APA ITU ETIKA?
1. Penjernihan Istilah
1) Etika dan Moral
Istilah etika berasalah dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Etika memiliki tiga arti. Pertama, kata “etika” bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, “etika” berarti juga: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Ketiga, “etika” mempunyai arti lagi: ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika sebagai ilmu dapat membantu untuk menyusun kode etik. Etika dalam arti ketiga ini sering disebut “filsafat moral”
Tentang kata “moral” sudah kita lihat bahwa etimologinya sama dengan “etika”, sekalipun bahasa asalnya berbeda. “Moralitas” (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada lebih abstrak. Kita berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
2) Amoral dan Immoral
Kata amoral memiliki arti: “tidak berhubungan dengan konteks moral”, “diluar suasana etis”. “non-moral”. Lalu immoral sendiri memiliki arti: “bertentangan dengan moralitas yang baik”, “secara moral buruk”. “tidak etis”. Kata “amoral” sebaiknya diartikan sebagai “netral dari sudut amoral” atau “tidak mempunyai relevansi etis”. Contoh tadi bias dirumuskan “Memeras para pensiunan adalah tindakan tidak bermoral.”
3) Etika dan Etiket
Perbedaan antara “etika” dan “etiket”. “Etika” disini berarti “moral” dan “etiket” berarti “sopan santun”. Ada beberapa perbedaan sangan penting antara etika dan etiket.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain atau tidak ada saksi mata, etiket tidak berlaku. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain.
Etiket bersifat relative. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Lain halnya dengan etika. Etika jauh lebih absolute.
Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari segi dalam.
2. Etika sebagai Cabang Filsafat
1) Moralitas: Ciri Khas Manusia
Moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak terdapat pada makhluk hidup lain. Makhluk yang paling dekat dengan manusia tentunya biantang. Karena itu dalam filsafat di masa lampau sering kali diusahakan untuk menentukan kekhususan manusia dengan membandingkannya dengan binatang. Banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang-plus; binatang dengan ditambah suatu perbedaan khas, manusia adalah binatang plus karena mempunyai kesadaran moral. Moralitas merupakan suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi.
2) Etika: Ilmu tentang Moralitas
Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Cara lain untuk merumuskan hal yang sama adalah bahwa etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Di sini kita mengikuti pembagian atas tiga pendekatan yang dalam konteks ini sering diberikan, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika.
a. Etika Deskriptif
Etika deskriptif meluikiskan tingkah laku moral dalam arti luas. Misalnya, adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan atau subkultur tertentu. Etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak member penilaian.
b. Etika Normatif
melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Secara singkat dapat dikatakan, etika normatif bertujuan untuk merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan dalam praktik.
Etika normatif dapat dibagi lebih lanjut dalam etika umum dan etika khusus.
I. Etika umum memandang tema-tema umum seperti: Apa itu norma etis? Jika ada banyak norma etis, bagaimana hubungan-hubungannya satu sama lain? Tema-tema sepeti itulah menjadi objek penyelidikan etika umum.
II. Etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang Khusus. Dapat dikatakan juga bahwa dalam etika khusus itu premis normatif dikaitkan dengan premis faktual untuk sampai pada suatu kesimpulan etis yang bersifat normatif juga.
c. Mataetika
Awal meta- (dari bahasa Yunani) mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Dapat dikatakan juga metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Kita simpulkan bahwa dalam studi tentang moralitas dapat dibedakan pendekatan non-filosofis dan pendektan filosofis. Pendekatan non-filosofis adalah etika deskriptif, sedangkan pendekatan filosofis bisa sebagai etika normatif dan bisa juga sebagai metaetika atau etika analitis.
3) Hakikat Etika Filosofis
Etika sebagai ilmu melanjutkan kecenderungan kita dalam hidup sehari-hari itu. Etika mulai, bila kita merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Etika termasuk filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Namun perlu ditekankan, etika juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang siap pakai. Dalam kalangan kaum awam, sering kali filsafat tidak mempunyai nama harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena membahas hal-hal yang abstrak dan kurang relevan untuk hidup sehari-hari.
Situasi moral dalam dunia modern mengajak kita untuk mendalami studi etika. Rupanya studi etika itu merupakan salah satu cara yang member prospek untuk mengatasi kesulitan moral yang kita hadapi sekarang. Sudah pernah diketengahkan bahwa alasan-alasan yang kita punya untuk mendalami studi etika sangat mirip dengan situasi di Yunani kuno sekitar pertengahan abad ke-5 s.M. Bagi kita tidak ada jalan lain daripada rasio untuk memecahkan masalah-masalah moral yang kita hadapi sekarang ini. Menempuh cara hidup yang etis berarti mempertanggungjawabkan perilaku kita berdasarkan alasan-alasan, artinya, berdasarkan rasio. Melalui jalan rasional perlu kita bersama-sama---mungkin sesudah diskusi panjang lebar---mencaru kesepakatan di bidang moral.
4. Moral, Agama, dan Etika Filosofis
Tidak bisa disangkal, agama mempunyai hubungan erat dengan moral. Dalam praktik hidup sehari-hari, motivasi kita yang terpenting dan terkuat bagi perlaku moral adalah agama. Setiap ajaran agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.
Mengapa ajaran moral dalam suatu agama dianggap begitu penting? Karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan. Dengan kata lain, dasarnya adalah Wahyu.
Perlu diakui, momralitas bukan merupakan monopoli orang beragama. “Baik” dan “buruk” tidak mempunyai arti untuk orang beragama saja. Adalah kenyataan bahwa dewasa ini tidak sedikit orang menganut suatu etika humanistis dan secular, tanpa huungan apaun dengan agama. Sekarang ini juga jalan rasional membuka prospek paling baik untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dibidang etika.
5. Moral dan Hukum
Sebagaimana terdapat hubungan erat antara moral dan agama, demikian juga antara moral dan hukum. Kita mulai saja dengan memandang hubungan ini dari segi hukum: hukum membutuhkan moral. Untuk itu terutama ada dua alasan. Pertama, dalam kekaisaran Roma sudah terdapat pepatah Quid leges sine moribus? “Apa artinya undang-undang, kalau tidak dijiwai oleh moralitas?” Hukum tidak berarti banyak jika tidak dijiwai dengan moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Kualitas hokum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya.
Disisi lain juga moral membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang saja, kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat.
Walaupun ada hubungan erat antara moral dan huku,. Perlu dipertahankan juga bahwa moral dan hukum tidak sama. Kenyaataan yang paling jelas membuktikan hal itu adalah terjadinya konflik antara keduanya. Tidak mustahil adanya undang-undang immoral, undang-undang yang boleh dan barangkali malah harus ditolak dan ditentang atas pertimbangan etis.