• Tidak ada hasil yang ditemukan

METAFORA DALAM TANGGAP WACANA PANYANDRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "METAFORA DALAM TANGGAP WACANA PANYANDRA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

METAFORA DALAM TANGGAP WACANA PANYANDRA

UPACARA PERKAWINAN ADAT JAWA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bahasa dan budaya merupakan suatu perpaduan yang indah jika diteliti lebih lanjut. Suatu hubungan yang tidak terpisahkan antara keduanya, bahasa melambangkan budaya bangsa atau sebaliknya. Bahasa merupakan alat penyalur kebudayaan agar tetap lestari. Pelaksanaan upacara-upacara adat, seperti upacara kelahiran, perkawinan, kehamilan, dan kematian, tidak akan terlepas dari peran serta bahasa sebagai pengantarnya, karena sifat bahasa adalah sebagai alat komunikasi.

Menurut Purwandari (2007:1), penggunaan bahasa yang biasa digunakan dalam suatu kegiatan kemasyarakatan seperti upacara-upacara adat dalam masyarakat Jawa disebut tanggap wacana (sesorah).

Tanggap wacana inggih punika ngendika wonten ing sangajenging tiyang kathah. Ingkang gamblangipun ngendika wonten ini sangajenging tiyang kathah kanti maksud ingkang gumathok (Panuntun, dalam

Purwandari, (2007: 1).

Dalam pernikahan adat Jawa, tanggap wacana digunakan dalam sembilan rangkaian acara pernikahan Jawa, yaitu tanggap wacana dalam acara pasrah tampi atau serah teima calon pengantin laki-laki, akad nikah, upacara panggih atau bertemunya pengantin laki-laki dan pengantin perempuan, pelaksanaan upacara adat Jawa,

pambagyaharja, pangayubagya atau upacara penghormatan, kirab pengantin, wasitaadi atau pemberian wejangan dan nasihat yang diberikan kepada kedua mempelai, dan penutup. Namun, dalam penelitian ini penulis hanya akan memfokuskan pada tanggap wacana dalam pelaksanaan upacara panggih atau dan pelaksanaan upacara adat Jawa.

(2)

yang sebenarnya. Beberapa latar belakang inilah yang melatarbelakangi penulis untuk meneliti tentang metafora dalam tanggap wacana panyandra upacara perkawinan adat Jawa.

1.2 Rumusan Masalah

(1) Apa saja jenis metafora dalam dalam tanggap wacana panyandra upacara perkawinan adat Jawa?

(2) Apakah kandungan makna metafora dalam tanggap wacana panyandra upacara perkawinan adat Jawa?

1.3 Tujuan

(1) Untuk menguraikan jenis metafora dalam tanggap wacana panyandra upacara perkawinan adat Jawa.

(2) Untuk mendeskripsikan kandungan makna metafora dalam tanggap wacana panyandra upacara perkawinan adat Jawa.

1.4 Studi Pustaka

Penelitian tentang pelaksanaan pernikahan Jawa banyak dilakukan, salah satunya diteliti oleh Santosa (2000) dengan judul Sejarah dan Perkembangan Upacara Adat Perkawinan Jawa di Surakarta. Penelitian ini meneliti tentang rangkaian acara upacara adat perkawinan di Surakarta. Penelitian ini menghasilkan sebuah temuan, yaitu lamanya pelaksanaan upacara perkawinan adat Jawa di Surakarta ini berlangsung kurang lebih 60 hari, yang dimulai dengan acara nontoni, meminang, peningsit,

serahan, pingitan, tarub, siraman, panggih, dan ngundhuh pengantin. Selain

menjelaskan prosesnya, penelitian ini juga menghasilkan temuan tentang perlengkapan upacara perkawinan seperti sesaji, rias, dan busana yang digunakan dalam upacara perkawinan adat Jawa.

Peneliti yang kedua dilakukan oleh Purwandari (2007) dengan judul Gaya Bahasa Sesorah Panyandra dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa. Penelitian ini memaparkan jenis dan fungsi gaya bahasa yang ada dalam upacara pernikahan adat Jawa. Namun, dalam penelitian ini, metafora tidak menjadi fokus utama sehinga tidak dijelaskan secara detail mengenai jenis dan maknanya. Temuan inilah yang membuat penulis untuk melengkapi kajian metafora yang ada dalam tanggap wacana panyandra upacara perkawinan adat Jawa.

(3)

Matthews (1977: 136) mengatakan bahwa metafora adalah penggunaan suatu kata atau ungkapan dari suatu objek atau tindakan dengan tujuan yang lain. Metafora memiliki tiga elemen pokok di dalamnya, yaitu (1) pebanding (tenor atau target domain) adalah konsep, objek yang dideskripsikan, dibicarakan, dikiaskan,

dilambangkan, dan dibandingkan; (2) pembanding (vehicle atau source domain) adalah kata-kata kias itu sendiri; dan (3) persamaan antara pebanding dan pembanding (groun atau sense) adalah relasi persamaan antara target domain dan vehicle (Richards, 1965: 97).

Menurut Wahab (1990: 126—129) metafora dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu metafora universal dan metafora kultural. Metafora universal adalah metafora yang mempunyai medan semantik yang sama sebagian besara budaya di dunia, baik lambang hiasan maupun maknanya, sedangkan metafora kultural adalah metafora budaya yang medan semantiknya terikat oleh budaya untuk lambang dan maknanya. Metafora dalam fokus penelitian ini lebih condong pada metafora kultural khususnya metafora yang terikat oleh budaya Jawa.

Dalam pengklasifikasian metafora ini digunakan teori Halley (1980) yang membagi metafora menjadi sepuluh medan semantik, yaitu sebagai berikut.

a. Metafora keadaan adalah metafora yang meliputi hal-hal abstrak, seperti kebenaran dan kasih sayang.

b. Metafora kosmos adalah metaforan yang meliputi benda-benda kosmos, terutama matahari dan bulan.

c. Metaforan kekuatan adalah metafora yang meliputi hal-hal yang memiliki kekuasaan atau tenaga, seperti angin, cahaya, api dengan prediksi dapat bergerak.

d. Metafora substansi meliputi macam-macam substansi dengan prediksi dapat memberi kelembab, bau, tekanan, dan sebagainya.

e. Metafora permukaan bumi adalah metafora yang meliputi hal-hal yang terkait atau terbentang di permukaan bumi, misalnya sungai, laut, gunung, dan sebagainya. f. Metafora benda mati, meliputi benda-benda yang tak bernyawa, yang nyta, dan dapat

dilihat seperti meja, buku, dan sebagainya.

(4)

h. Metafora manusia adalah makhluk yang dapat berpikir atau memiliki dan menggunakan intelektualitasnya.

i. Metafora binatang, yaitu semua makhluk atau organisme yang dapat berjalan, berlari, dan sebagainya selain manusia.

j. Metafora tumbuhan adalah metafora yang meliputi seluruh jenis tumbuh-tumbuhan seperti daun, sagu, dan sebagainya.

1.6 Metode Penelitian

Metode ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil data. Pada tahap pengumpulan data, data didapatkan dari data tertulis yang berasal dari karangan Suwarna Pringgawidagda dan S. Rekso Panuntun dalam Purwandari (2007). Selain itu, penulis juga melakukan menggunakan teknik wawancara langsung dan metode simak teknik sadap dengan teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik catat pada informan yang bernama Pudjo Buntoro, seorang pranata acara temanten.

Selanjutnya, tahap analisis data dimulai dari penerjemahan dengan

menggunakan metode padan translasional. Selanjutnya, data diklasifikasikan sesuai dengan jenis morfologi yang dijadikan pedoman peneliti. Tahap terakhir, adalah penyajian analisis data. Hasil analisis data disajikan secara deskriptif, yaitu perumusan atau pengungkapan hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata atau dengan kalimat-kalimat.

II. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis data, ada enam jenis metafora yang ditemukan dalam tanggap wacana panyandra upacara pernikahan adat Jawa. Keenam metafora tersebut adalah (1) metafora kosmos, (2) metafora kekuatan, (3) metafora benda mati, (4) metafora manusia, (5) metafora binatang, dan (6) metafora tumbuhan. Dari keenam jenis metafora tersebut, jenis metafora tumbuhan yang paling banyak ditemukan. Berikut paparan temuan data dan pembahasan tiap jenis metafora.

2.1 Metafora Kosmos

(5)

Pengantin wanita memakai cundhuk mentul emas berukir, ketika berjalan kerlap-kerlip cahayanya…alisnya bagaikan rembulan muda, lengkung bulu matanya mengarah ke langit….

Data (1) di atas membandingkan alis dengan wulan tumanggal dan idep dengan

tumengen tawang. Makna metafora tersebut menggambarkan bahwa penganten putri itu adalah seorang perempuan yang benar-benar mendekati kesempurnaan. Mulai dari rambut sampai kaki digambarkan tanpa cacat. Namun, metafora kesempurnaan fisik pengantin putri yang memenuhi klasifikasi metafora kosmos hanya penggambaran alis bagai rembulan muda yang berbentuk sabit dan bulu mata yang panjang dan lentik melengkung ke atas.

(2) …cahyane risang penganten pindha surya lan sitoresmi bebasane…. … cahayanya sang pengantin bagaikan matahari dan rembulan….

Data (2) di atas membandingkan antara raut wajah kebahagiaan pengantin yang terlihat bersinar cerah seperti matahari dan rembulan. Setiap orang yang menikah, terlebih menikah dengan orang yang dicintai rasanya seperti plong, telah berhasil menemukan tujuan hidupnya. Keberhasilan itu ditandai dengan perasaan yang bahagia karena sudah menemukan tulang rusuknya yang terpisah selama bertahun-tahun. Selain itu,

kebahagiaan itu juga disebabkan banyaknya undangan yang datang dengan begitu banyak doa yang dipanjatkan untuk kedua pengantin. Doa agar menjadi pasangan yang utuh selamanya.

(3) atela (langenarjan) awarni kresna sinulam benang kencana pating calorot cahyane kena soroting pepandam samadyaning pahargyan kadya

taranggana silih prenah.

berpakaian hitam bersulaman benang emas, cahayanya memancar ke berbagai arah, seperti bintang.

Data (3) di atas membandingkan antara baju pengantin yang mewah berhiaskan emas hingga memancarkan cahayanya seperti bintang. Metafora ini digunakan sebagai gambaran betapa mulianya kedua pengantin yang berpakaian serba mewah layaknya pakaian yang digunakan oleh raja.

2.2 Metafora kekuatan

(6)

Pengantin wanita memakai cundhuk mentul emas berukir, ketika berjalan kerlap-kerlip cahayanya…matanya cerah bening bercahaya bagaikan diam tertiup angin…

Data (4) di atas menunjukkan metafora kekuatan yang membandingkan antara mata yang tetap bercahaya meskipun tertiup angin. Menandakan beatapa senangnya

pengantin putri karena ada seseorang pangeran yang berada di sampingnya, yang bebas ia pandangi tanpa gangguan apapun bahkan seringan angin pun tidak mampu

menghalangi beningnya mata karena perasaan senang pengantin putri. 2.3 Metafora Benda Mati

(5) Penganten putri ngagem cundhuk mentul pepethan pinarada ing emas kencana, lamun lumaksana pating krelip tejane…palaraban nyela cendhani … asta nggendhewa pinenthang

Pengantin wanita memakai cundhuk mentul emas berukir, ketika berjalan kerlap-kerlip cahayanya…dahinya bagaikan marmer… tangannya

melengkung bak busur ditarik…

Data (5) di atas membandingkan dahi pengantin putri yang mulus mengilap seperti marmer atau pualam yang halus dan bahan terbaik untuk dijadikan lantai rumah. Metafora ini dimaknai bahwa pengantin itu wajahnya selalu bercahaya. Hati pengantin putri bahagia dan kebahagiaan itu membawa rona wajahnya yang selalu bersinar. Selain itu, penganten putri juga digambarkan tangannya yang melengkung indah seperti busur panah, sehingga segala polah tingkahnya terlihat cantik bak putri sehari dengan segala kesempurnaannya.

(6) …pinaringan pratima ingkang saged atata jalma, nun inggih putra ingkang minangka rerengganing bale wisma.

dari merekalah akan lahir sebuah arca yang dapat berbicara, yaitu anak yang akan menambah indah dan asrinya keluarga.

Data (6) di atas membandingkan arca dengan anak. Metafora di atas merupakan harapan agar kedua pengantin segera dikaruniai pratima ingkang saged atata jalma yaitu putra yang akan menambah kebahagiaan dan kesempurnaan kedua pengantin sebagai seorang manusia. Layaknya harapan sebagian besar sepasang pengantin baru yang ingin segera mempunyai keturunan untuk menjadi keluarga yang tiada kurang apapun.

2.4 Metafora Manusia

(7)

Pengantin berdua didudukkan di tempat yang dihias indah, bak narendra ari sajuga.

(8) soroting netra risang apindha narapati kebak kawibawan, sarira sinungga ing busana satemah katingal mrabu sarta mrabawani. Soroting netra risang apindha prameswari mahyakaken raos adhem, ayem, sarta bisa hangayomi ingkang mahanani tansah resep dinulu.

sinar matanya yang bagaikan raja penuh kewibawaan didukung oleh pakaiannya kelihatan seperti raja besar dan penuh wibawa. Sinar matanya yang bagaikan prameswari memancarkan rasa aman tenteram enak dipandang serta dapat memberikan perasaan tenang.

(9) Paripurna winisudah risang penganten kekalih, kawuryan kang pinindha raja kepareng lenggah jajar siniwaka ing dhampar…

Selesainya upacara wisuda pengantin berdua, kelihatan yang bagaikan raja duduk berdampingan di dhmapar

Data (7), (8), dan (9) membandingkan kedua pengantin dengan raja dan ratu sehari. Pengantin dalam pernikahan adat Jawa diibaratkan seperti raja. Gambaran itu terlihat dari sasana pawiwahan atau tempat dilaksanakan acara pernikahan yang serba megah dan dihiasi berbagai uborampe yang masing-masing komponennya mempunyai makna yang dalam. Selain itu, terlihat dari pakaian yang digunakan mulai dari kepala sampai ujung kaki semua memakai pakaian dan pernak-pernik yang dipakai raja dan ratu. Tidak hanya itu, sepasang pengantin juga diiringi para pengawal berupa cantik dan tampan, semua memakai baju yang serba indah. Tamu-tamu yang datang pun ikut berbahagia seperti kebahagiaan yang dirasakan pengantin, tidak ada sedikit kesedihan pun terlihat dari kedua pengantin, keluarga, atau pun tamu. Semua yang datang ikut berpesta dan berbahagia.

(10) Satemah hanambahi kawibawane putra penganten sekaliyan ingkang katingal pekik myang sulistya ing warni wadanane sumunar. Lamun

cinandra sirna sipating janma pindho sang Yang Bathara Kumajaya miwah Bathari Ratih mangejawantah.

Oleh karenanya, keindahan dan kewibawaan pengantin berdua yang cantik dan tampan semakin ditambahkan. Jika digambarkan mereka berdua bagaikan Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih yang turun ke dunia.

(8)

bagus Raden Dananjaya ingkang hanganti risang garwa Kusumaning Dyah Ayu Dewi Wara Sembadra….

Sungguh pengawal prosesi itu memang berwibawa dan pantas dalam penampilan, sehingga dipercaya sebagai pimpinan prosesi, sesekali ia menengok ke belakang, untuk melihat pengantin berdua yang telah berganti busana pangeran kewibawaan, jika diibaratkan seperti Raden Harjuna dan Dewi Sumbadra.

(12)Upacara kirabing penganten saya tambah adi kawuryan karana sri penganten wus ngagem busana kasatriyan candrane kadya Raden Bagus Dhanang Sutawijaya atmajane Ki Pemanahan, hanganthi garwanira Dewi Samangkin, putra putrinipun Sunan Bagus Prawa ing Kalinyamat.

Upacara kirab pengantin semakin agung karena pengantin sudah memakai busana ksatriyan, pancarannya seperti Raden Bagus Dhanang Sutawijaya anaknya Ki Pemanahan menggandeng istrinya Dewi Samangkin anaknya Sunan Bagus Prwa dari Kalinyamat.

Data (10) , (11), dan (12) menunjukkan metafora yang membandingkan pengantin dengan tokoh yang menjadi simbol cinta sejati, yaitu Dewa Kamajaya dengan Dewi Ratih, Raden Harjuna dengan Dewi Sumbadra, dan Raden Bagus Dhanang Sutawijaya dengan Dewi Samangkin. Ketiga tokoh tersebut dipilih dijadikan sebagai metafora karena Dewa Kamajaya sangat mencintai Dewi Ratih begitu sebaliknya dan Raden Harjuna yang sangat mencintai Dewi Sumbadra meskipun Raden Harjuna memiliki banyak istri tapi Dewi Sumbadra lah yang paling dicintainya, begitu pun Dewi Sumbadra yang tetap mencintai suaminya Raden Harjuna meskipun tahu kalau suaminya mempunyai banyak istri dan Dewi Sumbadra harus bersedia berbagi Raden Harjuan dengan istri-istri lainnya. Kemudian, Raden Bagus Dhanang Sutawijaya yang menjadi cinta sejati dari Dewi Samangkin dan sebaliknya.

(13) Priya pideksa kalih cacahipun ing sapengkering penganten punika wnang den sebut Manggala Yuda ingkang…

Dua pria gagah perkasa yang berada di belakang pengantin berdua, digambarkan sebagai senopati perang yang dipimpin oleh…

(14) Putri dhomas ingkang minangkan para warara, kawuryan kaya putri perdikan saking bawah jagad Banyubiru

Putri dhomas yang bertugas mengiring terlihat seperti putri perdikan dari bumi Banyubiru.

(9)

sedangkan Manggala Yuda (senopati perang) diumpamakan seperti Suwandageni, anaknya Ki Demang Sangkalputung beserta Sang Agung Sedayu, anak dari Ki Sadewa, mereka berdua dari daerah Jatianom. (16) Pethiting lampah ingkang anggun hanjampangi lampah, kadulu kadi Ki

Ageng Panjawi pamomonging Sutawijaya duk ing nguni.

Barisan paling belakang yang senantiasa mengiring dan melindungi dapat diibaratkan seperti Ki Ageng Panjawi, pengasuh Sutawijaya pada zaman berdirinya Kerajaan Mataram Kotagede.

Data (13), (14), (15), dan (16) itu menunjukkan para pengiring kedua pengantin yang dibandingkan dengan abdi kerajaan. Data (13) dan (15) membandingkan manggala yudha yang seolah-olah berperan menjadi senopati perang seperti Suwandageni dan Sang Agung Sedayu sebagai panglima perang dari Kerajaan Mataram. Keduanya seolah-olah sebagai pelindung kedua pengantin dari segala marabahaya yang bisa saja mengancam di hari bahagia ini. Kedua manggala yudha tersebut ingin melayani dengan ikhlas demi kebahagiaan sang raja dan ratu. Data (14) membandingkan putri dhomas yang cantik jelita berasal dari tlatah Banyubiru.Data (16) membandingkan pethiting lampah dengan Ki Ageng Panjawi, pengasuh Sutawijaya. Dimaksudkan pengantin akan mempunyai nasib yang sama dengan Raden Bagus Dhanan Sutawijaya yang memiliki budi pekerti baik atas asuhan dari Ki Ageng Panjawi, yaitu pengantin mendapatkan asuhan, contoh, serta pitutur yang baik dari para pethiting lampah sebagai bekal kehidupan berumah tangga.

3.5 Metafora Binatang

Rep sidhem premanem tan ana sabawaning walang alisik. Hening sunyi, tiada suara apapun.

(17) ...tresna ingkang suci menika ingkang saged minangka talining asih satemah gesangipun saged kados mimi hamintuna, atut runtut rerentengan, golong-gilig ing budi, saeka praya ing pakarya, saeka kapti ing pakarti. …cinta yang suci itulah yang dapat mempersatukan, sehingga hidup mereka seperti mimi lan mintuna, selalu bersama tak terpisahkan, satu tekad satu tujuan bekerja sama saling bahu membahu.

Data (17) di atas menunjukkan bahwa pengantin diibaratkan dengan hewan mimi lan mintuna, yaitu ikan kecil berjenis kelamin laki-laki, yang bernama mintuna dan ikan berjenis kelamin perempuan yang bernama mimi. Kedua pengantin diharapkan bagaikan kedua ikan tersebut karena ke mana mintuna pergi, mimi selalu mengikuti begitu

(10)

diharapkan selalu bersama dan tidak pernah berpisah hingga maut yang memisahkan antara keduanya.

(18) Dhasa busananipun endah ingkang angagem sulistya samya asarira sedheng kuning nemu giring pakulitane mawa cahya ingkang pepindha pakudang samya aretaton ing madyaning tetuwuhan.

Sungguh serasi, busana indah yang mengenakan para wanita cantik, bentuk tubuh sedang dan berkulit kuning memancarkan cahaya bak burung kepodang yang berkumpul di tengah-tengah pepohonan.

Data (18) di atas menunjukkan metafora antara putri dhomas dengan burung kepodang. Penyamaan antara keduanya adalah kecantikan dan kulit putri dhomas yang berwarna kuning langsat, seperti burung kepodang yang cantik dan berbulu kuning cerah.

(19)…kawuryan ngegla yayak taksaka munggwing situbanda layu, wimbuh saya akarya bregasing panganten kakung...

melingkari leher dan menumpang di pundak, bagaikan ular yang menggantung lemas menambah sentosanya pengantin pria

Data (19) di atas membandingkan antara kalung yang melingkar di leher pengantin pria dengan ular yang menggantung lemas. Makna dari metafora ini adalah tidak hanya abdi kerajaan yang ingin ikut memeriahkan kebahagiaan yang dialami raja, tetapi juga hewan seperti ular tak berkutik dengan kekuasaan pengantin laki-laki yang seperti raja.

2.6 Metafora Tumbuhan

(20) Rep sidhem premanem tan ana sabawaning walang alisik. Lah iki menika minangkan pratandha bebukaning panyandra. Satuhu kathah papan ingkang edi, kathah papan ingkang endah, lan nengsemaken, nanging boten kados edi lan endahing sasana pawiwahan. Gapuraning pawiwahan rinengga edining rerenggan janur kuning, sinangga ing pisang raja, cengkir gadhing, tebu wulung, pari sawuli, sekar sarta wohing kapas, ron apa-apa, suket alang-alang miwah roning kaluwih, ron waringin sarencekipun, pengaron ingkang isi sekar setaman, ingkang minangka wasita sinandhi. Wimbuh amilangoni sasana pawiwahan kang pinajang dlancang rinonce, wilis, seta, rekta, miwah kresna.

Hening sunyi, tiada suara apapun. Itulah sebuah tanda dimulaianya suatu penggambaran. Sesungguhnya banyaklah tempat nan indah, banyak pula tempat yang asri dan menyenangkan, tetapi tidaklah seindah dan asrinya tempat pesta, dihias begitu indah dengan daun kelapa muda (janur),

dilengkapi dengan pisang raja, kelapa gading muda, tebu warna ungu (tebu wulung), seikat padi, bunga, dan buah kapas, daun apa-apa, rumput alang-alang serta daun kluwih, setangkai daun beringin, tempayan air berisi aneka bunga (kembang setaman) yang melambangkan kedalaman makna.

(11)

Data (20) menunjukkan metafora yang bertujuan untuk pengharapan bagi sang pengantin. Pengantin diharapkan seperti janur kuning yang bermakna nur berarti cahaya, cahaya yang sungguh-sungguh adalah cahanya Tuhan. Dengan demikian diharapkan pengantin selalu mendapatkan petunjuk dan lindungan dari Tuhan sehingga dapat melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan agama. Selanjutnya,

pengantin diharapkan bisa menjadi pisang raja yang bermakna pengantin memiliki watak raja yang penuh tanggung jawab, baik budi, setia akan janjinya, mencintai rakyatnya dan mampu menjadi teladan bagi yang lainnya.

Metafora selanjutnya, pengantin diharapkan seperti cengkir gading maksudnya di dalam kelapa muda berisi air bening. Pengantin berdua diharapkan saling mencintai dengan tulus dan suci, dengan keheningan cipta, rasa, dan karsa. Lalu, penganti diibaratkan seperti tebu wulung yang bermakna anteping kalbu atau keteguhan hati (Wiromidjojo, 1983: 7) maksudnya adalah pengantin diharapkan mempunyai hati yang teguh untuk selalu menjaga kehormatan keluarganya.

Metafora selanjutnya, pengantin diharapkan seperti pari sawuli yaitu

mempunyai sifat seperti padi, ditanam seikat dan belum akan mati jika belum berbuah. Maksudnya, tidak akan mati kalau belum bisa mempunyai keturunan dan semakin tua semakin merunduk. Selanjutnya, pengantin diharapkan menjadi seperti bunga serta buah kapas, maksudnya pengantin dapat menjadi contoh bagi keluarga yang lain karena terlihat bahagia dan pengantin akan selalu berkecukupan yang dilambangkan dengan kapas.

Selanjutnya, pengantin diharapkan seperti roning kaluwih, ron waringin sarencekipun yang bermakna selalu berkecekupan bahkan memiliki kebutuhan yang dibutuhkan itu lebih, sehingga bisa menjadi penolong, pelindung, dan pengayom orang-orang yang ada di sekitarnya. Terakhir, pengantin diharapkan menjadi seperti sekar setaman ing pangaron yang bermakna mengandung makna bahwa kehidupan pengantin berdua dapat membawa keharuman seperti wanginya minyak wangi dan bunga.

(21)Apa ta mungguh ingkang kinarya kangge bebalangan? Gantal wujudipun sedhah ingkang lininting tinangsulan ing lawe seta. Sedhah nun suruh pindha lumah lawan kurepe, nadyan beda rupane yen gineget tunggal rasane.

(12)

Data (21) itu memetaforakan antara gantal atau suruh yang diikat dengan tali.

Dipilihnya daun suruh ini karena hanya daun suruh yang jari-jari daunnya berpasangan atau bertemu dengan pasangan. Dengan harapan kedua pengantin ini selalu bersama selamanya.

III. PENUTUP

Berdasarkan temuan dan pembahasan di atas, ada enam jenis metafora yang ditemukan, yaitu (1) metafora kosmos, (2) metafora kekuatan, (3) metaforan benda mati, (4) metafora manusia, (5) metafora binatang, dan (6) metaforan tumbuhan. Dari keenam metafora di atas metafora tumbuhan yang paling banyak muncul. Hal ini bisa saja terjadi karena dalam sasana pawiwahan atau tempat dilangsungkannya acara pernikahan dihiasi dengan berbagai tanaman. Namun, pemilihan tanaman tidak asal pilih, tetapi setiap tanaman mempunyai makna yang dalam yang menggambarkan harapan dari pernikahan tersebut.

Selanjutnya, makna dari setiap metafora itu berbagai macam, yaitu

menggambarkan kesempurnaan, kemewahan, kesakralan, dan keindahan dari segala rupa yang ada dalam resepsi pernikahan, mulai dari segala yang dipakai penganti, pengiring temanten, hingga sasana wiwahannya. Selain itu, metafora juga berisi tentang harapan-harapan bagi temanten. Segala harapan baik setelah terjadinya pernikahan.

DAFTAR PUSTAKA

Halley, Michael C. 1980. “Concrete Abstraction: The Linguistic Universe of Metaphor” dalam Linguistic Perspective on Literature. London: Routledge and Kegan Paul. Matthews, P. 1977. The Concusi Oxford Dictionary of Linguistics. New York: Oxford

University Press.

Purwandari, Retno. Gaya Bahasa Sesorah Panyandra dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta: Arindo Nusa Media.

(13)

Santosa, Djarot Heru. 2000. Sejarah dan Perkembangan Upacara Adat Perkawinan Jawa di Surakarta. Laporan Penelitian pada Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (mimeo).

Wahab, Abdul. 1990. Metafora sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi. Yogyakarta: Kanisius.

Referensi

Dokumen terkait

Metafora nominal digunakan oleh Kompas dan Koran Tempo untuk mengiaskan lima hal, yaitu (a) Indonesia sebagai korban teror, (b) dekatnya teror bom dengan masyarakat, (c)

Perjuangan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan penjajah telah dimulai sejak masa kerajaan-kerajaan, perlawanan yang gigih tersebut dilakukan di bawah pimpinan para raja, pangeran,

Berdasarkan analisis metafora bentuk animate (fauna/hewan) pada mantra mantra masyarakat Melayu Galing Sambas dapat disimpulkan bahwa, terdapat metafora bentuk animate

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah (i) bagaimana ranah target dan ranah sumber metafora dalam wacana berita di Kedaulatan Rakyat edisi 20 September

Fungsi tersebut dapat ditemukan dari penggunaan metafora di media massa yang digunakan oleh politikus sebagai sarana retorika dan masyarakat sebagai sarana untuk

Berbagai jenis tumbuhan palawija dan hewan seperti burung, belalang, tikus, ular, katak, keong sawah dan masih banyak lagi hewan lain yang ikut serta menghiasi persawahan

Sekaitan dengan contoh data tersebut, dapat dikatakan bahwa metafora antropomorfis tidak hanya ditemui pada benda-benda mati, tetapi juga pada ‘zat’ yang dianggap

Sebagai teori atau ilmu yang berkembang yang setara dengan ilmu lain seperti semiotika maka metafora retorika visual dalam seni sebagai kajian yang penting untuk