• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Pariwisata 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hukum Pariwisata 1"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

HOTELIER

HOTELIER

anything that you need in

anything that you need in hospitality industrieshospitality industries

Pilih Bahasa Pilih Bahasa▼▼

Monday, October 8, 2012 Monday, October 8, 2012

ANALISA HUKUM PARIWISATA

ANALISA HUKUM PARIWISATA

ANALISA HUKUM PARIWISATA

ANALISA HUKUM PARIWISATA

UU RI No. 9 /

UU RI No. 9 /

1990

1990

UU RI No. 10 / 2009 ANALISA

UU RI No. 10 / 2009 ANALISA

Definisi

Definisi

Pariwisata

Pariwisata

Segala sesuatu

Segala sesuatu

yang berhubungan

yang berhubungan

dengan wisata,

dengan wisata,

termasuk 

termasuk 

 pengusaha objek 

 pengusaha objek 

dan daya tarik 

dan daya tarik 

wisata serta

wisata serta

usaha-usaha yang terkait

usaha yang terkait

di bidang tersebut.

di bidang tersebut.

Berbagai macam

Berbagai macam

kegiatan wisata dan

kegiatan wisata dan

didukung berbagai

didukung berbagai

fasilitas serta layanan

fasilitas serta layanan

yang disediakan oleh

yang disediakan oleh

masyarakat,

masyarakat,

 pengusaha,

 pengusaha,

Pemerintah, dan

Pemerintah, dan

Pemerintah Daerah.

Pemerintah Daerah.

Di dalam UU Nomor 10 Tahun

Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009, definisi dari pariwisata

2009, definisi dari pariwisata

menjadi lebih spesifik dibandingkan dengan UU Nomor 9 Tahun

menjadi lebih spesifik dibandingkan dengan UU Nomor 9 Tahun

1990. Hal tersebut dikarenakan UU Nomor 10 Tahun 2009,

1990. Hal tersebut dikarenakan UU Nomor 10 Tahun 2009,

menyebutkan pihak 

menyebutkan pihak 

 – 

 – 

pihak terkait yang ikut terlibat di dalam

pihak terkait yang ikut terlibat di dalam

 pengembangan serta pengaturan industri pariwisata di Indonesia

 pengembangan serta pengaturan industri pariwisata di Indonesia

 baik dari pihak masyarakat maupun pemerintah.

 baik dari pihak masyarakat maupun pemerintah.

Definisi

Definisi

Kepariwisataan

Kepariwisataan

Segala sesuatu

Segala sesuatu

yang berhubungan

yang berhubungan

dengan

dengan

 penyelenggaraan

 penyelenggaraan

 pariwisata.

 pariwisata.

Seluruh kegiatan

Seluruh kegiatan

yang terkait dengan

yang terkait dengan

 pariwisata dan

 pariwisata dan

 bersifat multidimensi

 bersifat multidimensi

serta multidisiplin

serta multidisiplin

yang muncul sebagai

yang muncul sebagai

wujud kebutuhan

wujud kebutuhan

setiap orang dan

setiap orang dan

negara serta interaksi

negara serta interaksi

antara wisatawan dan

antara wisatawan dan

masyarakat setempat,

masyarakat setempat,

sesama wisatawan,

sesama wisatawan,

Pemerintah,

Pemerintah,

Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah

Seperti kita ketahui bahwa definisi kepariwisataan yang tercantum

Seperti kita ketahui bahwa definisi kepariwisataan yang tercantum

di dalam UU Nomor 9 Tahun

di dalam UU Nomor 9 Tahun 1990 bersifat umum dan tidak spesifik 

1990 bersifat umum dan tidak spesifik 

sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena

sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena

hal tersebut, maka UU Nomor 9 Tahun 1990 direvisi kembali

hal tersebut, maka UU Nomor 9 Tahun 1990 direvisi kembali

menjadi UU Nomor 10 Tahun 2009 dimana definisi kepariwisataan

menjadi UU Nomor 10 Tahun 2009 dimana definisi kepariwisataan

tersebut menjadi lebih terperinci, spesifik dan mempunyai kekuatan

tersebut menjadi lebih terperinci, spesifik dan mempunyai kekuatan

hukum yang tetap.

(2)

dan pengusaha.

dan pengusaha.

Pasal - pasal yang UU yang perlu di

Pasal - pasal yang UU yang perlu di

analisa

analisa

Usaha Jasa

Usaha Jasa

Pariwisata

Pariwisata

Pasal

Pasal 8

8

Pasal

Pasal 14

14

Usaha jasa

Usaha jasa

 pariwisata

 pariwisata

meliputi

meliputi

 penyediaan jasa

 penyediaan jasa

 perencanaan, jasa

 perencanaan, jasa

 pelayanan, dan

 pelayanan, dan

asa

asa

 penyelenggaraan

 penyelenggaraan

 pariwisata.

 pariwisata.

(1) Usaha pariwisata

(1) Usaha pariwisata

meliputi, antara

meliputi, antara

lain:

lain:

a. daya tarik wisata;

a. daya tarik wisata;

 b. kawasan

 b. kawasan

 pariwisata;

 pariwisata;

c. jasa transportasi

c. jasa transportasi

wisata;

wisata;

d. jasa perjalanan

d. jasa perjalanan

wisata;

wisata;

e. jasa makanan dan

e. jasa makanan dan

minuman;

minuman;

f. penyediaan

f. penyediaan

akomodasi;

akomodasi;

g. penyelenggaraan

g. penyelenggaraan

kegiatan hiburan dan

kegiatan hiburan dan

rekreasi;

rekreasi;

h. penyelenggaraan

h. penyelenggaraan

 pertemuan,

 pertemuan,

 perjalanan insentif,

 perjalanan insentif,

konferensi, dan

konferensi, dan

 pameran;

 pameran;

i. jasa informasi

i. jasa informasi

 pariwisata;

 pariwisata;

. jasa konsultan

. jasa konsultan

 pariwisata;

 pariwisata;

k. jasa pramuwisata;

k. jasa pramuwisata;

l. wisata tirta; dan

l. wisata tirta; dan

m. spa.

m. spa.

(2) Usaha pariwisata

(2) Usaha pariwisata

selain sebagaimana

selain sebagaimana

dimaksud pada

dimaksud pada

ayat (1) diatur 

ayat (1) diatur 

dengan Peraturan

dengan Peraturan

Menteri.

Menteri.

Karena perkembangan industri pariwisata semakin meningkat, maka

Karena perkembangan industri pariwisata semakin meningkat, maka

usaha pariwisata maka diperlukan revisi dalam UU Tahun 2009

usaha pariwisata maka diperlukan revisi dalam UU Tahun 2009

terdapat penambahan

terdapat penambahan jenis usaha y

jenis usaha yang terlibat

ang terlibat dalam industri

dalam industri

 pariwisata dimana usaha tersebut lebih spesifik dalam

 pariwisata dimana usaha tersebut lebih spesifik dalam

 penyelenggaran kegiatan usahanya.

 penyelenggaran kegiatan usahanya.

Pasal 9

Pasal 9

(1) Usaha jasa

(1) Usaha jasa

 pariwisata dapat

 pariwisata dapat

 berupa jenis-jenis

 berupa jenis-jenis

usaha:

usaha:

a. jasa biro

a. jasa biro

 perjalanan wisata;

 perjalanan wisata;

 b. jasa agen

 b. jasa agen

 perjalanan wisata;

 perjalanan wisata;

c. jasa

c. jasa

 pramuwisata;

 pramuwisata;

d. jasa konvensi,

d. jasa konvensi,

 perjalanan

 perjalanan

insentif, dan

insentif, dan

 pameran;

 pameran;

e. jasa

e. jasa

impresariat;

impresariat;

f. jasa konsultan

f. jasa konsultan

 pariwisata,

 pariwisata,

g. jasa informasi

g. jasa informasi

 pariwisata.

 pariwisata.

(2) Pemerintah

(2) Pemerintah

dapat menetapkan

dapat menetapkan

enis usaha jasa

enis usaha jasa

 pariwisata selain

 pariwisata selain

sebagaimana

sebagaimana

(3)

dimaksud dalam

dimaksud dalam

ayat (1).

ayat (1).

Ketentuan Pidana

Ketentuan Pidana

Pasal

Pasal 36

36

Pasal

Pasal 64

64

(1) Barang siapa

(1) Barang siapa

melakukan

melakukan

 perbuatan

 perbuatan

melawan hak,

melawan hak,

dengan sengaja

dengan sengaja

merusak,

merusak,

mengurangi;

mengurangi;

mengurangi nilai,

mengurangi nilai,

memisahkan, atau

memisahkan, atau

membuat tidak 

membuat tidak 

dapat berfungsi

dapat berfungsi

atau tidak dapat

atau tidak dapat

 berfungsinya

 berfungsinya

secara sempurna

secara sempurna

suatu objek dan

suatu objek dan

daya tarik wisata,

daya tarik wisata,

atau bangunan

atau bangunan

obyek 

obyek 

dan daya tarik 

dan daya tarik 

wisata, atau

wisata, atau

 bagian dari

 bagian dari

 bangunan objek 

 bangunan objek 

dan daya tarik 

dan daya tarik 

wisata, dipidana

wisata, dipidana

dengan pidana

dengan pidana

 penjara paling

 penjara paling

lama 5 (lima)

lama 5 (lima)

tahun dan/atau

tahun dan/atau

denda

denda

setinggi-tingginya Rp

tingginya Rp

50.000.000,00

50.000.000,00

(lima puluh juta

(lima puluh juta

rupiah).

rupiah).

(1) Setiap orang yang

(1) Setiap orang yang

dengan sengaja dan

dengan sengaja dan

melawan hukum

melawan hukum

merusak fisik daya

merusak fisik daya

tarik wisata

tarik wisata

sebagaimana

sebagaimana

dimaksud dalam

dimaksud dalam

Pasal 27 dipidana

Pasal 27 dipidana

dengan pidanapenjara

dengan pidanapenjara

 paling lama 7 (tujuh)

 paling lama 7 (tujuh)

tahun dan denda

tahun dan denda

 paling

 paling banyak 

banyak 

Rp10.000.000.000,00

Rp10.000.000.000,00

(sepuluh

(sepuluh

miliarrupiah).

miliarrupiah).

UU mengenai ketentuan pidana pada tahun 2009 hanya terdiri dari

UU mengenai ketentuan pidana pada tahun 2009 hanya terdiri dari

satu pasal saja, dimana UU

satu pasal saja, dimana UU tahun 1990 terdiri dari 5

tahun 1990 terdiri dari 5 pasal.

pasal. UU

UU

tahun 1990 direvisi sehingga lebih padat. Dilihat d

tahun 1990 direvisi sehingga lebih padat. Dilihat d ari segi sanksi

ari segi sanksi

yang diberikan kepada pihak pelanggar bahwa lama penjara lebih

yang diberikan kepada pihak pelanggar bahwa lama penjara lebih

lama 2 tahun pada pasal 64 tahun 2009 dibandingkan tahun 1990,

lama 2 tahun pada pasal 64 tahun 2009 dibandingkan tahun 1990,

sementara denda yang dikenakan lebih sedikit. Hal ini tentunya

sementara denda yang dikenakan lebih sedikit. Hal ini tentunya

direvisi dengan tujuan meminimalisasi pelanggaran karena

direvisi dengan tujuan meminimalisasi pelanggaran karena

 pelanggar akan dituntut lebih lama didalam penjara.

(4)

(2) Ketentuan

(2) Ketentuan

sebagaimana

sebagaimana

dimaksud dalam

dimaksud dalam

ayat (1) tidak 

ayat (1) tidak 

mengurangi

mengurangi

ancaman pidana

ancaman pidana

yang

yang

ditetapkan dalam

ditetapkan dalam

ketentuan

ketentuan

 perundang-undangan

undangan

mengenai

mengenai

lingkungan hidup,

lingkungan hidup,

 benda

 benda

cagar budaya,

cagar budaya,

konservasi sumber 

konservasi sumber 

daya alam hayati

daya alam hayati

dan ekosistemnya,

dan ekosistemnya,

 perikanan, dan

 perikanan, dan

Undang-undang

Undang-undang

yang lainnya.

yang lainnya.

(2) Setiap orang yang

(2) Setiap orang yang

karena kelalaiannya

karena kelalaiannya

dan melawan

dan melawan

hukum, merusak 

hukum, merusak 

fisik, atau

fisik, atau

mengurangi nilai

mengurangi nilai

daya

daya

tarik wisata

tarik wisata

sebagaimana

sebagaimana

dimaksud dalam

dimaksud dalam

Pasal 27

Pasal 27

dipidana dengan

dipidana dengan

 pidana penjara paling

 pidana penjara paling

lama 1 (satu)

lama 1 (satu)

tahun dan/atau denda

tahun dan/atau denda

 paling banyak 

 paling banyak 

Rp5.000.000.000,00

Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah).

(lima miliar rupiah).

Pasal 36

Pasal 36

Barangsiapa

Barangsiapa

dengan sengaja

dengan sengaja

melanggar 

melanggar 

ketentuan Pasal 12

ketentuan Pasal 12

dipidana dengan

dipidana dengan

 pidana penjara

 pidana penjara

 paling lama 5

 paling lama 5

(lima) tahun

(lima) tahun

dan/atau denda

dan/atau denda

setinggi-tingginya

setinggi-tingginya

Rp. 50.000.000,00

Rp. 50.000.000,00

(lima puluh juta

(lima puluh juta

rupiah).

rupiah).

Pasal 37

Pasal 37

(5)

Barangsiapa

Barangsiapa

karena

karena

kelalaiannya

kelalaiannya

merusak atau

merusak atau

mengakibatkan

mengakibatkan

terganggunya

terganggunya

keseimbangan

keseimbangan

atau

atau

mengakibatkan

mengakibatkan

gangguan terhadap

gangguan terhadap

kelancaran

kelancaran

kegiatan yang

kegiatan yang

menjadi objek dan

menjadi objek dan

daya tarik 

daya tarik 

wisata dalam

wisata dalam

wisata budaya

wisata budaya

dipidana dengan

dipidana dengan

 pidana kurungan

 pidana kurungan

 paling lama 1

 paling lama 1

(satu) tahun atau

(satu) tahun atau

denda

denda

setinggi-tingginya Rp.

tingginya Rp.

10.000.000,00

10.000.000,00

(sepuluh juta

(sepuluh juta

rupiah).

rupiah).

Pasal 38

Pasal 38

Barangsiapa

Barangsiapa

karena

karena

kelalaiannya

kelalaiannya

melanggar 

melanggar 

ketentuan Pasal 12

ketentuan Pasal 12

dan Pasal 35

dan Pasal 35

dipidana dengan

dipidana dengan

 pidana kurungan

 pidana kurungan

 paling lama 1

 paling lama 1

(satu) tahun atau

(satu) tahun atau

denda

denda

setinggi-tingginya Rp

tingginya Rp

10.000.000,00

10.000.000,00

(sepuluh juta

(sepuluh juta

rupiah).

rupiah).

Pasal 39

Pasal 39

(6)

(1) Perbuatan

(1) Perbuatan

sebagaimana

sebagaimana

dimaksud dalam

dimaksud dalam

Pasal 35 dan Pasal

Pasal 35 dan Pasal

36 adalah

36 adalah

kejahatan.

kejahatan.

(2) Perbuatan

(2) Perbuatan

sebagaimana

sebagaimana

dimaksud dalam

dimaksud dalam

Pasal 37 dan Pasal

Pasal 37 dan Pasal

38 adalah

38 adalah

 pelanggaran.

 pelanggaran.

Penambahan Pasal - pasal dalam UU

Penambahan Pasal - pasal dalam UU

Tahun 2009

Tahun 2009

Sistem

Sistem

Perencanaan

Perencanaan

Pasal 8 s/d 9

Pasal 8 s/d 9

Didalam pasal-pasal ini disebutkan keterlibatan dari pemangku

Didalam pasal-pasal ini disebutkan keterlibatan dari pemangku

kepentingan seperti Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha,

kepentingan seperti Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha,

dan masyarakat itu sendiri di dalam mengimplementasikan sistem

dan masyarakat itu sendiri di dalam mengimplementasikan sistem

 perencanaan pemerintah, baik yang berdimensi jangka panjang,

 perencanaan pemerintah, baik yang berdimensi jangka panjang,

terpadu, dan yang berkelanjutan.

terpadu, dan yang berkelanjutan.

Kawasan Strategis

Kawasan Strategis

(7)

Pasal 12 s/d 13

Pasal 12 s/d 13

Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan bahwa kawasan

Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan bahwa kawasan

strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki potensi untuk 

strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki potensi untuk 

 pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting

 pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting

dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan

dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial

ekonomi, sosial

dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung

dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung

lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Pemerintah

lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Pemerintah

mempunyai kewenangan untuk menetapkan kawasan strategis

mempunyai kewenangan untuk menetapkan kawasan strategis

 pariwisata baik yang nasional maupun kabupaten/kota. Dimana di

 pariwisata baik yang nasional maupun kabupaten/kota. Dimana di

setiap kawasan strategis tersebut ditetapkan oleh Pemerintah,

setiap kawasan strategis tersebut ditetapkan oleh Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota.

Kabupaten/Kota.

Desentralisasi

Desentralisasi

Pasal 29 s/d 30

Pasal 29 s/d 30

Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009, dijelaskan kewenangan

Di dalam UU Nomor 10 Tahun 2009, dijelaskan kewenangan

 – 

 – 

kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota untuk pengembangan dan pemeliharaan aset

Kabupaten/Kota untuk pengembangan dan pemeliharaan aset

 – 

 – 

aset

aset

 pariwisata di masing

 pariwisata di masing

 – 

 – 

masing kawasan strategis pariwisata. Dimana

masing kawasan strategis pariwisata. Dimana

di dalam UU Nomor 9 Tahun 1990, tidak menyebutkan secara

di dalam UU Nomor 9 Tahun 1990, tidak menyebutkan secara

terperinci kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah di dalam

terperinci kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah di dalam

 pengembangan dan pemeliharaan aset

 pengembangan dan pemeliharaan aset

 – 

 – 

aset pariwisata.

aset pariwisata.

Sistem Kordinasi

Sistem Kordinasi

(8)

Pasal 33 s/d 35

Pasal 33 s/d 35

Pasal 33 s/d 35 UU Nomor 10 Tahun 2009, memberikan kekuatan

Pasal 33 s/d 35 UU Nomor 10 Tahun 2009, memberikan kekuatan

hukum bagi Pemerintah untuk melakukan

hukum bagi Pemerintah untuk melakukan koordinasi strategis lintas

koordinasi strategis lintas

sektor pada tataran kebijakan, program maupun kegiatan

sektor pada tataran kebijakan, program maupun kegiatan

kepariwisataan. Disebutkan pula bahwa koordinasi lintas sektor 

kepariwisataan. Disebutkan pula bahwa koordinasi lintas sektor 

dipimpin langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden. Disebutkan

dipimpin langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden. Disebutkan

dan dijelaskan pula tentang ketentuan lebih lanjut mengenai tata

dan dijelaskan pula tentang ketentuan lebih lanjut mengenai tata

kerja, mekanisme, dan hubungan koo

kerja, mekanisme, dan hubungan koordinasi strategis lintas sektor 

rdinasi strategis lintas sektor 

diatur dengan Peraturan Presiden.

diatur dengan Peraturan Presiden.

Badan Promosi Pariwisata Indonesia

Badan Promosi Pariwisata Indonesia

(9)

Pasal 36 s/d 42

Pasal 36 s/d 42

Di dalam Pasal 36 s/d 42 dijelaskan b

Di dalam Pasal 36 s/d 42 dijelaskan bahwa dalam upaya

ahwa dalam upaya

meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke wilayah

meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke wilayah

Indonesia, maka dibentuklah Badan P

Indonesia, maka dibentuklah Badan Promosi Pariwisata Indonesia

romosi Pariwisata Indonesia

sebagai mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dimana

sebagai mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dimana

Badan Promosi Pariwisata Indonesia merupakan lembaga swasta

Badan Promosi Pariwisata Indonesia merupakan lembaga swasta

dan bersifat mandiri. Badan Promosi Pariwisata Indonesia terdiri

dan bersifat mandiri. Badan Promosi Pariwisata Indonesia terdiri

dari dua unsur yaitu unsur penentu

dari dua unsur yaitu unsur penentu kebijakan (Asosiasi

kebijakan (Asosiasi

kepariwisataan, Asosiasi profesi kepariwisataan, Asosiasi

kepariwisataan, Asosiasi profesi kepariwisataan, Asosiasi

 penerbangan dan Pakar/Akademis) dan unsur pelaksana yang

 penerbangan dan Pakar/Akademis) dan unsur pelaksana yang

 profesional. Pada UU Nomor 10 Tahun 2009 ini juga menyebutkan

 profesional. Pada UU Nomor 10 Tahun 2009 ini juga menyebutkan

tugas

tugas

 – 

 – 

tugas dari Badan Promosi Pariwisata Indonesia dan

tugas dari Badan Promosi Pariwisata Indonesia dan

 pembiayaan serta pendayagunaan biaya tersebut. Badan Promosi

 pembiayaan serta pendayagunaan biaya tersebut. Badan Promosi

Pariwisata Indonesia ini harus sudah terbentuk paling lambat dua

Pariwisata Indonesia ini harus sudah terbentuk paling lambat dua

tahun setelah UU Kepariwisataan berlaku.

tahun setelah UU Kepariwisataan berlaku.

Gabungan Industri Pariwisata

Gabungan Industri Pariwisata

Indonesia

(10)

Pasal 50

Pasal 50

Menjelaskan mengenai Gabungan Industri Pariwisata Indonesia

Menjelaskan mengenai Gabungan Industri Pariwisata Indonesia

yang dibentuk dan untuk

yang dibentuk dan untuk pertama kali difasilitasi oleh Pemerintah,

pertama kali difasilitasi oleh Pemerintah,

dimana Gabungan Industri Pariwisata Indonesia dimanfaatkan untuk 

dimana Gabungan Industri Pariwisata Indonesia dimanfaatkan untuk 

mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang kompetitif,

mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang kompetitif,

dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia berfungsi sebagai mitra

dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia berfungsi sebagai mitra

kerja bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, se

kerja bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta wadah

rta wadah

komunikasi dan konsultasi para anggotanya di dalam

komunikasi dan konsultasi para anggotanya di dalam

 penyelenggaraan dan pembangunan kepariwisataan. Gabungan

 penyelenggaraan dan pembangunan kepariwisataan. Gabungan

Industri Pariwisata Indonesia bersifat mandiri dan dalam melakukan

Industri Pariwisata Indonesia bersifat mandiri dan dalam melakukan

kegiatannya bersifat nirlaba. Disebutkan juga di dalam P

kegiatannya bersifat nirlaba. Disebutkan juga di dalam P asal 50,

asal 50,

 pihak 

 pihak 

 – 

 – 

pihak yang turut serta di dalam keanggotaan Gabungan

pihak yang turut serta di dalam keanggotaan Gabungan

Industri Pariwisata Indonesia dan ketentuan lebih lanjut mengenai

Industri Pariwisata Indonesia dan ketentuan lebih lanjut mengenai

 bentuk keanggotaan, susunan kepengurusan dan kegiatan Gabun

 bentuk keanggotaan, susunan kepengurusan dan kegiatan Gabun gan

gan

Industri Pariwisata Indonesia yang diatur dalam anggaran dasar dan

Industri Pariwisata Indonesia yang diatur dalam anggaran dasar dan

anggaran rumah tangga.

anggaran rumah tangga.

Standarisasi dan

Standarisasi dan

Sertifikasi

Sertifikasi

Pasal 53 s/d 55

Pasal 53 s/d 55

Dijelaskan bahwa untuk meningkatkan pelayanan dalam industri

Dijelaskan bahwa untuk meningkatkan pelayanan dalam industri

 pariwisata, setiap tenaga kerja bidang pariwisata diwajibkan

 pariwisata, setiap tenaga kerja bidang pariwisata diwajibkan

memiliki standar kompetensi yang diperoleh melalui sertifikasi

memiliki standar kompetensi yang diperoleh melalui sertifikasi

kompetensi yang diberikan oleh lembaga sertifikasi profesi yang

kompetensi yang diberikan oleh lembaga sertifikasi profesi yang

mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Ketentuan

mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Ketentuan

lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi dan usaha diatur dalam

lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi dan usaha diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah.

(11)

DASAR HUKUM

DASAR HUKUM

PENGELOLAAN

PENGELOLAAN

PARIWISATA

PARIWISATA

PENGELOLAAN PARIWISATA PENGELOLAAN PARIWISATA

BERDASARKAN UNDANG UNDANG, PERATURAN PEMERINTAH DAN PERDA BERDASARKAN UNDANG UNDANG, PERATURAN PEMERINTAH DAN PERDA

A. UNDANG - UNDANG A. UNDANG - UNDANG 1. Undang

1. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Pasal 14 Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Pasal 14 Mengatakan : “ Setiap OrangMengatakan : “ Setiap Orang dan atau masyarakat di dalam dan disekitar

dan atau masyarakat di dalam dan disekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas ;destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas ; a.. Menjadi Pekerja / Buruh

a.. Menjadi Pekerja / Buruh b. Konsinyasi ; dan / atau b. Konsinyasi ; dan / atau c. Pengelolaan.

c. Pengelolaan.

B. PERATURAN PEMERINTAH B. PERATURAN PEMERINTAH

1. Peraturan Pemerintah No.67 Tahun

1. Peraturan Pemerintah No.67 Tahun 1996 Tentang Penyelenggaraan 1996 Tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan , PasalKepariwisataan , Pasal41 mengatakan “Pengusahaan41 mengatakan “Pengusahaan Objek dan Daya Tarik Wisata alam dislenggarakan oleh Perseroan Terbatas, Koperasi atau Perorangan.

Objek dan Daya Tarik Wisata alam dislenggarakan oleh Perseroan Terbatas, Koperasi atau Perorangan.

C. PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI C. PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI 1. Peraturan daerah provinsi bali,

1. Peraturan daerah provinsi bali, no .3 tahun 2001 tentang desa pakraman, Bab V Hno .3 tahun 2001 tentang desa pakraman, Bab V Harta Kekayaan Desa Pakraman Pasal 9arta Kekayaan Desa Pakraman Pasal 9 Mengatakan :

Mengatakan :

(1) Harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maup

(1) Harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada yang berupa un yang akan ada yang berupa harta bergerak danharta bergerak dan tidak bergerak, material dan inmaterial serta benda-benda yang bersifat religious magis yang menjadi milik desapakraman. tidak bergerak, material dan inmaterial serta benda-benda yang bersifat religious magis yang menjadi milik desapakraman. (2) Pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan olehprajuru desa sesuai dengan

awig-(2) Pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan olehprajuru desa sesuai dengan awig-awig desapakraman masing-awig desapakraman masing-masing. Setiap penga

masing. Setiap pengalihan/perubahan status hlihan/perubahan status harta arta kekayaan kekayaan desa pakraman desa pakraman harus mendapat persetuharus mendapat persetujuan paruman.juan paruman. (4) Pengawasan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh krama desapakraman.

(4) Pengawasan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh krama desapakraman. (5) Tanah desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman t

(5) Tanah desa pakraman dan atau tanah milik desa pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama pribadi.idak dapat disertifikatkan atas nama pribadi. (6) Tanah desapakraman dan tanah milik desapakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan.

(6) Tanah desapakraman dan tanah milik desapakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan.

2. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Usaha Pariwisata Di Kawasan Pariwisata Di Provinsi 2. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pembinaan Usaha Pariwisata Di Kawasan Pariwisata Di Provinsi Daerah Tingkat I Bali Bab IV Benduk Usaha dan Permodalan Pasal 9 mengatakan bahwa : usaha ka

Daerah Tingkat I Bali Bab IV Benduk Usaha dan Permodalan Pasal 9 mengatakan bahwa : usaha kawasan pariwisata haruswasan pariwisata harus berbentuk perseroan terbatas atau koperasi sesuai dengan ketentuan yang

berbentuk perseroan terbatas atau koperasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan mengutamanakan tenaga kerjaberlaku dengan mengutamanakan tenaga kerja setempat.

(12)

Pasal 6 Usaha Kawasan P

Pasal 6 Usaha Kawasan Pariwisata meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: ariwisata meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: Membangun atau menyewakan satuan-satuanMembangun atau menyewakan satuan-satuan simpul

simpul (lingkungan (lingkungan tertentu) tertentu) itu itu untuk untuk membangun membangun Usaha Usaha Pariwisata Pariwisata meliputi meliputi Usaha Usaha Kawasan Kawasan Jasa Jasa Pariwisata, Pariwisata, PengusahaanPengusahaan Obyek dan Daya Tarik

Obyek dan Daya Tarik Wisata Usaha Sarana Pariwisata dan PWisata Usaha Sarana Pariwisata dan Pusat Pembelanjaan sesuai gambar rencana;usat Pembelanjaan sesuai gambar rencana;

pasal 9 Mengatakan Untuk memperoleh Izin Prinsip Usaha Kawasan Pariwisata, pengusaha harus mengajukan permohonan pasal 9 Mengatakan Untuk memperoleh Izin Prinsip Usaha Kawasan Pariwisata, pengusaha harus mengajukan permohonan kepada Gubernur Kepala Daerah, dengan melampiri: Gambar/lokasi rencan

kepada Gubernur Kepala Daerah, dengan melampiri: Gambar/lokasi rencana; a; Rekomendasi Kepala Daerah Tingkat IIRekomendasi Kepala Daerah Tingkat II (dilengkapi dengan saran, pendapat dan pertimbangan Desa Ada

(dilengkapi dengan saran, pendapat dan pertimbangan Desa Adat); t); Akte pendirian perusahaan; Proposal/rencanAkte pendirian perusahaan; Proposal/rencanaa pengembangan usaha kawasan pariwisata.

pengembangan usaha kawasan pariwisata.

1.2. LANDASAN HUKUM 1.2. LANDASAN HUKUM

Penyusunan Rancangan Renstra Dinas Ke

Penyusunan Rancangan Renstra Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsibudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten Tahun 2012-2017 disusun dengan berlandaskan pada :

Banten Tahun 2012-2017 disusun dengan berlandaskan pada :

1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah; 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah; 2. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan 2. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;

antara Pemerintah Pusat dan Daerah;

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 182, Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4010);

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4010);

4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Per

4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaanencanaan Pembangunan Nasional;

Pembangunan Nasional;

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang PengelolaanTahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21

dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2011 TentangTahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006

Perubahan Kedua Atas Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang PedomanTentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Pengelolaan Keuangan Daerah

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 tahun 2010 tentangtahun 2010 tentang Pelaksanaan PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Pelaksanaan PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluas Pelaksanaan Rencana Penyusunan, Pengendalian dan Evaluas Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

Pembangunan Daerah

7. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2012

7. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2012 tentangtentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah; Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah; 8. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2012

8. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2012 tentangtentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Banten Tahun 2012-2017 (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun Banten Tahun 2012-2017 (Lembaran Daerah Provinsi Banten Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Nomor 41) 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Banten Nomor 41) 9. Peraturan Gubernur Banten No. Tentang Uraian Tugas

9. Peraturan Gubernur Banten No. Tentang Uraian Tugas Dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Banten

Dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Banten

PERKEMBANGAN HUKUM PARIWISATA (5)

PERKEMBANGAN HUKUM PARIWISATA (5)

Label:

Label: perkembangperkembangan kebijakan hukum pariwisata tan kebijakan hukum pariwisata tahap ketigaahap ketiga

Kebijakan Pariwisata Dalam

Kebijakan Pariwisata Dalam GBHN 1999-2004:GBHN 1999-2004:

a. Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang a. Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung

(13)

nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa.

peradaban bangsa.

b. Merumuskan nilai-nilai

b. Merumuskan nilai-nilai kebudayaakebudayaan Indonesia, untuk memberikan rujukan n Indonesia, untuk memberikan rujukan sistimsistim nilai bagi totalitas perilaku kehidupan ekonomi, politik, hokum dan kegiatan

nilai bagi totalitas perilaku kehidupan ekonomi, politik, hokum dan kegiatan

kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas berbudaya masyartakat.

kualitas berbudaya masyartakat.

c. Mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-ilai

c. Mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-ilai budaya dalam rangka memilah-milahbudaya dalam rangka memilah-milah nilai budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan nilai budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa di masa depan.

bangsa di masa depan.

d. Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam kesenian untuk memberi inspirasi bagi d. Mengembangkan kebebasan berkreasi dalam kesenian untuk memberi inspirasi bagi kepekaan terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu pada etika, moral,

kepekaan terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu pada etika, moral, estetika dan agama serta memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak estetika dan agama serta memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalty bagi pelaku seni

cipta dan royalty bagi pelaku seni dan budaya.dan budaya.

e. Mengembangkan dunia perfilman Indonesia secara sehat sebagai media massa e. Mengembangkan dunia perfilman Indonesia secara sehat sebagai media massa kreatif untuk meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan bangsa, pembentukan kreatif untuk meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan bangsa, pembentukan opini public yang positif, dan

opini public yang positif, dan nilai tambah secara ekonominilai tambah secara ekonomi f. Melestarikan apresiasi kesenian dan

f. Melestarikan apresiasi kesenian dan kebudayakebudayaan tradisional serta menggalakkan danan tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan sentra-sentra kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian memberdayakan sentra-sentra kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang lebih kreatif dan inovatif sehingga menumbuhkan kebanggaan nasional. nasional yang lebih kreatif dan inovatif sehingga menumbuhkan kebanggaan nasional. g. Menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana bagi g. Menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana bagi pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar negeri secara pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar negeri secara konsisten sehingga dapat menjadi wahana persahabatan antar bangsa.

konsisten sehingga dapat menjadi wahana persahabatan antar bangsa.

h. Mengembangkan pariwisata melalui pendekatan system yang utuh, terpadu, h. Mengembangkan pariwisata melalui pendekatan system yang utuh, terpadu, interdisipliner, dan partisipatoris dengan menggunakan criteria ekonomis, teknis, interdisipliner, dan partisipatoris dengan menggunakan criteria ekonomis, teknis, ergonomik, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak ergonomik, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan

lingkungan

Kebijakan kepariwisataan dalam Program Pembangun

Kebijakan kepariwisataan dalam Program Pembangunan Nasional 2004 an Nasional 2004 - 2009- 2009 ditarik dari bidang Ekonomi, ke

ditarik dari bidang Ekonomi, ke dalam bidang Sosial budaya, dengan titel Kebudayaan,dalam bidang Sosial budaya, dengan titel Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata. Kebijakan

Kesenian, dan Pariwisata. Kebijakan tersebut tampak melepaskan kepariwisataan daritersebut tampak melepaskan kepariwisataan dari situasi sarat beban ke

situasi sarat beban ke keadaan yang lebih rasional. keadaan yang lebih rasional. Kebijakan kepariwisataaKebijakan kepariwisataann diletakkan pada dua gagasan kunci:

diletakkan pada dua gagasan kunci:

a. kepariwisataan berpijak pada kebudayaan tradisional ; a. kepariwisataan berpijak pada kebudayaan tradisional ; dandan b. kepariwisataan sebagai wahana persahabatan antar bangsa. b. kepariwisataan sebagai wahana persahabatan antar bangsa.

Gagasan tersebut mengembalikan status dan fungsi kepariwisataan dari status dan Gagasan tersebut mengembalikan status dan fungsi kepariwisataan dari status dan

(14)

fungsi ekonomi ke status dan fungsinya semula, kebudayaan, sebagaimana ditetapkan fungsi ekonomi ke status dan fungsinya semula, kebudayaan, sebagaimana ditetapkan dalam Kebijakan Pembangunan Semesta Berencana Tahap Pertama. Program

dalam Kebijakan Pembangunan Semesta Berencana Tahap Pertama. Program

Permbangunan Nasional juga mensyaratkan pendekatan system bagi pengembangan Permbangunan Nasional juga mensyaratkan pendekatan system bagi pengembangan kepariwisataan, yaitu suatu pendekatan yang utuh,

kepariwisataan, yaitu suatu pendekatan yang utuh, terpadu, multidispliner,terpadu, multidispliner, partisipatoris, dengan criteria ekonomis, teknis, ergonomis, social

partisipatoris, dengan criteria ekonomis, teknis, ergonomis, social budaya, hematbudaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak

energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan.merusak lingkungan.

Pendekatan demikian terasa berlebihan di banding status dan fungsi kepariwisataan Pendekatan demikian terasa berlebihan di banding status dan fungsi kepariwisataan yang sekedar berstatus dan berfungsi kebudayaan. Akan menjadi berbeda, sekiranya yang sekedar berstatus dan berfungsi kebudayaan. Akan menjadi berbeda, sekiranya kebijakan tersebut terlebih dahulu menggambarkan status dan fungsi kepariwisataan kebijakan tersebut terlebih dahulu menggambarkan status dan fungsi kepariwisataan secara lengkap, mencakup status dan fungsi ekonominya. Saying penegasan demikian secara lengkap, mencakup status dan fungsi ekonominya. Saying penegasan demikian tidak dilakukan, sehingga pendekatan demikian cenderung bernilai berlebihan dantidak tidak dilakukan, sehingga pendekatan demikian cenderung bernilai berlebihan dantidak rasional.

rasional. Disisi lain,

Disisi lain, kemunckemunculan kata kriteria ulan kata kriteria ekonomi pada pendekatan tersebut, menimbulekonomi pada pendekatan tersebut, menimbulkankan kesan bahwa pemerintah tidak berniat membebaskan kepariwisataan dari status dan kesan bahwa pemerintah tidak berniat membebaskan kepariwisataan dari status dan fungsi ekonomi, dan karena itu, cara perumusan demikian justru dapat menimbulkan fungsi ekonomi, dan karena itu, cara perumusan demikian justru dapat menimbulkan implikasi teknis, seperti kekaburan ruang lingkup

implikasi teknis, seperti kekaburan ruang lingkup kebijakan, lingkup kebijakan dalamkebijakan, lingkup kebijakan dalam perencanaan kebijakan, penetapan target dan desain kebijakan. Jika salah, perumusan perencanaan kebijakan, penetapan target dan desain kebijakan. Jika salah, perumusan demikian dapat menjerumuskan kebijakan kepariwisataan ke dalam beberapa

demikian dapat menjerumuskan kebijakan kepariwisataan ke dalam beberapa kemungkinan:

kemungkinan: 1) motif

1) motif budaya sangat dominabudaya sangat dominan, motif ekonomi n, motif ekonomi sangat tipis, atau bahkan diabaikansangat tipis, atau bahkan diabaikan sama sekali;

sama sekali; 2) motif

2) motif kebudayakebudayaan seimbang dengan motif ekonomi ( proporsional);an seimbang dengan motif ekonomi ( proporsional); 3) motif

3) motif ekonomi secara tidak disadari lebih dominan, mengalahkan motif budaya;ekonomi secara tidak disadari lebih dominan, mengalahkan motif budaya; 4) motif

4) motif ekonomi mengakibatkaekonomi mengakibatkan eksploitasi kn eksploitasi kebudayaaebudayaan.n. Alternatif demikian dapat dicegah dengan cara:

Alternatif demikian dapat dicegah dengan cara:

mempertegas status dan fungsi kepariwisataan dalam hubungan dengan mempertegas status dan fungsi kepariwisataan dalam hubungan dengan potensi-potensi kepariwisataan, seperti lingkungan hidup, masyarakat pendukung, dan potensi kepariwisataan, seperti lingkungan hidup, masyarakat pendukung, dan kebudayaan masyarakat setempat’ 

kebudayaan masyarakat setempat’ 

menata kembali motif, substansi dan arah

menata kembali motif, substansi dan arah kebijakan kepariwisatakebijakan kepariwisataan;an; .merumuskan secara akurat dan

.merumuskan secara akurat dan proporsional kebijakan kepariwisataan.proporsional kebijakan kepariwisataan. Perkembangan kebijakan tersebut mencerminkan:

Perkembangan kebijakan tersebut mencerminkan:

dua pola dasar, yaitu kepariwisataan sebagai kegiatan kebudayaan dan ekonomi; dua pola dasar, yaitu kepariwisataan sebagai kegiatan kebudayaan dan ekonomi; dua model pendekatan, yaitu kebudayaan dan ekonomi; dan

dua model pendekatan, yaitu kebudayaan dan ekonomi; dan dua model target, yaitu target budaya dan target ekonomi. dua model target, yaitu target budaya dan target ekonomi.

Kebijakan pada perkembangan tahap pertama memiliki kesamaan dengan pada Kebijakan pada perkembangan tahap pertama memiliki kesamaan dengan pada perkembangan tahap ketiga, yaitu sama-sama didasarkan pada pendekatan perkembangan tahap ketiga, yaitu sama-sama didasarkan pada pendekatan

(15)

kebudayaan, dan sama-sama menempatkan kebudayaan sebagai kegiatan kebudayaan. kebudayaan, dan sama-sama menempatkan kebudayaan sebagai kegiatan kebudayaan. Sedangkan pada tahap kedua memiliki cirri

Sedangkan pada tahap kedua memiliki cirri yang sangat kontras, yaitu didasarkanyang sangat kontras, yaitu didasarkan pendekatan ekonomi, berorientasi pada devisa dan pertumbuhan optimal.

pendekatan ekonomi, berorientasi pada devisa dan pertumbuhan optimal. Namun penting diperhatikan bahwa model

Namun penting diperhatikan bahwa model perumusan kebijakan pada tahap ketigaperumusan kebijakan pada tahap ketiga dapat menjerumuskan kepariwisataan ke dalam keadaan lebih buruk disbanding dapat menjerumuskan kepariwisataan ke dalam keadaan lebih buruk disbanding akibat-akibat kebijakan kepariwisataan pada

akibat kebijakan kepariwisataan pada tahap kedua.tahap kedua.

Belakangan disebutkan bahwa kebijakan kepariwisataan didasarkan pada pendekatan Belakangan disebutkan bahwa kebijakan kepariwisataan didasarkan pada pendekatan komunitas atau pendekatan kemasyarakatan, dimana kegiatan kepariwisataan tidak komunitas atau pendekatan kemasyarakatan, dimana kegiatan kepariwisataan tidak lagi diletakkan pada

lagi diletakkan pada komunitas professional, atau masyarakat pelaku bisnis, melainkankomunitas professional, atau masyarakat pelaku bisnis, melainkan lebih pada

lebih pada masyarakat asli daerah masyarakat asli daerah masing-masing dimana kepariwisataan tersebutmasing-masing dimana kepariwisataan tersebut dikembangkan. Pendekatan demikian sesungguhnya tidak ditemukan pada bagian dikembangkan. Pendekatan demikian sesungguhnya tidak ditemukan pada bagian kebijakan kepariwisataan, seni dan budaya, melainkan pada bidang kebijakan ekonomi kebijakan kepariwisataan, seni dan budaya, melainkan pada bidang kebijakan ekonomi yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi didasarkan system ekonomi

yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi didasarkan system ekonomi kerakyatan, sebagai koreksi terhadap

kerakyatan, sebagai koreksi terhadap pendekatpendekatan ekonomi an ekonomi berbasis kekuasaan keberbasis kekuasaan ke ekonomi berbasis

ekonomi berbasis kerakyatan.kerakyatan.

B.

B. PerkembangPerkembangan Kebijakan an Kebijakan Pariwisata InternasionalPariwisata Internasional GATS

GATS

GATS (General Agreement on Trade in Services) atau Persetujuan Umum Perdagangan GATS (General Agreement on Trade in Services) atau Persetujuan Umum Perdagangan  jasa, masuk ke d

 jasa, masuk ke dalam sistem halam sistem hukum Indoneukum Indonesia melalui Undasia melalui Undang-undaag Nomong-undaag Nomor 7 Tahunr 7 Tahun 1994, yaitu Undang-undang tentang Pengesahan Agreement Establishing the World 1994, yaitu Undang-undang tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organisation (WTO Agreement) atau Persetujuan Pendirian Organisasi

Trade Organisation (WTO Agreement) atau Persetujuan Pendirian Organisasi

Perdagangan Dunia. GATS merupakan bagian WTO Agreement dan terletak padaAnnex Perdagangan Dunia. GATS merupakan bagian WTO Agreement dan terletak padaAnnex 1B Persetujuan tersebut.

1B Persetujuan tersebut.

GATS mencakup enam bagian: GATS mencakup enam bagian:

Bagian I, Ruang lingkup dan definisi (Scope

Bagian I, Ruang lingkup dan definisi (Scope and Definition);and Definition);

Bagian II, Kewajiban-kewajiban umum dan disiplin (General Obligations and Diciplines); Bagian II, Kewajiban-kewajiban umum dan disiplin (General Obligations and Diciplines); Bagian III,

Bagian III, Komitmen Khusus (Spesific Commitments);Komitmen Khusus (Spesific Commitments); Bagian IV,

Bagian IV, Liberalisasi Progresif (Progressive Liberalisation);Liberalisasi Progresif (Progressive Liberalisation); Bagian V,

Bagian V, KetentuKetentuan Kelembagaan (Institutional Provisions);an Kelembagaan (Institutional Provisions); BagianVl, Ketentuan Penutup (Final Provisions).

BagianVl, Ketentuan Penutup (Final Provisions).

1.2. Ruang Lingkup GATS 1.2. Ruang Lingkup GATS

GATS diterapkan terhadap setiap kebijakan perdagangan setiap anggota GATS yang GATS diterapkan terhadap setiap kebijakan perdagangan setiap anggota GATS yang berdampak terhadap perdagangan jasa. Perdagangan jasa menurut GATS adalah berdampak terhadap perdagangan jasa. Perdagangan jasa menurut GATS adalah

(16)

penyediaan jasa: penyediaan jasa:

Dari dalam wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah negara anggota lainnya; Dari dalam wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah negara anggota lainnya; Di dalam wilayah suatu negara anggota untuk melayani pemakai jasa dari negara Di dalam wilayah suatu negara anggota untuk melayani pemakai jasa dari negara anggota lainnya;

anggota lainnya;

Oleh penyedia jasa dari satu negara anggota, melalui kehadiran perusahaan jasa di Oleh penyedia jasa dari satu negara anggota, melalui kehadiran perusahaan jasa di dalam wilayah negara anggota lainnya

dalam wilayah negara anggota lainnya

Oleh penyedian jasa dari satu negara anggota, melalui kehadiran natural person dari Oleh penyedian jasa dari satu negara anggota, melalui kehadiran natural person dari suatu negara anggota di dalam

suatu negara anggota di dalam wilayah negara anggota lainnya.wilayah negara anggota lainnya. Batas-batas penerapa

Batas-batas penerapan GATS, n GATS, termasuk prinsip-prinsip, standar standar, persyaratan-termasuk prinsip-prinsip, standar standar, persyaratan-persyaratan, ketentuan-ketentuan, mekanisme dan prosedur, kemudahan, keuntungan persyaratan, ketentuan-ketentuan, mekanisme dan prosedur, kemudahan, keuntungan dan serta sanksi-sanksinya, dengan demikian adalah: Pertama, hanya berlaku di

dan serta sanksi-sanksinya, dengan demikian adalah: Pertama, hanya berlaku di antaraantara negara-negara anggota GATS; Kedua, sepanjang berdampak terhadap pasokan jasa negara-negara anggota GATS; Kedua, sepanjang berdampak terhadap pasokan jasa dari negara anggota lainnya.

dari negara anggota lainnya.

Ketentuan-ketentuan GATS hanya berlaku di antara negara-negara anggota GATS. Ketentuan-ketentuan GATS hanya berlaku di antara negara-negara anggota GATS. Tidak ada

Tidak ada kewajiban bagi negara anggota GATS memberikan perlakuan serupakewajiban bagi negara anggota GATS memberikan perlakuan serupa terhadap pemasok jasa bukan negara anggota GATS.

terhadap pemasok jasa bukan negara anggota GATS. Hal lainnya, adalah bahwa hanyaHal lainnya, adalah bahwa hanya kebijakan perdagangan jasa yang berdampak yang masuk ke dalam ruang lingkup kebijakan perdagangan jasa yang berdampak yang masuk ke dalam ruang lingkup GATS, di l

GATS, di luar itu tidak. Untuk sampai pada uar itu tidak. Untuk sampai pada jastifikasi berdampak atau tidak, harus adajastifikasi berdampak atau tidak, harus ada verifikasi.

verifikasi.

Ketentuan demikian mengisyaratkan bahwa setiap negara anggota mempunyai hak Ketentuan demikian mengisyaratkan bahwa setiap negara anggota mempunyai hak penuh, berdasarkan prinsip kedaulatannya, mengatur atau menerbitkan kebijakan penuh, berdasarkan prinsip kedaulatannya, mengatur atau menerbitkan kebijakan perdagangan jasa, namun kebijakan demikian serta merta harus memperhatikan perdagangan jasa, namun kebijakan demikian serta merta harus memperhatikan prinsip-prinsip GATS manakala

prinsip-prinsip GATS manakala bersentbersentuhan dengan pasokan jasa uhan dengan pasokan jasa dari negara-negaradari negara-negara anggota GATS, dan terutama yang berdampak terhadap pemasokan jasa di dalam atau anggota GATS, dan terutama yang berdampak terhadap pemasokan jasa di dalam atau ke dalam

ke dalam wilayah negara penerbit kebijakan. Ketentuawilayah negara penerbit kebijakan. Ketentuan ini n ini secara analogis berlakusecara analogis berlaku terhadap perdagangan jasa pariwisata.

terhadap perdagangan jasa pariwisata.

1.3. Prinsip-prinsip GATS 1.3. Prinsip-prinsip GATS

a. Most Favoured Nation Treatment a. Most Favoured Nation Treatment

Setiap negara harus dengan segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan tidak Setiap negara harus dengan segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan tidak berbeda terhadap jasa dan pemasok jasa dari negara lain sesuai perlakuan yang berbeda terhadap jasa dan pemasok jasa dari negara lain sesuai perlakuan yang diberikan terhadap pemasok jasa dari negara

diberikan terhadap pemasok jasa dari negara anggota lainnya. Negara anggotaanggota lainnya. Negara anggota

diperbolehkan menerapkan kebijakan yang menyimpang dari prinsip tersebut, dengan diperbolehkan menerapkan kebijakan yang menyimpang dari prinsip tersebut, dengan syarat kebijakan tersebut dicantumkaa dan memenuhi persyaratan Annex Pasal II syarat kebijakan tersebut dicantumkaa dan memenuhi persyaratan Annex Pasal II (Exeptions).

(Exeptions).

Annex ketentuan tersebut mengatur persyaratan bagi suatu negara anggota untuk Annex ketentuan tersebut mengatur persyaratan bagi suatu negara anggota untuk

(17)

dikecualikan dari kewajiban sebagaimana ditentuka

dikecualikan dari kewajiban sebagaimana ditentukan dalam n dalam Pasal II. Misalnya, Pasal II. Misalnya, bahwabahwa pengecualian dapat diberikan lebih dari 5 (lima) tahun. Tetapi, untuk periode pertama, pengecualian dapat diberikan lebih dari 5 (lima) tahun. Tetapi, untuk periode pertama, tidak boleh lebih dari

tidak boleh lebih dari lima tahun sejak GATS berlaku.lima tahun sejak GATS berlaku.

Annex tersebut lebih jauh mengatur tencang cara melakukan penguj ian dan Annex tersebut lebih jauh mengatur tencang cara melakukan penguj ian dan

penghentian. Penghentian adalah keharusan untuk menghentikan pengecualian jika penghentian. Penghentian adalah keharusan untuk menghentikan pengecualian jika telah mencapai 10 (sepuluh) tahun. Prinsip ini, memberi peluang kepada pemerintah telah mencapai 10 (sepuluh) tahun. Prinsip ini, memberi peluang kepada pemerintah Indonesia untuk memperoleh pengecualian-pengecualian terhadap pemasok jasa Indonesia untuk memperoleh pengecualian-pengecualian terhadap pemasok jasa tertentu, termasuk pemasok jasa dari dalam wilayahnya (pemasok jasa

tertentu, termasuk pemasok jasa dari dalam wilayahnya (pemasok jasa domestik,domestik, tetapi pengecualian demikian hams dihapuskan setelah kurun waktu sepuluh tahun tetapi pengecualian demikian hams dihapuskan setelah kurun waktu sepuluh tahun sejak GATS berlaku. Setelah itu, pemasok jasa pariwisata Indonesia hams siap bersaing sejak GATS berlaku. Setelah itu, pemasok jasa pariwisata Indonesia hams siap bersaing secara cerbuka (tanpa proteksi).

secara cerbuka (tanpa proteksi).

b. Transparasi b. Transparasi

Setiap negara anggora wajib menerapkan, segera, semua peraturan pemndangan, Setiap negara anggora wajib menerapkan, segera, semua peraturan pemndangan, termasuk undang-undang, peraturan-peraturan, pedoman pelaksanaan dan peraturan termasuk undang-undang, peraturan-peraturan, pedoman pelaksanaan dan peraturan pemndangan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yang pemndangan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, yang dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian ini, termasuk selumh perjanjian dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian ini, termasuk selumh perjanjian internasional di mana

internasional di mana negara tersebut menjadi anggotanya.negara tersebut menjadi anggotanya. Setiap negara harus secara periodik,

Setiap negara harus secara periodik, paling tidak setahun sekali, memberitahu Councilpaling tidak setahun sekali, memberitahu Council for Trade in Services (CTS), penerbitan atau perubahan peraturan pemndangan yang for Trade in Services (CTS), penerbitan atau perubahan peraturan pemndangan yang terjadi di negara bersangkutan. Setiap negara harus menjawab setiap pertanyaan terjadi di negara bersangkutan. Setiap negara harus menjawab setiap pertanyaan negara lain berkaitan dengan informasi yang diperlukan.

negara lain berkaitan dengan informasi yang diperlukan.

Ketentuan ini menumt setiap pelaku bisnis pariwisata memahami peraturan Ketentuan ini menumt setiap pelaku bisnis pariwisata memahami peraturan

perundangan yang diterbitkan pemerintahnya dan peraturan perundangan yang berlaku perundangan yang diterbitkan pemerintahnya dan peraturan perundangan yang berlaku di dalam negara tujuan bisnisnya, untuk dapat memanfaatkan peluang dan fasilitas di dalam negara tujuan bisnisnya, untuk dapat memanfaatkan peluang dan fasilitas perlindungan yang disediakan peraturan perundangan tersebut, memenuhi perlindungan yang disediakan peraturan perundangan tersebut, memenuhi kewajiban-kewajiban dengan sebaik-baiknya, untuk manfaat yang maksimal dan mencegah risiko kewajiban dengan sebaik-baiknya, untuk manfaat yang maksimal dan mencegah risiko bisnis yang dapat timbul dari akibat kelalaian terhadap peluang dan kewajiban

bisnis yang dapat timbul dari akibat kelalaian terhadap peluang dan kewajiban tersebut.

tersebut.

Informasi-informasi harus diberitahuka

Informasi-informasi harus diberitahukan secara terbuka untuk urnum, namun Pasal n secara terbuka untuk urnum, namun Pasal IIIIII bis tetap memberikan kesempatan kepada suatu negara untuk menyimpan bis tetap memberikan kesempatan kepada suatu negara untuk menyimpan informasi-informasi yang bersifat rahasia, yang dapat menghambat penerapan GATS.

informasi yang bersifat rahasia, yang dapat menghambat penerapan GATS.

c. Perlakuan Khusus Untuk Negara Berkembang c. Perlakuan Khusus Untuk Negara Berkembang

Negara berkembang tetap mendapat kemudahan dalam pelaksanaan GATS, melalui Negara berkembang tetap mendapat kemudahan dalam pelaksanaan GATS, melalui komitmen khusus (specific commitment), sepanjang negara bersangkutan

(18)

berkepentingan secara nyata untuk menata kapasitas, efisiensi dan daya saing sektor berkepentingan secara nyata untuk menata kapasitas, efisiensi dan daya saing sektor  jasa, termasuk

 jasa, termasuk pariwisata, dan pariwisata, dan untuk itu neuntuk itu negara-negara begara-negara berkembang darkembang dapatpat meningkatka

meningkatkan akses terhadap jaringan informasi dan n akses terhadap jaringan informasi dan akses pasar.akses pasar.

Ketentuan ini dapat digunakan pelaku bisnis pariwisata Indonesia untuk menuntut Ketentuan ini dapat digunakan pelaku bisnis pariwisata Indonesia untuk menuntut pemerintah Indonesia memanfaatkan hak dan peluang tersebut, baik dalam rangka pemerintah Indonesia memanfaatkan hak dan peluang tersebut, baik dalam rangka penataan kapasitas, efisiensi dan daya saing pelaku bisnis domestik, maupun dalam penataan kapasitas, efisiensi dan daya saing pelaku bisnis domestik, maupun dalam rangka memperoleh peluang akses pasar, tanpa hams memberikan kompensasi serupa rangka memperoleh peluang akses pasar, tanpa hams memberikan kompensasi serupa bagi pelaku jasa dari pemilik

bagi pelaku jasa dari pemilik pasar. Ketentuan ini sangat penting bagi pelaku bisnispasar. Ketentuan ini sangat penting bagi pelaku bisnis Indonesia untuk menata diri, canpa kehilangan kesempatan mengakses pasar asing. Indonesia untuk menata diri, canpa kehilangan kesempatan mengakses pasar asing.

d. Kerjasama Dengan Negara Bukan Anggota d. Kerjasama Dengan Negara Bukan Anggota

Kerjasama dengan negara bukan anggota tidak dilarang sepanjang tidak merugikan Kerjasama dengan negara bukan anggota tidak dilarang sepanjang tidak merugikan penerapan GATS. Karena itu, setiap negara anggota GATS tetap dapat membentuk atau penerapan GATS. Karena itu, setiap negara anggota GATS tetap dapat membentuk atau menjadi anggota suatu kerjasama ekonomi, baik

menjadi anggota suatu kerjasama ekonomi, baik bilateral, regional, maupun universal.bilateral, regional, maupun universal.

e. Ketentuan Domestik e. Ketentuan Domestik

Setiap negara anggota, dalam membuat dan menerapkan ketentuan domestik, tidak Setiap negara anggota, dalam membuat dan menerapkan ketentuan domestik, tidak boleh merugikan kepentingan penerapan GATS. Setiap regulasi hams diterapkan secara boleh merugikan kepentingan penerapan GATS. Setiap regulasi hams diterapkan secara wajar, obyektif dan tidak memihak.

wajar, obyektif dan tidak memihak.

Ketentuan ini mengharuskan pelaku bisnis pariwisata melakukan kegiatan bisnis secara Ketentuan ini mengharuskan pelaku bisnis pariwisata melakukan kegiatan bisnis secara mandiri, berdasarkan kapasitas sendiri, tanpa subsidi atau pun

mandiri, berdasarkan kapasitas sendiri, tanpa subsidi atau pun perlakuan khusus dariperlakuan khusus dari pemerintah. Mereka tidak dapat meminta memberikan perlakuan demikian pemerintah. Mereka tidak dapat meminta memberikan perlakuan demikian semata-mata untuk keuntungan mereka.

mata untuk keuntungan mereka.

Pasal XV GATS menentukan bahwa subsidi harus didasarkan negosiasi multilateral, Pasal XV GATS menentukan bahwa subsidi harus didasarkan negosiasi multilateral, karena subsidi secara umum dapat mengakibatkan distorsi perdagangan.

karena subsidi secara umum dapat mengakibatkan distorsi perdagangan.

f. Standar f. Standar

Standar jasa dapat ditetapkan secara bilateral,

Standar jasa dapat ditetapkan secara bilateral, regional, dan universal dan regional, dan universal dan domestik,domestik, sepanjang penerap

sepanjang penerapannya bersifat obyektif annya bersifat obyektif dan tidak dan tidak diskriminatif.diskriminatif.

Pelaku bisnis pariwisata dapat menggunakan ketentuan ini untuk menjelaskan kepada Pelaku bisnis pariwisata dapat menggunakan ketentuan ini untuk menjelaskan kepada pemerintah keadaan mereka, dan meminta pemerintah menetapkan, atau merevisi, pemerintah keadaan mereka, dan meminta pemerintah menetapkan, atau merevisi, standar tertentu sesuai keadaan mereka. Hanya saja, mereka harus siap

standar tertentu sesuai keadaan mereka. Hanya saja, mereka harus siap bersaingbersaing secara obyektif dengan pelaku bisnis asing dalam pemenuhan standar tersebut. secara obyektif dengan pelaku bisnis asing dalam pemenuhan standar tersebut. Perlakuan khusus tidak dibenarkan dalam penerapan suatu standar.

Perlakuan khusus tidak dibenarkan dalam penerapan suatu standar.

g. Monopoli g. Monopoli

(19)

Monopoli dalam

Monopoli dalam pemasokaa jasa diperkenankan sepanjang pemeganpemasokaa jasa diperkenankan sepanjang pemegang monopoli g monopoli tidaktidak melakukan kegiatan di luar

melakukan kegiatan di luar batas-batas monopoli yang diberikan pemerintahnybatas-batas monopoli yang diberikan pemerintahnya.a. Ketentuan ini mengandung dua makna, pertama,

Ketentuan ini mengandung dua makna, pertama, monopoli dibolehkan, kedua,monopoli dibolehkan, kedua, pemerintah harus secara tegas menentukan batas-batas monopoli bagi

pemerintah harus secara tegas menentukan batas-batas monopoli bagi pelaku bisnis,pelaku bisnis, dan menjamin bahwa monopoli

dan menjamin bahwa monopoli diterapkan tidak melampaui batas-batasnya.diterapkan tidak melampaui batas-batasnya.

h. Hambatan h. Hambatan

Suatu standar, monopoli dan praktek usaha tidak boleh dilakukan dengan maksud Suatu standar, monopoli dan praktek usaha tidak boleh dilakukan dengan maksud melakukan hambatan terhadap pemasok jasa lain.

melakukan hambatan terhadap pemasok jasa lain.

Hambatan juga dilarang terhadap lalu lintas pembayaran, melalui komitmen khusus Hambatan juga dilarang terhadap lalu lintas pembayaran, melalui komitmen khusus sesuai ketentuan komitmen khusus, kecuali berkenaan dengan anggaran dasar IMF sesuai ketentuan komitmen khusus, kecuali berkenaan dengan anggaran dasar IMF bagi anggota-anggotanya, yang ditujukan untuk pengaturan devisa, dengan syarat bagi anggota-anggotanya, yang ditujukan untuk pengaturan devisa, dengan syarat negara bersangkutan tidak membebankan pembatasan terhadap transaksi modal yang negara bersangkutan tidak membebankan pembatasan terhadap transaksi modal yang tidak konsisten dengan komitmen khusus, kecuali atas permintaan IMF atau Pasal XII. tidak konsisten dengan komitmen khusus, kecuali atas permintaan IMF atau Pasal XII. Pasal XII menentukan bahwa suatu negara anggota diperkenankan melakukan

Pasal XII menentukan bahwa suatu negara anggota diperkenankan melakukan

pembatasan-pembatasan perdagangan jasa terhadap pemasok jasa asing, dalam hal pembatasan-pembatasan perdagangan jasa terhadap pemasok jasa asing, dalam hal terjadi kesulitan yang serius terhadap neraca pembayaran luar negeri negara tersebut. terjadi kesulitan yang serius terhadap neraca pembayaran luar negeri negara tersebut. Ketentuan ini sangat berguna bagi pelaku bisnis

Ketentuan ini sangat berguna bagi pelaku bisnis pariwisata, dalam suatu masa krisis,pariwisata, dalam suatu masa krisis, untuk melindungi hak-hak dan kepentingannya.

untuk melindungi hak-hak dan kepentingannya.

i. Pengecualian Umum i. Pengecualian Umum

Setiap negara mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan tindakan berhubungan Setiap negara mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan tindakan berhubungan dengan perlindungan moral dan kepentingan umum, kehidupan, kesehatan manusia, dengan perlindungan moral dan kepentingan umum, kehidupan, kesehatan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, menjamin ketaatan terhadap undang-undang, binatang dan tumbuh-tumbuhan, menjamin ketaatan terhadap undang-undang, pencegahan penipuan, pemalsuan, mengatasi pelanggaran perjanjian dalam pencegahan penipuan, pemalsuan, mengatasi pelanggaran perjanjian dalam perdagangan jasa, perlindungan rahasia pribadi, termasuk catatan dan rekening perdagangan jasa, perlindungan rahasia pribadi, termasuk catatan dan rekening pribadi.

pribadi.

Ketentuan ini berguna untuk melindungi kepentingan pelaku bisnis pariwisata dari Ketentuan ini berguna untuk melindungi kepentingan pelaku bisnis pariwisata dari praktek curang dan perbuatan melanggar hukum pelaku bisnis asing yang

praktek curang dan perbuatan melanggar hukum pelaku bisnis asing yang mengakibatkan kerugian luas pada individu, masyarakat dan negara. mengakibatkan kerugian luas pada individu, masyarakat dan negara.

 j. Akses Pasar  j. Akses Pasar

Sesuai dengan model-model pasokan jasa sebagaimana ditentukan dalam Pasal I Sesuai dengan model-model pasokan jasa sebagaimana ditentukan dalam Pasal I GATS, setiap negara anggota harus memberikan perlakuan yang sama terhadap jasa GATS, setiap negara anggota harus memberikan perlakuan yang sama terhadap jasa atau pemasok jasa dari negara anggota lainnya, dan tidak boleh berbeda dengan atau pemasok jasa dari negara anggota lainnya, dan tidak boleh berbeda dengan ketentuan, pembataaan dan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan secara khusus ketentuan, pembataaan dan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan secara khusus

(20)

dalam jadwal komitmen yang dibuat.

dalam jadwal komitmen yang dibuat. Terhadap hal ini ditentukan dua kondisi, Terhadap hal ini ditentukan dua kondisi, pertama,pertama,  jika suatu ne

 jika suatu negara menegara menerapkan komitmen rapkan komitmen akses pasar beakses pasar berkaitan denrkaitan dengan model pasogan model pasokankan  jasa sebagaim

 jasa sebagaimana ditentana ditentukan dalam Paukan dalam Pasal 1 ayat 2(a), dan jiksal 1 ayat 2(a), dan jika pergerakan a pergerakan modal lintasmodal lintas batas negara sangat diperlukan dalam rangka pasokan jasa tersebut, maka negara

batas negara sangat diperlukan dalam rangka pasokan jasa tersebut, maka negara tersebut hams memperkenankan pemindahan modal ke luar wilayahnya; kedna, jika tersebut hams memperkenankan pemindahan modal ke luar wilayahnya; kedna, jika komitmen akses pasar tersebut berkaitan dengan model pasokan sebagaimana

komitmen akses pasar tersebut berkaitan dengan model pasokan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 2

ditentukan dalam Pasal 1 ayat 2 (c), pasokan jasa dari (c), pasokan jasa dari wilayah suatu negara di dalamwilayah suatu negara di dalam wilayah negara lainnya, maka negara tersebut harus memperkenankan pemindahan wilayah negara lainnya, maka negara tersebut harus memperkenankan pemindahan modal ke dalam wilayahnya.

modal ke dalam wilayahnya.

Prinsip-prinsip GATS menyediakan kemudahan dan peluang-peluang, termasuk peluang Prinsip-prinsip GATS menyediakan kemudahan dan peluang-peluang, termasuk peluang pasar yang lebih luas, untuk memasok jasa di dalam wilayah negara anggota GATS pasar yang lebih luas, untuk memasok jasa di dalam wilayah negara anggota GATS lainnya, dan juga tantangan yang tidak ringan sehubungan dengan kehadiran pemasok lainnya, dan juga tantangan yang tidak ringan sehubungan dengan kehadiran pemasok  jasa asing di dal

 jasa asing di dalam wilayah Indoneam wilayah Indonesia. Keadaan insia. Keadaan ini tidak dapat dihi tidak dapat dihindarkan sehindarkan sehubungaubungann dengan peluang yang diperoleh Indonesia. Kendati pun demikian, pelaku bisnis

dengan peluang yang diperoleh Indonesia. Kendati pun demikian, pelaku bisnis pariwisata Indonesia masih memiliki

pariwisata Indonesia masih memiliki peluang cukup luas untuk memanfaatkan berbagaipeluang cukup luas untuk memanfaatkan berbagai i prinsip, seperti hak

i prinsip, seperti hak atas pengecuatas pengecualian (Pasal II alian (Pasal II ayat (2) dan (3)), ayat (2) dan (3)), kerjasama regionalkerjasama regional intra ASEAN

intra ASEAN (Pasal V), (Pasal V), pengaturapengaturan domestik untuk keperluan penataan kapasitasn domestik untuk keperluan penataan kapasitas pelaku bisnis domestik dalam rangka membangun kapasitas bersaing yang lebih baik pelaku bisnis domestik dalam rangka membangun kapasitas bersaing yang lebih baik (Pasal VI),

(Pasal VI), atau juga ketentuan tentang monopoli (Pasal VII), atau juga ketentuan tentang monopoli (Pasal VII), untuk melindungiuntuk melindungi kepentinga

kepentingan pelaku bisnis domestik n pelaku bisnis domestik sampai saatnya mereka dapat bersaing secarasampai saatnya mereka dapat bersaing secara lebih adil,

lebih adil, dengan kapasitas yang lebih sebanding.dengan kapasitas yang lebih sebanding.

Hal yang paling penting yang hams dilakukan saat ini adalah, pertama, menata diri Hal yang paling penting yang hams dilakukan saat ini adalah, pertama, menata diri serta memenuhi persyaratan dan standar bisnis yang telah ada untuk mendapatkan serta memenuhi persyaratan dan standar bisnis yang telah ada untuk mendapatkan kapasitas bisnis riil, untuk memasuki era persaingan riil, dan Kedua, mengembangkan kapasitas bisnis riil, untuk memasuki era persaingan riil, dan Kedua, mengembangkan komunikasi dua arah yang lebih baik antara pemerintah dengan komunitas bisnis komunikasi dua arah yang lebih baik antara pemerintah dengan komunitas bisnis pariwisata untuk memberi pengetahuan kepada pemerintah tentang kondisi riil pariwisata untuk memberi pengetahuan kepada pemerintah tentang kondisi riil komunitas bisnis pariwisata, sebagai dasar bagi

komunitas bisnis pariwisata, sebagai dasar bagi pemerintah untupemerintah untuk melakukank melakukan pertukaran peluang dengan negara lain.

pertukaran peluang dengan negara lain.

Dalam perdagangan jasa GATS berlaku prinsip resiprositas, bahwa suatu negara hanya Dalam perdagangan jasa GATS berlaku prinsip resiprositas, bahwa suatu negara hanya wajib memberikan akses kepada anggota GATS, hanya jika negara tersebut mendapat wajib memberikan akses kepada anggota GATS, hanya jika negara tersebut mendapat akses serupa dari negara anggota yang memperoleh akses serupa. Karena itu,

akses serupa dari negara anggota yang memperoleh akses serupa. Karena itu,

sesungguhnya tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk membuka kran kedaulatannya sesungguhnya tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk membuka kran kedaulatannya bagi pemasok jasa asing, kecuali Indonesia memperoleh akses serupa dari negara

bagi pemasok jasa asing, kecuali Indonesia memperoleh akses serupa dari negara penerima akses. Untuk keperluan keakurasian pembukaan akses pasar tersebut, penerima akses. Untuk keperluan keakurasian pembukaan akses pasar tersebut,

pemerintah Indonesia memerlukan input dari komunitas bisnis, agar pemerintah tidak pemerintah Indonesia memerlukan input dari komunitas bisnis, agar pemerintah tidak salah buka atau

Referensi

Dokumen terkait

2) Peser ta dapat mengambil Dokumen Pengadaan sesuai har i, tanggal, w aktu dan tempat pengambilan yang ditentukan. 3) Semua Peser ta w ajib melakukan pendaftar an

Dalam perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan oleh MPR sesuai dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 37

Hak-hak istimewa dan kekebalan yang diberikan pada perwakilan negara-negara anggota ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (13) yang menyebutkan perwakilan negara anggota ketika

Konsep utama GATS bagi negara maju sebetulnya berkonsep sama seperti perdagangan barang, yakni bahwa mereka ingin memastikan negaranya atau anggota negara maju

Untuk dapat menganalisa jasa netflix masuk dalam suatu sektor jasa yang termasuk lingkup W120, maka sesuai kesepakatan Negara anggota WTO menggunakan prinsip technology

Mengenai apabila Penyedia Jasa dan/ atau Subpenyedia Jasa tidak melakukan hal tersebut diatas maka sesuai dengan Pasal 54 ayat 2 UU Jasa Konstruksi, bahwa Penyedia Jasa dan/atau

Jika terjadi pelanggaran ketentuan di atas, maka negara anggota wajib menolak dan membatalkan pendaftaran merek sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 3 sebagai berikut: Negara

Pasal 65 1 Rincian indikasi program, tahapan, dan sektor yang terkait dengan Pembangunan Kepariwisataan Daerah sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 2 ayat 1 tercantum dalam Lampiran