PENDAHULUAN
Penyingkiran limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang paling sering dijumpai dalam pengelolaan limbah. Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan pengurugan atau penimbunan dikenal sebagai landfilling, yang diterapkan mula-mula pada sampah kota.Cara ini dikenal sejak awal tahun 1900-an, dengan nama yang dikenal sebagai sanitary landfill, karena
Definisi yang sederhana tentang sanitary
landfill adalah Metode pengurugan sampah ke
dalam tanah, dengan menyebarkan sampah secara lapisper-lapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan
Landfilling dibutuhkan karena :
• Pengurangan limbah di sumber, daur-ulang, atau minimasi limbah, tidak dapat
menyingkirkan limbah semuanya
• Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut
Metode landfilling saat ini digunakan bukan hanya untuk menangani sampah kota. Beberpa hal yang perlu dicatat : − Banyak digunakan untuk menyingkirkan sampah, karena
murah, mudah dan luwes.
− Digunakan untuk menyingkirkan limbah industri, seperti
sludge (lumpur) dari pengolahan limbah cair, termasuk limbah berbahaya.
− Bukan pemecahan masalah limbah yang baik. Dapat mendatangkan pencemaran lingkungan, terutama dari lindi (leachate) yang mencemari air tanah.
− Untuk mengurangi dampak negatif dibutuhkan pemilihan lokasi yang tepat, penyiapan prasarana yang baik dengan memanfaatkan teknologi yang sesuai, dan dengan
PERKEMBANGAN LANDFILL
Perkembangan landfilling mulai dari awal Keberadaannya sebagai sarana penanganan sampah kota:
Mengisi lembah:
Pada awalnya landfilling sampah dilaksanakan pada lahan yang tidak produktif, misalnya bekas
Cara ini dikenal dengan metode pit atau canyon atau quarry. Dengan demikian terjadi reklamasi lahan, sehingga lahan tersebut
menjadi baik kembali.
Mengupas site:
Dengan terbatasnya site yang sesuai , maka dilakukan pengupasan site sampai kedalaman
tertentu. Dikenal sebagai metode slope (ramp). Perlu diperhatikan:
− tinggi muka air tanah
− struktur batuan / tanah keras
Dengan demikian akan diperoleh tanah untuk bahan
penutup. Kadangkala pengupasan site tidak dilakukan sekaligus, tetapi dilakukan secara bertahap.
Terbentuk parit-parit tempat pengurugan
Gambar 2: Landfilling dengan mengupas site
Menimbun sampah:
Untuk daerah yang datar, dengan muka air tanah tinggi, sulit untuk mengupas site. Maka cara yang dilakukan adalah menimbun sampah di atas area tersebut. Cara ini
dikenal sebagai metode area.
JENIS LANDFILL
Berdasarkan penanganan sampahnya:
Dilihat dari bagaimana sampah ditangani sebelum diurug, maka dikenal beberapa jenis aplikasi ini, yaitu :
a. Pemotongan sampah terlebih dahulu:
− Sampah dipotong dengan mesin pemotong 50-80 mm sehingga menjadi lebih homogen,
− Dapat digunakan sebagai pengomposan (aerobik) in-situ dengan ketingian sel-sel 50 cm, sehingga
memungkinkan proses aerobik yang menghasilkan panas sehingga dapat menghindari lalat
− Binatang pengerat (tikus dsb) berkurang karena rongga dalam timbunan berkurang /dihilangkan, dan timbunan lebih padat
− Bila tidak ada masalah bau, maka tidak perlu tanah penutup
− Degradasi (pembusukan) lebih cepat sehingga stabilitas lebih cepat
b. Pemadatan sampah dengan baling :
− Banyak digunakan di Amerika Serikat
− Sampah dipadatkan dengan mesin pemadat menjadi ukuran tertentu (misalnya bervolume 1 m3).
Kepadatan mencapai 1,0 ton/m3 atau lebih
− Transportasi lebih murah karena sampah lebih padat, dan benbentuk praktis
− Pengaturan sel lebih mudah dan sistematis
− Butuh investasi dan operasi alat/mesin. Biaya menjadi sangat mahal
− Dihasilkan lindi hasil pemadatan yang perlu mendapat perhatian
c. Landfill tradisional:
− Cara yang dikenal di Indonesia sebagai sanitary landfill
− Sampah diletakkan lapis perlapis (0,5-0,6m) sampai ketinggian 1,2 - 1,5 m
− Urugan sampah membentuk sel-sel dan
membutuhkan ketelitian operasi alat berat agar teratur
− Kepadatan sampah dicapai dengan alat berat biasa (dozer atau loader) dan mencapai
− Membutuhkan penutupan harian 10 - 30 cm, paling tidak dalam 48 jam
− Kondisi di lapisan (lift) teratas bersifat aerob (ada oksigen), sedang bagian bawah
anaerob (tidak ada oksigen) sehingga dihasilkan gas metan
d. Landfill dengan kompaksi :
− Banyak digunakan untuk lahan-urug yang besar dengan dozer khusus yang bisa
memadatkan sampah pada ketebalan 30 - 50 cm, dan dicapai densitas timbunan 0,8 -1,0 ton/m3
− Proses yang terjadi menjadi anaerob
− Keuntungan dibanding lahana-urug tradisional adalah tanah penutup menjadi berkurang,
truk mudah berlalu lalang dan masa layan lebih lama
− Biaya operasi menjadi meningkat
Berdasarkan kondisi site :
Dilihat dari kondisi topografi site, maka literatur USA membagi landfill dalam beberapa kelompok yaitu :
a. Metode area :
− Dapat diterapkan pada site yang relatif datar, − Sampah membentuk sel-sel sampah yang saling
dibatasi oleh tanah penutup
− Setelah pengurugan akan membentuk slope
b. Metode slope/ramp :
− Sebagian tanah digali
− Sampah kemudian diurug pada tanah
− Tanah penutup diambil dari tanah galian
c. Metode parit (trench) :
− Site yang ada digali, sampah ditebarkan dalam galian, dipadatkan dan ditutup harian
− Digunakan bila airtanah cukup rendah sehingga zone non-aerasi di bawah landfill cukup tinggi ( ≥ 1,5 m)
− Digunakan untuk daerah datar atau sedikit bergelombang
d. Metode pit/canyon/quarry :
− Memanfaatkan cekungan tanah yang ada (misalnya bekas tambang)
− Pengurugan sampah dimulai dari dasar
− Penyebaran dan pemadatan sampah seperti metode area
− Kenyataan di lapangan, cara tersebut dapat berkembang lebih jauh sesuai dengan
Berdasarkan ketersediaan oksigen dalam timbunan :
Seperti halnya pengomposan, maka pada dasarnya
landfilling adalah pengomposan dalam reaktor yang luas.
Oleh karenanya terdapat kemungkinan
a. Landfill anaerobik:
− Landfill yang banyak dikenal saat ini, khususnya di Indonesia.
Timbunan sampah dilakukan lapis perlapis tanpa memperhatikan ketersediaan oksigen di dalam
timbunan.
− Kondisi anaerob menghasilkan gas metan (gas
bakar). Dihasilkan pula uap-uap asamasam organik, dan H2S yang menyebabkan jenis landfill ini berbau bila tidak ditutup tanah.
− Karena kondisinya anaerob, stabilitas sampah tidak cepat tercapai, dan dihasilkan lindi
b. Landfill semi-aerobik :
− Dihindari tergenangnya leachate dalam timbunan, melalui drainase leachate dan
ventilasi gasbio yang baik
− Tanah penutup tidak terlalu kedap
c. Landfill aerobik:
− Mengupayakan agar timbunan sampah tetap mendapat oksigen. Dengan demikian
proses pembusukan lebih cepat, seperti halnya pengomposan biasa.
− Leachate yang dihasilkan relatif lebih baik dibanding landfill anaerob. Juga bau akan
− Pencapaian kondisi aerobik dapat dilakukan dengan pendekatan :
lapisan sampah dibiarkan beberapa hari berkontak dengan oksigen, sebelum
diatasnya dilapis sampah lain. Bila perlu dilakukan pembalikan pada lapisan sampah
tersebut. Dibutuhkan area yang luas.
cara lain adalah memasukkan udara ke dalam timbunan secara sistematis, sehingga
Berdasarkan karakter lahan (site):
Di Perancis misalnya, hubungan karakter
permeabilitas site dengan limbah dijadikan dasar pembagian landfill, yaitu :
− Site landfill kelas 1 :
site kedap dengan nilai permeabilitas (k) < 10 –7 cm/detik
migrasi leachate dapat diabaikan
− Site landfill kelas 2 :
site semi-kedap dengan nilai permeabilitas (k) antara 10 –4 sampai 10 –7 cm/detik
migrasi leachate lambat
untuk limbah sejenis sampah kota − Site landfill kelas 3 :
site tidak kedap dengan nilai permeabilitas (k) > 10 –4 cm/detik
migrasi leachate cepat
Berdasarkan jenis limbah yang akan diurug:
Di beberapa negara maju, pembagian landfill saat ini dilakukan berdasarkan jenis limbah yang akan diurug, seperti :
− Landfill sampah kota dan sejenisnya
− Landfill limbah industri
Di Jepang, landfill dibagi menjadi :
− Landfill sampah domestik (sampah kota)
− Landfill industri, yang dibagi menjadi :
landfill untuk limbah industri yang stabil : limbah sisa bangunan, plastik, karet, logam
dan keramik
landfill dengan shut-off : dengan mengisolasi kontak air dari luar seperti air hujan dan
air tanah .
landfill limbah terdegradasi : oli, kertas, kayu, residu hewan / tanaman; diperlukan
adanya pengolah lindi
Landfill limbah B3 di Indonesia:
Peraturan Bapedal – Indonesia tentang landfill (untuk limbah B3) membagi katagori landfill
limbah B3 menjadi 3 jenis, yaitu
• Landfill katagori I : Landfill dengan liner ganda dari geomembran HDPE, digunakan untuk
• Landfill katagori II : seperti katagori I, namun dengan liner geomembran tunggal.
• Landfill katagori III : untuk limbah B3 yang dianggap tidak begitu berbahaya. Liner yang
Berdasarkan aplikasi tanah penutup dan
penanganan leachate:
Di Jepang, landfill sampah kota dibagi berdarkan aplikasi tanah penutup, yang menjadi keharusan
dari sanitary landfill standar, serta penanggulangan leachate.
Pembagian tersebut adalah sebagai berikut: a. Controlled tipping :
− Peningkatan dari open dumping. Calon lahan telah dipilih dan disiapkan secara baik.
− Aplikasi tanah penutup tidak dilakukan setiap hari − Konsep ini banyak dianjurkan di Indonesia, dikenal
b. Sanitary landfill with a bund and dailiy cover soil :
− Peningkatan controlled tipping.
− Lahan penimbunan dibagi menjadi berbagai area, yang dibatasi oleh tanggul ataupun
parit.
− Penutupan timbunan sampah dilakukan setiap hari, sehingga masalah bau, asap dan
c. Sanitary landfill with leachate recirculation :
− Masalah lindi (leachate) sudah diperhatikan.
− Terdapat sarana untuk mengalirkan lindi dari dasar
landfill ke penampungan (kolam)
− Lindi kemudian dikembalikan ke timbunan sampah melalui ventilasi biogas tegak atau
d. Sanitary landfill with leachate treatment :
− Lindi dikumpulkan melalui sistem pengumpul
− Kemudian diolah secara lengkap seperti layaknya limbah cair
Sidik et al. (1985) mengatakan bahwa ada
beberapa jenis pencemaran di lahan penimbunan sampah (TPA) yaitu :
a. Air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam
tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan
b. Pembentukan gas. Penguraian bahan organik secara aerobik akan meghasilkan gas CO2,
sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3. Gas CH4 perlu ditangani karena
merupakan salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar.
LINDI
Lindi adalah cairan atau zat cair hasil perkolasi
air tehadap sampah berdegradasi dan
mengekskresikan zat-zat atau material terlarut dan tersuspensi (Tchobanoglous, 1977).
Lindi merupakan sumber pencemaran air
(Remson, 1968). Corbitt (1990), Christensen (1992) dan Soemirat (1994), Ichrar (1998)
melaporkan, bahwa pada lindi terkadung bahan berbahaya dan beracun berupa Cd, Pb, Hg, Cu, Mn, Zn, Ni, klorin, sianida, fluorida, sulfida, sulfat, fosfat, CO2, NH3, NO3, NO2, asam
Lindi dapat mengancam kehidupan organik,
baik pada manusia maupun bagi ikan yang dibudidayakan. Kematian ikan akibat
konsentrasi bahan beracun melampaui
ambang batas, berdampak pada menurunnya produktivitas dan tingkat perekonomian
Mekanisme Pembentukan Lindi
Saat air hujan kontak dengan lahan
sampah, sebagian air hilang menjadi
limpasan dan mengalami evapotranspirasi.
Sisa dari air tersebut masuk (infiltrasi) ke
dalam timbunan sampah. Lindi akan
timbul ketika kemampuan maksimum
sampah menyerap air
(field capacity)
Dari sana dapat diramalkan bahwa kuantitas
dan kualitas lindi akan sangat bervariasi dan berfluktuasi. Dapat dikatakan bahwa
kuantitas lindi yang dihasilkan akan banyak tergantung pada masuknya air dari luar,
KUALITAS LINDI
Terlihat bahwa lindi tersebut mempunyai karakter yang khas, yaitu:
- lindi dari landfill yang muda bersifat asam,
berkandungan organik yang tinggi, mempunyai ion-ion terlarut yang juga tinggi serta rasio
BOD/COD relatif tinggi
- lindi dari landfill yang sudah tua sudah
mendekati netral, mempunyai kandungan karbon
organik dan mineral yang relatif menurun serta rasio BOD/COD relatif menurun
Lindi landfill sampah kota yang berumur di atas 10 tahunpun ternyata mempunyai BOD dan
PENANGANAN LINDI
Penanganan lindi yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
a. Memanfaatkan sifat-sifat hidrolis dengan
pengaturan air tanah sehingga aliran lindi tidak menuju ke arah air tanah.
Pengaturan hidrolis dilakukan dengan
membuat tembok penghalang (barrier) sekeliling landfill sehingga air tanah
sekitarnya lebih tinggi dibanding air tanah di bawah landfill. Barrier tersebut dapat di bangun dari soil bentonite atau dengan
b. Mengisolasi lahan-urug tersebut agar air eksternal tidak masuk dan lindinya tidak ke luar,misalnya pada landfill bahan berbahaya dengan menggunkan liner dari geomembran c. Mencari lahan yang mempunyai tanah dasar
dengan kemampuan baik untuk menetralisir cemaran (Lihat cara penentuan site)
d. Mengembalikan lindi (resirkulasi) ke arah timbunan sampah
e. Mengalirkan lindi menuju pengolah air buangan domestik
Di negara maju biasanya masalah lindi ini ditangani dengan diolah seperti halnya air limbah biasa.
Beberapa jenis pengolahan yang biasa digunakan adalah:
- pengolahan kimia fisika, biasanya koagulasi-flokulasi-pengendapan
- pengolahan secara aerobik: proses lumpur aktif, kolam stabilisasi atau kolam aerasi
- pengolahan secara anaerobik, biasanya kolam stabilisasi - pemanfaatan sifat-sifat sorpsi
GAS METAN (METHANE) (CH4)
Metan merupakan gas yang terbentuk dari proses dekomposisi anaerob sampah
organik yang juga sebagai salah satu
penyumbang gas rumah kaca yang memiliki efek 20 – 30 kali lipat bila dibandingkan
dengan gas CO2.
Total produksi tergantung kepada komposisi sampah yang secara teori bahwa setiap
kilogram sampah dapat memproduksi 0,5 m3 gas metan, sumbangannya terhadap
KONDISI GAS METAN
Perhitungan emisi metan lebih rumit karena tidak semua gas metan yang terbentuk di
TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dapat lepas ke atmosfer. Pada saat metan bergerak dari dalam lapisan timbunan sampah menuju
Berdasar pengukuran yang dilakukan Jegers dan Peters dalam Solvato (1992) hanya 70% dari gas metana yang terbentuk di TPA yang diemisikan ke dalam atmosfer, sedangkan yang 30 % gas metan yang terbentuk
dioksidasi oleh bakteri anaerob ketika bergerak menuju permukaan timbunan sampah TPA.
DAMPAK GAS METAN TERHADAP LINGKUNGAN
Kelompok gas rumah kaca termasuk metan dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam skala regional dan global.
Perubahan ini meliputi terjadinya deposisi asam (hujan asam), perubahan iklim global, dan penipisan lapisan Ozon atmosfer.
Hal ini terjadi pada saat konsentrasi gas rumah kaca menangkap radiasi sinar
Meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer yang disebabkan oleh kegiatan manusia di berbagai sektor seperi energi, kehutanan, pertanian, peternakan dan
sampah.
Manusia dalam setiap kegiatannya hampir selalu menghasilkan sampah. Sampah
Diperkirakan 1 ton sampah padat dapat menghasilkan 50 kg gas methane. Dengan jumlah
penduduk yang terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan per hari mencapai 500 kg atau 190.000 ton/tahun.
Hal ini berarti pada tahun 2020 Indonesia akan mengisikan gas methane sebanyak 9500 ton.
Oleh karena itu, maka sampah tersebut perlu dikelola secara efektif agar laju pembentukan
CH4 dapat dibuat minimal sehingga laju