• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENERIMAAN DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEK PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA DAN PAPUA BARAT DENGAN BELANJA MODAL SEBAGAI INTERVENING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH PENERIMAAN DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEK PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA DAN PAPUA BARAT DENGAN BELANJA MODAL SEBAGAI INTERVENING"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENERIMAAN DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEK PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA DAN

PAPUA BARAT DENGAN BELANJA MODAL SEBAGAI INTERVENING

IMAM SUMARDJOKO Universitas Airlangga

Abstract

Implementation of special autonomy policy in Province of Papua and West Papua are based on the concept of asymmetric decentralization. The implementation of fiscal decentralization in Papua and West Papua are not symmetrical with the implementation of decentralization in other areas. Papua was given special authority to manage natural resources and attention to the interests of indigenous peoples. This policy is taken to accommodate the striking difference between the two regions than other regions in Indonesia. The special autonomy fund is a source of local revenue in order to support the authority of special autonomy. This issue is interesting because it examined the application of asymmetric decentralization outstanding for more than ten years, it was not able to lift the quality of their lives Papua’s society. The local revenue is large enough, so that should be utilized optimally for the welfare of the community.

The purpose of the study was to test the application of asymmetric decentralization to community enhancement and development of the area. Furthermore, assess the human development index of Papua and West Papua as an indicator for measuring the level of social welfare. Research on asymmetric decentralization in Indonesia region has not been much done except by international donor agencies and evaluation by government agencies.

This research is hypothesis testing studies, by testing the effect of independent variables, special autonomy funds to the human development index as a dependent, involving capital expenditure as intervening. The data used in this research is budget’s report of Papua and West Papua period of 2002 till 2012. Hypothesis testing method using linear regression analysis with the intervening variables.

These results indicate that the acceptance of special autonomy funds have a significant effect on the human development index in Papua and West Papua through capital expenditures as a variable intervening. Acceptance of special autonomy funds in the provincial budget Papua and West Papua became accelerator development in the area in order to catch up with other regions. This looks human building have index numbers on the two provinces has increased since the implementation of special autonomy.

(2)

1. Pendahuluan

Implementasi dana otonomi khusus telah berjalan selama lebih dari satu dasa

warsa di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Dana otonomi kusus yang diterima

oleh kedua provinsi tersebut tergolong sangat besar sejumlah Rp. 33,854 triliun selama

tahun 2002 sampai 2012. Nominal yang besar dibandingkan dengan penerimaan transfer

daerah lain. Jumlah penerimaan tersebut masih diikuti dengan transfer dana

perimbangan lainnya yang tidak kalah besarnya, dimana pemerintah Provinsi Papua

merupakan penerima dana alokasi umum terbesar dengan nilai Rp. 1,99 triliun atau

mendekati kisaran angka Rp. 2 triliun pada tahun 2014.

Perhatian pemerintah pusat yang besar kepada daerah Papua dan Papua Barat,

tidak terlepas dari amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 dengan

memberikan landasan hukum atas pelaksanaan otonomi khusus bagi Pemerintah

Provinsi Papua Barat. Hakekat pemberian otonomi khusus kepada daerah Papua dan

Papua Barat mencakup beberapa hal. Pertama, pembagian otoritas dan urusan antara

pemerintah pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua serta pelaksanaan otoritas dengan

kekhususan dalam bingkai NKRI. Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar

masyarakat adat Papua serta pengembangan kemampuan secara strategis dan mendasar.

Ketiga, menciptakan government yang baik. Keempat, pemberian otonomi khusus

adalah memberikan tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang jelas dan tegas antara

badan legislatif, eksekutif, yudikatif serta Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai

perwujudan kultural masyarakat papua yang diberikan kewenangan tertentu. Besaran

dana otonomi khusus adalah 2% dari total alokasi dana alokasi umum nasional.

Kebijakan penerapan otonomi khusus yang diberlakukan pada daerah Papua

dan Papua Barat berdasarkan konsep desentralisasi asimetris. Penerapan desentralisasi

fiskal di Papua dan Papua Barat tidak simetris dibanding daerah lainnya. Kedua provinsi

diberikan kewenangan khusus dalam mengelola sumber daya alam dan memperhatikan

kepentingan masyarakat adat. Kebijakan tersebut diambil untuk menampung perbedaan

yang mencolok kedua daerah tersebut dibandingkan daerah lainnya di Indonesia.

Sehingga kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi gejolak politik yang timbul

terhadap penentangan pemerintah pusat (Kausar, 2006).

Penerimaan APBD pemerintah daerah Papua dan Papua Barat juga bersumber

dari dana desentralisasi lainnya melalui pengaturan khusus. Kondisi ini merefleksikan

(3)

Papua dan Papua Barat mendapat porsi penerimaan revenue sharing sumber daya alam

minyak bumi dan gas bumi sebesar 70% (UU No. 21 Tahun 2001). Pembagian ini

berbeda apabila dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Persentase revenue sharing minyak bumi yang diberikan kepada daerah selain Papua dan Papua Barat hanya

sebesar 15% dan untuk revenue sharing gas bumi hanya sebesar 30%. Persentase revenue sharing lainnya seperti pertambangan umum, kehutanan, pajak tetap mengacu UU No. 33 Tahun 2004 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

daerah, tidak ada perbedaan dengan daerah lainnya. Hal ini merupakan refleksi dari

desentralisasi asimetri, dimana dasar pengambilan keputusan dalam rangka hubungan

pusat dan daerah bukan bersifat reaktif karena tuntutan daerah tetapi lebih ke arah

welfare (Kurniadi, 2012).

Motivasi penelitian yang dibangun dalam studi ini adalah pertama menguji

penerapan desentralisasi asimetris terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat dan

perkembangan daerah. Penelitian ini menggunakan variabel dana otonomi khusus

sebagai bentuk desentralisasi asimetris yang dijalankan di Provinsi Papua dan Papua

Barat. Motivasi kedua adalah mengkaji tingkat indeks pembangunan manusia (IPM)

daerah Papua dan Papua Barat, dimana IPM Provinsi Papua adalah terendah pada tahun

2013 (Fauzi, 2013).

Isu otonomi khusus menjadi menarik diteliti lebih dalam mengingat Provinsi

Papua dan Papua Barat menerima desentralisasi asimetris yang luar biasa selama lebih

dari sepuluh tahun sejak pemberlakukan otonomi daerah pada tahun 2002. Mengingat

pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua berlaku untuk jangka waktu dua puluh lima

tahun, maka pengleolaannya harus dilakukan dengan tepat dan terarah. Di samping itu,

kedua provinsi ini juga mendapat alokasi pendanaan lainnya berupa dana tambahan

infrastruktur yang ditujukan untuk percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.

Motivasi ketiga, potensi pendapatan Papua sebenarnya cukup besar, semestinya dapat

dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2010 dan

2011 total pendapatan Provinsi Papua rata-rata sebesar Rp. 5,37 triliun dan meningkat

menjadi Rp. 7,29 triliun pada tahun 2012. Angka ini menunjukan kenaikan pendapatan

daerah yang besar sehingga menjadi potensi untuk mendorong kemajuan pembangunan

daerah.

Rumusan masalah yang diteliti dalam studi ini adalah menguji apakah

penerimaan dana otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat yang mulai

(4)

maupun tidak langsung melalui belanja modal APBD. IPM merupakan salah satu

indikator dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat.

Penelitian ini sebagai bahan masukan dan evaluasi atas pelaksanaan dana

otonomi khusus yang diterima oleh Provinsi Papua dan Papua Barat selama lebih dari

sepuluh tahun sejak pemberlakuan UU No. 21 Tahun 2001 dan efektif berlaku pada

tanggal 1 Januari 2002. Baik pemerintah pusat sebagai decision maker maupun

pemerintah daerah selaku executing agency memiliki assesment terhadap pencapaian tujuan otonomi khusus untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan

masyarakat Papua dan Papua Barat. Pengelolaan dana otonomi khusus ditujukan bagi

kemajuan kedua daerah tersebut agar memiliki kesetaraan dengan daerah-daerah lain di

Indonesia. Di samping itu penelitian ini dapat memberikan tambahan bukti empiris

terkait dengan penerapan desentralisasi asimetris dan theory of grants di Indonesia.

Pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dan pemerataan pembangunan di Papua dan Papua Barat.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa penerimaan dana otonomi khusus di

Papua dan Papua Barat memberikan pengaruh secara langsung terhadap IPM maupun

pengaruh tidak langsung terhadap IPM melalui belanja modal dalam APBD sebagai

intervening. Hasil ini mengindikasikan dana otonomi khusus berperan mendorong

peningkatan kulitas hidup masyarakat setempat. Meskipun tingkat IPM kedua daerah

tersebut masih berada di urutan bawah dibanding daerah lainnya di Indonesia.

2. Kerangka Teori dan Pengembangan Hipotesis

Pemberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 telah membawa perubahan

sistem desentralisasi fiskal di Indonesia. Tujuan dari pemberian dana otonomi khusus

adalah salah satunya meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui pemanfaatan

dan pengelolaan hasil kekayaan alam dengan empat program prioritas yaitu pendidikan,

kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat serta pembangunan infrastruktur.

Theory of grants memberikan landasan bahwa bantuan pemerintah yang dalam prakteknya di Indonesia dapat berbentuk transfer dana perimbangan menjadi stimulus

bagi kemajuan ekonomi daerah dan menambah tingkat daya beli masyarakat. Tambahan

kemampuan ini pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan

kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat salah satunya dapat diwujudkan

(5)

Penelitian Irianni (2003 ) mengemukakan bahwa jumlah penduduk, banyak

sekolah, panjang jalan dan jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh positif dan

signifikan terhadap kebutuhan dana daerah Papua. Tren pendapatan asli daerah

pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat menunjukan kenaikan dari tahun ke tahun

secara nominal, tetapi apabila dikaji lebih mendalam perkembangan pendapatan asli

daerah menggambarkan keadaan yang kurang menguntungkan. Dengan kata lain

pendapatan asli daerah Provinsi Papua masih relatif rendah sehingga menyebabkan

ketergantungan kepada pemerintah pusat masih tinggi.

Studi Winardito (2005) mengemukakan bahwa alasan utama pemberian

kewenangan dan dana otonomi khusus adalah faktor politis yakni mereduksi keinginan

sebagian masyarakat Papua memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan evaluasi selama tiga tahun implementasi otonomi khusus di papua,

hasilnya tidak efektif mengingat sebagian besar dana otonomi khusus yang diterima

oleh daerah tidak digunakan untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan. Pemanfaatan

dana otonomi khusus lebih ditujukan untuk pembagian merata ke semua sektor

pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi Papua.

Otonomi khusus yang diterapkan di Papua sebagai refleksi dari pendekatan

desentralisasi asimetris di Indonesia. Pendekatan asimeteris ini diterapkan untuk

menampung perbedaan yang tajam antara daerah papua dengan wilayah lainnya.

Kekhususan wilayah dapat diberikan tanpa membentuk separatisme sebagai pemisahan

diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kausar, 2006).

Banyak negara di dunia menerapkan desentralisasi asimetris, baik secara

politik maupun administratif. Pemerintah pusat Spanyol mengatur tingkat otonomi yang

berbeda pada pemerintah daerah. Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki

derajat otonomi yang cenderung lebih besar dibandingan daerah lainnya. Kondisi ini

mempertimbangkan sentimen nasionalis dan hak-hak yang telah dimiliki daerah-daerah

tersebut secara historis. Penerapan desentralisasi asimetris mampu memenuhi tuntutan

nasionalistik dan menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol (McGuire, 2002).

Berkenaan dengan kebijakan otonomi khusus yang diterapkan pada pemerintah

daerah Papua dan Papua Barat, selanjutnya yang menjadi soal adalah bagaimana

pelaksanaan desentralisasi tersebut. Penerapan ini tentu menjadi arena baru dan boleh

disebut merupakan kesulitan baru karena mereka harus dituntut untuk berkinerja.

(6)

harapan yang baru serta bagaimana mengatur kompleksitas tanggung jawab yang

didesentralisasikan (Grindle, 2007).

Desentralisasi merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan pelayanan

melalui pendekatan layanan publik dengan lebih memberikan rasa keadilan kepada

masyarakat dalam pendistribusian layanan tersebut. Penerapan desentralisasi juga diakui

oleh negara berkembang guna mempercepat pengurangan kemiskinan/poverty reduction

dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi/economic growth dengan cara penataan

manajemen pemerintah yang efektif dan efisien .

Desentralisasi asimetris dalam bentuk otonomi khusus merupakan perwujudan

desentralisasi yang disesuaikan dengan karakteristik daerah sehingga tidak

disamaratakan secara general penerapannya pada seluruh daerah di indonesia. Otonomi

khusus dapat dilihat dari sudut de facto asymmetry and de jure asymmetry. Sudut de

facto asymmetry mengacu pada perbedaan kondisi antara satu daerah dengan daerah lainnya baik dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya serta bahasa. Sedangkan

de jure asymmetry menekankan pada produk konstitusi yang dibentuk secara sengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Asimetri diartikan sebagai perbedaan status di antara

unit-unit dalam suatu negara federal atau negara yang terdesentralisasi berdasarkan

konstitusi atau ketentuan hukum lainnya (TADF, 2012).

Pemberian kewenangan khusus tertuang dalam regulasi UU Nomor 21 Tahun

2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua dan diubah dengan UU Nomor 35 Tahun

2008 yang memberikan otonomi khusus kepada daerah Papua Barat. Desentralisasi

asimetris yang diterapkan kepada pemerintah Papua dan Papua Barat diharapkan

membawa perubahan kemampuan APBD untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat melalui belanja modal. Hal ini selaras dengan salah satu fokus pemanfaatan

dana otonomi khusus yang diarahkan pada peningkatan taraf pendidikan dan tingkat

kesehatan masyarakat.

Konsep kerangka pemikiran yang dibahas dalam penelitian tentang

desentralisasi asimetris bagi Papua dan Papua Barat melalui implementasi otonomi

khusus adalah sebagai berikut :

Dana Otonomi Khusus

Belanja Modal APBD

Indeks Pembangunan

(7)

Otonomi khusus yang diterapkan di Papua dan Papua Barat adalah bentuk

desentralisasi asimetris yang disesuaikan dengan karakteristik daerah. Dana otonomi

khusus yang diterima Provinsi Papua dan Papua Barat ditujukan untuk meningkatkan

pembangunan dan kesamaan dengan daerah lainnya, melindungi hak dasar masyarakat

serta meningkatkan kuliatas hidup (Sullivan, 2012).

Pelaksanaan desentralisasi memberikan efek yang besar terhadap

perkembangan daerah di masa otonomi. Penerapan otonomi yang lebih besar akan

memberikan pengaruh yang lebih besar juga terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga

memicu daerah untuk memanfaatkan potensi lokal guna menciptkan kulitas layanan

publik yang lebih baik (Darwanto, 2007).

Dana otonomi khusus merupakan salah satu bentuk desentralisasi asimetris

yang ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan

pelayanan publik. Tujuan tersebut dapat dicapai melaui percepatan pembangunan di

Provinsi Papua dan Papua Barat. Salah satunya adalah melalui penyediaan infrastruktur

dasar pembangunan dengan membuka keterisolasian wilayah melalui kemudahan akses

transportasi dan informasi. Dana infrastruktur yang diarahkan untuk tujuan tersebut

semestinya dapat mendorong belanja modal APBD. Penelitian Miharbi (2012) dan

Wardana (2012) membuktikan bahwa specific grant mampu mendorong peningkatan

belanja modal daerah. Hipotesis pertama yang dibangun dalam penelitian ini adalah :

H1: Dana Otonomi Khusus berpengaruh poistif terhadap alokasi belanja modal Provinsi Papua dan Papua Barat.

Penyediaan infrastruktur di berbagai bidang baik jaringan, jalan, sarana

pendidikan dan juga pembangunan fasilitas kesehatan diharapkan mendorong kualitas

hidup dan tingkat kecerdasan masyarakat. Belanja modal daerah seperti penyediaan

gedung, sarana dan prasarana sekolah menciptakan kenyamanan pendidikan yang

selanjutnya mendorong kualitas pembangunan manusia (Christy, 2009). Hipotesis

kedua yang dibangun dalam penelitian ini adalah :

H2: Alokasi belanja modal berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia Provinsi Papua dan Papua Barat.

Otonomi khusus yang dijalankan di Provinsi Papua dan Papua Barat

diharapkan mampu menciptakan kesetaraan pembangunan dengan daerah lainnya.

Transfer pemerintah pusat yang cukup signifikan kepada pemerintah daerah akan

menciptakan keleluasaan dalam memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan

(8)

merupakan salah satu pendapatan daerah sebagai komponen pendanaan yang dapat

digunakan untuk mendorong investasi publik dan kesejahteraan masyarakat. Hipotesis

ketiga yang dibangun dalam studi ini adalah :

H3: Dana otonomi khusus berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia pada Provinsi Papua dan Papua Barat.

Penerimaan dana otonomi khusus dan dana tambahan infrastruktur menjadi

katalisator kemampuan APBD dalam membiayai investasi publik. Investasi publik

melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik, jaringan, pendidikan dan kesehatan

secara langsung akan membentuk sumber daya manusia yang berkulitas. Pendidikan

tidak sekedar membentuk tenaga ahli dan terampil melainkan juga untuk menciptakan

national character building. Langkah ini merupakan landasan terciptanya masyarakat yang sejahtera (Christy, 2009). Hipotesis keempat yang dibangun dalam penelitian ini

adalah :

H4: Dana otonomi khusus berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia pada Provinsi Papua dan Papua Barat melalui alokasi belanja modal.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi pengujian hipotesis, dengan meneliti pengaruh

variabel independen terhadap dependen dengan melibatkan variabel intervening.

Pengujian ini dilakukan untuk memperkirakan output yang akan dihasilkan. Penelitian

ini merupakan kombinasi dari penelitian sebelumnya, dimana variabel yang digunakan

pada umumnya adalah transfer dana perimbangan terkait dengan perkembangan daerah.

Karakteristik desentralisasi asimetris menjadi ciri dari penelitian ini, dimana penelitian

sebelumnya banyak berfokus pada pelaksanaan desentralisasi simetris di Indonesia.

Populasi dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah di Indonesia yang

menjalankan desentralisasi asimetris yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi

Papua Barat. Penentuan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling,

untuk menyesuaikan dengan ruang desain penelitian. Sampel data penelitian yang

digunakan dalam studi ini merupakan data sekunder. Peneliti menggunakan data

realisasi dana otonomi khusus dan belanja modal yang bersumber dari laporan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat tahun

anggaran 2002-2012. Sedangkan angka IPM bersumber dari data yang diterbitkan oleh

BPS. Sumber data yang digunakan adalah angka dan informasi yang tersedia secara

(9)

IPM adalah ukuran angka harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar

hidup yang disusun sebagai composite index dari beberapa indikator yang relevan dan

diberlakukanbagi negara-negara di seluruh dunia (Suryadi, 2008). Pengukuran indeks

pembangunan manusia melalui empat faktor yaitu angka harapan hidup, angka melek

huruf, angka partisipasi kasar dan keseimbangan kemampuan belanja. IPM digunakan

sebagai variabel dependen dalam penelitian ini.

Dana otonomi khusus adalah dana untuk melaksanakan kewenangan khusus

dalam rangka pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi

rakyat, pengentasan kemiskinan, penjaminan hak-hak dasar masyarakat asli serta

pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Pengukuran dana otonomi khusus

menggunakan data angka yang termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah pos pendapatan daerah untuk jenis dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dana

otonomi kusus menjadi variabel independen dalam studi ini

Belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka

pengadaan atau pembangunan aset tetap yang mempunyai nilai manfaat lebih dari satu

tahun digunakan untuk layanan publik seperti dalam bentuk tanah, peralatan mesin,

gedung bangunan, jalan, irigasi dan jaringan. Penelitian ini menggunakan belanja modal

sebagai variabel intervening terhadap IPM Papua dan Papua Barat. Belanja modal

merupakan pendanaan kebutuhan akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran

pelaksanaan tugas pemerintahan maupun fasilitas layanan publik (Abdullah, 2006).

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi dengan variabel

intervening untuk menguji hipotesis yang dibangun dalam studi ini. Analisis ini

merupakan penjabaran dari regresi linear untuk menaksir hubungan kausalitas antar

variabel. Pada analisis jalur terdapat variabel yang berperan ganda yaitu sebagai

variabel independen pada satu hubungan tetapi kemudian menjadi variabel dependen

pada hubungan yang lainnya sebagai hubungan kausalitas bertingkat. Model persamaan

yang dibangun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Model Regresi Tahap Pertama ABM = α + β1DOK + e1 2. Model Regresi Tahap Kedua

IPM = α + β2ABM + β3DOK + e2

Keterangan :

ABM : Alokasi belanja modal DOK : Dana otonomi khusus

(10)

4. Hasil Pengujian 4.1 Uji Normalitas

Pengujian ini untuk mengetahui apakah data residual terdistribusi secara

normal dan independen. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak

valid untuk jumlah sampel kecil (Ghozali, 2006). Hasil pengujian normalitas

menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test memperoleh nilai Kolmogorov-Smirnov Z sebesar 0,386 dan asymp sig. sebesar 0,998. Kedua nilai tersebut lebih besar dari 0,05

sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian ini terdistribusi secara normal.

4.2 Uji Asumsi Klasik

Uji multikolinearitas bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi

memiliki korelasi antar variabel bebas. Jika variabel independen saling berkorelasi

maka variabel tersebut tidak ortogonal. Nilai cut off yang umumnya dipakai untuk

menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai Tolerance < 0,10 atau sama dengan

nilai VIF > 10 (Ghozali, 2006). Pengujian multikolinearitas memberikan hasil sebagai

berikut : (1) Nilai Tolerance semua variabel independen lebih besar dari 0,10, yaitu

untuk DOK sebesar 0,646 dan ABM sebesar 0,646; (2) Nilai VIF semua variabel

independen lebih kecil dari 10,00, yaitu untuk variabel DOK sebesar 1,547 dan ABM

sebesar 1,547. Berdasarkan hasil pengujian tersebut disimpulkan bahwa model regresi

adalah baik karena tidak terjadi korelasi antar variabel independen.

Uji autokorelasi bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi linear

memiliki korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode tersebut dengan kesalahan

pengganggu pada periode sebelumnya. Autokorelasi muncul karena observasi yang

saling berurutan sepanjang waktu (Ghozali, 2006). Hasil uji autokorelasi memberikan

nilai Durbin-Watson sebesar 0,858. Berdasarkan tabel DW statistic untuk data

penelitian ini memiliki du sebesar 0,814. Berdasarkan data tabel tersebut dapat

ditentukan bahwa nilai du < 0,858 < (4-du). Hasil ini menunjukan bahwa model regresi

adalah baik karena bebas dari autokorelasi antara residual pada periode tersebut dengan

periode sebelumnya.

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi

mengalami ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang

lain. Jika variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi absolut residual

maka ada indikasi terjadi heterokedastisitas (Ghozali, 2006). Hasil pengujian

heterokedastisitas menghasilkan nilai signifikansi dari ketiga variabel bernilai 1,00 atau

(11)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa model regersi baik karena tidak terjadi

heteroskedastisitas.

4.3 Analisis Regresi Linear Dengan Variabel Intervening

Analisis regresi linear berganda bertujuan untuk menentukan pengaruh dua

atau lebih variabel independen atau mencari hubungan fungsional dua variabel

independen atau lebih terhadap variabel dependennya. Variabel intervening merupakan

variabel antara yang berfungsi memediasi hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen. Untuk menguji pengaruh variabel intervening digunakan metode

analisis jalur (path analysis). Analisis jalur merupakan perluasan dari analisis regresi

linear berganda (Ghozali, 2006). Hasil pengujian regresi model persamaan di atas :

1) Model Regresi Pertama

ABM = α + β1DOK + e1

Hasil pengujian regresi linear atas variabel dana otonomi khusus terhadap belanja

modal memberikan hasil koefisien standarized beta sebesar 0,595 dan nilai

signifikansi sebesar 0,019. Hasil ini membuktikan bahwa penerimaan dana

otonomi khusus berpengaruh siginifikan positif terhadap belanja modal APBD

Provinsi Papua dan Papua Barat pada level 10%. Dengan demikian, hasil pengujian

ini mendukung hipotesis yang pertama dalam penelitian ini atau dengan kata lain

H1 diterima.

2) Model Regresi Kedua

IPM = α + β2ABM + β4DOK + e2

Hasil pengujian regresi linear atas variabel dana otonomi khusus dan belanja modal

terhadap IPM memberikan hasil untuk belanja modal memiliki koefisien

standarized beta sebesar 0,805 dan nilai signifikansi sebesar 0,010, sedangkan

variabel dana otonomi khusus menghasilkan koefisien standarized beta sebesar 0,695 dan nilai signifikansi sebesar 0,021. Hasil pengujian ini membuktikan bahwa

penerimaan dana otonomi khusus dan belanja modal berpengaruh signifikan pada

level 10% terhadap indeks pembangunan manusia Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat.

Berdasarkan hasil tersebut hipotesis kedua dari penelitian ini yang menyatakan

bahwa alokasi belanja modal berpengaruh siginifikan positif terhadap IPM adalah

terbukti atau dengan kata lain H2 diterima dengan nilai signifikansi 0,010. Hipotesis

(12)

IPM Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga terbukti atau dengan kata lain H3

diterima dengan nilai signifikansi sebesar 0,021. Kedua hasil pengujian tersebut

menunjukan bahwa terjadi pengaruh tidak langsung dana otonomi khusus terhadap IPM

di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan intervening belanja modal. Dengan

demikian hipotesis keempat didukung dalam penelitian ini atau H4 diterima yang

menyatakan dana otonomi khusus berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap

IPM melalui alokasi belanja modal. Besarnya pengaruh intervening dari belanja modal

adalah perkalian koefisien DOK ke ABM dengan koefisien ABM ke IPM yang

menghasilkan nilai sebesar 0,479. Apabila dibandingkan dengan koefisien dari

pengaruh langsung dari DOK ke IPM yaitu sebesar 0,695, maka pengaruh intervening

lebih kecil dibanding pengaruh langsungnya.

Pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

mengacu pada pemberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2001 junto UU Nomor 35 Tahun

2008, ditujukan untuk mewujudkan dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan

yang lebih baik terutama dalam rangka menciptakan keadilan, penegakan supremasi

hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi,

peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat daerah Papua dan Papua Barat

sehingga memiliki kesetaraan dan keseimbangan dengan daerah provinsi lain.

Hasil pengujian di atas membuktikan bahwa penerimaan dana otonomi khusus

selama periode 2002-2012 memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal

APBD Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Hasil ini selaras dengan evaluasi yang

dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa

ketersediaan sarana prasarana kesehatan sudah mulai menunjukan peningkatan. Jumlah

rumah sakit di Provinsi Papua pada tahun 2007 sebanyak 12 buah dan pada tahun 2010

bertambah menjadi sebanyak 29 buah atau mengalami peningkatan sebesar 141,66%,

sedangkan jumlah rumah sakit di Provinsi Papua Barat pada tahun 2007 sebanyak 10

buah dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 14 buah atau mengalami kenaikan

sebesar 40%. Begitu juga dengan ketersediaan jumlah puskesmas juga mengalami

peningkatan. Pada tahun 2007 di Provinsi Papua memiliki 94 puskesmas dan pada tahun

2010 bertambah jumlahnya menjadi 126 puskesmas atau mengalami kenaikan sebesar

34,04%. Hal ini memperlihatkan bahwa dana otonomi khusus mampu mendorong

belanja modal APBD untuk penyediaan sarana publik.

Hasil pengujian statistik model kedua membuktikan bahwa dana otonomi

(13)

manusia di wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan koefisien

masing-masing sebesar 0,695 dan 0,805. Wujud konkret dana otonomi khusus dimanfaatkan

untuk peningkatan kesejahteraan adalah penggunaan dana otonomi khusus untuk

pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua dan Papua Barat. Pada tahun 2010, gerakan

wajib tanam kakao diharapkan menjadikan keluarga miskin akan memiliki sumber

penghasilan yang tetap dan pasti. Hasilnya adalah petani yang sudah berproduksi dalam

tiga tahun terakhir diprediksi memiliki penghasilan Rp 1,6 juta - 2,5 juta per bulan.

Bentuk pemberdayaan ekonomi lainnya adalah pengembangan perikanan melalui pakan

dan bibit ikan, kolam dan penampungan hasil ikan, serta pengembangan komoditas

tanaman pangan lainnya. Hal ini mengindikasikan penerimaan dana otonomi khusus

mampu mempengaruhi angka indeks pembangunan manusia di Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat yang merupakan salah satu indikator dalam mengukur tingkat

kesejahteraan masyarakat.

Hasil pengujian ini selaras dengan evaluasi yang dilakukan oleh Ditjen

Otonomi Daerah yang menyatakan human development index Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sejak tahun 2002 sampai 2010 terus mengalami peningkatan. Pada

tahun, 2002 Provinsi Papua memiliki IPM sebesar 60,10% dan tahun 2010 menjadi

sebesar 64,94%. Besaran IPM ini menempati urutan ke-33 secara nasional. Sedangkan

Provinsi Papua Barat tahun 2008 memiliki IPM sebesar 67,95% dan pada tahun 2010

menjadi sebesar 69,15%. Angka ini sedikit lebih baik dibanding dengan IPM Provinsi

Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Angka IPM Provinsi Papua

Barat menempati urutan ke-29 secara nasional. Pada tahun 2008-2010, distribusi

pendapatan Provinsi Papua Barat lebih merata dibandingkan Provinsi Papua yaitu

bernilai 0,38.

Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa dana otonomi khusus dan

belanja modal berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia, baik

pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap indeks pembangunan

manusia melalui intervening belanja modal pada tahun 2002-2012. Penelitian ini

mununjukan bahwa belanja modal berperan sebagai variabel intervening antara dana

otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia daerah Papua dan Papua Barat.

Data yang ada memperlihatkan bahwa tingkat IPM Provinsi Papua dan Papua

Barat yang masih berada pada urutan bawah dibandingkan daerah lain di Indonesia. Hal

(14)

diarahkan pada langkah untuk meredam gejolak politik. Indikasi ini sejalan dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kausar (2006).

Secara umum terdapat kecenderungan penurunan angka kemiskinan penduduk,

baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat pada kurun waktu 2007 sampai

2010. Angka kemiskinan di Provinsi Papua lebih tinggi dibanding angka kemiskinan di

Provinsi Papua Barat. Perlu ditegaskan bahwa penurunan angka kemiskinan di kedua

provinsi tersebut tidak hanya bersumber dari pengaruh pelaksanaan otonomi khusus,

mengingat sumber pendapatan daerah untuk kedua provinsi tersebut berasal dari dana

perimbangan lainnya tergolong besar sebagai perwujudan desentralisasi asimetris yang

diterapkan pemerintah. Namun demikian, implementasi otonomi khusus telah

memberikan andil tersendiri bagi pengurangan kemiskinan di Provinsi Papua dan

Provinsi Papua Barat.

Hasil pengujian studi ini yang membuktikan bahwa dana otonomi khusus

berpengaruh langsung terhadap IPM maupun tidak langsung melalui belanja modal

terhadap IPM Provinsi Papua dan Papua Barat, menjadi bukti empiris terhadap theory of

grants. Teori ini menyatakan bahwa bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat akan berdampak pada ekonomi dan pendapatan masyarakat sehingga pada akhirnya

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Otonomi khusus merupakan perpaduan theory

of grants dan assymetric decentralization, bahwa pendanaan dari pemerintah pusat akan memberikan kemajuan daerah dan mengurangi tuntutan daerah.

5. Simpulan, Implikasi Dan Keterbatasan

Setelah pelaksanaan otonomi khusus yang berjalan selama lebih dari 12 (dua

belas) tahun di Provinsi Papua dan 5 (lima) tahun di Provinsi Papua Barat berdasarkan

UU Nomor 21 Tahun 2001 Jo UU Nomor 35 Tahun 2008, kesejahteraan masyarakat

Papua dan Papua Barat belum dapat disejajarkan dengan provinsi daerah lain. Meskipun

dana otonomi khusus terbukti mempengaruhi indeks pembangunan manusia Papua dan

Papua Barat, namun angka tersebut masih berada pada kisaran urutan bawah. Indeks

pembangunan manusia Provinsi Papua Barat masih sedikit lebih bagus dibandingkan

dengan Provinsi Papua. Melihat waktu implementasi otonomi khusus di Papua Barat

yang dimulai tahun 2008, tetapi angka IPM provinsi tersebut berada di atas Papua.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dana otonomi khusus berpengaruh seginifikan

positif terhadap belanja modal APBD Provinsi Papua Dan Provinsi Papua Barat periode

(15)

mendorong pembangunan dan penyediaan infrastruktur daerah Papua dan Papua Barat.

Harapannya dapat mengurangi keterisolasian dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dalam batas tertentu mengingat kondisi geografis dan sosial budaya

masyarakat kedua daerah tersebut lebih unik dibanding daerah lainnya. Hasil lain

penelitian ini membuktikan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh terhadap indeks

pembangunan manusia yang berarti secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Meskipun terlihat angka urutan indeks pembangunan

manusia wilayah Papua dan Papua Barat masih pada posisi urutan bawah dibandingkan

dengan daerah lainnya. Hasil lain dari penelitian ini adalah belanja modal berperan

sebagai variabel intervening dalam memberikan pengaruh dana otonomi khusus

terhadap indeks pembangunan manusia, dengan nilai koefsien dari pengaruh langsung

masih lebih besar dibandingkan pengaruh tidak langsungnya.

Studi mengenai kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat dengan salah satu indikatornya indeks pembangunan manusia, tentunya

masih banyak faktor lain yang yang digunakan untuk menentukan tingkat kesejahteraan.

Dana otonomi khusus bukan satu-satunya yang mempengaruhi indeks pembangunan

manusia tetapi juga variabel lainnya yang mendukung instrumen keuangan daerah dan

partisipasi masyarakat. Di samping faktor sosial dan kultur masyarakat Papua dan

Papua Barat yang sangat berbeda di banding dengan daerah lainnya.

Keterbatasan penelitian lainnya adalah dalam penentuan alokasi belanja modal

APBD, peneliti tidak memperoleh data pendukung lainnya berupa seberapa besar

muatan politis tentang kebijakan pemerintah daerah Papua dan Papua Barat dalam

mendorong investasi publik yang tercermin melalui alokasi belanja modal APBD.

Begitu juga dengan aspek penting lainnya yang seharusnya dilibatkan dalam mengukur

indeks pembangunan manusia seperti aspek kebijakan publik, aspek manajemen

keuangan dan aspek psikologis personalitas pembuat keputusan di pemerintah daerah.

Implikasi atas keterbatasan tersebut untuk penelitian selanjutnya diharapkan

dapat menggunakan variabel non keuangan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa

variabel non keuangan seperti kebijakan pemerintah daerah dapat menjelaskan dengan

baik seberapa besar tingkat alokasi belanja modal APBD agar mampu mendorong laju

indeks pembangunan manusia sebagai salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat. Di

samping itu kondisi geografis dan tingkat kemahalan konstruksi menjadi perhatian

(16)

Daftar Pustaka

Abdullah, S. (2006). Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan Dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintah, Vol. 2, No. 2(November 2006), Hal 17 - 32. Christy, A., dan Adi. (2009). Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal

dan Kualitas Pembangunan Manusia. Konferensi Nasional UKWMS, Surabaya. Darwanto, Y. Y. (2007). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah,

Dan Dana Aloaksi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X.

Fauzi, G. (2013). Indeks Pembangunan Manusia Papua Terendah. Republika.

Ghozali, I. (2006). Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS (Vol. IV). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Grindle, M. S. (2007). Good Enough Governance Revisited. Development Policy Review(Blackwell Publishing, Oxford OX4 2DQ, UK), 553-574.

Irianni, F., dan Ohei. (2003 ). Analisis Keuangan Daerah Provinsi Papua Dengan Berlakunya Otonomi Khusus. Universitas Diponegoro, Semarang.

Kausar. (2006). Perjalanan Desentralisasi Di Indonesia. Lemhanas.

Kementerian Keuangan. (2012). Tinjauan Ekonomi Dan Keuangan Daerah Provinsi Papua. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

Kementerian Keuangan (2013). Deskripsi Dan Analisis Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah 2013. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

Kurniadi, D., Bayu. (2012). Desentralisasi Asimetris Di Indonesia. Universitas Gajah Mada.

McGuire. (2002). Fiscal Decentralization in Spain: An Asymmetric Transition to Democracy. University of Illinois, Chicago.

Miharbi, L. A. (2012). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Alokasi Belanja (2012), 12.

Sullivan, L. (2012). Langkah-Langkah Affirmatif Dan Otonomi Khusus. Papuaweb. Suryadi, A. (2008). Kependudukan dan pembangunan pendidikan. Jurnal Pendidikan,

Tahun Ke - 14,,No.070,Januari, 2008(0215-2673), 17. TADF. (2012). Policy Brief 2012

Republik Indonesia. (2001). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua;

Republik Indonesia. (2004).Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Republik Indonesia. (2008).Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Wardana, A. G. (2012). Pengaruh PAD, DAU, DAK, Dan DBH Terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Acounting Analysis Journal.

(17)

Lampiran Lampiran 1

Indeks Pembangunan Manusia

PROVINSI

TAHUN

2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Papua Barat - 63,7 64,83 66,08 67,28 67,95 68,58 69,15 69,65 70,22

Papua 60,1 60,9 62,08 62,75 63,41 64.00 64,53 64,94 65,36 65,86

Catatan: Mulai tahun 2005, angka IPM Provinsi dan Kabupaten/Kota disajikan dalam dua digit atau dua desimal dibelakang koma

Lampiran 2

Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrstruktur Provinsi Papua

Periode 2002-2012

(triliun rupiah)

No. Tahun Dana Otonomi Khusus

Papua Papua Barat

1. 2002 1,38 -

2. 2003 1,54 -

3. 2004 2,61 -

4. 2005 1,64 -

5. 2006 1,78 -

6. 2007 2,91 -

7. 2008 3,26 -

8. 2009 2,61 1.11

9. 2010 2,61 1,75

10. 2011 2,61 1,95

11. 2012 2,69 2,07

(18)

Lampiran 3

Alokasi Belanja Modal Provinsi Papua Dan Provinsi Papua Barat

Periode 2002-2012

(triliun rupiah)

No. Tahun Alokasi Belanja Modal

Papua Papua Barat

1. 2002 0,30 -

2. 2003 0,37 -

3. 2004 0,58 -

4. 2005 0,40 -

5. 2006 0,52 -

6. 2007 1,52 -

7. 2008 1,18 0,36

8. 2009 0,89 1,72

9. 2010 0,90 0,89

10. 2011 0,95 0,58

11. 2012 1,03 0,81

Total 8,64 4,36

Lampiran 4

Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardiz

ed Residual

N 15

Normal Parametersa,b

Mean 0E-7

Std.

Deviation 2.45263694

Most Extreme Differences

Absolute .100

Positive .100

Negative -.093

Kolmogorov-Smirnov Z .386

Asymp. Sig. (2-tailed) .998 a. Test distribution is Normal.

(19)

Uji Asumsi Klasik

a. Predictors: (Constant), ABM, DOK b. Dependent Variable: IPM

Analisis Regresi Linear Dengan Variabel Intervening

(20)

Model Kedua

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 65.699 2.346 28.004 .000

DOK -3.450 1.303 -.695 -2.647 .021

ABM 7.916 2.581 .805 3.067 .010

Referensi

Dokumen terkait

Mamei Saumidin K, Ir. Bambang Sudarsono, MS * , Bandi Sasmito, ST., MT * Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik, Unversitas Diponegoro Jl. Sudarto SH, Tembalang

Dana tambahan infrastruktur disalurkan kepada pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat dengan pemindahbukuan ke rekening kas umum daerah (RKUD). Dana tambahan Infrastruktur

REPRESENTASI KERETA REL LISTRIK DALAM KARYA FOTO “REL WAKTU”(Analisis Semiotika Pada Foto Essai Karya Edy Purnomo) Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu

Data primer diperoleh dari subjek penelitian yang terdiri dari dua kategori yaitu warga yang mengalami transformasi masyarakat pertanian ke masyarakat industrial

Bagi anda yang merasa sedikit repot dengan webmail dari hosting yang harus menambahkan /webmail atau :2095 dibelakang nama domain anda untuk dapat login ke webmail lalu

pertimbangan pasar kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap pemilihan karir profesi akuntan publik.Penelitian Nurahma (2011) yang menyatakan bahwa motivasi pasar

Tujuan dari tindakan ijime adalah untuk menjatuhkan mental korban, membuat korban merasa rendah diri dan tidak pantas berada di dalam satu kelompok yang sama dengan si

Tingginya rendemen ekstrak nonpolar andaliman menunjukkan bahwa komponen yang dapat larut dalam heksana lebih banyak dibandingkan komponen semipolar (etilasetat) maupun