• Tidak ada hasil yang ditemukan

Taksonomi Budaya Informasi dalam Konteks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Taksonomi Budaya Informasi dalam Konteks"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Taksonomi Budaya Informasi dalam

Konteks Organisasi dan Korporasi

oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu

Informasi dan Organisasi B a g i o r g a n i s a s i s e m a c a m perusahaan, informasi adalah segalanya. Tidak saja karena informasi merupakan bagian dari proses penciptaan barang dan jasa, namun hampir setiap pengambilan keputusan penting m a n a j e m e n m e m bu t u h k a n infor masi yang berkualitas. Namun pada kenyataannya, tidak semua organisasi memiliki “budaya informasi” yang serupa - dalam arti kata, pada suatu titik ekstrim terdapat organisasi yang sangat kaku dalam menerapkan prinsip pengelolaan terhadap infor masi yang dimilikinya, sehingga sangat sulit bagi siapa s a j a u n t u k m e n g a k s e s nya . Sementara di sisi ekstrim yang lain, cukup banyak ditemukan organisasi yang liberal, dimana secara bebas dan terbuka, siapa

saja yang ingin memperoleh infor masi untuk keperluan aktivitas organisasi sehari-hari dengan mudah memperoleh dan mengaksesnya.

!

Ada cukup banyak studi yang mencoba mengkategorisasikan jenis budaya perlakukan dan pengelolaan informasi dalam sebuah organisasi berdasarkan sejumlah karakteristik. Budaya ini terbentuk dari sejarah dan perilaku semenjak organisasi yang bersangkutan berdiri - dengan berbagai dinamika perkembangannya. Mempelajari dan memahami jenis budaya y a n g d i m i l i k i o r g a n i s a s i sangatlah penting, karena akan b e r p e n g a r u h t e r h a d a p pemilihan strategi yang sesuai dalam setiap usaha untuk

membangun, menerapkan, dan mengembangan sistem informasi - terutama agar dipakai dan bermanfaat bagi organisasi.

Selain itu, dengan mengetahui jenis budaya informasi sebuah o r g a n i s a s i , m a k a a k a n membantu manajemen terutama divisi yang berkaitan dengan S D M d a l a m m e n e n t u k a n struktur organisasi maupun fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dan karekateristik i n d i v i d u y a n g a d a d a l a m organisasi dimaksud. Apakah k e l a k y a n g d i p i l i h m o d e l s e n t r a l i s a s i , d e s e n t r a l i s a s i , maupun gabungan di antara keduanya (hibrid), yang pasti adalah struktur dikembangkan setelah melakukan analisa mendalam terhadap budaya informasi dari organisasi.

BUDAYA

TIK

Artikel ini merupakan satu dari 999 artikel hasil bunga rampai pemikiran dari Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan email permohonan ke indrajit@rad.net.id

EKOJI

999

(2)

Struktur organisasi terkait dengan manajemen informasi sangat ditentukan dengan tingkat kematangan atau penerapan budaya informasi di sebuah perusahaan. Max Boisot dalam bukunya “Information and Organisations”

/'0&'A0+4+-#0 $6&#:# +0(13/#4+ 4'$#)#+ 46#56 4+45'/

kondusif yang mendukung terjadinya perilaku pertukaran informasi antar individu maupun kelompok di dalam organisasi. Dalam karyanya yang terkenal, yaitu Boisot’s Model, yang bersangkutan mengatakan bahwa struktur manajemen informasi akan sangat terkait dari karakteristik informasi beserta konteks keberadaan organisasi yang bersangkutan, sehingga dapat dikategorikan dalam dua koordinat matriks:

< 1&+A'& 74 !0%1&+A'& = +0(13/#4+ &+#0))#2 4'$#)#+ %1&+A'& #2#$+.# &+$656*-#0 46#56 /'-#0+4/'

pengkategorian berdasarkan suatu standar kode tertentu, seperti misalnya: zat dalam reaksi kimia, variabel dalam

(13/6.# A4+-# 2#0)-#5 &#.#/ -'/+.+5'3#0 &#0 .#+0 4'$#)#+0:# 4'/'05#3# +0(13/#4+ :#0) 60%1&+A'& 4'3+0)

dijumpai dalam berbagai representasi seperti pada: majalah, koran, televisi, radio, dan lain sebagainya.

< +((64'& 74 !0&+((64'& = +0(13/#4+ &+#0))#2 4'$#)#+

diffused apabila dapat diakses secara bebas oleh publik; sementara dikategorikan sebagai undiffused apabila hanya boleh diakses oleh sekelompok individu atau komunitas tertentu.

Berdasarkan hasil risetnya, yang diilhami dengan teori Max Boisot, Justin Keen menemukan adanya 5 (lima) jenis model struktur manajemen informasi yang sangat dipengaruhi oleh budaya informasi perusahaan terkait. Adapun kelima model tersebut beserta karakteristiknya dijelaskan sebagai berikut.

'%*01%3#5+% !512+#0+4/ merupakan suatu sistem dimana organisasi secara ketat, detail, dan konsisten mengatur penciptaan, distribusi, dan penggunaan setiap kategori informasi yang ada di perusahaan. Demi kelancaran proses penyebaran informasi, disusunlah sejumlah prosedur dan standar yang harus dipatuhi oleh setiap individu di dalam menggunakan beragam perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Dengan kata lain, setiap individu di dalam organisasi ini haruslah “information technology literate” karena teknologi dan informasi telah menjadi asset berharga yang tak terpisahkan dengan keberadaan perusahaan. Dalam format ini biasanya terdapat sebuah unit teknologi informasi yang bertugas “menjamin” tercapainya suasana budaya informasi yang ketat dan “by the book” (sesuai aturan yang disepakati).

Anarchy adalah suatu kondisi dimana perusahaan sama sekali tidak memiliki kebijakan dan prosedur berkaitan dengan manajemen informasi. Setiap individu diberikan keleluasaan dan kewajiban untuk mengurus kebutuhan

informasinya masing-masing, sesuai dengan peranan, tugas, dan tanggung jawabnya di dalam organisasi. Perusahaan hanyalah menyediakan teknologi dan jalur akses terhadap berbagai sumber informasi terkait dengan bisnis perusahaan, baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Tentu saja dalam kerangka tersebut tidak akan ditemukan unit organisasi yang mengurusi manajemen informasi, karena perusahaan biasanya menyerahkan hak penyediaan infrastruktur informasi dan komunikasi ke pihak ketiga melalui cara outsourcing.

Feudalism terjadi apabila kebutuhan dan tata kelola manajemen informasi dipegang atau “dimonopoli” oleh satu

#5#6 $'$'3#2#(60)4+ 13)#0+4#4+-*6464!0+560+513)#0+4#4+

inilah yang menentukan model, kategori, dan standar informasi yang perlu dikelola oleh perusahaan dan merekalah yang akan menyediakannya bagi seluruh individu yang ada. Dalam format kerangka ini, biasanya para individu dan unit lainnya akan sangat bergantung dengan divisi atau departemen teknologi informasi yang dimaksud.

Dictatorship menempatkan posisi para pimpinan perusahaan atau yang biasa disebut sebagai Dewan Direksi sebagai pihak yang memutuskan dan mengontrol keberadaan informasi di perusahaan. Dewan inilah yang akan menentukan tipe dan jenis informasi yang dibutuhkan perusahaan, siapa saja yang boleh memperoleh dan mengaksesnya, sampai dengan struktur kontrol dan pelaporan manajemen terkait dengannya. Ada atau tidaknya unit yang bertanggung jawab terhadap teknologi informasi sangat ditentukan oleh keputusan dewan tersebut.

Federalism dipandang sebagai sebuah sistem manajemen yang cukup “demokratis” karena sejumlah pihak yang berkepentingan mengadakan “konsensus” bersama mengenai tata kelola informasi yang ada dan mengalir di perusahaan. Bentuk konsensus yang dimaksud dapat bermacam-macam, mulai yang sangat formal seperti kesepakatan membentuk suatu unit atau komunitas khusus di masing-masing fungsinya, sampai dengan yang infor mal seperti

2'/$'056-#0'8#0'38#-+.#0!4'34

Kesalahan klasik yang kerap dilakukan oleh manajemen adalah langsung membentuk struktur unit teknologi informasi beserta mekanismenya tanpa memperhatikan tingkat kematangan budaya informasi di perusahaan. Tidak perlu heran jika di negara maju dimana mayoritas individunya memiliki “information literacy” dan “technology literacy” yang tinggi, model anarchy kerap menjadi pilihan utama karena dinilai demokratis dan menjunjung tinggi hak individu untuk memilih dan menentukan informasi apa saja yang relevan baginya. Sementara itu untuk sebuah perusahaan yang sangat bergantung dengan informasi namun baru pimpinan saja yang mengerti nilai strategisnya, penerapan model dictatorship akan lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan model lainnya.

Struktur Divisi Teknologi Informasi

antara Sentralisasi dan Desentralisasi

Prof. Richardus Eko Indrajit - indrajit@post.harvard.edu

EKOJI

999

(3)

Contoh lainnya adalah penerapan model technocratic utopianism yang biasa diimplementasikan oleh perusahaan atau organisasi dimana kualitas informasi sangat menentukan arah institusi seperti organisasi antariksa NASA, lembaga intelijen negara, bursa saham, perpustakaan nasional, dan lain-lain.

Pada kenyataannya tidak semua perusahaan telah mengerti dan memahami fungsi strategis dari informasi di era globalisasi saat ini. Sering dijumpai kasus dimana hanya segelintir individu yang paham betul akan makna informasi dan bagaimana pemanfaatannya dapat meningkatkan kinerja

64#*# 4'%#3# 4+)0+A-#0 0#/60 :#0) $'34#0)-65#0

mengalami kesulitan untuk meyakinkan mitra kerjanya yang lain. Sementara itu tidak jarang pula ditemui perusahaan dimana mayoritas manajemen dan karyawannya sangat berniat untuk mempelajari seluk beluk informasi beserta teknologinya, namun mereka yang telah memiliki pemahaman tidak mau membagikan ilmunya kepada mereka yang membutuhkan.

Banyak orang yang salah mengartikan kalimat “information i s p o w e r ” , d i m a n a m e r e k a m e n g a n g g a p j i k a memberitahukan informasi yang dimilikinya, maka dengan sendirinya “power” yang mereka miliki akan hilang. Padahal, sesuai dengan yang pernah dikatakan Bill Gates dalam suatu kesempatan, prinsip yang benar adalah “the power is coming from the share of information; not from the hoard of information”. Budaya membagi informasi harus meresap ke dalam jiwa masing-masing individu jika ingin perusahaan dimana mereka bekerja akan meningkat kinerjanya dari hari ke hari.

Sumber: Information and Organisation, 2003

Isu klasik yang sering mengundang perdebatan di kalangan manajemen dalam menentukan sistem manajemen teknologi informasi mana yang paling cocok untuk diterapkan adalah menyangkut pemilihan antara pendekatan sentralisasi atau desentralisasi. Terlepas dari sistem mana yang dipilih, tentu saja masing-masing pendekatan tersebut memiliki kelebihan

dan kekurangannya sendiri-sendiri. Yang perlu menjadi perhatian manajemen dalam hal ini adalah pemahaman yang utuh akan pemikiran di belakang konsep kedua sistem tersebut, karena dengan demikian, maka mereka dapat menentukan pendekatan mana yang cocok diterapkan di perusahaan tempat mereka bekerja.

Jika melihat sejarah perkembangan teknologi informasi dan ilmu sistem informasi, kebanyakan aplikasi perusahaan dibangun secara ad-hoc sehingga tidak heran dalam perkembangannya sering ditemui fenomena sistem aplikasi tambal sulam. Biasanya masing-masing departemen atau divisi membangun sistemnya sendiri-sendiri untuk mendukung kegiatan fungsionalnya, seperti: sistem informasi akuntasi dan keuangan, sistem informasi pemasaran dan penjualan, sistem informasi operasional, sistem informasi logistik dan pengadaan, dan lain sebagainya. Pada mulanya, hal tersebut tidak mendatangkan permasalahan apapun. Namun sejalan dengan perkembangan dunia usaha, perusahaan mulai menyadari perlunya sejumlah proses lintas fungsional yang mengharuskan data atau informasi mengalir dari satu bagian ke bagian lainnya. Ketika berbicara masalah integrasi inilah dijumpai permasalahan yang keseluruhannya bermula karena faktor “incompatible” atau tidak dapat berkomunikasinya satu sistem informasi dengan lainnya karena adanya sejumlah perbedaan teknis seperti masalah standar, protokol, teknologi, algoritma, metoda, dan lain sebagainya. Pada saat inilah perusahaan mulai melirik konsep sentralisasi karena mereka sangat membutuhkan suatu sistem besar yang terpadu dan saling terintegrasi satu dan lainnya. Fitur atau karakteristik dari sebuah sistem sentralisasi antara lain:

< Strategi, kebijakan dan pendekatan manajemen informasi berlaku seragam dan standar bagi seluruh unit organisasi dengan kecenderungan tata kelola secara “top down”;

< Keputusan terkait dengan jenis sistem, tipe aplikasi,

45#0&#3 $#4+4 &#5# *#- #-4'4 42'4+A-#4+ 2'3#0)-#5 -'3#4

dan infrastruktur, dan lain sebagainya ditentukan oleh pusat (sentral);

< !0+5 5'-01.1)+ +0(13/#4+ :#0) $'3#&# &+ 264#5 /'/+.+-+

kekuasaan dan/atau kewenangan yang jauh lebih besar dan tinggi dibandingkan dengan unit serupa yang ada di berbagai cabang perusahaan atau business unit; dan

< Computing power akan cenderung diletakkan di pusat yang ditandai dengan diinstalasinya sejumlah powerful servers dan datawarehouse yang berisi seluruh data konsolidasi kantor-kantor cabang.

Sistem sentralisasi memang menawarkan sejumlah kelebihan, antara lain:

< Jaminan terbentuknya sistem yang holistik dan koheren di seluruh tataran organisasi karena sifatnya yang standar dan terpusat;

< Pertukaran data dan/atau informasi dapat dilakukan d e n g a n mu d a h k a re n a k e s e r a g a m a n t e k n o l o g i penyimpanan data primer maupun sekunder;

< Potensi terjadinya “anarki” karena fenomena “tambal sulam” dan kesulitan membangun “interface” dari sejumlah sistem yang tersebar dapat direduksi seminimum mungkin; dan lain sebagainya.

EKOJI

999

(4)

Namun pendekatan sentralisasi ini tidak luput pula dari sejumlah kekurangan yang bagi beberapa perusahaan sangat mengganggu keberadaannya, seperti:

< Kecenderungan yang terjadi adalah kontrol yang berlebihan dan terlalu ketat hingga terjadi manajemen informasi yang cukup kaku dan sangat hirarkis;

< Fokus lebih banyak diarahkan pada “conformity” atau ketaatan pada prosedur standar sehingga mengurangi sejumlah inisiatif yang terkadang dapat berguna bagi perusahaan;

< Karena biasanya akan mengarah pada satu standar tertentu, kerap perlu dikeluarkan biaya yang relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan non-standar;

< Karena teknologi informasi terdiri dari sejumlah komponen yang beragam, belum tentu masing-masing komponen yang dipilih adalah yang terbaik (karena yang penting bagi manajemen adalah kesamaan standar s e h i n g g a t e r k a d a n g k i n e r j a a t a u p e r f o r m a dinomorduakan);

< Terkadang dalam perkembangannya ditemukan teknologi baru yang canggih dan berguna bagi perusahaan, namun

-#3'0# 42'4+A-#4+0:# &+.6#3 45#0&#3 2'364#*##0 /#-#

peluang tersebut dilepaskan begitu saja;

< Nature atau karakteristik dari perkembangan teknologi informasi yang serba “open system” dan “open standard” membuat sistem sentralisasi belum tentu memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan pendekatan lainnya;

< Asumsi yang selalu dipergunakan di dalam sistem sentralisasi adalah kesamaan fasilitas dan performa di seluruh unit bisnis perusahaan, padahal untuk di negara kepulauan semacam Indonesia masalah infrastruktur dan “digital divide” menjadi kendala utama yang kerap menghambat efektivitas kinerja sistem; dan lain sebagainya.

Tidak semua perusahaan merasa cocok dan tidak terganggu dengan kelemahan sistem sentralisasi yang disebutkan di atas. Kebanyakan dari mereka justru merasa sistem sentralisasi akan menghambat perkembangan bisnis perusahaan. Oleh karena itulah mereka mulai memutuskan untuk beralih ke sistem yang terdesentralisasi, dimana memiliki sejumlah keunggulan dan karakteristik sebagai berikut:

< Seluruh unit bisnis perusahaan sepakat dengan sebuah kerangka strategis sistem informasi korporat dan masing-masing akan mengembangkan sistem aplikasinya sendiri-sendiri dengan berpegang pada kerangka tersebut sebagai acuan bersama agar keseluruhan sistem yang dibangun dapat terintegrasi dan terpadu;

< '3#0)-#5 5'3-#+5 &'0)#0 #34+5'-563 &#0 42'4+A-#4+ &#5#

informasi, aplikasi, perangkat keras, infrastruktur teknologi, kebijakan dan prosedur, beserta berbagai supratstruktur lainnya dikembangkan berdasarkan konsensus dan negosiasi bersama (perwakilan masing-masing unit bisnis);

< Setiap pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama melalui forum resmi seperti rapat pimpinan unit bisnis, dewan perwakilan pengguna, kelompok kerja unit teknologi informasi, dan lain sebagainya;

< Biasanya di dalam perusahaan akan terbentuk suatu tim spesialis teknologi informasi yang berfungsi sebagai penasehat atau konsultan internal untuk melayani kebutuhan stakeholder dan user yang ada di dalam perusahaan;

< Arsitektur teknis teknologi informasi akan menggunakan sistem tersebar dan/atau terdistribusi dengan kekuatan

/#6260 42'4+A-#4+&+4'46#+-#0&'0)#060+5$+40+4/#4+0)

masing; dan lain sebagainya.

Belakangan ini, semangat “demokratisasi” yang mewarnai situasi makro maupun mikro perusahaan telah membawa manajemen untuk menerapkan sistem desentralisasi karena

&+3#4#%1%1-&'0)#04+56#4+&#0-10&+4+64#*#=5'3.'$+*.'$+*

di Indonesia yang sedang menerapkan konsep otonomi daerah.

Dengan mempelajari kedua sistem tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa sistem sentralisasi nampaknya cocok diterapkan di perusahaan yang memiliki budaya informasi “technocratic utopianism”, sementara sistem desentralisasi sangat tepat untuk perusahaan yang memiliki b u d a y a i n f o r m a s i “ f e d e r a l i s m ” . Ta b e l b e r i k u t memperlihatkan sejumlah aspek utama yang membedakan kedua sistem tersebut dalam versi ringkas.

Dengan memandang kedua sistem ini baik-baik, maka dapat dilihat bahwa sebenarnya tidak terdapat “dilema” dalam kaitan untuk memilih salah satu sistem yang terbaik. Belajar dari pengalaman perusahaan yang sukses menerapkan sistem sentralisasi maupun sistem desentralisasi adalah merupakan sesuatu yang baik untuk dilakukan oleh manajemen perusahaan agar mereka memiliki bekal dalam menentukan sistem mana yang sesuai dan cocok untuk dianut. Beberapa pelajaran menarik yang dapat diambil dari pengalaman perusahaan sukses tersebut di antaranya adalah:

< Hal utama yang perlu dilakukan adalah meng-align atau menyelaraskan antara strategi teknologi informasi dengan rencana bisnis korporat (business plan), terutama yang terkait dengan sejumlah milestone penting yang harus dicapai. Setelah tujuan tersebut jelas bagi seluruh pihak yang berkepentingan, barulah kemudian dilihat bagaimana

/#0#,'/'0 +0(13/#4+ :#0) 2#.+0) '('-5+( 'A4+'0 &#0

terkontrol dengan baik dapat diimplementasikan oleh perusahaan. Segala pro dan kontra antara sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi baik untuk diungkapkan di sini untuk kemudian dievaluasi dengan cara musyawarah atau melalui kajian kuantitatif (misalnya dengan menggunakan metode scoring) untuk menentukan yang terbaik.

< Terlepas dari dianutnya sistem sentralisasi atau desentralisasi, unit terkait dengan teknologi informasi berusaha keras untuk menyediakan seluruh perangkat infratruktur dan aplikasi dengan kinerja yang handal, sehingga para pengguna yang tersebar di berbagai unit

13)#0+4#4+ &#0 8+.#:#* )'1)3#A4 &#2#5 &'0)#0 .'.6#4#

menggunakannya sesuai tingkat kebutuhannya masing-masing. Dengan tersedianya infrastruktur yang berkualitas, maka seluruh kinerja unit teknologi informasi dinilai baik

EKOJI

999

(5)

< Perlu selalu ditekankan tujuan dari disediakannya perangkat teknologi informasi dan komunikasi adalah untuk pemberdayaan atau empowerement terhadap setiap individu yang ada di perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan khususnya para praktisi teknologi informasi internal harus selalu berusaha keras untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian para user atau pemakai sistem informasi. Sistem manajemen yang diimplementasikan harus mampu menyelenggarakan berbagai pelatihan (training) secara berkesinambungan dengan tujuan akhir pemberdayaan tersebut.

Sumber: Information and Organisation, 2003

Bukanlah merupakan rahasia umum dimana isu sentralisasi dan desentralisasi kerap menjadi sebuah “permainan politik” dari segelintir individu di dalam perusahaan, terutama mereka yang memiliki kompetensi di bidang sistem, manajemen, dan teknologi informasi. Mereka lebih cenderung melihat kedua sistem tersebut dari sudut “kepentingan” mereka saja, bukan perusahaan secara keseluruhan. Satu hal yang perlu diingat, yaitu perusahaan dan pemakai tidak perduli dipergunakannya sistem sentralisasi atau desentralisasi, sejauh unit teknologi informasi mampu menyediakan perangkat teknologi yang mereka butuhkan pada saat yang tepat dan dengan kualitas yang prima. Jiwa “user oriented” atau “customer oriented” inilah yang akan menjadi kunci sukses tidaknya perusahaan dalam mengelola sistem informasinya.

Oleh karena itulah maka sering dipergunakan model gabungan di antara keduanya, yang dikenal dengan istilah “hybrid”. Dalam model pengelolaan ini, sejumlah proses dan aktivitas pengelolaan teknologi informasi diputuskan untuk dipusatkan (sentralisasi), sementara yang lainnya

/'0))60#-#0 /1&'. 5'34'$#3 &'4'053#.+4#4+

!056-menentukan proses atau aktivitas mana saja yang perlu dipusatkan dan mana yang didistribusikan, perlu dilakukan kajian “governance” yang lengkap dan menyeluruh. Adapun hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan kajian dimaksud antara lain sebagai berikut:

< Jenis informasi yang dibutuhkan dalam konteks proses bisnis organisasi atau perusahaan yang dianut, baik yang bersifat core maupun supporting;

< Sumber dan karakteristik informasi yang dihasilkan serta dikelola oleh organisasi yang bersangkutan, yang dikaitkan dengan arsitekturnya;

< Kapabilitas dan topologi jaringan infrastruktur yang dimilii organisasi;

< Portofolio beragam sumber daya aplikasi maupun program yang ada pada teritori organisasi;

< Kemampuan serta kompetensi kolektif dari individu yang berada dalam divisi terkait dengan sistem dan teknologi informasi;

< Prinsip-prinsip bisnis dan strategi usaha yang dijadikan panduan bersama dalam menyusun berbagai strategi maupun pendekatan pengelolaan sumber daya organisasi; dan lain sebagainya.

Sebagai tambahan, karena budaya dibentuk secara kolektif oleh perilaku masing-masing individu dalam organisasi, maka ada baiknya dipelajari pula jenis atau tipe dari masing-masing individu yang ada.

Sumber: Information and Organisation, 2003

Ada 4 (empat) jenis individu yang dominan dalam pembentukan kultur atau budaya pengelolaan informasi di organisasi, masing-masing:

< !4'32'0))60#:#0)/'/+.+-+%+3+4'$#)#+2+*#-2'-'3,#

yang menggunakan berbagai aplikasi dan tools untuk menunjang aktivitasnya sehari-hari;

< 0B6'0%'3 2'/$'3+ 2'0)#36* :#0) 4'0#05+#4#

memastikan adanya aplikasi atau tool untuk mendukung aktivitas pekerjaan berbasis tim atau kelompok kerja;

< Advocate (penasehat) - yang merupakan pemberi motivasi secara konsisten dan berkesinambungan agar sebanyak mungkin individu di organisasi memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mempermudah aktivitas pekerjaannya; dan

< Expert (ahli) - yang memiliki tugas atau pekerjaan utama untuk merancang serta memastikan dipilih dan dipergunakannya teknologi terbaik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.

Idealnya, jika keempat tipe individu dalam organisasi ini

&+)#/$#3-#0 4'%#3# )3#A4 #-#0 /'/$'056- $#0)60#0

piramid, dengan jumlah pengguna sebagai tipe terbanyak dan ahli yang paling sedikit. Keempat tipe indidividu ini adalah kekuatan sebuah organisasi dalam membangun budaya atau kultur informasi berbasis teknologi yang diharapkan. Dengan kerjasama keempatnya berdasarkan semangat “one for all” dan “all for one”, maka nischaya organisasi dimaksud akan cepat dalam pembentukan kulturnya menuju institusi berbasis teknologi informasi dan komunikasi. (REI)

EKOJI

999

Referensi

Dokumen terkait

Pemanfaatan kemajuan teknologi membawa perubahan pada berbagai aspek operasional setiap organisasi, tidak terkecuali lembaga-lembaga pendidikan, khususnya dalam

Tujuan penelitian adalah mengetahui secara empiris peran budaya organisasi dalam meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi terhadap kepuasan pegawai dan kinerja

Tugas teknologi informasi selanjutnya adalah mengolah informasi yang diperoleh dengan berbagai konteks organisasi yang ada menjadi sebuah knowledge yang dapat

Menurut Pattigrew (1979), besarnya peranan pendiri organisasi bukan saja menciptakan aspek- aspek rasional dan teramati seperi struktur dan teknologi orgnisasi, tetapi juga

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi, teknologi informasi terhadap kinerja manajerial yang dimediasi oleh sistem informasi

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi, teknologi informasi terhadap kinerja manajerial yang dimediasi oleh sistem informasi

Penerapan dan peranan budaya organisasi dalam sistem informasi akuntansi dan dampaknya terhadap kualitas informasi akuntansi pada PT Triteguh Manunggal Sejati berpusat pada Integritas

Seluruh peranan teknologi informasi dalam berbagai lapisan tersebut tidak akan berjalan baik tanpa adanya tata kelola dan manajemen teknologi informasi yang baik, karena pada dasarnya