Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan
2018
LAPORAN EVALUASI
PEMANFAATAN
LAPORAN
EVALUASI
PEMANFAATAN
LAPORAN EVALUASI PEMANFAATAN
BASIS DATA TERPADU
Cetakan Pertama, Februari 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
© 2018 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
Anda dipersilakan untuk menyalin, menyebarkan dan mengirimkan karya ini untuk tujuan non-komersial.
Untuk meminta salinan publikasi ini atau keterangan lebih lanjut mengenai publikasi ini, silakan hubungi TNP2K-Unit Penetapan Sasaran dan Pengelolaan Basis Data Terpadu (UPS-PBDT).
TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Jl. Kebon Sirih No. 14, Jakarta Pusat 10110
Telepon : (021) 3912812 | Faksimili : (021) 3912511 E-mail : bdt@tnp2k.go.id
KATA PENGANTAR
Upaya-upaya penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan merupakan tantangan yang dihadapi Pemerintah saat ini.
Upaya-upaya ini secara langsung terkait dengan seberapa
jauh pemanfaatan Data Terpadu dalam pelaksanaan
program-program penanggulangan kemiskinan. Data Terpadu adalah
sebuah sistem yang dapat digunakan untuk perencanaan program dan identifikasi nama dan alamat calon penerima bantuan sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh
pelaksana program. Basis Data Terpadu yang berisikan data
nama dan alamat sangat efektif dalam memperbaiki ketepatan
sasaran program-program penanggulangan kemiskinan yang
dijalankan pemerintah baik pusat maupun daerah.
Unit Basis Data Terpadu (BDT) sebagai pengelola Data Terpadu
di Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) mendistribusikan data hasil Pemutakhiran BDT 2015
ke lebih dari 434 kabupaten/kota di Indonesia dalam kurun
waktu 2 tahun. Selain itu, Unit BDT melaksanakan
kegiatanpeningkatan kapasitas staf Bappeda dan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) di kabupaten/kota dan provinsi
melalui lokakarya pengenalan konsep dan pemanfaatan
BDT. Kegiatan evaluasi layanan BDT ini digunakan untuk
meningkatkan pemanfaatan Data Terpadu oleh pemerintah
Buku ini memuat rekomendasi yang sangat berharga bagi
Unit BDT selaku pengelola basis data terpadu maupun
bagi pelaksana program penanggulangan kemiskinan di
Pemerintah Pusat dan Daerah. Temuan dan rekomendasi
secara sistematis dikelompokkan dalam aspek pengetahuan,
pengelolaan dan pemanfaatan data. Buku ini akan mendorong
pemanfaatan Data Terpadu secara efektif dalam pelaksanaan
program-program penanggulangan kemiskinan terutama
di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sehingga penurunan
angka kemiskinan dan ketimpangan dapat lebih cepat dicapai.
Jakarta, Februari 2018
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia
dan Pemerataan Pembangunan/Sekretaris Eksekutif TNP2K
TIM PENYUSUN
UNIT PENETAPAN SASARAN DAN PENGELOLAAN BASIS DATA TERPADU (UPS-PBDT)
TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN
KEMISKINAN (TNP2K)
Astyasukra Pradipta Bambang Darsono
Broto Suseno Dian Maya Safitri
Edy Susanto
Heksaputra
Lucky Koryanto
Mahfudh Ahmad
M. Eko Fadhillah
Nidah Saidah
Sidik Santoso
Silvira Ayu Rosalia
Sri Rejeki A. Sulistiorini
Daftar Isi
•
Pengetahuan tentang BDT•
Penerimaan BDTDaftar Diagram
DIAGRAM 1
Sumber Informasi Pokok Bappeda tentang BDT
DIAGRAM 2
Sumber Informasi Bappeda tentang BDT
DIAGRAM 3
Jenis Data yang Diminta
DIAGRAM 4
Topik-topik yang Dibahas dalam Konsultasi Langsung
Bappeda dengan TNP2K
DIAGRAM 5
Alur Penanganan Permintaan Basis Data Terpadu
DIAGRAM 6
Tingkat Kepuasan Bappeda terhadap Waktu untuk
Memperoleh BDT
DIAGRAM 7
Alasan Bappeda Tidak Mengajukan Permintaan
Kata Kunci ke TNP2K
DIAGRAM 8
Topik-topik Utama yang Dibahas dalam
Konsultasi Lanjutan Bappeda ke Sekretariat TNP2K
DIAGRAM 9
Alasan Bappeda Tidak Memanfaatkan BDT
yang Telah Diterima
Daftar Gambar
GAMBAR 1
Keping Cakram BDT dan Amplop Pengiriman Data
GAMBAR 2
Keping Cakram BDT Memuat Langkah-langkah
Membuka dan Menggunakan BDT
31
35
22
Akronim
APBD Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah
Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah
BDT Basis Data Terpadu
BNBA By Name By Address
BPS Badan Pusat Statistik
Disperindag Dinas Perindustrian dan Perdagangan
DPA Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Kemensos Kementerian Sosial
MoU Memorandum of Understanding atau Surat Perjanjian Kesepahaman
Pemda Pemerintah Daerah
Pokja Data Pokja Pengelolaan Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin
Rakor Rapat Koordinasi
Rastra Program Beras Sejahtera SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
TKPK Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan
TNP2K Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan
1
B
asis Data Terpadu (BDT) adalah sistem data elektronik yang berisi nama, alamat, dan keterangan dasar sosialekonomi rumah tangga dan individu dari sekitar 25 juta
rumah tangga di Indonesia. BDT diperoleh dari hasil Pendataan
Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang dimutakhirkan
tahun 2015 dan telah menjadi acuan utama penetapan sasaran
program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan
dalam skala nasional maupun daerah. Permintaan BDT hasil
pemutakhiran ini terus berdatangan baik dari pemerintah pusat
maupun daerah. Permintaan data dari provinsi/kabupaten/kota
mencapai angka 381 permintaan pada akhir tahun 2016. Namun,
hasil pertemuan dengan beberapa pemda mengungkapkan
bahwa tidak semua pemda menerima BDT meskipun data
sudah dikirimkan dan kebanyakan belum memanfaatkan BDT
meskipun sudah membuka dan membaca data.
Temuan-temuan tersebut mendorong unit BDT untuk
mengevaluasi pemanfaatan BDT secara lebih mendalam.
Evaluasi serupa pernah dilakukan pada tahun 2012 hingga
2013. Evaluasi tahun 2017 ini mencakup lebih banyak
responden, wilayah yang lebih luas dan difokuskan untuk
menghasilkan rekomendasi teknis, bahkan terobosan,
guna mengoptimalkan pemanfaatan BDT oleh pemda.
Studi ini mengungkap sejumlah temuan penting terkait
aspek pengetahuan, penerimaan, dan pemanfaatan BDT.
untuk mengetahui BDT. Rapat koordinasi Bappeda menjadi
media utama untuk memperoleh pengetahuan pokok tentang
BDT tersebut. Bappeda juga cukup antusias terhadap BDT,
ditunjukkan oleh tingginya frekuensi konsultasi langsung
ke TNP2K. Sebagian besar menyatakan puas dengan
konsultasi tersebut, mengindikasikan bahwa Bappeda
memperoleh pemahaman yang memadai tentang BDT. Studi
ini mengungkapkan bahwa sosialisasi BDT oleh TNP2K efektif
untuk mendorong Bappeda melakukan permintaan BDT.
Adapun sebagian besar data yang diminta adalah data individu
by name by address, mengindikasikan adanya kesadaran
Bappeda tentang nilai penting data mikro. Hanya saja, kendati
Bappeda telah memperoleh informasi memadai tentang BDT,
SKPD tidak memperoleh informasi yang serupa. Kunjungan
lapangan TNP2K menunjukkan bahwa mayoritas SKPD belum
mengetahui BDT. Ketidaktahuan tersebut disebabkan oleh
kurangnya koordinasi antara Bappeda dan SKPD. Kedua, aspek penerimaan. Terindikasi terdapat masalah dalam mekanisme
pengiriman: 14% permintaan data tidak terpenuhi. Ini meliputi
Bappeda yang tidak menerima kiriman langsung BDT dan/
atau belum menerima BDT. Studi ini juga menemukan
keterlambatan pengiriman BDT berkontribusi besar terhadap
belum dimanfaatkannya data. Ketiga, aspek pemanfaatan. Didapati mayoritas Bappeda melakukan konsultasi kembali
setelah menerima BDT, mengindikasikan bahwa kegiatan
dijelaskan secara efektif melalui konsultasi tatap muka, disertai
simulasi, bukan melalui rapat koordinasi TNP2K dan Bappeda.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa Bappeda belum secara
aktif melibatkan SKPD dalam pemanfaatan BDT. Mayoritas
SKPD yang dikunjungi menyatakan tidak mengetahui BDT.
Akibatnya, SKPD tetap merencanakan program dengan basis
data mereka sendiri atau yang didapatkan dari kepala desa
tanpa berkoordinasi dengan Bappeda atau SKPD lainnya.
Pemanfaatan BDT dalam program juga masih minim. Studi
lapangan mengungkapkan baru ada 5 SKPD dari total 54 SKPD
yang dikunjungi yang telah memanfaatkan data by name by
address.
Evaluasi ini menyimpulkan bahwa minimnya pemanfaatan
BDT dalam program-program pemerintah daerah merupakan
konsekuensi dari mekanisme pemanfaatan BDT berbasis
peran sentral Bappeda. Bappeda, sebagai koordinator
pemanfaatan BDT di daerah belum optimal menjalankan fungsi
koordinasi, antara lain belum aktif meneruskan data ke SKPD
serta mengedukasi SKPD tentang BDT. Kondisi minimnya
pemanfaatan BDT berimplikasi menyeluruh, yang pada akhirnya
menimbulkan 3 rekomendasi yaitu:
1. Adanya terobosan dalam mekanisme pengiriman BDT untuk memangkas waktu memperoleh data. Ini dinilai penting agar BDT dapat dimanfaatkan secara tepat waktu
dapat dilakukan melalui media penyimpanan data online
(cloud storage).
2. Tersedianya informasi terstandardisasi mengenai BDT dan informasi teknis mengenai cara penggunaannya.
Diharapkan informasi ini tersedia dan dapat diakses secara
nasional. Solusi yang tepat adalah melalui pembuatan
tutorial membaca dan mengolah BDT dalam format
multimedia, yang kemudian diunggah di situs TNP2K
guna memberikan akses yang mudah bagi para pemangku
kepentingan.
3. Adanya peningkatan kapasitas Bappeda baik melalui sosialisasi, rapat koordinasi, maupun konsultasi langsung.
Selain itu, diperlukan perbaikan prosedur pemenuhan data
oleh BDT seperti penambahan tahap ‘pengembalian tanda
terima’ di dalam daftar cek Work Request Management
(WRM). Hal ini ditujukan agar unit BDT tetap memantau
apakah Bappeda telah mengirimkan kembali tanda terima,
sebagai indikator bahwa keping cakram data sudah diterima,
serta guna memastikan bahwa BDT dapat dimanfaatkan
2
B
DT adalah sistem data elektronik yang berisi nama, alamat, dan keterangan dasar sosial ekonomi rumahtangga dan individu dari sekitar 25 juta rumah tangga
di Indonesia. BDT diperoleh dari hasil Pendataan Program
Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 yang dimutakhirkan tahun
2015. BDT merupakan sumber data tunggal seluruh Program
Perlindungan Sosial yang bersifat nasional saat ini, seperti
Program Keluarga Harapan (PKH), Program Bantuan Siswa
Miskin (BSM)/Program Indonesia Pintar (PIP), Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN)/Program Indonesia Sehat (PIS), dan
lain-lain. Tidak hanya berhenti di situ, BDT berangsur-angsur
menjadi rujukan pemda dalam perencanaan dan pelaksanaan
program.
Sosialisasi BDT efektif, diindikasikan oleh banyaknya permintaan BDT oleh pemerintah daerah.Dimulai pada bulan Juli 2015, kegiatan pemutakhiran Basis Data Terpadu (BDT)
2015 tuntas pada bulan April 2016. Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)1 menindaklanjuti hal tersebut dengan melakukan sosialisasi BDT kepada pemda
melalui berbagai kegiatan, seperti lewat rapat koordinasi, situs,
maupun kunjungan konsultasi. Upaya sosialisasi ini direspon
positif oleh pemda dengan munculnya ratusan permintaan
1 Dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96
BDT dari seluruh Indonesia. Laporan aplikasi WRM menunjukkan
terdapat 381 permintaan BDT sepanjang tahun 2016, dengan
345 di antaranya telah dipenuhi, sementara sisanya menunggu
kelengkapan dokumen.
BDT yang telah diterima belum digunakan. Pengecekan acak unit BDT TNP2K mengungkapkan adanya kesenjangan dalam
pemanfaatan BDT, data yang disebut juga sebagai Data Terpadu
Program Penanganan Fakir Miskin2. Kendati telah menerima kiriman BDT, tidak semua pemda meminta kata kunci ke TNP2K
untuk membuka data. Meskipun telah mendapatkan kata kunci
dan membuka data, kebanyakan pemda tidak memanfaatkan
data-BDT untuk penetapan calon penerima manfaat program.
Alasan pemda tidak menggunakan BDT bermacam-macam,
mulai dari ketidakyakinan atas validitas data, ketidaktahuan
cara memanfaatkan data, hingga keterlambatan yang berujung
telah disahkannya program dalam APBD.
Diperlukan evaluasi yang sistematis terhadap pemanfaatan BDT. Temuan-temuan pokok tersebut mendorong unit BDT TNP2K untuk mengetahui lebih jauh pemanfaatan BDT
oleh pemda yang telah menerima data tersebut. Evaluasi
pemanfaatan BDT diadakan untuk menjawab pertanyaan
2 Keputusan Menteri Sosial Nomor 57/HUK/2017 tentang Penetapan
pokok: apakah pemda telah membuka data?
Apakah Bappeda dan SKPD telah memanfaatkan data tersebut?
Apakah ada kendala (dalam pembukaan dan pemanfaatan
data)? Seperti apakah pemanfaatan terbaik data tersebut?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi
masukan berharga bagi unit BDT selaku penanggung
jawab BDT dan bagi TNP2K secara umum. Pertama, untuk
mengetahui tantangan pemanfaatan BDT oleh pemda.
Kedua, meninjau dengan lebih detail seluruh proses permintaan
dan pemenuhan data sebagaimana terangkum dalam siklus
Alur Penanganan Permintaan Data. Ketiga, memberikan umpan
balik untuk aspek teknis proses pemenuhan data. Keempat,
3
•
Desain evaluasiEvaluasi dilakukan melalui metode campuran studi
kuantitatif dan kualitatif. Desain evaluasi adalah pararel
konvergen, dimana pengambilan data kuantitatif dan
kualitatif dilakukan secara berurutan dan independen.
Metodologi pengumpulan data
•
SurveiStudi kuantitatif dengan mengirimkan kuesioner terhadap
295 sampel Bappeda. Dari jumlah itu, sebanyak 287
diantaranya mengembalikan kuesioner yang telah diisi.
Jumlah terakhir inilah yang kemudian digunakan sebagai
bahan analisa hasil survei.
•
WawancaraDimaksudkan untuk memperoleh informasi-informasi
kualitatif, dilakukan melalui wawancara mendalam dan/
atau diskusi kelompok terfokus terhadap 18 sampel pemda
terpilih. Responden meliputi staf Bappeda dan staf SKPD.
•
Analisa hasil evaluasiBerdasarkan desain pararel konvergen, data-data kuantitatif
maupun kualitatif dianalisis dalam bobot yang sama,
tidak ada penekanan pada salah satu data. Keduanya
diperbandingkan guna mencari pola (dan kontradiksi,
4
PENGETAHUAN TENTANG BDT
TNP2K menjadi sumber informasi pokok Bappeda untuk mengetahui Basis Data Terpadu (BDT). Dalam hal ini, rapat koordinasi Bappeda3 memiliki peran paling strategis.
Sebagian besar responden Bappeda (88%) menyatakan bahwa
informasi pokok tentang BDT diperoleh dari media dan kegiatan
sosialisasi TNP2K. Pengetahuan tentang BDT juga diperoleh
Bappeda umumnya dari Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Provinsi/Kabupaten/Kota (52%) dan, dalam
persentase yang lebih kecil, dari kantor Badan Pusat Statistik
Indonesia (BPS) Provinsi/Kabupaten Kota (27%).
3 Fungsi Bappeda didasarkan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) No. 42 tahun 2010.
4 Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban, membuat komposisi chart tampak lebih dari 100 %.
BPS
Responden yang menyebutkan TNP2K sebagai sumber utama
informasi BDT menyatakan bahwa rapat koordinasi Bappeda
merupakan wadah untuk memperoleh pengetahuan pokok
tentang BDT (71%). Kegiatan lainnya adalah sosialisasi BDT yang
diadakan TNP2K (47%) dan situs TNP2K (41%).
DIAGRAM 2.
Sumber Informasi Bappeda tentang BDT
Lain-lain
Sosialisasi BDT oleh TNP2K efektif untuk mendorong Bappeda melakukan permintaan BDT. Setelah terpapar informasi tentang BDT dari berbagai media sosialisasi, Bappeda
kemudian melayangkan permintaan BDT ke Pokja Pengelolaan
Data by name by address
Data agregrat
Data individu tanpa nama dan alamat
Antusiasme Bappeda terkait BDT juga terlihat dari tingginya frekuensi konsultasi langsung ke TNP2K. Mengacu pada hasil survei, sebagian besar responden Bappeda (86%) berkonsultasi
langsung ke kantor TNP2K dalam proses permintaan data.
Dalam konsultasi tersebut hampir seluruh responden (90-97%)
mengaku memperoleh penjelasan menyeluruh tentang BDT.
92%
69%
6%
sebagian besar (51%) terjadi lebih dari satu kali, mengindikasikan
antusiasme Bappeda terhadap BDT. Adapun jenis data yang
diminta Bappeda sebagian besar (92%) berupa data individu
dengan nama dan alamat (by name by address) untuk keperluan
program penanggulangan kemiskinan, mengindikasikan
tingginya kesadaran Bappeda tentang nilai penting data mikro
untuk penajaman sasaran penerima program.
DIAGRAM 3.
Cara pengiriman data
Jenis-jenis data Format data
Variabel data PBDT
Proses PBDT 2015 Perkiraan waktu memperoleh data
Prosedur pemenuhan data
Penjelasan ini meliputi proses PBDT 2015, beragam variabel
dalam data terpadu (usia, jenis lantai, dan lain-lain), prosedur
mendapatkan BDT, data-data yang dapat disediakan BDT
(agregat, nama, alamat), jenis data, format data yang disediakan
(Excel, SQL), perkiraan waktu untuk memperoleh data, serta
cara pengiriman atau penyerahan data.
DIAGRAM 4.
Topik-topik yang Dibahas dalam Konsultasi Langsung
6 Secara bervariasi: puas, cukup puas, dan sangat puas.
KEIKUTSERTAAN DALAM
TOPIK-TOPIK UTAMA KONSULTASI
Sebagian besar (91-98%) juga menyatakan puas6 dengan penjelasan tentang BDT oleh TNP2K, menunjukkan bahwa
Bappeda memperoleh pemahaman yang memadai tentang
BDT melalui konsultasi tersebut.
DIAGRAM 5.
Alur Penanganan Permintaan Basis Data Terpadu
Meski Bappeda telah memperoleh informasi memadai tentang BDT, SKPD selaku pelaksana program di daerah tidak memperoleh informasi yang sesuai tentang BDT. Informasi pokok tentang BDT tersampaikan dengan baik kepada Bappeda
sebagian besar melalui rapat koordinasi Bappeda, sementara
informasi detail lanjutan BDT diperoleh melalui konsultasi
langsung di kantor TNP2K. Sayangnya, sebagian besar informasi
tersebut tidak sampai ke SKPD.
Hasil kunjungan lapangan Unit BDT TNP2K ke sejumlah sampel
pemda menunjukkan lebih dari 50% SKPD tidak tahu tentang
BDT. Penyebabnya adalah pertama, Bappeda tidak meneruskan informasi tentang BDT melalui rapat koordinasi atau komunikasi
informal; kedua, lemahnya koordinasi internal SKPD. Contohnya pimpinan tidak menyampaikan informasi BDT kepada bawahan,
PENERIMAAN DATA
Sebanyak 86% responden Bappeda telah menerima kiriman paket BDT (modul penjelasan, keping cakram data, dan surat pengantar) dari Pokja Data. 14% Bappeda yang lain tidak menerima kiriman paket langsung BDT dari TNP2K,
namun memperoleh BDT dari Bappeda provinsi dan dinas
sosial. Beberapa Bappeda lainnya sebenarnya telah menerima
kiriman paket BDT, namun beragam masalah teknis
menyebabkan paket BDT tidak sampai ke bidang penanggung
jawab data.
Pertama, hal ini terjadi karena adanya penumpukan permintaan data. Banyak Bappeda yang telah mengirimkan
surat permintaan data semenjak tahun 2015. Sementara data
hasil Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT 2015) baru
selesai pada bulan Maret 2016. Untuk mengatasi hal tersebut,
TNP2K memprioritaskan memberikan data kepada Bappeda
provinsi. Oleh sebab itu, banyak Bappeda kabupaten/kota
yang tidak menerima kiriman BDT secara langsung dari TNP2K,
namun memperolehnya dari Bappeda provinsi.
Kedua, ada Bappeda yang mengirimkan surat permintaan data kepada TNP2K dan Kemensos. Pada akhirnya mereka
MESKI BAPPEDA
TELAH MEMPEROLEH INFORMASI
MEMADAI TENTANG BDT,
SKPD SELAKU PELAKSANA PROGRAM
DI DAERAH TIDAK MEMPEROLEH
INFORMASI YANG SAMA
Ketiga, kurangnya koordinasi dari staf yang menerima data kepada bidang penanggung jawab di Bappeda. Misalnya,
keping cakram data diterima oleh orang lain di instansi
pemohon, namun penerima keping cakram data tersebut tidak
meneruskan kepada pihak yang bersangkutan; atau keping
cakram BDT diterima oleh pemohon, namun pemohon sekadar
menyimpannya tanpa mensosialisasikan ke pihak-pihak yang
berkepentingan; pemohon mutasi dan tidak mensosialisasikan
keping cakram data atau data yang sudah ia miliki; pemohon
cuti panjang atau mengalami force majeur tanpa pernah ada
pihak lain yang mengetahui telah adanya kiriman keping
cakram BDT, dimana kasus-kasus tersebut benar-benar terjadi.
GAMBAR 1.
Sebagian besar Bappeda mengembalikan lembar tanda terima setelah memperoleh BDT. Ini mengindikasikan Bappeda memahami prosedur data yang umum. Survei menunjukkan, dari keseluruhan Bappeda yang telah menerima
kiriman BDT, sebanyak 82% di antaranya mengembalikan
lembar tanda terima. Tingkat pengembalian yang cukup tinggi
mengindikasikan informasi tentang prosedur yang bersifat
umum telah dipahami dengan baik.
Adanya 18% Bappeda yang tidak mengembalikan lembar
tanda terima, disebabkan oleh beberapa hal. Survei
menunjukkan hampir separuh (42%) dari responden yang tidak
mengembalikan lembar tanda terima mengatakan mereka
telah memperoleh data (yang sudah bisa dibuka), sehingga
merasa tidak perlu meminta kata kunci ke TNP2K melalui
pengembalian tanda terima. Data-data tersebut, menurut
mereka, dapat langsung dibuka karena data didapatkan dari
Tingginya tingkat pengembalian lembar tanda terima sekaligus
mengindikasikan bahwa Bappeda cenderung mudah menyerap
informasi-informasi umum proses BDT ketika informasi tersebut
disampaikan melalui media sosialisasi (yakni rakor TNP2K,
rapat Bappeda, sosialisasi TNP2K, atau situs TNP2K), bukan
informasi-informasi teknis-detail. Sebagaimana akan terlihat
kemudian, informasi teknis-detail seperti cara membaca dan
mengolah data hanya efektif disampaikan melalui media
konsultasi langsung, bukan lewat media sosialisasi.
Survei juga memperlihatkan adanya Bappeda yang memang
tidak mengetahui adanya prosedur pengembalian lembar
GAMBAR 2.
tanda terima, namun jumlahnya sangat kecil yakni 11% dari total
responden yang tidak mengembalikan.
Lebih dari seperlima responden Bappeda tidak puas dengan waktu yang diperlukan untuk memperoleh BDT. Sebanyak 21% Bappeda menyatakan ketidakpuasan terkait periode
penerimaan keping cakram BDT, dan alasan mereka didominasi
oleh dua hal: jangka waktu yang lama dan prosedur permintaan
data yang berbelit. Responden yang tidak puas menyatakan
mereka baru mendapatkan data secepat-cepatnya 3 bulan
kendati proses permohonan data dijanjikan maksimal 15 hari
kerja sejak penerimaan dokumen lengkap. Ada juga Bappeda
yang baru memperoleh BDT setelah APBD ditetapkan,
sehingga BDT tidak dapat digunakan untuk penetapan sasaran
penerima manfaat program tahun anggaran 2017.
Keluhan lain adalah terkait prosedur permohonan data
yang tidak sederhana. Responden Bappeda mengutarakan
banyaknya persyaratan dan panjangnya prosedur, seperti
keharusan adanya detail keterangan program dan kriteria
calon penerima manfaat program. Selain itu, adanya keluhan
tentang lambatnya tanggapan dari unit BDT terkait permintaan
data melalui surel, meski ini terjadi dalam jumlah yang kecil.
Menurut survei, sebagian besar Bappeda (79%) merasa puas
Tingkat Kepuasan Terhadap Waktu Memperoleh Data
Cukup puas
Puas Tidak puas
Sangat puas
DIAGRAM 6.
Tingkat Kepuasan Bappeda terhadap Periode untuk Memperoleh BDT
40%
21%
INFORMASI TEKNIS
SEPERTI CARA MEMBACA DAN
MENGOLAH DATA HANYA EFEKTIF
DISAMPAIKAN MELALUI
KONSULTASI TATAP MUKA
TNP2K dapat memenuhi hampir seluruh permintaan kata kunci. Mengacu pada hasil survei, persentase Bappeda yang menerima kata kunci adalah 81% dari total responden, atau
nyaris sama dengan persentase Bappeda yang mengembalikan
lembar tanda terima (82%). Hal ini mengindikasikan bahwa
setiap pengembalian lembar tanda terima langsung
ditindaklanjuti TNP2K dengan pemberian kata kunci.
Sedangkan 19% responden Bappeda tidak menerima kata
kunci karena tidak pernah mengajukan permintaan kata kunci
kepada TNP2K. Hal ini terjadi karena telah menerima data
dari instansi lain, seperti Bappeda provinsi dan dinas sosial.
Bahkan, Bappeda lainnya tidak mengetahui tentang keharusan
Alasan Tidak Meminta Kata Kunci DIAGRAM 7.
Alasan Bappeda Tidak Mengajukan Permintaan Kata Kunci ke TNP2K
55%
12%
3%
11%
16%
Sudah mendapatkan data (bukan dari TNP2K) Belum menerima BDT
Tidak tahu soal harus ada kata kunci
Lain-lain
PEMANFAATAN DATA
Pada kunjungan awal ke TNP2K, Bappeda telah menerima
berbagai informasi dari staf unit BDT TNP2K, namun ada kendala
teknis seperti waktu kunjungan yang terlampau singkat. Hal ini
menyebabkan penjelasan krusial seperti cara membaca dan
mengolah data tidak dipahami secara optimal oleh Bappeda.
Setelah Bappeda menerima paket BDT, mereka kesulitan
dalam memahami data. Karakteristik BDT memang tidak
mudah dipahami, terlebih bagi staf daerah yang tidak terbiasa
menangani data. Kendala teknis lainnya adalah seringkali staf
daerah yang hadir pada saat kunjungan awal berbeda dengan
staf yang hadir pada konsultasi lanjutan. Hal ini menyebabkan
pemahaman terhadap data BDT menjadi tidak menyeluruh
(parsial). Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya Bappeda dan SKPD untuk memiliki staf khusus bidang data.
Hal di atas sesuai dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa mayoritas Bappeda (67%) masih kesulitan memahami BDT, sehingga mereka berkonsultasi kembali dengan TNP2K setelah menerima kiriman dan membaca BDT. Adapun tema yang paling sering didiskusikan adalah variabel-variabel
dalam data (96%), termasuk cara memilah data berdasarkan
kebutuhan instansi atau program (75%). Mayoritas pemda (95%
hingga 99%) menyatakan puas terhadap penjelasan dari TNP2K
Topik Utama Konsultasi Lanjutan
Cukup tingginya persentase kunjungan lanjutan mengindikasikan bahwa kegiatan sosialisasi BDT yang telah diikuti Bappeda belum mampu mentransfer pengetahuan teknis secara memadai, khususnya cara membaca dan menggunakan data. Kegiatan sosialisasi yaitu rapat koordinasi
TNP2K dan Bappeda hanya efektif untuk menyampaikan
informasi tentang latar belakang BDT. Kegiatan sosialisasi
yang metodenya satu arah dan massal tidak optimal untuk
menyampaikan informasi detail dan teknis tentang cara membaca dan menggunakan data. Informasi-informasi tersebut
hanya dapat dijelaskan secara efektif melalui konsultasi tatap
DIAGRAM 8.
Setelah Bappeda menerima BDT dan penjelasan berulang
kali, ternyata Bappeda belum secara aktif mengedukasi dan
melibatkan SKPD untuk memanfaatkan data. Hal ini sesuai
dengan hasil kunjungan lapangan unit BDT TNP2K yang
menunjukkan bahwa 28 SKPD dari 54 SKPD menyatakan
bahwa mereka bahkan tidak mengetahui perihal adanya BDT.
Oleh sebab itu, SKPD tidak pernah meminta BDT ke Bappeda,
meski pengenalan BDT merupakan tanggung jawab Bappeda.
Sementara itu, 23 SKPD mengaku telah menerima BDT tetapi
tidak juga digunakan untuk penetapan sasaran penerima
program penanggulangan kemiskinan.
Ada tiga faktor terkait belum disosialisasikan dan
didistribusikannya BDT oleh Bappeda. Pertama, Bappeda belum optimal dalam mensosialisasikan informasi pokok
tentang BDT. Hampir seluruh SKPD yang dikunjungi dalam
kegiatan evaluasi BDT menyatakan tidak pernah diajak
rapat atau diskusi informal tentang BDT. Mereka juga belum
menerima BDT dari Bappeda. Kedua, Bappeda beranggapan bahwa BDT adalah data rahasia, sehingga tidak dibagikan
kepada SKPD. Ketiga, Bappeda menerapkan mekanisme penyerahan BDT ke SKPD yang membutuhkan banyak waktu,
sehingga menyebabkan SKPD tidak melanjutkan permintaan
BAPPEDA
BELUM SECARA AKTIF
MENGEDUKASI DAN
MELIBATKAN SKPD
Ternyata, menurut hasil survei, Bappeda masih menggunakan
BDT untuk: pertama, pemetaan kondisi kemiskinan. Kedua,
presentasi angka-angka kemiskinan terhadap pemangku
kepentingan. Ketiga, merencanakan dan menganggarkan program daerah.
Alasan utama Bappeda tidak memanfaatkan BDT karena data
terlambat. Keterlambatan penerimaan data menyebabkan
data tidak bisa digunakan saat itu juga. BDT tiba setelah APBD
dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD tahun 2017
disahkan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, keterlambatan
pengiriman data terjadi karena adanya penumpukan permintaan
data pada awal tahun 2016.
Bappeda telah menggunakan data by name by address antara
lain untuk penetapan penerima manfaat program-program
perbaikan rumah bagi 344 rumah tangga (Kabupaten Gresik),
penyusunan anggaran penerima bantuan Jaminan Kesehatan
Rakyat Aceh bekerjasama dengan BPJS Kesehatan (Provinsi
Aceh), pemadanan data penerima program BPJS (Provinsi
Nusa Tenggara Timur), penetapan Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan Nasional (Kabupaten Bangka Tengah dan
Purbalingga), serta program rehabilitasi rumah dalam APBD
Alasan Data Belum Dipakai
30%
27%
19%
11%
7%
4%
7%
Data terlambat
Akurasi data diragukan
Anggaran tidak ada
Memutuskan memakai data lama
Data tidak bisa dibuka
Lainnya
Isi data tidak dimengerti
DIAGRAM 9.
Kunjungan lapangan menegaskan soal dampak keterlambatan
pengiriman data terhadap pemanfaatan data. Salah satu Bappeda di wilayah timur, misalnya, memutuskan untuk tidak mengirimkan data ke SKPD-SKPD lantaran data tiba setelah
ketuk palu APBD 2017. Adapun data yang pernah diminta
adalah data per program by name by address untuk dinas
pendidikan, dinas kesehatan (Jaminan Kesehatan Nasional),
dinas sosial, disperindag (Raskin), dan dinas perumahan.
Akibatnya, pemanfaatan BDT baru dapat dilakukan untuk
APBD perubahan pada tahun anggaran berjalan. Solusi serupa
dilakukan kabupaten/kota lain yang menerima kiriman data
terlambat.
Kurangnya arahan Bappeda terhadap SKPD dan adanya pemahaman parsial Bappeda tentang BDT berkorelasi terhadap belum optimalnya pemanfaatan data di lapangan.
Studi kualitatif tim BDT TNP2K mengidentifikasi adanya sejumlah keluhan perihal minimnya pemahaman SKPD terhadap
BDT. Keluhan cukup bervariasi, mulai dari ketidaktahuan SKPD
tentang apa yang harus dilakukan setelah menerima BDT,
hingga keluhan tentang kurangnya arahan Bappeda provinsi
saat serah terima BDT. Dari diskusi-diskusi yang dilakukan
di lapangan, TNP2K menangkap adanya kebutuhan pelatihan
khusus bagi staf SKPD untuk membaca, mengolah, dan
ADANYA PEMAHAMAN PARSIAL
BAPPEDA
TENTANG BDT BERKORELASI
TERHADAP BELUM OPTIMALNYA
PEMANFAATAN DATA
Pintu masuk utama bagi SKPD untuk memahami BDT adalah
Bappeda. Sebagai focal point BDT di daerah, Bappeda
berkesempatan memperoleh akses langsung terhadap
BDT sekaligus mendapatkan rangkaian informasi, termasuk
peningkatan kapasitas, berkenaan dengan BDT. Namun,
sebagaimana dijelaskan sebelumnya, studi ini mengungkapkan
lemahnya fungsi koordinasi Bappeda dalam mensosialisasikan
dan mengedukasi BDT kepada SKPD, menyebabkan
terhambatnya transfer pengetahuan dari Bappeda ke SKPD
selaku pelaksana program penanggulangan kemiskinan
di daerah.
Survei memperlihatkan bahwa Bappeda melewati proses yang
cukup panjang hingga mampu memahami cara mengolah
BDT, mulai dari kegiatan sosialisasi di tingkat nasional dan
provinsi hingga satu-dua kali konsultasi secara langsung
ke TNP2K. Kesempatan serupa tidak dimiliki SKPD. SKPD
bahkan hanya berpeluang memperoleh penjelasan ‘’tangan
kedua’’ melalui Bappeda tanpa ada jaminan bahwa Bappeda
telah benar-benar menguasai informasi pokok BDT dan
memiliki keterampilan untuk membaca dan menganalisa BDT.
Penguasaan Bappeda tentang informasi pokok BDT berguna
untuk, salah satunya, meyakinkan tentang validitas BDT.
Kunjungan lapangan menunjukkan adanya SKPD yang tidak
mau memanfaatkan BDT lantaran menganggap BDT kurang
5
T
NP2K telah berperan secara proporsional dalam memfasilitasi proses sosialisasi mengenai informasi pokok BDT. Tiga kerangka kerja yang digunakan dalam evaluasi pemanfaatan BDT adalah ‘’mengetahui’’,‘’menerima’’, dan ‘’memakai’’ BDT. Survei menunjukkan
bahwa TNP2K telah memfasilitasi kegiatan-kegiatan terkait
‘’mengetahui’’ dan ‘’menerima’’ BDT secara efektif yang
merupakan salah satu tanggung jawab TNP2K. Pada tahapan
‘’mengetahui’’, TNP2K dapat menunjukkan kinerja optimal
sebagai penyedia informasi mengenai BDT bagi Bappeda.
Hal ini ditunjukkan oleh tingginya persentase Bappeda dalam
meminta data, melakukan konsultasi, dan konsultasi lanjutan.
Sementara pada tahapan ‘’menerima’’ BDT, secara umum
TNP2K memperlihatkan performa yang baik dalam mengirim
BDT ke daerah serta memberikan kata kunci untuk membuka
data. Hal ini tercermin dari tingginya persentase atau tingkat
penerimaan BDT, serta tingginya tingkat pemberian kata
kunci sebagai tanggapan atas pengembalian lembar tanda
terima. Namun, untuk tahapan ini, ada catatan negatif perihal
keterlambatan pengiriman data.
yang kontradiktif dalam pemanfaatan BDT.
Di satu sisi, Bappeda mengaku cukup memahami dan telah
memiliki BDT. BDT diberikan kepada Bappeda agar digunakan
untuk program penanggulangan kemiskinan di daerah. Namun,
ternyata hasil survei menunjukkan hanya sedikit Bappeda
yang meneruskan BDT kepada SKPD hingga akhirnya
pemanfaatan BDT untuk program penanggulangan kemiskinan
di daerah pun masih minim.
Studi ini mengungkapkan kelemahan sistem pemanfaatan data berbasis peran sentral Bappeda. Bappeda sejatinya merupakan pintu pemda untuk mengakses BDT dan pihak
pertama yang memperoleh informasi tentang BDT. Hanya
saja pemanfaatan BDT dalam program-program di APBD
merupakan ranah SKPD, bukan Bappeda. Bappeda secara
tugas, pokok, dan fungsi merupakan lembaga perencana,
bukan lembaga pelaksana seperti halnya SKPD. Tanpa ada
sosialisasi BDT yang dilakukan oleh Bappeda, SKPD praktis
tidak mengetahui keberadaan BDT dan nilai penting BDT untuk
penajaman sasaran penerima manfaat program. Tanpa adanya
distribusi dan edukasi BDT oleh Bappeda, sudah pasti SKPD
tidak mengetahui fungsi BDT dan cara menggunakannya.
Selain itu, minimnya pemanfaatan BDT oleh SKPD disebabkan oleh Bappeda kurang memahami BDT secara utuh, sehingga transfer informasi BDT dari Bappeda ke SKPD menjadi parsial, khususnya perihal cara mengolah data. Hal tersebut disebabkan oleh: pertama, banyak Bappeda yang
berinisiatif mendatangi TNP2K untuk mempelajari BDT hanya
menyediakan waktu yang terbatas, sehingga informasi teknis
tentang cara mengolah dan memanfaatkan data tidak sempat
dipahami secara optimal. Kedua, staf Bappeda yang berkunjung
tidak pernah sama. Akibatnya, Bappeda hanya memahami
secara parsial informasi pokok BDT dan cara pengolahannya,
sehingga SKPD pun kesulitan dalam mengetahui kegunaan
BDT bagi program penanggulangan kemiskinan yang mereka
laksanakan.
Kunjungan lapangan menegaskan hal ini. Banyak keluhan
dari SKPD tentang ketidakpahaman cara menggunakan BDT,
serta minimnya pengarahan Bappeda saat serah terima BDT.
Kurangnya edukasi Bappeda juga tercermin dari keengganan
sejumlah SKPD untuk menggunakan BDT dengan alasan data
kurang valid. Hal ini sejatinya dapat dihindari apabila Bappeda
mampu memberikan penjelasan menyeluruh dan meyakinkan
tentang proses BDT.
Ada kelemahan dalam mekanisme pengiriman BDT. Selain karena lemahnya fungsi koordinasi Bappeda, minimnya
BDT oleh pemda. Pertama, keterlambatan disebabkan penumpukan surat permintaan data di awal tahun 2016.
Pada saat BDT diterima oleh pemda, program APBD 2017
telah disahkan dan program pemda telah berjalan. Kedua,
manajemen penanganan data oleh TNP2K berakhir hingga
data telah dikirim. Tidak ada mekanisme dari TNP2K untuk
memastikan bahwa paket BDT telah diterima oleh penanggung
jawab data di Bappeda, sehingga pada saat terjadi kendala
teknis, misalnya paket BDT hilang atau rusak dalam perjalanan,
6
R
ekomendasi pertama adalah Bappeda perlu terus memperoleh peningkatan kapasitas pengetahuan, baik yang terkait dengan informasi pokok BDT, maupun keterampilan teknis mengolah BDT. Antara lain pada momen rapat koordinasi TNP2K, rapat koordinasi Bappeda,serta konsultasi langsung di TNP2K. TNP2K perlu konsisten
mengadakan sesi pengenalan BDT pada setiap momen rapat
koordinasi di daerah, dan harus menyiapkan modul yang efektif,
singkat dan tajam.
TNP2K harus meningkatkan kualitas dan standardisasi konsultasi
langsung dengan Bappeda karena kegiatan tersebut cukup
efektif untuk mentransfer keterampilan teknis seperti membaca
dan mengolah BDT. Informasi teknis sulit untuk diajarkan secara
massal seperti dalam rapat koordinasi. Konsultasi langsung
memungkinkan terjadinya simulasi dan diskusi mengenai BDT.
Standardisasi yang perlu ditingkatkan meliputi standardisasi
waktu dan standardisasi materi. Pada saat konsultasi langsung,
Bappeda akan diberitahu terlebih dahulu tentang pokok materi,
termasuk materi praktik mengolah data, serta durasi waktu.
Kegiatan sosialisasi BDT dan konsultasi lanjutan perlu diikuti
oleh staf Bappeda yang sama, lebih baik lagi oleh penanggung
jawab data di pemda. Pimpinan Bappeda perlu melibatkan
penanggung jawab data ketika menghadiri rapat koordinasi
TNP2K, dan sebaiknya terus mengikuti konsultasi-konsultasi
Rekomendasi kedua adalah TNP2K perlu membuat tutorial cara membaca dan mengolah BDT. Tutorial ini dirancang dalam format multimedia dan berbasis online, ditujukan untuk memastikan tersedianya informasi acuan dan terstandar tentang BDT yang dapat diakses oleh pemda.
Tutorial ini berisi langkah-langkah cara membaca dan
mengolah data, yang disajikan secara detail, serta dirancang
dalam format audio-visual. Tutorial juga perlu memasukkan
informasi pokok BDT supaya pengguna memahami tujuan dan
konteks pemanfaatan BDT. Tutorial perlu diunggah dalam situs
TNP2K guna memberikan akses yang mudah dan tanpa batas
bagi seluruh pemangku kepentingan.
Rekomendasi ketiga adalah perlunya ada terobosan dalam mekanisme pengiriman BDT di masa mendatang. Pengiriman data dapat dilakukan secara digital melalui media penyimpanan cloud storage. Inovasi pengiriman data softcopy BDT melalui cloud storage diyakini akan mempersingkat durasi
waktu pemenuhan permintaan BDT. Karena sebelumnya,
rangkaian proses untuk mendapatkan BDT tidak sebentar.
Bappeda harus melengkapi dokumen dan menunggu MoU yang
ditandatangani oleh pimpinan TNP2K dan pejabat Kemensos.
Kemudian, Bappeda akan mendapat kiriman paket BDT, lalu harus
mengembalikan hardcopy lembar tanda terima, dan memperoleh
kata kunci, hingga akhirnya dapat membuka dan membaca
Meski penjelasan tutorial sudah dapat diakses melalui online
dan data dapat diunduh, Bappeda tetap disarankan melakukan
konsultasi langsung di TNP2K untuk memahami cara membaca
dan mengolah data.
Pengiriman BDT secara digital memungkinkan peningkatan
pemanfaatan data oleh SKPD. Secara karakteristik, data digital
lebih mudah diakses dan disebarluaskan ketimbang dalam
format keping cakram. Bappeda cukup menginformasikan
kata kunci akun cloud storage. Jika Bappeda belum sempat
mengedukasi BDT kepada SKPD, Bappeda dapat merujuk
SKPD untuk mengakses tutorial BDT di situs TNP2K.
Rekomendasi keempat adalah MoU perlu memasukkan ketentuan tentang kewajiban Bappeda untuk mendistribusikan BDT ke SKPD. Terobosan pengiriman BDT digital akan memberi akses cepat kepada Bappeda untuk
memanfaatkan data, namun tetap tidak bagi SKPD. Akses
SKPD terhadap data masih bergantung pada inisiatif Bappeda,
sebagaimana terjadi saat ini.
Rekomendasi kelima adalah menambahkan langkah pengembalian tanda terima pada mekanisme pemenuhan permintaan data. Selama ini, di dalam aplikasi WRM, daftar cek terhenti pada langkah ke-20, yaitu pengiriman data.
TNP2K merasa tugas mereka telah tuntas pada saat paket
paket BDT telah diterima dengan baik atau belum, serta
apakah Bappeda telah meminta kata kunci atau belum.
Studi ini menunjukkan fakta adanya Bappeda yang tidak
mengembalikan lembar tanda terima dan meminta kata
kunci, yang mengindikasikan bahwa bisa jadi Bappeda tidak
menerima BDT. Langkah ini juga akan diterapkan pada
7
TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN
KEMISKINAN
Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia
Jl. Kebon Sirih No. 14, Jakarta Pusat 10110
Telepon : (021) 3912812
Faksimili : (021) 3912511
E-mail : bdt@tnp2k.go.id