• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA METAFORA DALAM LAGU IWAN FALS YANG BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL TESIS SITI AISAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA METAFORA DALAM LAGU IWAN FALS YANG BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL TESIS SITI AISAH"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

METAFORA DALAM LAGU IWAN FALS

YANG BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL

TESIS

SITI AISAH

0706182236

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

DEPOK

JULI 2010

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

METAFORA DALAM LAGU IWAN FALS

YANG BERTEMAKAN KRITIK SOSIAL

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora

SITI AISAH

0706182236

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

DEPOK

JULI 2010

(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji saya panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat, dan kasih sayangNya yang tiada henti dianugerahkan sehingga saya berhasil menyelesaikan penulisan tesis ini.

Berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai bagian dari tugas akademis untuk meraih gelar Magister Humaniora dari Program Studi Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Dengan penghargaan yang tinggi, ucapan terima kasih yang tulus dan dalam saya sampaikan kepada:

1. Dr. Risnowati Martin yang penuh perhatian dan kasih sayang membimbing dan memotivasi saya agar tetap semangat dan optimis menyelesaikan tesis ini.

2. Dr. Phil. Setiawati Darmojuwono yang dengan penuh kesabaran dan curahan kasih sayang membimbing dan juga memotivasi untuk terus bersemangat menyelesaikan studi saya.

3. Dr. Afdol Tharik Wastono sebagai penguji yang telah memberikan masukan, kritik, dan saran demi perbaikan tesis ini.

4. M. Umar Muslim, Ph.D., Ketua Program Studi Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, yang selalu menumbuhkan semangat dan tiada henti mengingatkan saya akan batas studi.

5. Ibu Wiwin Triwinarti, M.A., selaku Sekretaris Program Studi Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.

6. Para pengajar di Program Studi Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, yakni Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana, Prof. Dr. Benny H. Hoed; Prof. Dr. Rahayu S. Hidayat; Prof. Dr.

(7)

Dr. Felicia N. Utorodewo; Dr. Risnowati Martin; Dr. Setiawati Darmojuwono; Dr. F.X. Rahyono; Dr. Myrna Laksman; Dr. Untung Yuwono; Kushartanti, M.Hum., dan pengajar lain yang tidak sempat saya sebutkan di sini, yang sangat berjasa menumbuhkan semangat, membukakan daya pikir dan mengalirkan kejernihan ilmu yang sangat berharga.

7. Mbak Nur, Mbak Rita, dan Mas Nanang yang selalu siap memberi bantuan dan informasi selama saya menjalani studi.

8. Seluruh karyawan perpustakaan FIB yang selalu siap membantu menemukan buku-buku sumber yang saya butuhkan selama saya menjalani studi di program linguistik ini.

9. Dekan, Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III FKIP Untirta Serang-Banten atas dukungan dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menimba ilmu di program studi linguistik FIB, UI.

10. Ketua Prodi dan seluruh rekan sejawat di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang selalu hadir memberi warna dan keceriaan di kala gundah dan penat menerpa. 11. Ayah (almarhum), ibu, bapak dan ibu mertua di Depok, kakak, adik, dan

kakak-kakak ipar yang selalu mengalirkan kasih sayang dan semangat di setiap langkah yang saya tempuh.

12. Abang Adi, suamiku tersayang yang selalu menemani dan menjadi curahan hatiku, serta menjadi ’pengasuh’ kedua buah hati kita di kala ku berkutat dengan tesis ini.

13. Fayza dan Farzan tersayang, tawa dan keceriaan kalian selalu mengalirkan semangat bunda berkarya.

(8)

Odien, Mbak Eri, Mbak Sri, Niken, Silva, Listi, Mas Donty, Iban Ronal, Pak Fauzi, Pak Irsan, Ika, Neneng, Pamela, Mbak Wati, Bu Rani, Mbak Kartika, Mbak Setyowati, dan Cynthia atas segala kenangan indah dan kebersamaan yang sangat berkesan selama menimba ilmu di Program Studi Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Akhir kata, kepada semua pihak yang telah berkontribusi, baik langsung maupun tidak langsung untuk tersusunnya tesis ini, saya haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Saya memohon kepada Allah SWT, semoga rahmat dan berkahnya selalu dilimpahkan kepada semua pihak yang telah membantu saya menyelesaikan studi ini.

Kritik dan saran selalu saya nantikan dan saya berharap semoga karya kecil ini bermanfaat.

Serang, 15 Juli 2010

(9)
(10)

HALAMAN JUDUL... i

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... viii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 5

1.5 Metodologi Penelitian ... 5

1.6 Kemaknawian Penelitian ... 6

1.7 Sistematika Penyajian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengantar... 7

2.2 Metafora dari Berbagai Sudut Pandang ... 8

2.3 Penelitian Terdahulu ... 12

2.4 Beberapa Pendekatan dalam Kajian Metafora ... 13

2.4.1 Semiotik ... 13

2.4.2 Semantik... 15

2.4.3 Pandang Pragmatik ... 17

2.4.4 Wacana dan Teks ... 17

2.5 Lirik Lagu ... 18

2.5.1 Iwan Fals dan Lirik Lagu Ciptaannya... 19

BAB 3 KERANGKA TEORETIS 3.1 Pengantar... 20

3.2 Metafora Konseptual... 20

3.3 Klasifikasi Majas... 24

(11)

4.1.1 Judul Lagu: OPINIKU ... 30

4.1.2 Judul Lagu: SUMBANG... 33

4.1.3 Judul Lagu: TIKUS TIKUS KANTOR... 38

4.1.4 Judul Lagu: BESAR DAN KECIL ... 41

4.1.5 Judul Lagu: DUNIA BINATANG ... 43

4.1.6 Judul Lagu: ASIK NGGAK ASIK... 45

4.1.7 Judul Lagu: 17 Juli 1996 ... 49

4.1.8 Judul Lagu: BUKTIKAN... 51

4.1.9 Judul Lagu: KUDA LUMPING ... 53

BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 65 LAMPIRAN

(12)

Tabel

Tabel 2.1 Relasi Ikon, Indeks, Simbol ... 14

Tabel 4.1 Tabel Majas ... 56

Tabel 4.2 Tabel Ranah Sumber dan Sasaran ... 57

Tabel 4.3 Tabel Jenis Metafora... 58

Gambar Gambar 3.1 Gambar Segitiga Ogden dan Richards ... 27

(13)
(14)

Program Studi : Linguistik

Judul : Metafora dalam Lagu Iwan Fals yang Bertemakan Kritik Sosial

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ranah sumber dan jenis metafora yang terdapat di dalam lirik lagu-lagu Iwan Fals. Sumber data yang digunakan adalah lirik lagu Iwan Fals yang bertemakan kritik sosial dari album tahun 1982, 1983, 1986, 1991, 1992, 1993, 2004. Data dipilih secara purposive, yaitu dipilih judul lagu yang berisi tentang kritik sosial. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson (1980) dan teori metafora dalam arti luas dari Moeliono (1989) sebagai landasan teori.

Berdasarkan hasil analisis, ditemukan ranah sumber BINATANG yang paling dominan digunakan di dalam lirik lagu Iwan Fals. Jenis majas yang terdapat di dalam lagu yang paling sering digunakan pencipta lagu untuk menyampaikan kritik sosial adalah jenis majas perbandingan langsung atau metafora dan perumpamaan atau simile. Jenis ungkapan metaforis berdasarkan teori Lakoff dan Johnson (1980) yang paling dominan terdapat dalam lagu adalah jenis metafora struktural dan ontologis. Kata Kunci: Metafora, Lirik lagu, Kritik Sosial

ABSTRACT

Nama : Siti Aisah Program Studi : Linguistik

Judul : Metaphor in Iwan Fals Social Critics Songs Lyrics

This study is aim at finding the source domain and the type of metaphor in Iwan Fals’ song lyrics. The song lyrics taken from Iwan Fals album by the year of 1982, 1983, 1986, 1991, 1993, 2004.The data is taken purposively based on the theme songs ‘social critics’ in Iwan Fals album. This is a descriptive qualitative study using conceptual metaphor theory by Lakoff and Johnson (1980) and metaphor theory in broad sense by Moeliono (1989). Based on data analysis, it was found that the trope being used in the songs lyrics are metaphor and simile. Metaphorical expressions based on Lakoff and Johnson theory (1980) found mostly in the songs lyrics are structural metaphor and ontological metaphor.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa digunakan penuturnya untuk menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaannya dalam berbagai situasi komunikasi. Seorang pencipta lagu, menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaannya melalui lirik lagu yang ia ciptakan. Lirik lagu merupakan media yang digunakan pencipta lagu untuk menyampaikan pesannya kepada para pendengar atau penikmat musik. Di samping sebagai sarana hiburan, lirik lagu dapat digunakan sebagai media untuk memberikan informasi dan opini terhadap masalah sosial yang terjadi di suatu lingkungan masyarakat atau di sebuah negara.

Lagu tersusun atas beberapa bait yang mengekspresikan ide, gagasan, dan perasaan pencipta lagu. Jadi, lirik lagu juga seperti puisi karena tersusun atas beberapa bait yang berisi gagasan dan perasaan yang ingin disampaikan penciptanya. Menurut Rifatarre (1978), puisi adalah salah satu wujud aktivitas bahasa, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa yang digunakan sehari-hari. Lebih lanjut disebutkan bahwa sebuah puisi mengatakan sesuatu yang berbeda dari makna yang dikandungnya (Rifatarre, dalam Budiman: 2004). Selain itu, Rifatarre (1978) juga menjelaskan bahwa memahami puisi itu seperti sebuah donat. Sesuatu yang hadir secara tekstual adalah daging donatnya, sedangkan sesuatu yang tidak hadir secara tekstual adalah ruang kosong berbentuk bundar yang berada di tengahnya dan sekaligus menopang dan membentuk daging donat menjadi donat. Ruang kosong ini oleh Rifatarre (1978) dibedakan atas dua jenis, yaitu hipogram potensial (yang terkandung dalam arti kias atau majas, bahasa sehari-hari seperti preposisi dan sistem deskriptif) dan hipogram aktual (berupa teks-teks atau wacana yang sudah ada sebelumnya yang dapat menjadi referensi atau acuan puisi tersebut). Terkait dengan puisi, untuk memahami sebuah lirik lagu juga hampir sama dengan cara memahami sebuah puisi.

(16)

Menurut Jakobson dalam Budiman (2004), unsur pembangun yang dominan di dalam sebuah puisi adalah metafora. Jika mengaitkan karakteristik puisi dengan lirik lagu, maka di dalam lirik lagu pun unsur pembangunnya adalah metafora. Metafora atau majas digunakan di dalam lirik lagu dengan tujuan estetis, agar lagu tersebut indah, enak didengar, serta membantu pendengar agar lebih mudah memahami makna sebuah lagu.

Menurut Moeliono (1989: 175), majas digunakan untuk mengkonkretkan dan menghidupkan sebuah tulisan sehingga tulisan tersebut tidak bersifat monoton dan lebih variatif . Di dalam karya sastra seperti novel dan puisi biasanya terdapat majas yang memperindah tulisan dan membantu imajinasi pembaca agar lebih mudah memahami bacaannya. Menurut Aristoteles (384-322 M), metafora merupakan sebuah alat atau sarana yang berasal dari ragam bahasa puitis. Aristoteles menganggap metafora sebagai bahasa yang luar biasa dan dekoratif, serta berbeda dengan bahasa keseharian yang sederhana. Menurutnya, metafora merupakan majas retorika yang hanya digunakan dalam kesempatan tertentu, seperti dalam pementasan drama.

Lakoff dan Johnson (1980:3) menyatakan bahwa metafora ada di dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak hanya di dalam kegiatan berbahasa, tetapi juga ada dan tersusun di dalam pikiran dan tindakan manusia. Sebagai contoh, untuk mengungkapkan rasa kesal, seseorang yang sedang marah atau emosi biasanya melontarkan kata-kata yang berkaitan dengan binatang atau hewan, seperti dasar, anjing lu!, dia memang binatang!. Seseorang yang melontarkan hal tersebut, mempersamakan seseorang yang ia rujuk dengan seekor anjing. Contoh lainnya adalah di dalam sebuah puisi berjudul Aku karya Khairil Anwar, terdapat larik yang menggunakan metafora binatang, yaitu larik aku ini binatang jalang. Ungkapan metafora seperti contoh tersebut, terlontarkan oleh seseorang secara spontan karena tercetus dalam pikiran seseorang yang sedang emosi, berada di luar kontrol diri, sehingga terucap kata-kata yang mengandung metafora binatang sebagai wujud ekspresi emosi dirinya. Di kalangan remaja di Amerika Serikat, sebagai ungkapan olok-olok seorang remaja kepada teman sebayanya yang penakut atau pengecut juga

(17)

seringkali terdengar ungkapan metafora binatang, yakni ungkapan seperti come on, don’t be such a chicken. Kata chicken digunakan sebagai pembanding antara seseorang yang bersikap layaknya seekor chicken (ayam) yang bersifat penakut/pengecut menurut latar budaya Amerika. Berdasarkan contoh tersebut, tampak bahwa metafora digunakan dalam percakapan sehari-hari dan dilontarkan secara spontan untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran seseorang.

Berkaitan dengan proses mengungkapkan perasaan dan pikiran, seorang pencipta lagu, seperti Iwan Fals menuangkan perasaan dan pikirannya mengenai kondisi sosial politik yang terjadi di Indonesia melalui lirik lagu. Agar lirik lagu tersebut mudah dipahami dan indah didengar, pencipta lagu menggunakan metafora dalam lirik-lirik lagunya. Penggunaan metafora dalam lirik lagu dilakukan oleh pencipta lagu dengan maksud untuk membandingkan atau mencari kaitan antara dua hal secara implisit. Sebagai contoh dalam sebuah lirik lagu anak-anak terkenal, yaitu you are my sunshine (kau adalah cahaya matahariku), kata you (kau) dibandingkan dengan my sunshine (cahaya matahariku) mendeskripsikan bahwa sosok you (kau) memiliki karakteristik atau ciri seperti cahaya matahari, yaitu yang mampu menyinari atau memberi sinar, memberi kehidupan bagi makhluk hidup di alam semesta ini.

Metafora juga dapat mengkomunikasikan apa yang dipikirkan dan dirasakan penulis mengenai sesuatu, dapat menjelaskan dan menyampaikan suatu gagasan atau ide yang bersifat khusus dengan cara yang lebih menarik sehingga mudah dipahami oleh pembaca (Knowles dan Moon, 2006:4). Selanjutnya, Kövecses (2002:20) mengatakan bahwa metafora tidak hanya meliputi bahasa yang digunakan penuturnya untuk mengungkapkan emosi tetapi juga metafora penting untuk memahami aspek konseptualisasi emosi dan pengalaman emosional. Berkaitan dengan pendapat Kovecses (2002:20) tersebut, metafora dalam lagu merupakan ekspresi emosi pencipta lagu terhadap sesuatu yang menyentuh hatinya dan dialaminya dalam realitas kehidupan. Lakoff dan Johnson (1980:156) juga menyatakan bahwa, “metaphors may create realities for us, especially social realities”. Metafora

(18)

mengkonstruksikan realitas yang ada khususnya realitas sosial politik yang terjadi di sekitar.

Fairclough (1989: 120) menggunakan metafora DISEASE (penyakit) untuk menunjukkan masalah sosial atau kata sakit yang secara metaforis merepresentasikan keadaan sosial yang bermasalah di masyarakat. Istilah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia adalah masyarakat yang sakit, merujuk pada keadaan sosial masyarakat yang bermasalah seperti banyaknya peristiwa kekerasan atau kriminalitas di suatu lingkungan masyarakat.

Dalam realitas sosial-politik di Indonesia, para politisi kerapkali menggunakan ungkapan metaforis ketika terjadi debat pendapat atau pro-kontra mengenai sesuatu hal. Sebagai contoh, penggunaan metafora yoyo untuk menyinggung sikap seseorang yang tidak teguh pendirian di dunia politik, karena sebagaimana diketahui bahwa yoyo adalah sebuah mainan yang diayun-ayunkan atau digerakkan ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan. Selain itu, penjelasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas keseleo lidah kadernya juga merupakan ungkapan metaforis. Frasa keseleo lidah merupakan ungkapan metaforis yang mempersamakan lidah dengan kaki yang keselo, dalam hal ini bermakna sesuatu yang terjadi tidak sengaja.

Terkait dengan penggunaan metafora dalam kehidupan sehari-hari untuk mengungkapkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat, maka saya tertarik untuk melakukan penelitian mengenai metafora di dalam lagu. Saya tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai unsur metaforis yang terdapat dalam lagu-lagu Iwan Fals karena lirik-lirik lagu Iwan Fals kerapkali menggunakan metafora untuk menyampaikan pesan, opini, dan perasaan pencipta lagu terhadap peristiwa yang terjadi di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Jenis ungkapan metaforis apa yang digunakan dalam lirik lagu Iwan Fals dilihat dari aspek semantis.

(19)

2) Ranah apa yang paling dominan sebagai ranah sumber untuk membentuk metafora dalam lirik lagu Iwan Fals.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ungkapan metaforis dalam lirik lagu Iwan Fals dilihat dari aspek semantis.

2) Penelitian ini bertujuan untuk menemukan ranah yang paling dominan sebagai ranah sumber dalam lagu-lagu Iwan Fals.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pada tataran teks lirik lagu dengan fokus pada metafora. Fokus penelitian ini adalah untuk menemukan jenis ungkapan metaforis yang terdapat di dalam lirik lagu dan menemukan ranah sumber yang paling dominan yang terdapat dalam lirik lagu berdasarkan teori Lakoff dan Johnson (1980).

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian berupa teks lirik lagu Iwan Fals. Data berupa lirik lagu berasal dari album lagu Iwan Fals pada tahun 1982, 1983, 1986, 1991, 1992, 1993, 2004. Peneliti memilih album pada periode tahun tersebut karena lagu-lagu pada masa tersebut cukup populer dan isi lagunya secara umum melontarkan kritik sosial terhadap pemerintah yang berkuasa. Data yang sudah dikumpulkan kemudian diklasifikasikan berdasarkan isi lagu yang mengandung metafora. Peneliti memilih 9 lagu yang bertemakan tentang kritik sosial terhadap pemerintah yang berkuasa pada masa tersebut. Berikut ini 9 judul lagu yang diteliti:

1) Opiniku 2) Sumbang

(20)

4) Besar dan Kecil 5) Dunia Binatang 6) Asik Nggak Asik 7) 17 Juli 1996 8) Buktikan 9) Kuda Lumping

Pada tahap analisis data, setiap bait yang mengandung metafora dianalisis dengan menggunakan analisis komponen makna. Peneliti memetakan ranah sumber dan ranah sasaran yang ditemukan dalam lagu, kemudian peneliti mengkaji isi lagu dan metafora yang terdapat dalam lagu secara kontekstual.

1.6 Kemaknawian Penelitian

Manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya kajian mengenai metafora khususnya metafora dalam lagu di Indonesia.

2) Melengkapi penelitian yang berkaitan dengan ungkapan metaforis dalam lirik lagu sehingga dapat menjadi acuan bagi pemerhati bidang bahasa, sosial dan politik, serta umumnya bermanfaat bagi pengembangan kosa kata dalam bidang sosial, politik, dan komunikasi.

1.7 Sistematika Penyajian

Sistematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bab 1 berisi pendahuluan yang menguraikan latar belakang penelitian dan permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, metode penelitian dan sumber data penelitian, dan manfaat penelitian. Bab 2 berisi tinjauan pustaka dan penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini. Bab 3 menguraikan kerangka teori yang merupakan landasan teoretis penelitian ini. Bab 4 berisi analisis lirik lagu, Bab 5 berisi kesimpulan atas permasalahan yang diajukan.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengantar

Dalam bab 2 ini, saya akan menguraikan paparan singkat mengenai kajian metafora menurut para pakar linguistik terdahulu, kemudian menjelaskan penelitian-penelitian yang telah dilakukan yang terkait dengan metafora, beberapa pendekatan ilmu yang terkait dalam kajian metafora, dan lirik lagu.

2.2 Metafora dari Berbagai Sudut Pandang

Metafora sebagai kajian dalam ilmu linguistik telah ditelaah oleh para ahli linguistik seperti Aristoteles (348-322 SM), Richards (1936), Lakoff dan Johnson (1980), Black (1979), Searle (1979), Nöth (1995), Moeliono (1989), Knowles dan Moon (2006). Berikut ini beberapa teori metafora dari para ahli tersebut.

Pada jaman Yunani kuno, Aristoteles (348-322 SM) dalam karyanya yang berjudul Rhetoric (Retorika) menyatakan bahwa metafora adalah simile (perumpamaan) yang diungkapkan dengan kata-kata like, as, resemble (seperti, bak, bagai) yang mengalami proses ellipsis atau dilesapkan. Metafora dalam the woman is a red rose, misalnya, sebenarnya merupakan perpanjangan dari simile, yaitu the woman is like a red rose, namun kata like dilesapkan. Aristoteles menyebutkan bahwa metafora berkaitan dengan substitusi atau transfer. Aristoteles (384-322 SM) menyatakan “the application of a strange term either transferred from the genus and applied to the species to another or else by analogy” (dikutip oleh Levin, 1979:79). Metafora dapat dipahami dalam konteks gerakan (transferensi), baik dari genus ke spesies (dari umum ke khusus) ataupun dari spesies ke spesies, atau berdasarkan analogi. Aristoteles menyebut transferensi tersebut sebagai ephiphora, yaitu pemindahan istilah dari satu makna ke makna lain yang menyimpang dari pengertian aslinya. Aristoteles juga menyatakan bahwa metafora merupakan sebuah alat atau sarana yang berasal dari ragam bahasa puitis. Aristoteles menganggap metafora sebagai bahasa dekoratif dan berbeda dengan bahasa keseharian yang sederhana.

(22)

Selanjutnya, Richards (1936) menyatakan bahwa metafora adalah perbandingan yang menelaah kesamaan atau kemiripan antara suatu objek dengan objek lain yang dijadikan pembandingnya. Sebagai contoh, Elizabeth is the sun, dalam kalimat tersebut sejumlah sifat the sun (matahari), antara lain kemampuannya menyinari dan menerangi, ditransfer atau digunakan untuk menjelaskan sosok Elizabeth yang memiliki sinar kecantikan yang cerah, secerah sinar matahari. Richards (1936) menyebutkan konsep transfer tersebut dengan istilah target dan source domain. Dalam contoh kalimat tersebut, Elizabeth merupakan target (sasaran) yang dianalogikan dengan the sun yang merupakan source (sumber).

Di samping itu, Richards (1936) juga menyebut metafora sebagai kajian yang melibatkan tiga unsur di dalamnya, yaitu vehicle, topic/tenor dan grounds. Vehicle merupakan hal yang menjadi sumber metafora, topic/tenor merupakan makna metaforis, sedangkan grounds adalah kaitan di antara keduanya. Berikut ini contohnya:

Context be prepared for a mountain of paperwork Vehicle mountain

Topic/tenor a large amount

Ground ideas of size, being immovable and difficult to deal with

Berdasarkan contoh tersebut, kata mountain merupakan vehicle yang menjadi source (sumber) suatu metafora yang bermakna ‘jumlah yang banyak atau berlimpah’ sebagai topic/tenor. Sebagai ground, keduanya memiliki kaitan dalam hal ‘ukuran yang besar dan sulit untuk dipindahkan’. (Ortony, 1993: 347)

Lakoff dan Johnson (1980: 3) menyatakan bahwa, “...metaphor is pervasive in everday life, not just in language but in thought and action. Our ordinary conceptual system, in terms of which we both think and act, is fundamentally methaporical in nature”. Metafora diperoleh dan dimengerti secara kognitif oleh manusia berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari yang diungkapkan melalui bahasa mereka. Cara seseorang berpikir dan bertindak sehari-hari sebenarnya bersifat metaforis.

Selanjutnya, Lakoff dan Johnson (1980: 5) berpendapat bahwa, “The essence of metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in term of another.”

(23)

(1980: 5). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesorang dapat memahami sesuatu hal melalui proses pemahamannya akan hal lain yang telah dikenal dan dipahami sebelummya dari pengalamannya sehari-hari. Dengan demikian, metafora mengorganisasi hubungan antar objek dan menciptakan pemahaman mengenai objek tertentu melalui pemahaman mengenai objek lain. Dengan kata lain, ranah sumber (source domain) digunakan manusia untuk memahami konsep abstrak dalam ranah sasaran (target domain). Sebagai contoh, DESIRE IS FIRE (HASRAT ADALAH API) menurut Lakoff dan Johnson (1980), penggunaan huruf kapital digunakan untuk menunjukkan ranah sumber dan ranah sasaran. Konsep DESIRE (HASRAT) merupakan ranah sasaran atau topic dan FIRE (API) sebagai vehicle atau ranah sumber. Jadi, dapat dipahami bahwa DESIRE (HASRAT) memiliki ciri dan sifat seperti API, yaitu, panas, bergelora, dan membakar. Jika seseorang memiliki hasrat berarti dalam dirinya terdapat suasana hati yang menggelora.

Sementara itu, Black (1979) menyatakan bahwa metafora memiliki persamaan dengan majas simile, akan tetapi dalam metafora tidak terdapat kata-kata like, as, as if. Dalam metafora terdapat pemindahan atau transfer konsep antara suatu hal dan hal yang lainnya. Black (1993) juga menyatakan bahwa untuk mengerti suatu metafora, hal yang terlebih dahulu disadari adalah bahwa suatu kata bersifat polisemantis dan metafora merupakan makna sekunder di samping makna dasar. Seperti contoh berikut, we used to trash all the teams in the Schoolby League. We had a great squad and no-one could touch us. Kata trash merupakan makna sekunder dari kata hit yang lebih bersifat literal. Oleh karena itu, maka kata trash memiliki makna metaforis yang digunakan untuk mengganti kata hit (Ortony, 2000: 167).

Dalam Handbook of Semiotics, Nöth (1995: 128) menyatakan bahwa terdapat dua istilah metafora yaitu metafora dalam arti sempit (narrow sense),  dan metafora dalam arti luas (broad sense). Metafora dalam arti sempit adalah bentuk kiasan tertentu di antara bentuk-bentuk kiasan yang lain, sedangkan metafora dalam arti luas mencakup semua bentuk kiasan.

(24)

Berkaitan dengan pengertian metafora dalam arti sempit dan arti luas, Moeliono (1989: 175) menyebut metafora dalam arti sempit (narrow sense) sebagai suatu bentuk gaya bahasa kias atau majas yang implisit, tanpa menggunakan kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, dan laksana. Contohnya: buah hati, mata jarum, anak emas, dan sebagainya (Moeliono, 1989: 175). Metafora dalam arti luas (broad sense) mencakupi semua jenis majas, yang oleh Moeliono (1989) diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas pertautan.

Searle (1979) menyatakan bahwa metafora dapat diformulasikan dengan S is P. S dalam hal ini adalah ranah sumber yang kemudian disandingkan dengan P sebagai perbandingan. Akan tetapi, Searle (1979) menegaskan bahwa S is P harus diinterpretasikan maknanya secara pragmatis menjadi S is R. Dalam hal ini, R merupakan interpretasi mitra tutur terhadap makna dari P yang bergantung pada penutur. Oleh karena itu, konsep Searle (1979) mengenai metafora memiliki landasan pragmatis. Menurut Searle, makna yang menjadi pusat perhatian adalah makna tuturan yang dikomunikasikan. Makna yang dikaji secara metaforis adalah makna yang sesuai dengan kehendak penutur. Contohnya dalam kalimat Jack is a snake (Jack adalah ular) dapat diartikan sebagai Jack is a very wicked person (Jack adalah orang yang sangat jahat) atau Jack is very cunning (Jack adalah orang yang sangat licik) tergantung dari cara mitra tutur menginterpretasikannya (Ortony, 1993: 127). Pada contoh tersebut, menunjukkan kesamaan atau kemiripan sifat dan ciri seorang Jack dengan seekor ular, yaitu licik/pandai mengelabui dan jahat/mampu membinasakan orang lain.

Menurut Knowles dan Moon (2006: 5) metafora adalah bahasa non-literal atau figuratif yang mengungkapkan perbandingan antara dua hal secara implisit. Knowles dan Moon (2006: 5) menyatakan bahwa terdapat dua jenis metafora, yaitu metafora kreatif dan metafora konvensional.

1) Metafora kreatif adalah metafora yang digunakan penulis atau penutur untuk mengekspresikan ide dan perasaannya ke dalam sebuah tulisan sehingga tulisan tersebut menjadi mudah dipahami oleh pembaca. Metafora ini

(25)

menampilkan suatu ungkapan yang baru berdasarkan realitas yang ada dan biasanya terdapat di dalam karya sastra.

2) Metafora konvensional adalah metafora yang sudah tidak lagi bersifat baru dan jenis metafora ini telah kehilangan cirinya sebagai sebuah metafora, karena metafora ini sering digunakan dan kemudian dimasukkan ke dalam kosakata sehari-hari. Misalnya untuk menunjukkan emosi marah (anger) digunakan ungkapan He exploded (kemarahannya meledak). Metafora konvensional juga sering disebut dengan metafora mati atau dead metaphor (Knowles dan Moon, 2006: 6).

2.3 Penelitian Terdahulu

Berikut ini beberapa penelitian metafora yang terkait dengan metafora dalam musik dan lagu.

Zbikowski (2002) menjelaskan bagaimana metafora dalam musik membantu pendengar memahami musik tersebut. Zbokowski (2002) mencontohkan, ketika sebuah teks lagu menuturkan tentang roda yang berputar dan air yang mengalir maka digambarkan dengan tanda berupa nada atau melodi suara gerakan roda yang berputar dan suara air yang mengalir. Bunyi-bunyi tersebut disebut sebagai text painting atau penggambaran teks, yang oleh Mark Turner (1998) disebut ikonisitas dalam rhetorical figure. Penelitian tersebut merupakan penelitian metafora dari aspek non verbal, seperti bunyi nada yang menyerupai atau menggambarkan peristiwa atau tindakan tertentu. Konsep image schema dari Lakoff dan Johnson (1980) dan Turner (1998) digunakan sebagai landasan dalam penelitian tersebut. Akan tetapi, penelitian Zbikowski (2002) ini berbeda dengan penelitian yang saya lakukan, karena saya meneliti aspek verbal dalam lirik lagu.

Murtadho (1999) menganalisis metafora dalam al-quran dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia: kajian atas metafora cahaya, kegelapan, dan beberapa sifat Allah. Berdasarkan analisis yang dilakukannya, Murtadho menemukan adanya keterkaitan antarmetafora dalam Al-Qur’an dilihat dari unsur leksikal dan interpretasinya dan ditemukan tiga kelompok metafora, yaitu: metafora tunggal

(26)

dengan interpretasi tunggal, metafora tunggal dengan interpretasi taktunggal, dan metafora taktunggal dengan kesamaan interpretasi. Murtadho juga tidak melihat adanya pergeseran makna metafora dilihat dari transposisi dan pergeseran bentuk yang mencakup pergeseran tataran; ketakrifan-kenontakrifan, ketinggalan-ketaktinggalan, dan perbedaan kelas kata.

Penelitian metafora dalam lagu telah dilakukan oleh Sari (2007) yang berjudul Analisis Metafora pada Lirik Lagu Enka dalam Besuto Hitto Daizenshu 2005. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa metafora di dalam lirik lagu Enka dalam Besuto Hitto bertemakan rasa cinta dan kehilangan . Berikut metafora yang terdapat di dalam lirik lagu Enka :

 Kehidupan adalah perjalanan  Penderitaan adalah menanjak  Penderitaan adalah hujan/dan angin  Kebahagiaan adalah entitas

 Kesedihan adalah entitas

Berdasarkan hasil analisisnya, Sari (2007) menemukan bahwa budaya Jepang menunjukkan kedekatan dengan alam, adanya kepedulian terhadap sekitar, dan konsep ketidakkekalan mujo. Penelitian ini juga membuktikan bahwa metafora berbasis pada pengalaman, dan sistem konseptual manusia bersifat metaforis.

Penelitian mengenai interpretasi lagu Iwan Fals telah dilakukan oleh Khrisna Hermawan Warsono (2007) dari Universitas Kristen Petra Surabaya. Penelitian tersebut mengkaji makna beberapa lagu Iwan Fals dari aspek semiotis dan mencari apakah ada aspek propaganda dan perlawanan dalam lagu-lagu tersebut. Warsono (2007) dalam penelitiannya menggunakan 6 buah lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Iwan Fals, yaitu lagu-lagu yang berjudul Surat Buat Wakil Rakyat, Guru Oemar Bakrie, Jangan Bicara, Bento, Sarjana Muda, dan Bongkar.  Warsono (2007) menggunakan teori semiotika untuk menganalisis data lagu-lagu tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat unsur propaganda dan ajakan melakukan perlawanan dalam lagu-lagu yang diteliti. Jadi, penelitian yang telah dilakukan oleh Warsono (2007) tersebut berbeda dengan penelitian saya, karena saya

(27)

mengkaji jenis ungkapan metaforis apa yang terdapat dalam lagu berdasarkan teori Lakoff dan Johnson (1980), serta mencari ranah apa yang paling dominan yang terdapat dalam lagu-lagu yang diteliti.

2.4 Beberapa Pendekatan dalam Kajian Metafora 2.4.1 Semiotik

Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda terdapat di mana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Menurut Van Zoest (1992: 1), semiotika adalah cabang ilmu yang berkaitan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda seperti sistem tanda dan penggunaan tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Unsur tanda yang kita indera disebut representamen. Sesuatu yang diwakili dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan, atau perasaan. Menurut Peirce dalam Zoost (1992: 7), terdapat 3 unsur yang menentukan tanda:

1) Tanda harus dapat diamati atau ditangkap sendiri.

Pengetahuan kita mengenai kode memainkan peranan penting sehingga kita mengerti nahwa sesuatu hal itu sebuah tanda. Kode yang dimaksud dapat berupa kode bahasa dan kode non bahasa. Kode non bahasa dapat berupa kebiasaan dan kode atas dasar pengetahuan pribadi. Kode yang digunakan untuk mengetahui sebuah tanda disebut dengan ground.

2) Tanda memiliki sifat representatif

Esensi tanda menurut Peirce adalah kemampuan mewakili gambaran sebuah benda, peristiwa, dan keadaan. Hasil representasi dari sebuah tanda disebut denotatum atau acuan.

3) Tanda memiliki sifat interpretatif

Hasil interpretasi akan tanda diartikan sebagai interpretant dari tanda, interpretant adalah tanda yang berkembang dari tanda yang terlebih dahulu ada dalam benak orang yang menginterpretasikannya, setelah dihubungkan dengan acuan.

Peirce dalam Noth (1990: 42) menyatakan bahwa sesuatu disebut tanda jika dapat diinterpretasi. Menurut Peirce, tanda bukanlah suatu struktur, melainkan proses

(28)

kognitif berdasarkan apa yang dapat ditangkap oleh panca indra (Hoed 2008: 4). Peirce menyebut tanda sebagai representament, yakni sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain dalam batas tertentu. “a sign is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” (Noth, 1990: 42). Tanda selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object dan interpretant. Tanda baru dapat berfungsi dan bermakna bila diinterpretasikan oleh penerima tanda/penafsir (interpreter). Peirce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan (firstness), objeknya adalah kekeduaan (secondness) dan penafsirnya adalah keketigaan (thirdness). Tanda yang berkaitan dengan representament atau ground terdiri atas, qualisign, sinsign, dan legisign. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas ikon (icon), indeks (index), simbol (symbol). Berdasarkan interpretant, tanda dibagi atas, rheme, dicent dan argumen. Relasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

2.4 Tabel Relasi Ikon, Indeks dan Simbol

Relasi dengan

representamen

Relasi dengan objek Relasi dengan interpretan kepertamaan (firstness) Bersifat potensial (qualisign) Berdasarkan keserupaan (ikonis) Terms (rheme) Keduaan (secondness) Bersifat keterkaitan (sinsign) Berdasarkan penunjukkan (indeks)

Suatu pernyataan yang bisa benar bisa salah (proposisi atau dicent) Ketigaan (thirdness) Bersifat kesepakatan (legisign) Berdasarkan kesepakatan (simbol) Hubungan proposisi yang dikenal dalam bentuk logika tertentu (internal) (argument)

(29)

2.4.2 Semantik

Semantik merupakan bidang linguistik yang mempelajari makna tanda bahasa. Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bunyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda yang dinamakan buku. Makna kata buku adalah konsep tentang buku yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata buku. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semantik mengkaji tanda bahasa, yaitu kaitan antara konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya (Darmojuwono, 2005: 121). Menurut Ogden dan Richards (1989), makna suatu kata diperoleh dari hubungan antara lambang bahasa/simbol, citra mental dan referen/acuan. Makna ini merupakan citra mental yang timbul dalam pikiran seseorang jika mendengar atau membaca tanda bahasa. Penjelasan mengenai segitiga Ogden dan Richards (1989) akan dibahas lebih jauh pada Bab 3 Kerangka Teori.

Makna merupakan kesatuan mental pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan lambang bahasa yang mewakilinya (Darmojuwono, 2005: 121). Berikut ini beberapa jenis makna menurut Chaer (2007: 289-294).

1) Makna Leksikal dan Makna Kontekstual

Makna leksikal adalah makna dasar yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Berdasarkan contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna dasar, makna yang sesuai dengan hasil observasi indera kita.

Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam konteks. Misalnya dalam kalimat “sudah hampir pukul dua belas!”, apabila dituturkan oleh seorang ibu kos/asrama putri kepada seorang pemuda yang bertandang di asrama putri tersebut, menunjukkan bahwa sang ibu kos ‘mengusir’ pemuda itu secara halus, sedangkan jika diucapkan oleh seorang karyawan kantor kepada teman kerjanya, maka makna kalimat itu bisa berarti ‘sebentar lagi waktu istirahat tiba atau waktu makan siang tiba’.

(30)

2) Makna Referensial dan Makna Non-Referensial

Sebuah kata atau leksem disebut bermakna refernsial kalau ada referensnya atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuannya di dunia nyata. Sebaliknya, kata-kata seperti dan, atau, karena adalah termasuk kata-kata yang tidak bermakna referensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referen, tetapi kata-kata tersebut memiliki makna gramatikal.

3) Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Makna denotatif adalah makna dasar yang dimiliki oleh leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Contohnya, kata buaya bermakna denotatif sejenis binatang melata yang besar, buas, dan hidup di dua tempat yaitu di perairan dan daratan,

Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Misalnya kata buaya jika ditambahkan dengan kata ‘darat’ menjadi ‘buaya darat’, maka leksem buaya yang pada awalnya bermakna sejenis binatang buas melata, memiliki makna yang berbeda ketika ditambahkan leksem darat, sehingga menjadi buaya darat yang maknanya menjadi seseorang yang playboy atau seseorang yang suka gonta-ganti pacar.

4) Makna Asosiatif

Makna asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur psikis, pengetahuan, dan pengalaman seseorang. Makna asosaiatif memiliki peran penting untuk pemahaman wacana karena makna asosiatif dapat menjadi pengikat makna kata-kata sehingga terbentuk pemahaman suatu wacana. Interpretasi puisi tidak dapat dipisahkan dari makna asosiatif kata-kata yang terdapat di dalam

(31)

puisi, karena dengan mengenal makna sosiatif akan memudahkan interpretasi (Darmojuwono, 2005: 119).

2.4.3 Pragmatik

Grice (1998) menyatakan bahwa metafora merupakan suatu pelanggaran maksim kualitas. Grice berujar, “do not say what you believe to be false”. Berikut ini contoh pelanggaran atau penyimpangan maksim kualitas, you are the cream in my coffee (kau adalah krim di dalam kopi saya). Penutur memiliki maksud yang berbeda dari apa yang diutarakan, dalam hal ini penutur menggambarkan hubungan parallel antara mitra tutur dan cream. Mitra tutur yang diajak berbicara oleh penutur disejajarkan atau dianalogikan dengan cream di dalam secangkir kopi. Terkait dengan maksim relevansi, maka metafora juga merupakan pelanggaran atau penyimpangan terhadap maksim relevansi. Menurut teori relevansi Sperber dan Wilson (1995), relevansi merupakan kunci utama dalam menginterpretasi tuturan/ujaran. Jadi, di dalam hal ini, kajian metafora terkait erat dengan kajian pragmatik yaitu mengenai pelanggaran beberapa maksim.

2.4.4 Wacana dan Teks

Menurut D. Maingueneau dalam Zaimar (2003, 116), istilah ujaran untuk mengacu pada satuan bahasa yang melampaui batas kalimat bila ditinjau dalam lingkup ketat strutur linguistik, dan dapat dilihat dalam situasi komunikasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wacana adalah ujaran dan pengujarannya. Untuk memahami suatu wacana, maka seseorang harus melihat konteks situasinya.

Mengenai pengertian teks, Brown dan Yule (1983:6 dan 12) menyatakan bahwa teks adalah realisasi wacana. Sementara menurut Zaimar (2003: 117), wacana dihubungkan dengan situasi pengujarannya, sedangkan teks terfokus pada keutuhannya yang menjadikannya suatu totalitas dan bukan hanya rangkaian kalimat saja. Kata teks berasal dari kata tekstur yang berarti anyaman atau jalinan. Setiap bagian teks mempunyai hubungan makna satu sama lain sehingga teks mempunyai koherensi dan kohesi, serta keseluruhan teks merupakan anyaman atau jalinan

(32)

unsur-unsurnya (Zaimar, 2003: 117) Berdasarkan beberapa pendapat yang telah disebutkan, maka dalam penelitian ini, saya menyamakan istilah wacana dan teks, karena di dalam sebuah lirik lagu terdapat beberapa bait yang berkaitan satu sama lain dan mengisahkan suatu rangkaian cerita yang utuh. Jadi, dalam hal ini, untuk dapat memahami makna sebuah lagu, maka lagu tersebut harus dimaknai secara menyeluruh sebagai satu kesatuan teks.

2.5 Lirik Lagu

Lirik lagu merupakan ekspresi seseorang tentang suatu hal yang sudah dilihat, didengar maupun dialaminya. Dalam mengekspresikan pengalamannya, pencipta lagu melakukan permainan kata-kata dan bahasa untuk menciptakan daya tarik dan kekhasan terhadap lirik atau syairnya. Permainan bahasa ini dapat berupa permainan vokal, gaya bahasa maupun penyimpangan makna kata dan diperkuat dengan penggunaan melodi dan notasi musik yang disesuaikan dengan lirik lagunya sehingga pendengar semakin terbawa dengan apa yang dipikirkan pencipta lagu tersebut (Awe, 2003:51).

Para pencipta lagu memandang musik sebagai sesuatu yang melambangkan karakteristik pribadi pencipta lagu (Knowles dan Moon 2006, 141). Lirik lagu melambangkan metafora verbal dan musik melambangkan metafora non-verbal yang menyampaikan pesan tertentu. Sebagai contoh, lagu Candle in the Wind yang diciptakan oleh Elton John yang dipersembahkannya untuk almarhumah Putri Diana, menunjukkan kerapuhan hidup seperti ciri sebuah lilin yang tertiup angin.

Bentuk lirik lagu mirip dengan puisi, sehingga banyak puisi yang disampaikan dengan iringan musik. Sebagaimana juga penyair yang menggunakan bahasa yang padat makna, seorang penulis lagu dituntut untuk dapat memilih unsur leksikal yang tepat, singkat sekaligus estetis dalam mengungkapkan perasaannya. Definisi lirik atau syair lagu dapat dianggap sebagai puisi begitu pula sebaliknya. Hal serupa juga dikatakan oleh Jan van Luxemburg (1989) yaitu definisi mengenai teks-teks puisi tidak hanya mencakup jenis-jenis sastra melainkan juga ungkapan yang bersifat pepatah, pesan iklan, semboyan-semboyan politik, syair-syair lagu pop dan doa-doa.

(33)

2.5.1 Iwan Fals dan Lirik Lagu Ciptaannya

Iwan Fals bernama lengkap Virgiawan Listanto (lahir di Jakarta, 3 September 1961) adalah seorang penyanyi dan pencipta lagu yang menjadi salah satu legenda hidup di Indonesia. Lewat lagu-lagunya, ia 'memotret' suasana sosial kehidupan Indonesia di akhir tahun 1970-an hingga sekarang, serta kehidupan dunia pada umumnya, dan kehidupan itu sendiri. Kritik atas perilaku sekelompok orang (seperti Wakil Rakyat, Tante Lisa), empati bagi kelompok marginal (misalnya Siang Seberang Istana, Lonteku), atau bencana besar yang melanda Indonesia (atau kadang-kadang di luar Indonesia, seperti Ethiopia) mendominasi tema lagu-lagu yang dibawakannya.

Iwan Fals penyanyi bersuara khas ini bergenre country/balada. Karakter setiap lagu ditambah ciri khas liriknya membuat ia seringkali diidentikan dengan legendaris internasional, Bob Dylan. Dalam hal lirik, Iwan Fals sudah menunjukkan “kenakalannya” pada lagu-lagu bernuansa kritik, baik yang bersifat sosial maupun politik, yang seringkali dibalut dengan humor dan metafora-metafora yang cerdas. Judul-judul seperti Serdadu, Barang Antik, Obat Awet Muda (OAM), Guru Oemar Bakri, dan Tikus-tikus Kantor merupakan beberapa contoh lagu yang memamerkan kejeniusan penyanyi dan pencipta lagu ini menggabungkan semua unsur yang disebut di atas.

(34)

BAB 3

KERANGKA TEORETIS

3.1 Pengantar

Cara berpikir dan bertindak setiap individu selalu terkait dengan metafora. Gambaran mengenai realitas dan pengalaman sehari-hari dapat dipahami dengan mudah melalui metafora, karena metafora terkait dengan kognisi manusia. Metafora tidak cukup dipandang sebagai perbandingan dua objek semata, melainkan lebih dari itu, metafora terkait dengan kognisi manusia yang tidak dapat dipisahkan dengan realitas yang ada.

Sebagai landasan teori yang utama atau pisau analisis penelitian ini, Saya menggunakan teori metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson (1980) untuk mengklasifikasikan tiga jenis metafora, yaitu metafora struktural, metafora ontologis, dan metafora orientasional. Di samping itu, Saya juga mengkaji ranah sumber apa yang paling dominan hadir di dalam lagu-lagu yang diteliti agar diketahui metafora apa yang digunakan pencipta lagu yang diteliti untuk melontarkan kritik-kritik sosial.

Metafora dalam kajian ini juga menggunakan landasan teori metafora dalam arti luas menurut klasifikasi majas Moeliono (1989:175-177), karena data yang digunakan berupa lirik lagu yang berisi bait-bait seperti sebuah puisi yang biasanya mengandung majas di dalamnya untuk memperindah lagu dan memudahkan pemahaman penikmat lagu terhadap isi pesan lagu tersebut. Tujuan dari menemukan jenis majas apa yang terkandung di dalam bait-bait lagu adalah untuk mengetahui majas apa yang paling dominan digunakan pencipta lagu (dalam hal ini Iwan Fals) ketika melontarkan kritik sosial terhadap pemerintah berkuasa pada masa itu.

3.2 Metafora Konseptual

Segala sesuatu yang dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari direalisasikan secara kognitif melalui bahasa. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari kita kerapkali berselisih faham atau berselisih pendapat dengan orang lain.

(35)

Ketika terjadi selisih pendapat atau beradu argumen, tentunya masing-masing pihak mempertahankan argumennya. Namun, dalam beradu argumen, tentu saja ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang, meskipun pihak yang menang tersebut belum tentu memiliki argumen yang benar. Berdasarkan pengalaman berargumen tersebut, muncul istilah I don’t want to lose my argument (saya tidak mau kalah dalam perdebatan ini) dan I won my argument (saya menang dalam perdebatan ini). Kemenangan dan kekalahan dalam perdebatan atau beradu argument ini dianggap seperti sedang menghadapi peperangan. Jadi, hal tersebut menghasilkan konsep metaforis dalam pikiran manusia bahwa ARGUMENT IS WAR. Konsep tersebut merupakan pangkal munculnya istilah-istilah metaforis lain, seperti dalam kalimat berikut; he shot down all of my argument (Dia menembak seluruh argumen saya) dan I demolished his argument (saya meruntuhkan argumennya). Kata shot dan demolished merupakan bagian dari konsep WAR (PEPERANGAN), di mana pelaku dalam peperangan saling menembak dan meruntuhkan pertahanan. Berdasarkan contoh tersebut, konsep ARGUMENT dapat dipahami dan dibentuk melalui konsep WAR.

Dari contoh yang diberikan oleh Lakoff dan Johnson (1980) mengenai konsep ARGUMENT dan WAR, dapat dipahami bahwa manusia mengamati dan memperlakukan berbagai hal yang mereka jumpai, mereka rasakan dan aplikasikan dalam bentuk bahasa yang bersifat metaforis lewat tuturan mereka sehari-hari. Seperti yang disebutkan oleh Lakoff dan Johnson (1980:3) bahwa, “...metaphor is pervasive in everday life, not just in language but in thought and action. Our ordinary conceptual system, in terms of which we both think and act, is fundamentally methaporical in nature”. Teori metafora ini lebih dikenal dengan teori metafora konseptual (Conceptual Metaphor Theory, disingkat CMT). Dalam CMT, terdapat dua ranah konseptual, yaitu ranah sumber dan ranah sasaran. Ranah sumber digunakan manusia untuk memahami konsep abstrak dalam ranah sasaran. Ranah sumber umumnya berupa hal-hal yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ranah sumber lebih bersifat konkret, sedangkan ranah sasaran bersifat abstrak. Metafora mengorganisasi hubungan antar objek dan menciptakan pemahaman

(36)

mengenai objek tertentu melalui pemahaman mengenai objek lain. Dengan kata lain, ranah sumber (source domain) digunakan manusia untuk memahami konsep abstrak dalam ranah sasaran (target domain).

Selanjutnya, Lakoff dan Johnson menyatakan bahwa “The essence of metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in terms of another” (1980: 5). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa seseorang dapat memahamisesuatu hal melalui proses pemahamannya akan hal lain yang telah dikenal dan dipahami sebelummya. Pendapat tentang Lakoff ini mengisyarakatkan bahwa metafora bukan sekadar dalam kata-kata yang kita gunakan tetapi lebih dari itu, bahwa ini merupakan fakta bahwa proses berpikir manusia dan sistem pemahamannya sebagian adalah metaforis.

Metafora menurut Lakoff dan Johnson (1980) terdiri atas tiga jenis, yaitu:

1. Metafora struktural, yaitu sebuah konsep dibentuk secara metaforis dengan menggunakan konsep yang lain. Metafora struktural ini didasarkan pada dua ranah, yaitu ranah sumber dan ranah sasaran. Metafora struktural berdasar pada korelasi sistematis dalam pengalaman sehari-hari.

2. Metafora orientasional, yaitu metafora yang berhubungan dengan orientasi ruang, seperti naik-turun, dalam-luar, depan-belakang, dan lain-lain. Orientasi ruang ini muncul dari kenyataan bahwa kita memiliki tubuh dan tubuh berfungsi dalam lingkungan fisik. Metafora ini lebih didasarkan pada pengalaman fisik manusia dalam mengatur orientasi arah dalam kehidupan sehari-hari, seperti UP-DOWN yang diukur dari pengalaman fisik manusia. Metafora orientasional merefleksikan konsep spasial yang berbeda-beda menurut pengalaman fisik atau budaya msyarakatnya (2003: 14). Oleh karena itu metafora orientasional berbeda di setiap budaya, karena apa yang dipikirkan, dialami, dilakukan oleh setiap budaya, berbeda. Metafora orientasional memberikan pada sebuah konsep suatu orientasi ruang, misalnya: HAPPY IS UP, HEALTH IS UP.

(37)

3. Metafora ontologis adalah metafora yang melihat kejadian, aktifitas emosi, dan ide sebagai entitas dan substansi. Misalnya dalam metafora “THE MIND IS A MACHINE” dalam kalimat “My mind just isn’t operating today” (hari ini otak saya tidak bekerja atau hari ini saya sedang tidak ingin berpikir). Metafora ontologis adalah metafora yang mengkonseptualisasikan pikiran, pengalaman, dan proses—hal abstrak lainnya—ke sesuatu yang memiliki sifat fisik. Dengan kata lain, metafora ontologis menganggap nomina abstrak sebagai nomina konkret. Berikut ini contoh metafora kenaikan harga barang yang dipandang sebagai suatu entitas melalui nomina inflasi.

INFLATION IS AN ENTITY

Inflation is lowering our standard of living (inflasi menurunkan standar kehidupan kita) Inflation makes me sick

(inflasi membuat saya muak)

Berdasarkan contoh metafora inflasi tersebut, suatu entitas memungkinkan kita untuk mengacu/merujuk kepada hal tersebut (referring), menghitung jumlahnya (quantifying), mengidentifikasi aspek tersebut (identifying aspects), mengidentifikasi penyebab/alasannya (identifying causes), menentukan tujuan dan mendorong tindakan (setting goals and motivating actions), (Lakoff dan Johnson, 1980: 26). Metafora ontologis memiliki sub-bagian lain yang disebut container metaphor (metafora kontainer), yaitu suatu entitas abstrak dianggap memiliki fisik berupa kontainer, atau semacam ruang yang memiliki pintu masuk IN dan pintu keluar OUT. Dalam hal ini, ketika suatu objek masuk ke dalam container tersebut, maka kontaainer itu terisi, demikian pula sebaliknya. Contohnya, he fell in love (dia jatuh cinta). We’re out of trouble now (kita keluar dari masalah/kita sudah terbebaskan dari masalah).

(38)

Personifikasi menurut Lakoff dan Johnson (2003) juga termasuk ke dalam metafora ontologis. Dalam personifikasi, entitas yang berupa benda mati, baik benda abstrak maupun konkret digunakan dan diperlakukan seperti layaknya manusia dengan segala aspek dan aktifitasnya, sebagai contoh, inflation is eating up his profits, inflation has attacked the foundation of our economy. Berdasarkan contoh tersebut, entitas inflation dianggap mampu melakukan sesuatu selayaknya manusia, yaitu ‘eating’ atau memakan dan ‘attacked’ atau menyerang.

3.3 Klasifikasi Majas

Metafora adalah perbandingan yang implisit, tanpa kata seperti atau sebagai di antara dua hal yang berbeda (Moeliono, 1984: 3). Terdapat dua istilah metafora yaitu metafora dalam arti sempit dan metafora dalam arti luas. Metafora dalam arti sempit adalah bentuk kiasan tertentu di antara bentuk-bentuk kiasan yang lain, yaitu metonimi, sinekdoke, hiperbol, sedangkan metafora dalam arti luas mencakup semua bentuk kiasan atau majas (Noth 1995: 128). Menurut Moeliono (1989), metafora dalam arti luas adalah majas yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yakni majaz dalam bahasa Indonesia. Majas dalam bahasa Indonesia adalah sinonim dari metafora dalam arti luas yang diklasifikasikan oleh Moeliono (1989). Majas tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, 1) majas perbandingan antara lain; simile, metafora dan personifikasi; 2) majas pertentangan, antara lain; hiperbol, litotes, ironi; dan 3) majas pertautan, antara lain; metonimi, sinekdok, eufimisme, dan kilatan.

1. Majas Perbandingan

Majas atau gaya bahasa perbandingan terdiri dari tiga sub-kategori, yaitu, perumpamaan, metafora, dan personifikasi.

a) Perumpamaan (simile)

Perbandingan antara dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang dengan sengaja dianggap sama. Perbandingan secara eksplisit dijelaskan dengan pemakaian

(39)

kata seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak,laksana. Contoh: dia seperti anak ayam kehilangan induk.

b) Metafora

Metafora adalah majas perbandingan yang implisit di antara dua hal yang berbeda, yang pengungkapannya tanpa kata seperti atau sebagai. Contoh: Dia anak emas pamanku.

c) Personifikasi/penginsanan

Jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insan kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Contohnya: angin yang meraung, cinta itu buta.

2. Majas Pertentangan

Dalam kategori ini terdapat tiga sub-kategori, yaitu hiperbola, litotes dan ironi. Berikut ini penjelasan mengenai ketiga sub-kategori tersebut.

a) Hiperbola

Ungkapan yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan: jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya. Misalnya: Dia terkejut setengah mati b) Litotes

Majas yang dalam pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan bentuk yang negatif atau bentuk ynng bertentangan. Litotes mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya. Contoh: hasilnya tidak mengecewakan (maksudnya, hasilnya baik)

c) Ironi

Majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Maksud itu dapat tercapai dengan mengemukakan (1) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya, (2) ketaksesuaian antara kenyataan dan harapan, (3) ketaksesuaian antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya. Misalnya: sudah pulang engkau, Nak, baru pukul 2 malam (ekspresi seorang ayah yang kesal, yang menunggu anaknya pulang).

(40)

3. Majas Pertautan

Yang termasuk dalam kategori ini, antara lain, metonimia, sinekdok, kilatan, dan eufemisme.

a) Majas metonimia (berasal dari bahasa Yunani, meta (bertukar) + onym (nama) adalah sejenis majas yang menggunakan nama suatu barang bagi sesuatu yang lain yang berkaitan erat dengannya. Majas ini memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal. Kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnya jika yang dimaksudkan ciptaan ataupun buatannya ataupun kita menyebut bahannya jika yang dimaksudkan barangnya. (Moeliono, 1984: 3). Contoh: Para siswa sekolah menengah senang sekali membaca S.T. Alisyahbana.

b) Majas sinekdoke adalah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan, atau sebaliknya. Sebagai contoh: pasang telinga baik-baik dalam menghadapi masalah ini.

c) Majas kilatan adalah majas yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan praanggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh penulis dan pembaca serta adanya kemampuan pada pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Misalnya: tugu ini mengenangkan kita kembali ke peristiwa Bandung Selatan.

d) Majas eufemisme ialah ungkapan yang dianggap lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap tidak menyenangkan. Contohnya: penyesuaian harga untuk menyebutkan istilah kenaikan harga.

3.4 Metafora dalam Kajian Semantik

Makna merupakan kesatuan mental pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan lambang bahasa yang mewakilinya (Darmojuwono, 2005: 121). Sebuah kata atau leksem dapat ditentukan maknanya jika kata tersebut berada di dalam konteks kalimatnya. Metafora berkaitan erat dengan pembahasan makna. Inti dari metafora terletak pada hubungan antara kata, dan makna kata. Di dalam metafora terdapat dua

(41)

makna, yakni makna harfiah atau kalimat dan makna yang dimaksudkan disebut dengan makna metaforis (Searle, 1979: 520). Makna metaforis adalah makna yang dialihkan dari makna kata yang sebenarnya menjadi makna kata yang lain. Hal ini diperkenalkan juga oleh C/ K Ogden dan I. A Richards pada tahun 1923 (Leech, 1974: 1) yang kemudian dijadikan acuan dalam kajian semantik.

Menurut Ogden dan Richards (1989), makna suatu kata diperoleh dari hubungan antara lambang bahasa/simbol, citra mental dan referen/acuan. Makna ini merupakan citra mental yang timbul dalam pikiran seseorang jika mendengar atau membaca tanda bahasa. Sebagai contoh, makna kata bunga adalah citra mental/konsep tentang bunga yang tersimpan di dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata bunga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semantik mengkaji makna tanda bahasa, yaitu kaitan antara citra mental/konsep dan tanda bahasa yang melambangkannya. Gambar segitiga Ogden dan Richards (1989) menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan citra mental terdapat hubungan langsung, karena lambang dan konsep/citra mental berada di dalam bahasa, sedangkan lambang/simbol dan referen tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep/citra mental.

b) citra mental

Satu leksem memiliki cakupan makna yang dibentuk oleh sem-sem yang ada (unsur makna terkecil), jika kata tersebut digunakan dalam konteks tertentu maka sem-sem yang cocok dengan konteks akan membentuk makna kontekstual kata tersebut. Sebagai contoh kata bunga makna denotasinya adalah referen yang disebut bunga,

simbol/lambang b-u-n-g-a a) Referen/acuan (c) Gambar 3.1 Segitiga Ogden & Richards

(42)

namun jika bunga digunakan dalam kalimat Ani bunga desa ini, maka makna metaforis gadis yang tercantik dibentuk oleh sem yang sesuai dengan konteks ini. Berikut ini bagan mengenai makna menurut Blanke (1973: 78).

S K

Sem-sem Sem-sem

Untuk dapat memahami makna metaforis, dapat dianalisis melalui komponen maknanya. Analisis komponen makna dasar yang dimiliki kata/frasa/kalimat tersebut. Cara ini dipakai untuk memperlihatkan perbedaan unsur-unsur penyusun makna yang terdapat di dalam sebuah kata/frasa/kalimat. Makna sebuah kata dapat dibentuk oleh beberapa komponen makna. Hubungan yang terdapat antara makna kata (misalnya kata A) dan KM (Komponen Makna), adalah hubungan:

Makna (kata A) = KM1+KM2+KM3+…KMn

Analisis komponensial adalah teknik untuk mendeskripsikan hubungan makna suatu referen dengan memilah-milahkan setiap konsep menjadi komponen minimal, atau ciri-ciri, seperti keadaan, proses, hubungan sebab akibat, hubungan relasional kelompok/kelas, kepemilikan, dimensi/ruang, lokasi, dan arah (Widdowson, 1996: 57). Ciri-ciri makna yang dilambangkan oleh bentuk leksikal suatu kata atau kelompok kata sebagai referen diinventarisir melalui analisis komponen makna.

Leksem Cakupan makna Rantai fonem Cakupan konsep Realitas Rantai sem Gambar 3.2 Bagan Makna

(43)

Berdasarkan pemaparan mengenai teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson (1980) dan klasifikasi majas dari Moeliono (1989), serta metafora dalam kajian semantik, maka sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, Saya akan menggunakan teori metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson (1980) dan metafora dalam arti luas yang mencakup semua jenis majas menurut Moeliono (1989). Saya menggunakan landasan teori metafora dalam arti luas menurut Moeliono (1980), karena di dalam sebuah lagu umumnya menggunakan beberapa jenis majas untuk mengungkapkan sesuatu hal. Oleh karena itu, pengertian metafora dalam arti luas yang mencakupi beberapa jenis majas digunakan untuk menganalisis jenis majas yang terdapat di dalam setiap lagu.

(44)

BAB 4

ANALISIS LIRIK LAGU IWAN FALS

4.1 Pengantar

Dalam bab ini teks lagu yang menjadi sumber data penelitian ini dianalisis untuk dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Setiap bait dalam lagu diberi nomor bait tanpa tanda kurung. Analisis dalam bab ini dilakukan per bait lagu yang mengandung metafora. Setiap judul lagu diberi kode angka dan setiap larik dalam bait diberi kode angka dalam kurung tutup. Contohnya, judul lagu diberi kode 4.1.1 dan kode larik dalam bait lagu diberi tanda (1). Keseluruhan lirik lagu dilampirkan dalam lampiran.

   Analisis teks lirik lagu ini menggunakan landasan teori dari Lakoff dan Johnson (1980) untuk menemukan jenis ungkapan metaforis apa yang terdapat dalam album Iwan Fals. Tiga jenis ungkapan metaforis tersebut, yaitu metafora struktural, metafora orientasional dan metafora ontologis. Kemudian, untuk memahami jenis majas yang digunakan dalam setiap lagu yang dianalisis, saya menggunakan teori majas dari Moeliono (1989) yang terdiri atas majas perbandingan, pertautan, dan pertentangan.

4.1.1 Judul lagu: OPINIKU (Album tahun 1982)

Bait 1

(1) Manusia sama saja dengan binatang (2) Selalu perlu makan

(3) Namun caranya berbeda (4) Dalam memperoleh makanan

Pada bait 1 larik (1), manusia sama saja dengan binatang merupakan simile karena terdapat frasa pemarkah simile yaitu frasa sama saja. Konsep abstrak MANUSIA yang merupakan ranah sasaran dibandingkan dengan konsep konkret BINATANG sebagai ranah sumber. MANUSIA digambarkan memiliki beberapa sifat dan perilaku seperti yang dimiliki oleh BINATANG. Dalam konteks bait 1 ini, digambarkan

(45)

bahwa MANUSIA juga perlu makan, namun caranya berbeda. Majas simile atau perumpamaan dalam klasifikasi Moeliono (1989: 175) termasuk ke dalam majas perbandingan. Dalam hal ini berarti kata binatang diperbandingkan dengan manusia dengan menggunakan kata sama saja sebagai penanda sebuah simile. Jenis metafora pada bait ini adalah metafora struktural, di mana sebuah konsep dibentuk secara metaforis dengan menggunakan konsep yang lain, dalam bait ini konsep manusia dideskripsikan dengan sifat dan ciri yang dimiliki seekor binatang macan.

Bait 2

(1) Binatang tak mempunyai akal dan pikiran (2) Segala cara halalkan demi perut kenyang (3) Binatang tak pernah tahu rasa belas kasihan (4) Padahal di sekitarnya petani berjalan pincang

Pada bait 2 ini, kata binatang merujuk kepada manusia yang disebutkan pada bait 1 larik (1). Jadi, pada bait 2 ini ciri atau sifat binatang yaitu, tak punya akal dan pikiran, halalkan segala cara demi perut kenyang, tak punya rasa belas kasihan, dimiliki juga oleh manusia. Pada larik ke (4), petani berjalan pincang digunakan sebagai perbandingan dengan segala cara halalkan demi perut kenyang pada larik ke (2). Petani berjalan pincang mengacu kepada kondisi rakyat yang lemah dan berada dalam kehidupan yang serba kekurangan (pincang/timpang menggambarkan seseorang yang kekurangan atau kelemahan dalam tubuhnya). Pada larik ke (2) segala cara halalkan demi perut kenyang mengacu pada sosok penguasa atau pemerintah yang menghalalkan segala cara demi memperoleh kepentingannya sendiri padahal di sekitarnya rakyat menderita (petani berjalan pincang). Jadi, ranah sumber pada bait ini adalah BINATANG, dan ranah sasarannya secara khusus dan implisit mengacu pada PENGUASA. Metafora pada bait ini adalah metafora struktural, yaitu konsep manusia dijelaskan melalui sifat dan ciri yang dimiliki oleh binatang.

Bait 3

(1) Namun kadang kala ada manusia (2) Seperti binatang (kok bisa?)

(46)

(3) Bahkan lebih keji (4) Dari binatang macan

Pada bait 3 larik ke (1) hingga ke (4), jika dilihat dari aspek ranah sumber dan ranah sasaran, tampak bahwa MANUSIA adalah ranah sasaran dan BINATANG adalah ranah sumber yaitu konsep konkret BINATANG menjelaskan konsep abstrak dari MANUSIA. Hal ini berarti, MANUSIA memiliki sifat seperti BINATANG, khususnya sifat binatang macan, yaitu sangat keji dan suka menerkam mangsanya. Contoh manusia yang seperti binatang ini adalah sosok penguasa yang selalu haus dan rakus untuk melahap atau merampas hak-hak rakyat kecil. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan, metafora dalam album ini merupakan metafora struktural, karena ranah sasaran MANUSIA direalisasikan sebagai BINATANG yang merupakan entitas konkret.

Bait 4

(1) Tampar kiri kanan alasan untuk makan (2) Padahal semua tahu dia serba kecukupan (3) Intip kiri kanan lalu curi jatah orang

(4) Peduli sahabat kental kurus kering kelaparan

Pada bait 4 larik ke (2) terdapat kata dia yang mengacu kepada sosok penguasa yang rakus, hal ini ditunjukkan dalam larik (2) dan (3), yaitu padahal semua tahu dia serba kecukupan, intip kiri kanan lalu curi jatah orang. Pada kedua larik tersebut, terdapat kenyataan yang bertolak belakang, bahwa seseorang yang berkecukupan hidupnya, suka mencuri hak orang lain, hal ini menunjukkan sifat rakus penguasa seperti dimiliki oleh sifat rakusnya binatang. Pada larik ke (4) terdapat kata sahabat yang merupakan teman dekat dari seseorang yang berkecukupan pada larik ke (2). Dalam hal ini, sosok penguasa yang tergambar dalam larik dia serba kecukupan memiliki sifat seperti binatang yang suka mencuri makanan, yaitu digambarkan dalam larik ke (3) intip kiri kanan lalu curi jatah orang, yang berarti bahwa sosok penguasa tersebut suka mencuri hak rakyat. Larik (4) peduli sahabat kental kurus kering kelaparan,

(47)

mengacu pada keadaan rakyat yang kelaparan, yang berarti bahwa sosok penguasa dalam bait ini bahkan tidak memedulikan rakyat yang kelaparan.

4.1.2 Judul Lagu: SUMBANG (album Sumbang 1983)

Bait 1

(1) Kuatnya belenggu besi (2) Mengikat kedua kaki (3) Tajamnya ujung belati (4) Menghujam di ulu hati (5) Sanggupkah tak akan lari (6) Walau akhirnya pasti mati

Kata belenggu yang bermakna tali pengikat dan kata besi yang bermakna logam yang kuat pada bait 1 larik ke (1) dan ke (2) tersebut menunjukkan sesuatu yang kuat dan mengikat atas sesuatu hal yang lain, dengan kata lain hal ini menggambarkan penguasa yang memiliki kekuatan sangat besar untuk memengaruhi rakyat sehingga rakyat tidak berdaya terhadap kekuatan dan pengaruh sang penguasa.

Belenggu besi merupakan metafora dari sosok penguasa yang membatasi kebebasan rakyat. Sifat dan ciri dari logam besi yang kuat mewakili ciri dan sifat penguasa di sebuah negara yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar terhadap rakyatnya. Sosok penguasa yang kuat ini digambarkan lebih jelas lagi dalam larik (3) dan (4), tajamnya ujung belati, menghujam ulu hati, ciri dan kegunaan belati sebagai senjata tajam untuk melemahkan lawan, digunakan untuk menggambarkan sosok yang suka menyakiti atau menekan rakyatnya, sehingga rakyatnya tak mampu bertahan. Hal ini diekspresikan dalam larik (5) dan (6) sanggupkah tak akan lari, walau akhirnya pasti mati. Jadi, meskipun rakyat berusaha menyelamatkan diri, mempertahankan diri, namun kekuatan sang penguasa tersebut tak dapat dilawan karena rakyat tak berdaya. Ranah sumber pada bait ini adalah LOGAM BESI, dan ranah sasarannya adalah PENGUASA. PENGUASA memiliki kekuatan seperti kuatnya LOGAM BESI. Metafora dalam bait ini adalah jenis metafora struktural, yaitu konsep PENGUASA dijelaskan melalui konsep lain yaitu BESI sehingga membentuk metafora BELENGGU BESI.

Referensi

Dokumen terkait

 Aspek Afektif, Kecapakan Sosial dan Personal Mahasiswa dapat mengikuti mata kuliah sejarah mode busana ini dengan tertib.. Tanya Jawab

Berdasarkan pemikiran Colson dan konstruksi pemben- tukan kultur oleh kekristenan yang dibuat Hunter terdapat sebuah konsep yang men- jadikan Gereja (instansi Kekristenan yang

Livelihood Category Coastal Fishermen Coastal Labourers Labourers on Fish farms Landless Labourers Livestock rearers Petty Traders Riverine fishermen Te nant farmers

Kebutuhan akan berbagai peralatan atau alat uji dalam praktikum fenomena dasar mesin dan prestasi mesin dilaboratarium teknik mesin universitas pasir pengaraian yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan telah dikembangkan multimedia pembelajaran interaktif fisika berbasis

[r]

Dari Gambar IV.3 dan Gambar IV.4 dapat dilihat bahwa penurunan dan efisiensi penurunan parameter BOD paling besar terjadi pada saat ketebalan zeolit 10 cm, dengan

mengembangan video tutorial lalu di validasi oleh ahli materi dan ahli media , implementasi (implementation) media pembelajaran video tutorial pembuatan aksesoris di uji cobakan ke