940-an dan di tahun 1950-an (Peale, 1956, 1959). Dalam literatur manajemen, leadership diawali oleh self-regulation (Kanfer, 1970), self-control (Mahoney dan Arnkoff, 1978), dan self-management (Luthans dan Davis, 1979).

Untuk gaya yang direkomendasikan, ternyata hanya satu gaya yang disarankan dengan sejumlah sub-elemennya, yaitu self-leadership. Gaya ini mudah dibandingkan dengan teori lain. Meski begitu, pengecualiannya adalah bahwa self-leadership adalah terfokus pada self. Karena itu, leadership berisi direction, support, self-achievement dan self-inspiration. Bukannya mengandalkan orang lain untuk mencari panduan, konfidensi, tujuan atau stimulasi, teori self-leadership menyatakan bahwa orang harus mengandalkan dirinya sendiri, apakah dia seorang manajer, pekerja kantor, atau eksekutif.

Self-leadership adalah sebuah gaya universal yang tidak difokuskan ke variabel intervensi. Ini difokuskan secara ekstensif ke strategi spesifik yang menghasilkan self-leadership efektif. Ada tiga tipe strategi yang diidentifikasi, yaitu strategi terfokus-perilaku, strategi reward alami, dan strategi pola pikir konstruktif. Strategi terfokus-perilaku membantu kita merubah cara kita berinteraksi dengan dunia. Strategi global berisi pengingat dan penfokus perhatian, penghapusan petunjuk negatif, dan peningkatan petunjuk positif. Strategi ini berguna dalam membantu kita menyelesaikan tugas yang dibutuhkan, tapi tidak diinginkan. Contoh dari strategi perilaku tersebut adalah daftar “apa yang harus dilakukan”, organizer, identifikasi dan penghapusan gangguan dan pembuang waktu, dan identifikasi dan penggunaan orang dan artifak yang meningkatkan produktivitas. Ada juga strategi perilaku spesifik. Self-observation selalu membutuhkan

self-evaluation yang periodik, disiplin dan jujur. Ini dianggap seperti memberikan feedback yang self-correcting. Self-goal-setting adalah tindakan menentukan tujuan selain tujuan yang ditetapkan organisasi. Self-Reward adalah tindakan “menyenangkan diri sendiri” ketika tujuan yang self-defined telah dicapai dan merayakan kesuksesan sendiri. Self-punishment adalah tindakan mengkoreksi praktek masa lalu yang defektif, tapi tidak melakukan self-guilt, yang malah disfungsional. Rehearsal adalah tindakan melatih sesuatu yang membutuhkan perbaikan atau harus dilakukan dengan level kualitas yang baik, seperti pidato di depan publik.

(8)

“Strategi pola pikir konstruktif berusaha menciptakan atau merubah proses pikiran kognitif. Set strategi ini berisi tiga cara dimana proses pikiran dirubah, yaitu self-analysis dan perbaikan sistem keyakinan, imej mental dari hasil kinerja sukses, dan self-talk positif (Houghton, Neck dan Manz, 2003). Pola pikir disfungsional adalah hambatan dari produktivitas. Pola pikir ini berisi persepsi diri tentang ketidakkompetensian, kesulitan menyelesaikan tugas, permusuhan oleh pihak lain, atau kegagalan dalam membuat progress. Self-talk didefinisikan sebagai rehearsal psikologi atau dialog internal yang bisa kita lakukan secara sadar atau tidak sadar. Mudah bagi orang untuk melakukan self-talk negatif atau pesimistik tanpa feedback eksternal untuk mengkoreksinya. Self-talk negatif tentang diri sendiri bisa memunculkan kegagalan, mediokritas, dan/atau mengurangi efektivitas. Tentu saja, self-talk negatif tidak sama seperti evaluasi diri, yang dilakukan dalam cara tepat waktu, agar bila sebelum kinerja, bisa memberikan waktu untuk merubah, atau bila setelah kinerja, bisa menjadi pijakan untuk usaha masa depan. Self-talk negatif ibaratnya mensabotase level energi tinggi dan menghambat kesuksesan. Terakhir, visualisasi positif adalah alat yang kuat untuk menghasilkan upaya lebih jauh meski harus letih dan ada kelemahan. Meski bukti empiris terbaik berasal dari atletik, ini adalah strategi yang bisa membantu pembuatan laporan sulit, yang melawan tujuan kinerja, atau penyelesaian wacana studi akademis. Contoh, siswa yang tidak yakin apakah dia mampu menyelesaikan program master karena persaingan komitmen, dan yang jarang membayangkan apa yang bisa terjadi dengan gelarnya dan potensi karirnya, adalah yang sulit menikmati program, berbuat baik, atau menyelesaikan programnya. Di lain pihak, siswa yang suka stimulasi intelektual, menikmati tantangan logistik dan intelektual, dan yang mimpi bahwa dia bisa mencapai tujuannya, adalah yang cenderung menyelesaikan program studi dan menunjukkan perbaikan dramatis.

Variabel kinerja berisi peningkatan self-efficacy, standar personal yang lebih tinggi, determinasi dan fokus lebih besar, dan kepuasan diri dan pemenuhan diri yang lebih besar. Satu kekuatan dari self-leadership adalah bahwa ini memiliki pendekatan commonsense. Benjamin Franklin dan Aesop mengatakan bahwa Dewa (atau Tuhan)a membantu orang yang membantu dirinya sendiri. Self-discipline, self-analysis, self-goal-setting, self-improvement, dan sebagainya, adalah hal dasar bagi kesuksesan dan kebahagiaan jangka panjang (Fletcher dan Cooke, 2008). Optimisme, antusiasme dan sikap positif bisa menghasilkan sebuah perbedaan. Kekuatan lain dari self-leadership adalah bahwa ini adalah proses mature dari nostrum syrupy Peale yang eksesif menjadi sebuah badan mature yang berisi pikiran dan penelitian tanpa kehilangan emphasis terapannya. Terakhir, self-leadership adalah teman bagi pendekatan sifat ke leadership. Ini bukan hanya menjelaskan situasi sebuah sifat seperti konfidensi diri tapi juga strategi untuk meraihnya. Kelemahannya adalah bahwa self-leadership bukanlah bentuk sebenarnya dari leadership jika leadership didefinisikan memiliki follower atau memperluas pengaruhnya ke orang lain. Karena itu, istilah self-leadership, seperti superleadership, adalah sebuah sedikit rentangan, dan mungkin bukan pilihan istilah terbaik. Sebuah istilah seperti self-management, mungkin lebih cocok dan jarang mudah dipengaruhi. Fungsi leadership didelegasikan bukan hanya ke individu yang self-leadership tapi juga ke tim.

2.6 Tim Yang Self-Managed

(9)

melapor ke leader formal. Literatur leadership menfokuskan diri ke kemunculan leadership di dalam kelompok yang tanpa leader, tapi tujuan utama dari leadership tersebut adalah mempelajari formasi leadership, bukan fungsi leadership tanpa leader formal. Pertukaran sosial dan teori peran mengkristalkan beberapa wawasan sosial penting bagi leadership, tapi ini jarang dianalisa dalam sebuah konteks self-management. Meski begitu, di tahun 1980an, perhatian besar diberikan ke inovasi Jepang dalam hal devolusi, pemberdayaan pegawai, lingkaran kualitas dan ukuran yang sama. Ini mengawali terjadinya perubahan dramatis dalam pemeriksaan tim. Dengan cepat, minat untuk mempelajari tim perbaikan kualitas yang self-managed, tim proyek yang “empowered”, dan berbagai tipe kelompok user self-managing, mulai menjamur. Teori lama dianalisa lagi dalam konteks fungsi leadership distributif di dalam setting kelompok kerja atau proyek tradisional, bukan di saat mengontrol kelompok atau memastikan pengaruh leader (Burke dkk, 2006).

Tim self-managed dan yang dijalankan secara formal ditata di sebuah spektrum. Perbedaan antara leadership tim formal dan tim self-managed baru terasa di level ekstrim. Tim yang dikelola formal memiliki leader “kuat” yang memilih anggota atau tugas kerja, mengawasi progress, mendorong anggota, memberikan feedback bagi deviasi kerja, menentukan tujuan, mengevaluasi progress, dan mengkomunikasi harapan organisasi ke anggota sekaligus mengkomunikasikan kinerja tim ke organisasi. Dalam cara ekstrim, tim self-managed memilih anggotanya, semua anggota mengawasi progress, pendorongan diberikan oleh kolega, penentuan tujuan dan evaluasi dilakukan dalam sebuah setting kelompok, masalah kerja (termasuk ekspulsi anggota) ditangani secara komunal, dan leadership eksternal dirotasi atau ditetapkan oleh kelompok dalam basis ad hoc.

Teori tim self-managed dikemukakan sebagai pendekatan universalistik bukan pendekatan kontingensi untuk kenyamanan dan kejelasan. Para pengguna teori tersebut berpendapat bahwa tim self-managed bisa hanya bergerak dalam kondisi khusus (disebut variabel moderasi), dan harus dikatakan sebagai sebuah tipe dari sekian tipe leadership tim, bukan tipe dari leadership tim. Gaya gabungan leadership tim mendistribusi fungsi standar leadership antar kelompok, atau memudahkan kelompok membagi fungsi leadership berdasarkan bakat dan ketersediaan anggota. Karena itu, arah, dukungan, partisipasi, pencapaian, inspriasi, dan keterkaitan eksternal bisa ditentukan dan dijalankan secara mutual. Praktek ini adalah sebuah bentuk demokrasi kerja, dan ketika berfungsi ideal, ini bisa meningkatkan identifikasi kerja, seleksi tugas berbasis bakat dan kepentingan, fleksibilitas dan inovasi. Ini juga mengurangi beban organisasi seperti bayaran tinggi bagi sejumlah leader. Uang yang ada bisa diinvestasikan dalam profesional bergaji tinggi yang bisa mengelola dirinya dalam individu dan dalam tim. Meski begitu, ketika tim self-managed berfungsi dengan buruk, maka ini menyebabkan frustasi, menimbulkan perselisihan yang tidak berujung, “free rider” (anggota yang tidak peduli bobot dirinya), kerumitan tujuan, akuntabilitas yang rumit, pertemuan eksesif, dan patologi manajemen lain.

(10)

self-select (tanggap dengan sendirinya) menjadi sibuk dengan sendirinya ke apa yang dianggap perlu. Setelah makan, kelompok lain yang merasa perlu bertugas mulai melakukan pembersihan, dan menjalankan tugas berbeda dengan menutup kurangnya leadership dan arah sentral atau formal. Contoh self-organizing ini menggambarkan beberapa faktor yang menghasilkan tujuan dan pendekatan umum, seperti sejarah kerjasama dan kerja bersama, proyek dan tujuan bersama, dan kepentingan umum. Dalam dunia organisasi, pendekatan umum ditingkatkan dengan budaya dan filosofi kuat yang kemudian mengandalkan latarbelakang pendidikan sama. Contoh, pendidikan kerja sosial di agensi layanan sosial bisa memperkuat pendekatan umum. Meski begitu, karena banyak perspektif disiplin multipel yang digunakan di banyak tim, dan karena kompleksitas fungsi teknis yang harus dijalankan, maka banyak organisasi yang ingin mencetak tim self-managed perlu menjalankan pelatihan tim ekstensif (Scholtes, 1988). Pelatihan ini mengajarkan fungsi dasar leadership atau bagaimana mendistribusikan fungsi leadership.

Prinsip lain dari teori manajemen adalah bahwa tanpa akuntabilitas, produktivitas bisa lambat dan kualitas bisa beragam menurut levelnya. Jawaban manajemen klasik harus memberikan level kaskade otoritas leadership dalam sebuah setting hirarkis. Katzenbach dan Smith adalah orang yang mengatakan bahwa di banyak setting, akuntabilitas mutual adalah efektif atau lebih efektif dibanding akuntabilitas vertikal. Teori pertukaran sosial menyatakan bahwa sebagian aksi di setting kerja adalah rasional, dan didasarkan pada resiprokitas. Di level tangibel, upah diberikan untuk layanan yang diterima, dan pertimbangan khusus diberikan untuk kerja keras. Tidak ratanya power tidak perlu menjadi sebuah faktor dalam pertukaran. Tim berkinerja tinggi digambarkan dengan pertukaran tipe kontribusi berbeda dengan usaha tim dan digambarkan dengan pertukaran “kesukaan” tanpa syarat. Di level intangibel, pertukaran implisit bisa berisi loyalitas yang ditukar dengan keamanan, dan patuh ke leader yang ditimbal balik dengan kehormatan ke kecakapan pekerja. Pengaruh dan rasa hormat bisa sama atau resiprokal. Agar akuntabilitas mutual bisa terbentuk, maka keuntungan mutual harus ditukarkan secara bebas dan konsisten, dan hubungan power harus relatif sama. Makna kuat dan positif dari kebersamaan nasib bisa memotivasi tim. Tim performa tinggi bisa menggunakan prinsip mutualitas mendalam untuk mengangkat anggota tim ke level usaha besar saat menghadapi tuntutan, deadline, atau krisis yang tidak biasa.

Prinsip ketiga dari tim self-managed yang berfungsi baik adalah perlunya skill komplementer. Teori peran memberikan basis untuk tindak lanjut. Peran terbaik selalu didasarkan pada skill dan kepribadian individu. Kejelasan peran menghasilkan perbedaan dalam kenyamanan anggota, efisiensi dan pengurangan konfusi. Lebih jauh, perbedaan peran bisa menjadi lebih penting dengan kompleksitas tugas. Skill komplementer didasarkan pada bakat alam anggota tim yang dikembangkan agar spesialis dalam efisiensi dan koordinasi. Meski begitu, sebuah dalil pentingnya adalah bahwa peran leadership harus didistribusikan. Teori peran menyatakan bahwa pihak dalam peran leadership diharap bisa kompeten dalam skill sosial dasar, memiliki tindak-tanduk tepat, dan layak dipercaya. Agar peran leadership bisa dibagi, semua anggota harus kompeten dalam interpersonal, profesional dan layak dipercaya. Karena itu, meski anggota bisa dan harus memiliki set skill berbeda untuk menciptakan usaha tim, maka mereka harus memiliki kompetensi leadership dasar agar model manajemen difusif bisa diterapkan dengan baik.

(11)

kelompok bertambah, tekanan memformalkan peran juga meningkat. Formalisasi peran bisa meningkatkan keseragaman kerja, konsistensi harapan, dan kebutuhan akuntabilitas kompleks. Meski begitu, formalisasi peran sering mengurangi fleksibilitas, ownership umum produk kelompok, dan kreativitas dan inovasi. Tim self-managed berusaha menghindari formalisasi peran agar bisa memberikan keuntungan bagi potensi kearifan. Katzenbach dan Smith menegaskan bahwa “Semua tim yang kita temui, baca, dengar, atau dimana kita pernah bergabung, bisa beragam anggotanya dari 2 sampai 25 orang. Mayoritas mereka beranggotakan kurang dari sepuluh” (1993). Beberapa orang mendukung agar anggota tim bisa berinteraksi langsung, mengenal satu sama lain, percaya satu sama lain, dan merasakan ikatan masyarakat yang kuat. Pendekatan umum adalah yang lebih sering diambil, dan tujuan jarang menjadi terpecah. Penting untuk diperhatikan bahwa, di beberapa bagian, akuntabilitas mutual bisa diawasi secara informal.

Variabel kinerja memiliki keragaman tersendiri di literatur tim self-managed, dari emphasis ke perkembangan individu lewat tim hingga emphasis ke produktivitas tim yang tinggi. Katzenbach dan Smith (1993) berpendapat bahwa emphasis ke produktivitas tim bisa ditemukan di dalam “organisasi kinerja tinggi”. Seperti model transformasi Bass, yang menitikberatkan pada “harapan di luar kinerja”, variabel kinerja juga berisi produksi tinggi, keselarasan eksternal, dan perubahan organisasi meski berada di level mikro. Ini juga menghasilkan kepuasan follower, perkembangan mutual dan kualitas keputusan.

Meski ada sindiran ke “semangat tim” yang sering dihubungkan ke tim atlit, ada beberapa teori konkrit tentang tim non-vertikal sampai sekarang. Teori tim menjelaskan adanya mode organisasi kuat, dan memberikannya perhatian sentral. Meski kadang dibesar-besarkan sebagai revolusi manajemen yang bisa merubah dunia organisasi (Peters, 1992, 1994; Manz dan Sims, 1993), ada sedikit keraguan bahwa tim dengan fitur self-leadership memiliki dampak besar ke organisasi kontemporer. Kekuatan kedua dari literatur ini adalah ditegaskan bahwa kelompok self-managed yang berkualitas tinggi tidak pernah mudah dicapai, dan jarang terjadi di semua situasi. Faktanya, tim self-managed menggunakan desain yang lebih sosioteknis dibanding yang digunakan tim leadership vertikal normal. Ini sering diabaikan dalam organisasi tim tahun 1990-an, ketika banyak organisasi memberdayakan tim yang berstruktur buruk dan kurang terlatih (yang kinerjanya rendah atau buruk), atau ada salah paham bahwa tim diberdayakan ketika dalam realitanya hanya mendelegasikan tanggungjawab tambahan (yang menyebabkan burnout dan sinisme). Dengan perpaduan literatur tim dan peningkatan kepopuleran tim, koneksi antara realita dan teori tim juga dijembatani. Teori tim masih sangat fragmentatif dibanding aspek lain dalam literatur leadership. Ada sedikit konsistensi dalam nomenklatur, konsep atau model teoritis. Sampai sekarang, tidak ada proses koheren dalam menghubungkan tim self-managed dengan teori leadership (Day, Gronn dan Salas, 2006; Hmieleski dan Pearce, 2006).

2.7 Teori Leadership Network

(12)

pendekatan governance, dan berbagai tipe bentuk interorganisasi dan cross-sectoral dari kerjasama (Klijn, Koopenjan, dan Termeer, 1995; Jackson dan Stainsby, 2000).

Hal penting di balik pemahaman leadership network adalah argumen tentang potensi merit. Teori network dan ideologinya menitikberatkan pada perlunya mendukung kesehatan masyarakat dan lingkungan untuk kebaikan semua orang. Ini membutuhkan perspektif jangka panjang dalam meraih banyak hasil. Ini menitikberatkan ke perspektif win-win yang kooperatif yang bisa didapat hanya dengan menyelesaikan masalah dengan melihatnya sebagai peluang bila ini diperiksa cukup luas. Ini berarti bahwa semua sistem, khususnya yang meningkatkan kebaikan umum, memiliki sumberdaya terbatas yang cenderung membuang uang bila pendekatan sistemik tidak digunakan. Karena itu, leadership kolaboratif cenderung terjadi dalam masyarakat dan lingkungan profesional yang sensitif ke kebutuhan dan akuntabilitas komunal, dan dimana leader individu memiliki kecenderungan kolaboratif.

Leader network cenderung memiliki mentalitas layanan kuat, dan bisa sangat baik pada konsultasi dan pengamatan lingkungan. Mereka memiliki sense kuat ke masyarakat, yang bisa masyarakat lokal atau regional, masyarakat lingkungan, komunitas praktek atau kebutuhan (charity) dan seterusnya. Leader network sukses harus dipersepsikan sebagai yang memiliki goodwill dan yang jarang memiliki hidden agenda, tapi memiliki waktu untuk mendalami kepentingan mutual. Idealnya, leader network memiliki sumberdaya yang tersedia untuk membantu masyarakat lebih besar tanpa khawatir dengan hasil investasi yang cepat atau konkrit.

Basis penelitian berhubungan erat dengan gaya kolaboratif, dan ini banyak dipengaruhi oleh perspektif publik dan perspektif non-profit. Teori leadership relasional (Uhl-Bien, 2006) adalah cabang dari teori sistem yang menekankan pada proses leadership, bukan orang yang menjalankan leadership (pendekatan entitas lebih dominan di literatur dan di perspektif teori). Teori leadership hubungan difokuskan ke leadership sebagia proses konstruksi sosial dengan tatanan sosialnya. Teori network cenderung memiliki perkembangan normatif kuat seputar perlunya berbagi power untuk alasan etika dan pragmatis (Agranoff, 2008a; Cortada dkk, 2008), dan untuk bekerjasama guna menyelesaikan masalah tegas yang mungkin sulit dipecahkan (Chrislip dan Larson, 1994; Heifetz, 1994).

Leader network dinilai lewat kontribusinya ke pembangunan masyarakat, pembelajaran dan pembagian mutual, penyelesaian masalah kooperatif, dan penyelesaian masalah “jahat”. Daripada mendapat “potongan pie yang besar”, maka network leader berusaha memperluas ukuran pie untuk semua orang.

3. KESIMPULAN

(13)

superleadership Manz dan Sims (1989, 1991) kurang begitu memberikan emphasis ke leadership direktif dan insentif negatif. Teori Substitusi untuk Leadership menyatakan bahwa jawaban ke persoalan leadership ternyata tidak selalu banyak, tapi ada sedikit untuk itu, yaitu proposisi kondisi empiris ketika tidak ada leader yang bisa meningkatkan proses leadershipnya (Kerr dan Jermier, 1978). Kepada siapa atau apa yang dimaksud dengan leadership distributif? Ada tiga jawaban – individu, tim dan network. Self-leadership mengamati karakteristik yang bisa dijalankan semua pekerja, dan berusaha kurang dependen ke leader atau atasan formal, lebih mampu dijalankan dengan baik dalam situasi leadership distribusi ekstensif, dan siap menerima atau memperluas leadership formal jika dan kapan peran ini dijalankan. Kadang, leadership bisa terjadi lewat sekelompok individu yang berbagi fungsi leadership sebagai sebuah tim. Teori tim kinerja tinggi dari Katzenbach dan Smith (1993) menggambarkan perspektif tim self-managed sebagai contoh yang digunakan di sini. Kadang, leadership terjadi dalam lingkungan yang lebih dispersif, seperti network, yang mana kolaborasi dengan pihak di luar organisasi adalah sesuatu yang penting. Leadership informal, followership dan superleadership memberikan emphasis ke perspektif berbeda, yaitu ke hubungan power-sharing dalam proses leadership. Teori substitusi, self-leadership, dan leadership tim difokuskan ke strategi konkrit untuk mengurangi peran leader formal dalam meningkatkan distribusi tanggungjawab yang lebih baik ke follower. Leadership network mengambil manfaat power-sharing dari luar organisasi.

TUGAS DAN DISKUSI KELAS

1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas 2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas 3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa

REFERENSI

Burke et al., (2006); Katzenbach dan Smith (1993); Mintzberg (1973); Scholtes (1988); Peters (1992 – 1994); Manz dan Sims (1993). Model Leadership Horisontal dan Distributif. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Conger dan Pearce (2003); Clarke (2006); Barnard (1938 – 1987); Davis (1953); Pielstick (2000); Bass (2008); Wheelan dan Johnston (1996). Model Leadership Horisontal dan Distributif. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Day, Gronn dan Salas (2006); Hmiekeski dan Pearce (2006); Klijn, Koopenjen dasn Termeer (1995); Jackson dasn Stainsby (2000). Model Leadership Horisontal dan Distributif. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

(14)

Leadership Horisontal dan Distributif. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Kerr (1977); Kerr dan Jermier (1978); Howell, Dorfman dan Kerr (1986); Hui et al., (2007); Dionne et al., (2005); Bass (1990); Manz (1992); Deci (1975); Bandura (1977 – 1986); Norman Vincent Peale (1940, 1950, 1956 – 1959). Model Leadership Horisontal dan Distributif. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Manz dan Sims (1987 – 1989 – 1991); Hersey dan Blanchard (1969 – 1972); Houghton, Neck dan Manz (2003). Model Leadership Horisontal dan Distributif. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Referensi

Dokumen terkait

- Pendapat serta pandangan dari berbagai ahli hukum yang digunakan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai tinjauan

Hasil program IbM ini menunjukkan bahwa respon masyarakat peternak sapi perah sangat baik dan antusias untuk proaktif mengikuti program dalam semua kegiatan selama

Proses pesanan yang terdapat pada Aza Collection dimulai dengan pelanggan mengirimkan gambar sampel pesanan yang kemudian diterima oleh bagian penjualan, lalu

Tentu saja alokasi akan diberikan kepada sel yang biayanya paling rendah di baris 3 tersebut, yakni sel C32 (kebutuhan kota B dengan kapasitas Pabrik 3)...

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Pada tahap perancangan, hasil dari analisa data pada tahap sebelumnya dilakukan perancangan, meliputi perancangan proses tata kelola TI dan perancangan dokumen pada

[r]

Tujuan penulisan skripsi ini ialah menciptakan game multiplayer pada telepon seluler dengan data yang tersentralisasi, dan memberikan alternatif game bagi gamers