• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mutual Recognition Arrangements(Mras) Dalam Rangka Masyarakat Ekonomi Asean (Asean Economic Community)Dalam Perspektif Hukum Internasional Danpengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mutual Recognition Arrangements(Mras) Dalam Rangka Masyarakat Ekonomi Asean (Asean Economic Community)Dalam Perspektif Hukum Internasional Danpengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia Chapter III V"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KEDUDUKAN MUTUAL RECOGNITION ARRANGEMENTS DALAM

PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

A. MRAs dalam Kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN

1. Pengertian dan Tujuan MRAs

Integrasi adalah salah satu elemen paling penting dalam membangun dan

merealisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seperti yang dinyatakan oleh

para pemimpin Negara-negara anggota ASEAN di Deklarasi Bali Kedua. Usaha

integrasi di bidang jasa telah sejak lama dibentuk. Usaha integrasi dimulai sejak

pembentukan AFAS pada tanggal 15 Desember 1995. AFAS adalah persetujuan

dan kerjasama dalam rangka liberalisasi perdagangan dibidang jasa dalam forum

ASEAN. Pada dasarnya pembuatan AFAS 1995 dibuat berdasarkan GATS

(General Agreement on Trade in Services), perjanjian multilateral pertama

dibidang jasa yang dibuat di rapat perdagangan multilateral Uruguay di tahun

1994, dimana GATS ini dikenal sebagai perjanjian multilateral pertama yang

mengatur mengenai perdagangan lintas batas dibidang jasa.

Dibandingkan dengan GATS (General Agreement on Trade in Services), ASEAN melakukan liberalisasi perdagangan jasa secara lebih mendalam dan luas.

Dasar dari dibentuknya AFAS berasal dari kesepakatan pemimpin di rapat umum

kepala Negara di Bangkok (Bangkok Summit) pada tahun 1995 yang membuahkan

hasil berupa Deklarasi Bangkok Summit 1995. Pada saat rapat umum ini jugalah

ditandatangani perjanjian AFAS. Hal ini dapat dilihat dari tanggal pembuatan

(2)

Didalam Dokumen AFAS (ASEAN Framework Arrangement on Services) ini,

dinyatakan beberapa hal menyangkut Trade in Services (Perdagangan dibidang Jasa), yaitu: 60

1. Kesepakatan untuk melakukan integrasi ekonomi.

2. ASEAN akan terus bergerak meningkatkan kerjasama perdagangan jasa yang

lebih terbuka melalui pelaksanaan The ASEAN Framework Agreement on

Services.

3. Anggota ASEAN akan melakukan negosiasi specific commitment on market

access, national treatment, dan additional commitments yang mencakup seluruh modes of supply sektor jasa.

4. Liberalisasi sektor jasa dilakukan secara bertahap sampai tercapai tingkat

liberalisasi yang lebih tinggi.

5. Negara Anggota ASEAN diberikan fleksibilitas dalam melakukan offer

(penawaran).

Dalam perjanjian AFAS sendiri, telah ditentukan juga beberapa tujuan

penting pembentukan AFAS, yang dapat ditemukan dalam bagian Objectives

(tujuan) di Pasal 1 perjanjian AFAS, yaitu:

1. Meningkatkan kerjasama antara Negara anggota dalam rangka meningkatkan

efisiensi dan daya saing, serta diversifikasi kapasitas produksi dan suplai

maupun distribusi jasa supplier baik didalam dan keluar kawasan ASEAN.

2. Menghapus hambatan-hambatan dalam perdagangan jasa antara sesama

anggota ASEAN.

60

(3)

3. Untuk meliberalisasikan perdagangan jasa dengan memperkuat tingkat serta

cakupan liberalisasi yang dilakukan Negara anggota dibawah kesepakatan

GATS dengan tujuan untuk mewujudkan sebuah area perdagangan bebas

dibidang jasa.

Dalam Pasal 3 perjanjian AFAS juga dinyatakan proses liberalisasi

perdagangan jasa, yaitu bahwa Negara anggota meliberalisasikan perdagangan

jasa dalam jumlah yang substansial dan dalam kerangka waktu yang

pantas/reasonable dengan:

1. Menghapuskan secara substansial semua perlakuan yang berbeda/yang

diskriminatif diantara Negara anggota, dan

2. Melarang diskriminasi dan pembatasan tertentu dari Negara-negara anggota.

Untuk memenuhi tujuan dari AFAS, diperlukan forum/fora perundingan tertentu.

Forum perundingan dibawah AFAS antara lain: 61

1. ASEAN Economic Ministers (AEM).

2. Senior Economic Official Meeting (SEOM). 3. Coordinating Committee on Services(CCS).

4. Sectoral Group/Forum. 5. ASEAN-X Forum.

6. Caucus serta perundingan-perundingan lanjutan dari forum-forum tersebut

diatas.

Pasal lainnya yang penting untuk dibahas adalah Pasal 5 dari perjanjian

AFAS ini, dimana dinyatakan bahwa setiap Negara anggota dapat mengakui

61

(4)

pendidikan atau pengalaman yang didapat, kualifikasi yang dipenuhi, atau lisensi

atau sertifikasi yang didapat dari Negara anggota lainnya, dengan tujuan untuk

melisensi atau mesertifikasi pemasok layanan. Pengakuan seperti ini dapat

didasarkan melalui persetujuan (Agreement) maupun pengaturan (Arrangement) dengan Negara anggota yang bersangkutan atau dapat diberlakukan secara

mandiri.62

Realisasi dari Pasal 5 Perjanjian AFAS ini diwujudkan melalui dibuatnya

program Mutual Recognition Arrangements pada tahun 1996. Mutual Recognition

Arrangements ASEAN memiliki dua cabang, yaitu Mutual Recognition Arrangements di bidang Barang (Mutual Recognition Arrangements in trade of Goods) dan Mutual Recognition Arrangements di bidang Jasa (Mutual

Recognition Arrangements in Trade of Services). Kemudian pada tahun 1998, dibuat ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangements,

perjanjian yang mengatur mengenai basis-basis umum dan cara pengaplikasian

Mutual Recognition Arrangements yang telah dibuat pada tahun 1996. dimana pada dasarnya tujuan pembentukan perjanjian ini adalah untuk menciptakan

lembaga yang bertugas untuk melakukan Conformity Assessment Body dan

Regulatory Authority, dimana Conformity Assessment Body adalah lembaga

tersebut bertugas untuk menilai apakah suatu barang atau jasa telah memenuhi

kriteria minimal yang dibutuhkan agar dapat diimpor/ekspor atau menjadi tenaga

kerja MRA, sedangkan Regulatory Authority adalah lembaga yang bertugas untuk memiliki hak untuk mengontrol impor barang maupun jasa dalam yurisdiksi suatu

Negara dan dapat melakukan tindakan tertentu untuk memastikan produk yang

62

(5)

masuk kedalam Negaranya sesuai dengan ketentuan legalitas Negara tersebut.63 MRAs di bidang Barang pun diatur di perjanjian ini.

Di dokumen ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition

Arrangements ini, dinyatakan di Pasal 3 nya, bahwa MRAs di bidang barang berfokus kepada, namun tidak terbatas pada 20 grup produk prioritas, yaitu air

conditioner, kulkas, monitor, dan keyboard, mesin dan alat pembangkit tenaga

listrik, Induktor, Loudspeaker, Alat Video, Telepon, Radio, televisi, bagian TV

dan Radio, Kapasitor, Resistor, Sirkuit Tercetak, Saklar, Tabung sinar katoda,

dioda, kristal piezoelektrik yang dipasang, kondom karet, dan sarung tangan karet

medis.64

Perkembangan dari MRAs di bidang barang juga harus mencangkup

didalam 12 sektor prioritas integrasi, yaitu produk kesehatan, otomotif, produk

karet, produk kayu, tekstil, produk pertanian, perikanan, produk elektronik dan

elektrik, kesehatan, penerbangan udara, wisata, dan logistik.65

Sedangkan Asal Usul pembentukan Mutual Recognition Arrangement di bidang jasa setelah dibuatnya ASEAN Framework Agreements on Mutual

Recognition Arrangements pada tahun 1998 dimulai secara spesifik pada tanggal 5 November 2001 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Para saat itu,

para kepala Negara anggota ASEAN mengadakan ASEAN Summit ketujuh, dan

di rapat ASEAN ketujuh ini, dimulai negosiasi mengenai Mutual Recognition Arrangements (MRAs) untuk memfasilitasi arus tenaga professional dibawah

63

ASEAN, ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangements, 1998.

64

ASEAN Consultative Committee on Standards and Quality, Guidelines for the development of Mutual Recognition Arrangements,Asean Secretariat, Jakarta, 2014.

65

(6)

AFAS. Komite ASEAN yang bernama ASEAN Coordinating Committee on

Services (CCS) membuat grup ahli yang sifatnya ad-hoc dalam program MRAs dibawah sektor pekerja dibidang jasa bisnisnya pada bulan Juli 2003 untuk

memulai negosiasi mengenai Mutual Recognition Arrangements (MRAs) dibidang jasa. Disaat yang sama, komite CCS ASEAN juga membuat sektor

pekerja dibidang Kesehatan pada bulan Maret 2004 yang pada akhirnya

melakukan negosiasi di MRA sektor kesehatan yang dimasukkan dalam agenda

umumnya. 66

MRAs ASEAN adalah perjanjian kerjasama yang diciptakan untuk

mendukung kebebasan dan memfasilitasi pertukaran dibidang barang maupun jasa

diantara Negara-negara anggota ASEAN. MRAs merupakan bagian dari

banyaknya perjanjian yang telah disetujui oleh kesemua Negara anggota ASEAN

yang dibuat dalam rangka untuk mempercepat pencapaian AFAS (ASEAN

Framework Agreement on Services) sebagai salah satu tonggak pemenuhan tujuan dari ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA sendiri pada dasarnya juga dibuat untuk mencapai tujuan ekonomi ASEAN secara keseluruhan di bidang ekonomi,

yaitu menciptakan pasar dan basis produksi tunggal, yang ditandai dengan adanya

aliran bebas dari barang, jasa, dan investasi seperti yang telah diuraikan di

Perjanjian Bali/Bali Concord II. Menurut Soedjono Dirdjosisworo, pembentukan

ASEAN Free Trade Area (AFTA) memberikan kontribusi penting bagi

perdagangan dunia, karena tujuan liberalisasi perdagangan regional ASEAN

66

(7)

sejalan dengan tujuan GATT / WTO yang berdasarkan outward oriented dan akan

menunjang percepatan liberalisasi perdagangan dunia.67

Ada dua pendapat mengenai tujuan MRAs di bidang jasa, yaitu pendapat

mengenai tujuan ASEAN yang berasal dari buku ASEAN Integration in Services, dan Tujuan MRAs yang berasal dari website Invest in ASEAN, Tujuan MRAs menurut buku ASEAN Integration in Services:

“The Goal of the MRAs is to facilitate the flow of foreign professionals taking into account relevant domestic regulations and market demand

conditions”68

Sedangkan Tujuan MRAs dibidang jasa menurut Website Invest in ASEAN

adalah:

“MRAs aim to facilitate mobility of professionals/skilled labor in ASEAN. Through Exchange of Information, MRAs also work towards the adoption

of best practices on standard and qualifications.”69

Apabila kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maka didapatkan

tujuan MRAs menurut buku ASEAN Integration in Services :

“Tujuan MRAs adalah untuk memfasilitasi alur dari tenaga professional

asing dengan mempertimbangkan aturan dalam negeri yang relevan dan

kondisi permintaan pasar.”

Sedangkan tujuan MRAs menurut Website Invest in ASEAN adalah:

“MRAs bertujuan untuk memfasilitasi ruang gerak para pekerja

professional/pekerja ahli dilingkup ASEAN. Melalui pertukaran informasi satu sama lain, MRAs juga bekerja menuju penerapan praktik terbaik dalam

kualifikasi dan standar.”

67

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, hal 246.

68

Ibid.

69

Invest ASEAN, ASEAN Free Trade Area Agreements, Diambil dari website

(8)

Kesemua tujuan yang dinyatakan dalam sumber-sumber ini memiliki sedikit

perbedaan, yaitu tujuan MRAs menurut buku ASEAN Integration in Services

adalah berfokuskan kepada adaptasi terhadap aturan dalam negeri, sedangkan

tujuan MRAs menurut website Invest in ASEAN adalah untuk bekerja menuju penerapan praktik terbaik dalam segi kualifikasi dan standar. Namun hal yang

sudah pasti tertera di kedua pengertian diatas adalah bahwa MRAs bertujuan

untuk memfasilitasi alur/ruang gerak dari tenaga professional.

Lebih lanjut bahwa MRAs memungkinkan pemasok layanan professional

yang bersertifikat atau terdaftar oleh pihak berwenang yang relevan di Negara

asalnya untuk dapat saling diakui oleh Negara anggota lainnya yang

menandatangani MRAs ini70. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa Mutual Recognition Arrangements adalah program yang bertujuan untuk:

1. Mempermudah/memfasilitasi ruang gerak dari tenaga professional

2. Menyamaratakan skill/kemampuan dari tenaga professional Negara-negara anggota.

Mutual Recognition Arrrangements memiliki beberapa keuntungan dan

kerugian. Di satu sisi, Mutual Recognition Arrangements dapat meningkatkan daya saing/kompetitif dari bidang-bidang layanan professional yang diaturnya,

MRAs juga dapat meningkatkan kemampuan/skill dari layanan professional disuatu Negara Karena adanya pertukaran dibidang jasa tersebut sehingga

meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia di suat Negara secara cepat. Mutual Recognition Arrangements juga dapat meningkatkan hubungan diplomatik

70

(9)

antarsesama Negara ASEAN Karena adanya pembauran Kultur/budaya diantara

Negara-negara ASEAN yang memberlakukan program ini.

Namun disisi lain, ada juga kerugian yang juga dapat terjadi apabila

diberlakukan Mutual Recognition Arrangements, yaitu Negara tertentu yang tidak/belum bisa bersaing dengan tenaga professional di Negara lain sehingga

cenderung kalah/terbelakang dibandingkan dengan tenaga professional dari

Negara anggota lain. Bisa juga terjadi Culture Shock (Kejutan budaya).

2. Ruang Lingkup MRAs dibidang jasa yang telah disepakati dalam

rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Dalam perkembangan MRAs ASEAN, telah ditentukan bahwa Pada

dasarnya, Mutual Recognition Arrangement mengatur mengenai pemfasilitasi di 8 Profesi, yaitu:

1. Engineering Services (Jasa Insinyur/Engineering)

Mutual Recognition Arrangement yang mengatur mengenai profesi Insinyur ini dibuat pada tanggal 9 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Pembuatan MRA ini bertujuan untuk: 71

a) Memfasilitasi mobilitas para ahli profesi engineering (Insinyur); dan

b) Saling menukar informasi mengenai penerapan praktik terbaik dibidang

standard dan kualifikasi.

71

ASEAN, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Engineering Services, 2005,

(10)

2. Nursing Services (Jasa Keperawatan)

Mutual Recognition Arrangement mengenai profesi Perawat dibentuk pada tanggal 8 Desember 2006 di Cebu, Filipina. Tujuan pembuatan MRA ini

adalah: 72

a) Memfasilitasi mobilitas para ahli keperawatan didalam ASEAN

b) Saling menukar informasi dan keahlian dibidang standar an kualifikasi

c) Memajukan penerapan praktik terbaik di jasa keperawatan

professional;dan

d) Menyediakan kesempatan untuk pengembangan kapasitas dan pelatihan

para perawat.

3. ArchitecturalServices (Jasa Arsitektur)

Mutual Recognition Arrangement mengenai profesi Arsitek dibuat pada tanggal 19 November 2007 di Kota Singapura, Singapura. Pembuatan MRA

Arsitektur ini bertujuan untuk: 73

a) Memfasilitasi mobilitas para Arsitek;

b) Saling menukar informasi dalam rangka memajukan standar dari edukasi

dibidang arsitektur, praktik dan kualifikasi profesional.

c) Untuk menyesuaikan jiwa kooperasi ASEAN berdasarkan distribusi

sumber daya dan keuntungan yang adil melalui riset-riset kolaboratif;dan

72

ASEAN, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Nursing Services, 2006, diakses pada tanggal 19 Juni 2017.

73

ASEAN, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Architectural Services, 2007,

(11)

d) Untuk mendukung, memfasilitasi, dan membuat Pengakuan bersama

(Mutual Recognition) di profesi Arsitek dan mempersiapkan standar dan komitmen mengenai transfer teknologi diantara Negara anggota ASEAN.

4. Surveying Qualifications (Jasa Ahli Survey)

Mutual Recognition Arrangements mengenai jasa Ahli Survey belum dibuat, namun sudah ada framework mengenai MRA ini. Framework ini dibuat pada

tanggal 19 November 2007 di Kota Singapura, Singapura. Pembuatan

framework MRA mengenai Jasa Ahli Survey ini bertujuan untuk: 74

a) Mengidentifikasi kerjasama dan menciptakan basis untuk pihak yang

berwenang untuk memantau saat bernegosiasi MRA diantara satu sama lain

untuk memfasilitasi Pengakuan bersama/Mutual Recognition dan mobilitas

para ahli survey seperti yang diakui bahwa para Negara anggota ASEAN

mungkin memiliki nomenklatur/system pemberian istilah dan

persyaratan-persyaratan tertentu.

b) Untuk bertukar informasi demi memajukan kepercayaan dan mengadopsi

praktek terbaik dalam standar dan kualifikasi survey.

5. Accountancy Services (Jasa Akuntan)

Mutual Recognition Arrangements mengenai Jasa Akuntansi dibuat pada

tanggal 13 November 2014 di Cha-am,Thailand..Pembuatan MRA mengenai

Jasa Akuntansi ini bertujuan untuk: 75

a) Memfasilitasi mobilitas jasa akuntan Negara anggota ASEAN

74

ASEAN, ASEAN Framework Arrangement for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications, 2007, diakses pada tanggal 19 Juni 2017.

75

ASEAN, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Accountancy Services, 2014,

(12)

b) Meningkatkan rezim ketentuan di jasa akuntansi Negara anggota ASEAN

c) Untuk saling bertukar informasi Untuk mempromosikan penerapan praktik

terbaik dalam standar dan kualifikasi;

6. Medical Practitioners (Jasa Tenaga Dokter)

Mutual Recognition Arrangements mengenai tenaga Dokter dibuat pada tanggal 26 Februari 2009 di Cha-am, Thailand. Pembuatan MRA mengenai

tenaga Dokter ini bertujuan untuk: 76

a) Memfasilitasi mobilitas para Praktisi dokter;

b) Saling menukar informasi dalam rangka memajukan standar dari edukasi

dibidang kedokteran, praktik dan kualifikasi profesional.

c) Untuk menyesuaikan jiwa kooperasi ASEAN berdasarkan distribusi

sumber daya dan keuntungan yang adil melalui riset-riset kolaboratif; dan

d) Untuk mendukung, memfasilitasi, dan membuat Pengakuan bersama

(Mutual Recognition) di profesi kedokteran dan mempersiapkan standar dan komitmen mengenai transfer teknologi diantara Negara anggota

ASEAN.

7. Dental Practitioners (Jasa Tenaga Dokter Gigi)

Mutual Recognition Arrangement mengenai profesi Jasa Tenaga Dokter gigi

dibuat pada tanggal 26 Februari 2009 di Cha-am, Thailand. Pembuatan MRA

ini bertujuan untuk: 77

a) Memfasilitasi mobilitas para Praktisi dokter gigi;

76

ASEAN, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Medical Practitioners, 2009,

diakses pada tanggal 19 Juni 2017.

77

ASEAN,ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners, 2009,

(13)

b) Saling menukar informasi dalam rangka memajukan standar dari edukasi

dibidang kedokteran gigi.

c) Untuk mempromosikan penerapan praktik terbaik dalam standar dan

kualifikasi; dan

d) Untuk menyediakan kesempatan untuk pembangunan kapasitas dan

pelatihan praktek kedokteran gigi.

8. Tourism Professionals (Jasa Tenaga Pariwisata)

Mutual Recognition Arrangement mengenai jasa Tenaga Pariwisata dibuat

pada tanggal 9 November 2012 di Bangkok, Thailand. Tujuan pembuatan

MRA ini adalah: 78

a) Memfasilitasi mobilitas para tenaga pariwisata; dan

b) Untuk saling bertukar informasi mengenai praktik terbaik di Pendidikan

berbasis kompetensi dan pelatihan untuk tenaga pariwisata dan untuk

menciptakan kesempatan kooperasi dan pembangunan kapasitas diantara

Negara anggota ASEAN.

Pemfasilitasi MRAs di kedelapan Profesi pada dasarnya memiliki tujuan

yang sama, yaitu untuk meningkatkan mobilitas para pekerja profesional, saling

bertukar informasi diantara para pekerja profesional, dan mendorong penerapan

praktik terbaik (Best Practices) diantara para pekerja profesional.

Hasil akhir yang diharapkan dari adanya Mutual Recognition Arrangement

adalah semakin meningkatnya standar kemampuan tenaga profesional dari

Negara-negara ASEAN, semakin dekatnya hubungan antar Negara karena adanya

78

ASEAN, ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Professional, 2012,

(14)

pembauran budaya, dan meningkatkan efektivitas dari praktik kedelapan

pekerjaan tersebut.

B. Kedudukan MRAs Dalam Perspektif Hukum Internasional.

1. MRAs Sebagai Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional pada hakikatnya merupakan spesies dari genus

yang berupa perjanjian pada umumnya. Kata “Perjanjian” menggambarkan

adanya kesepakatan antara anggota masyarakat tentang suatu keadaan yang

mereka inginkan, mencerminkan hasrat mereka, dan memuat tekad mereka untuk

bertindak sesuai dengan keinginan dan hasrat mereka. Kata “Perjanjian” yang

diikuti kata sifat “Internasional”, yang merujuk pada perjanjian yang dibuat oleh

para aktor yang bertindak selaku subjek hukum internasional. Juga kata

“Internasional” disini untuk menggambarkan bahwa perjanjian yang dimaksud

bersifat lintas-batas suatu Negara. Para pihak masing-masing bertindak dari

lingkungan hukum nasional yang berbeda. Dengan demikian, perjanjian

internasional merupakan semua kesepakatan yang dibuat oleh Negara sebagai

salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan

berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.79

Selain pengertian dari Terminologi hukum internasional, ada juga

pengertian dari para ahli di Indonesia, seperti pendapat Mochtar Kusumaatmadja

yang menyatakan bahwa:

“Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota

masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.”80

79

Wagiman, Op Cit, hal 356.

80

(15)

Selain Mochtar Kusumaatmadja, Boer Mauna juga memaparkan pengertian

perjanjian internasional. Pendapat Boer Mauna menkombinasikan dari Konvensi

Wina 1969 dan dari Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang nomor 37 tahun 1999

mengenai hubungan luar negeri, yaitu:

“Perjanjian Internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh Negara

sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat

hukum.”81

Jan Klabbers, melalui bukunya International Law juga membabarkan konsep dari perjanjian internasional sendiri,dan ia juga mengkaitkannya dengna

Konvensi Wina. Jan mengatakan:

“Bahwa Konvensi Wina mengakui dan menjabarkan sebuah Perjanjian

Internasional sebagai perjanjian dalam bentuk yang tertulis, dibuat oleh Negara,dan diperintah oleh hukum internasional, apapun jenis instrumen yang terkait didalamnya, maupun proses penunjukan mereka, Karena itulah perjanjian dapat terbentuk dari berbagai bentuk, dari perjanjian yang benar-benar serius atau kekuatan mengikatnya sangat kuat (seperti Piagam dan Kovenan), perjanjian yang kekuatan mengikatnya adalah rata-rata (seperti Perjanjian, Konvensi, Pakta, Protokol), maupun perjanjian yang tidak terlalu mengikat (seperti Agreed Minutes, Pertukaran Nota,

Memorandum of Agreement or Understanding). ”82

Terdapat dua aturan internasional yang digunakan utuk mengatur

pembuatan perjanjian internasional, yaitu Vienna Convention on the Law of

Treaties 1969 dan Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986.

Perbedaan diantara kedua konvensi ini hanya terletak pada subjek pembuat

perjanjian internasional sehingga beberapa asas atau prinsip umum pembuatan

perjanjian internasional adalah kurang lebih sama.

81

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan,dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, PT Alumni, Bandung, 2013, hal 85.

82

(16)

Perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina

1986 adalah:

Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mengatur pengertian dari “Treaty” yaitu:

“Treaty means an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its

particular designation;”83

Pasal 2 dari Konvensi Wina 1986 juga mengatur pengertian dari “Treaty”:

“Treaty means an international agreement governed by international law and

concluded in written form:

(i) Between one or more States and one or more International Organizations; or

(ii)Between International Organizations”84

Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa kedua pengertian dari perjanjian

internasional sangat mirip, perbedaannya hanya di subjek perjanjian

internasionalnya, dimana di Vienna Convention 1969 subjek perjanjian

internasionalnya hanyalah Negara sedangkan di Vienna Convention 1986

Organisasi Internasional juga termaksud didalam subjek perjanjian internasional.

ASEAN adalah organisasi Regional, maka ASEAN berisi Negara-negara

anggota yang terikat satu kesamaan, yaitu Wilayah. perjanjian internasional yang

dibuat oleh ASEAN sebagian besar berlaku hanya di Negara-negara anggota

ASEAN saja, seperti TAC(Treaty of Amity and Cooperation) dan lain lain. Oleh Karena itu, sebagian unsur dari perjanjian internasional didalam tubuh ASEAN

lebih tepat dimasukkan ke dalam pengertian Treaty yang dipaparkan di Vienna

Convention 1969. Namun ASEAN juga ada melakukan rapat dan membuat

83

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, diakses pada tanggal 19 Juni 2017.

84

(17)

perjanjian dengan organisasi Regional maupun Internasional lainnya, seperti

Dengan PBB dan European Union (Uni Eropa) maupun dengan Negara anggota sendiri seperti Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia

and the ASEAN relating to the Privileges and Immunities of the ASEAN Secretariat, Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the ASEAN Inter Parliamentary Organization relating to the Privileges and

Immunities of the AIPO Permanent Secretariat in Jakarta, dan masih banyak lagi sehingga tidak salah juga apabila ASEAN diartikan dengan menggunakan Vienna

Convention 1986, Karena ada juga perjanjian antara Negara dengan ASEAN dan antara ASEAN dengan PBB dan Uni Eropa.

Mutual Recognition Arrangements/MRAs ASEAN adalah salah satu

program/perjanjian internasional yang dibuat dan dijalankan oleh Negara-negara

anggota ASEAN sendiri. Dengan kata lain, MRAs lebih tepat apabila digolongkan

sebagai jenis perjanjian internasional yang diatur di Konvensi Wina 1969.

MRAs dibidang jasa juga merupakan program ASEAN yang bergerak

dibawah AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) dimana menurut

Boer Mauna, Pengertian Agreement adalah:

“Agreement di Indonesia lebih dikenal dengan nama Persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan umumnya mengatur materi yang cakupannya lebih kecil daripada materi yang diatur pada traktat. Saat ini ada kecenderungan untuk mempergunakan kata persetujuan dalam perjanjian bilateral dan secara terbatas pada perjanjian multilateral. Terminologi Persetujuan juga umumnya mengatur mengenai materi kerjasama di bidang ekonomi, kebudayaan, teknik, dan ilmu pengetahuan. Persetujuan juga digunakan pada perjanjian yang menyangkut masalah pencegahan pajak berganda, perlindungan investasi/penanaman modal, atau bantuan

keuangan”85

85

(18)

Sedangkan AFAS sendiri adalah salah satu program AFTA yang bergerak di

bidang jasa.

Apabila dilihat dari teori Integrasi Ekonomi (Economic Integration), maka

ada enam (6) tahapan kerja sama perdagangan untuk menuju integrasi ekonomi,

yaitu:

A. Preferential Trading Area (PTA)

Merupakan kelompok perdagangan yang memberikan keringanan terhadap jenis

produk tertentu kepada Negara anggotanya, dilaksanakan dengan cara mengurangi

tarif namun tidak menghapus tarif sampai menjadi nol (0). PTA dapat muncul

melalui perjanjian/kesepakatan dagang.

B. Free Trade Area (FTA)

Tujuan dari FTA adalah untuk menurunkan hambatan perdagangan sehingga

volume perdagangan meningkat Karena spesialisasi, pembagian kerja, dan yang

terpenting melalui teori keuntungan komparatif.

C. Custom Union

Custom union adalah suatu perjanjian dagang dimana sejumlah Negara

memberlakukan perdagangan bebas diantara mereka dan menerapkan serangkaian

tarif bersama terhadap barang dari Negara lain. Negara anggota menerapkan

kebijaksanaan perdagangan luar negeri bersama, tetapi dalam kasus tertentu

(19)

D. Single Integrated Market (Common Market)

Satu pasar tunggal bersama adalah blok dagang yang merupakan penambahan dari

Custom Union dengan kebijakan bersama terhadap produk, dan pergerakan yang

bebas atau faktor produksi (modal dan tenaga kerja) dan wirausaha. Tujuannya

agara terjadi pergerakan bebas dari modal, tenaga kerja, barang, dan jasa diantara

Negara-negara anggota dan mempermudah efisiensi ekonomi.

E. Economic and Monetary Union

Merupakan blok dagang seperti pasar tunggal dengan kesatuan moneter untuk

semua Negara anggota.

F. Complete Economic Integration

Pada tahap ini, tidak lagi dibutuhkan kebijakan pengawasan ekonomi kepada

unit-unit yang bergabung, mereka telah menjadi satu kesatuan moneter dan fiskal

secara penuh.

Apabila kita lihat teori ini dengan kondisi ASEAN sendiri, sekarang

ASEAN masih berada diposisi transisi antara Free Trade Area dengan Custom Union, hal ini disebabkan ASEAN belum mempunyai mata uang bersama dan

sedang mengusahakan tarif bersama dan pasar tunggal untuk mencapai integrase

ekonomi yang lebih baik lagi dan sedang berusaha untuk menghilangkan

hambatan perdagangan, baik secara tarif maupun non-tarif.

Kesejahteraan ASEAN sendiri sebagai sebuah Free Trade Area akan

semakin meningkat apabila terjadi hubungan dagang yang insentif dikawasan

(20)

intensif, namun Negara anggota ASEAN lebih banyak berdagang dengan Negara

diluar FTA, akan terjadi penurunan volume perdagangan sehingga akan

menurunkan kesejahteraan masyarakat Negara anggota dalam ASEAN sendiri.

Untuk meningkatkan integrasi ekonomi ketingkat yang lebih tinggi lagi,

ASEAN memerlukan :

A. Tarif bersama dan Pasar Tunggal.

B. Mata Uang bersama.

C. Harmonisasi kebijakan Makroekonomi Nasional diantara Negara anggota.

Untuk memenuhi keperluan pertama yaitu Pasar Tunggal lah diciptakan

AFTA (ASEAN Free Trade Area) dan ASEAN Economic Community. AFAS, yang dibuat untuk memenuhi Pasar Tunggal dibidang Jasa/Services, dan MRAs yang

dibuat sebagai praktek/tindak lanjut dari AFAS dan mendukung salah satu pilar

utama pencapaian tujuan MEA sendiri yaitu Pasar Tunggal dan Basis Produksi

(Single Market and Production Base) yaitu Aliran bebas Tenaga Terampil (Free Flow of Skilled Labor).

MEA sendiri memiliki empat(4) Pilar utama, yaitu: 86

A. Pasar tunggal dan Basis Produksi (A Single Market and Production Base). B. Wilayah Ekonomi yang Kompetitif (A Competitive Economic Region).

C. Perkembangan Ekonomi yang adil (Equitable Economic Development). D. Integrasi dengan Ekonomi Global (Integration with the Global Economy).

86

Economy Watch, Four Pillars of the AEC and the looming Implementation Deadline,

(21)

Sedangkan untuk merealisasikan pilar pertama dari MEA sendiri, yaitu Pasar

Tunggal dan Basis Produksi, ada 5 lagi elemen inti yang harus dipenuhi, yaitu: 87 1. Aliran bebas Barang (Free Flow of Goods).

2. Aliran bebas Jasa (Free Flow of Services).

3. Aliran bebas Investasi (Free Flow of Investments).

4. Aliran bebas Tenaga Terampil (Free Flow of Skilled Labor).

5. Aliran bebas Modal (Free Flow of Capital).

Oleh Karena itu posisi MRAs yang bergerak di bidang jasa sebagai perjanjian

internasional ASEAN Sangatlah penting, Karena MRAs adalah realisasi dari

AFAS dan pendukung salah satu pilar MEA, yaitu Aliran Bebas Tenaga

Terampil/Free Flow of Skilled Labor.

Sebagai perjanjian internasional, tentu MRAs harus memenuhi unsur-unsur

yang harus dimiliki oleh sebuah perjanjian internasional, yaitu:

3. Mukadimah

Biasanya mukadimah suatu perjanjian mulai dengan menyebutkan Negara-negara

perserta. Perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam kerangka ASEAN pada

umumnya dimulai dengan:

“The Government of Brunei Darussalam, the Kingdom of Cambodia, the Republic of Indonesia, The Lao People’s Democratic Republic, Malaysia, the Union of Myanmar, the Republic of the Philippines, the Republic of Singapore, the Kingdom of Thailand, and the Socialist Republic of

Vietnam.”

Kadang-kadang mukadimah itu juga dimulai dengan jabatan dari wakil-wakil

yang ikut dalam perundingan. Mukadimah dari the ASEAN Declaration (Deklarasi

87

(22)

ASEAN/Deklarasi Bangkok) tanggal 8 Agustus 1967, Perjanjian yang mendirikan

ASEAN, dimulai dengan kata:

“The Presidium Minister for Political Affairs/Minister for Foreign Affairs of

Indonesia, the Deputy Prime Minister of Malaysia, the Secretary of Foreign Affairs of the Philippines, The Minister for Foreign Affairs of Singapore

and the Minister of Foreign Affairs of Thailand”

Namun seiring dengan perkembangan waktu, sekarang tidak lagi disebutkan para

pihak satu persatu tetapi sebagai contoh:

“We, the Foreign Ministers of the member countries of the Association of

Southeast Asian Nations”.

Selanjutnya, di Mukadimah juga berisi penjelasan-penjelasan spirit perjanjian. Di

dalamnya juga tercantum pernyataan-pernyataan umum yang kadang-kadang

merupakan program politik dari Negara-negara peserta. Namun dalam segi

hukum, mukadimah tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti isi perjanjian itu

sendiri sebagaimana yang dinyatakan oleh Mahkamah Internasional tahun 1984

dalam kasus kegiatan militer dan paramiliter Amerika Serikat di Nicaragua.

Mukadimah merupakan dasar moral dan politik dari ketentuan-ketentuan hukum

yang terdapat dalam batang tubuh suatu perjanjian.

Menurut hukum internasional, Mukadimah tidak memiliki kekuatan mengikat

walaupun mukadimah tersebut merupakan suatu unsur interpretatif dari

perjanjian. Namun, mukadimah tetap merupakan dasar moral dan politik dari

ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam batang tubuh seperti halnya

Piagam PBB.88

88

(23)

2. Batang Tubuh

Batang tubuh suatu perjanjian berarti isi perjanjian itu sendiri. Batang tubuh ini

terdiri dari Pasal-pasal yang kadang-kadang jumlahnya cukup banyak. Sebagai

contoh:

A. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 berisikan 85 Pasal.

B. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) berisikan

320 Pasal.

C. Masyarakat Ekonomi Eropa 1957 terdiri dari 248 Pasal.

D. Perjanjian Versailles 1919 terdiri dari 440 Pasal.89

3. Klausula-klausula Penutup

klausula penutup juga merupakan bagian dari batang tubuh.

Klausula-klausula tersebut bukan lagi mengenai isi pokok perjanjian tetapi mengenai

beberapa mekanisme pengaturan seperti mulai berlakunya, syarat-syarat

berlakunya, lama berlakunya perjanjian, amandemen, revisi, aksesi, dan

lain-lain.90

4. Annex

Batang tubuh suatu perjanjian juga dapat ditambah dan dilengkapi dengan

menggunakan Annexes. Annex berisi ketentuan-ketentuan teknik atau tambahan

mengenai satu Pasal atau keseluruhan perjanjian dan terpisah dari perjanjian.

Walau terpisah tetapi merupakan satu kesatuan dengan perjanjian dan

89

Ibid, hal 106.

90

(24)

mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan Pasal-pasal perjanjian. Biasanya

Annex disusun oleh para ahli dan bila dipisahkan dari perjanjian, itu semata-mata

untuk menghindarkan supaya perjanjian-perjanjian jangan terlalu tebal. Annex

bisa juga lebih dari satu, contohnya persetujuan Marakesh di Maroko, yang

membentuk Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) 15 April 1994 yang

memiliki 6 Annex yang terdiri dari berbagai Kesepakatan dan Memorandum di

samping Final Act yang berisikan 23 Keputusan dan pernyataan ditambah 1 Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding / MoU),

apabila kesemua memorandum ini disatukan dengan batang tubuh pastinya akan

terlalu tebal dan tidak praktis untuk dibaca.91

Keempat unsur ini harus ada di dalam setiap perjanjian internasional, tidak

terkecuali dalam MRAs (Mutual Recognition Arrangements) sebagai sebuah perjanjian internasional.

Berikut uraian mengenai keempat Unsur ini di Mutual Recognition Arrangement:

A. Mukadimah

Mukadimah ada di setiap Mutual Recognition Arrangements, dan sistematikanya selalu dimulai dengan penyebutan para Negara anggota, seperti “The Republic of

Indonesia, Lao people’s Democratic Republic, dan lain lain.” Kemudian disusul

dengan pernyataan khusus mengenai dasar pembuatan Mutual Recognition Arrangement ini.

91

(25)

B. Batang Tubuh

Batang tubuh di setiap perjanjian Mutual Recognition Arrangements terdiri dari delapan (8) hingga sepuluh (10) Pasal, dimana dipasal terakhir ditentukan

mengenai Final Provisions yang merupakan Klausula Penutup.

C. Klausula Penutup.

Klausula penutup berada di Pasal terakhir di setiap Mutual Recognition Arrangements, berisi berlakunya sebuah MRA, kriteria penghapusan sebuah

MRA, penyimpanan dokumen MRA, tanggal pembuatan, dan tandatangan para

pihak yang membuat.

D. Annex

Annex di Mutual Recognition Arrangements (MRAs) ditulis dengan nama

“Appendix” yang berisi otoritas yang berwenang dalam beroperasi di MRAs yang

terkait, dan teknis-teknis lainnya. Annex di MRAs memiliki lebih banyak isi

daripada batang tubuh MRAs itu sendiri.

Pembuatan perjanjian internasional apabila dilihat dari praktik beberapa

Negara pada dasarnya dibagi menjadi dua golongan, pada golongan pertama

terdapat perjanjian internasional yang dibuat dengan memenuhi tiga tahap

pembentukan, yaitu perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi dan pada

golongan kedua pembuatan perjanjian internasional hanya melewati dua tahap

yaitu perundingan dan penandatanganan. Biasanya golongan pertama ditujukan

(26)

badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power),

sedangkan perjanjian golongan kedua yang lebih sederhana sifatnya diadakan

untuk perjanjian yang tidak begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang

cepat seperti misalnya perjanjian perdagangan yang berjangka pendek.92

Untuk dapat menandatangani suatu perjanjian, diperlukan pihak yang

memiliki kekuatan Full Powers. Menurut Konvensi Wina Full Powers adalah

suatu dokumen yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili

Negaranya dalam berunding, menerima atau membuktikan keaslian naskah suatu

perjanjian, menyatakan persetujuan Negara untuk diikat suatu perjanjian atau

melaksanakan perbuatan lainnya sehubugan dengan suatu perjanjian.

Sedangkan menurut Pasal 7 Ayat 2 Konvensi Wina, Kepala-kepala

Negara, kepala-kepala Pemerintahan, dan Menteri-menteri Luar Negeri tidak

memerlukan Full Powers untuk semua tahap pembuatan Perjanjian termaksud

penandatanganan. Sebaliknya, Kepala-kepala Perwakilan Diplomatik dan

Wakil-wakil tetap pada Organisasi Internasional membutuhkan Full Powers untuk menandatangani suatu perjanjian kecuali dalam penerimaan atau pengesahan

naskah suatu perjanjian baik dalam kerangka Bilateral maupun Multilateral.93 Perjanjian internasional di Indonesia diatur di Undang-undang nomor 20

tahun 2004 mengenai Perjanjian Internasional dan Undang-undang no 37 tahun

1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Secara umum Mutual Recognition Arrangements (MRAs) adalah sebuah

kesepakatan internasional dimana dua atau lebih Negara setuju untuk mengakui

penilaian kesesuaian (conformity assessment) antara satu dengan yang lain. MRAs

92

Mochtar kusumaatmadja, Op.Cit, hal 119.

93

(27)

telah menjadi semakin umum sejak pembuatan World Trade Organization

(WTO). World Trade Organization, yang pada saat itu dinamakan Multilateral Trade Organization (MTO). Multilateral Trade Organizations dibentuk pada saat

dilakukan putaran Uruguay pada tahun 1986-1994, dimana hasil dari putaran ini,

yang dinamakan dengan perjanjian Marrakesh, dirumuskan rancangan untuk

mendirikan Multilateral Trade Organizations.94 MRAs telah disempurnakan praktiknya baik didalam maupun diantara berbagai blok-blok perdagangan,

termaksud di APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) maupun Uni Eropa

(European Union).

Pada awalnya Mutual Recognition Arrangements, yang diterapkan pada bulan November 1998 masih berfokuskan kepada produk barang, seperti saat

ditandatanganinya ASEAN Sectoral MRA on Electrical and Electronic Equipment

(ASEAN EE MRA) pada tanggal 5 April 2002 dan rancangan MRA tentang

produk kosmetik.95 Namun sekarang, Mutual Recognition Arrangements telah mencangkup sampai dengan sektor jasa, sebagai realisasi dari AFAS, dan untuk

Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Lingkup berlakunya program Mutual Recognition Arrangement ini tidaklah sama diantara blok-blok perdagangan. Hal ini Karena setiap blok-blok

perdagangan pastinya memiliki lingkup kerja sendiri. Biasanya lingkup

berlakunya Mutual Recognition Arrangements hanyalah berlaku di dalam

keanggotaan blok-blok perdagangan tersebut saja. Substansi yang diatur didalam

Mutual Recognition Arrangement juga berbeda, Karena setiap blok-blok

94

Sutiarnoto, Hukum Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional, Medan, USU Press, 2016.

95

(28)

perdagangan pastilah membuat perjanjian ini sesuai dengan kebutuhannya

sendiri-sendiri. Layaknya Blok perdagangan lainnya, ASEAN memiliki juga program

kerjasama ini. Program kerjasama ASEAN ini diciptakan sebagai tindak lanjut

dari AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services).

2. Kekuatan Mengikat MRAs

Mutual Recognition Arrangements (MRAs) adalah sebuah perjanjian

regional. Sebagai sebuah perjanjian regional, MRAs tunduk akan hukum

internasional. Begitu juga dengan Negara-negara yang berpartisipasi didalam

MRAs ini. Pada dasarnya sebuah Perjanjian Internasional dan regional berlaku

setelah ditandatangani oleh pihak yang memiliki Full Powers. Hak dan kewajiban dari pemegang Full Powers juga termaksud dengan kekebalan imunitasnya, orang

yang menandatangani sebuah perjanjian internasional juga harus

mempertimbangkan kondisi-kondisi apakah perjanjian tersebut dapat

dilaksanakan atau tidak.96

Apabila kita melihat dari perjanjian internasional lainnya yang dengan

khusus mengatur mengenai hubungan antara Negara dengan organisasi

internasional, yaitu Vienna Convention On The Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations 1986,

maka dapat dilihat dari Pasal keempatnya yang menyatakan bahwa Konvensi

Wina ini bersifat non-retroaktif, dengan kata lain Konvensi Wina hanya dapat

96

(29)

berlaku terhadap perjanjian internasional yang dibuat setelah Konvensi Wina ini

berlaku.97

Dengan kata lain, Mutual Recognition Arrangements ASEAN merupakan subjek

dari Konvensi Wina 1986.

Pasal 5 dari Konvensi wina ini menyatakan bahwa Konvensi ini berlaku

secara umum, tanpa melihat kekhususan dari perjanjian internasional yang dibuat.

Kemudian Pasal 9 dari Konvensi ini menyatakan dengan tegas bahwa agar

perjanjian internasional dapat berlaku, harus ada persetujuan dari seluruh pihak,

baik Negara maupun organisasi internasional. Apabila kita kaitkan dengan MRAs,

pada dasarnya semua Negara setuju akan diberlakukannya MRAs, namun tidak

semua Negara menjalankannya, sebab dalam perjanjian MRAs tersebut,dengan

jelas ditetapkan bahwa hanya Negara yang ingin mengikuti program MRAs

sajalah yang terikat akan MRAs ini. Oleh karena itu MRAs berlaku sesuai dengan

Konvensi Wina 1986, namun tidak dipaksakan oleh semua Negara anggota.98 Pasal 14 dari Konvensi Wina menyatakan bahwa sebuah persetujuan suatu

Negara terhadap perjanjian internasional harus dinyatakan dalam ratifikasi. Bicara

tentang Pasal ini, Indonesia telah meratifikasi MRAs melalui Keputusan Presiden

nomor 82 tahun 2002 tentang Pengesahan ASEAN Framework on Mutual

Recognition Arrangements (Perjanjian kerangka ASEAN tentang Pengaturan Saling Pengakuan). 99

Pasal 61 dari Konvensi wina menyatakan bahwa, apabila suatu Negara

merasa tidak sanggup untuk menjalankan perjanjian internasional tersebut, Negara

97

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention on the law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations,Op.Cit.

98

Ibid.

99

(30)

tersebut dapat mengundurkan diri dari perjanjian internasional tersebut. Dalam

MRAs, Pasal 61 ini adalah tidak terlalu dibutuhkan, sebab telah dinyatakan

bahwa semua Negara anggota ASEAN berhak untuk mengikuti MRAs apabila

Negara tersebut merasa cukup mampu, dengan kata lain, Negara yang tidak

mampu menjalankannya tidak dipaksakan untuk mengikutinya. Pasal 62 Konvensi

Wina menyatakan bahwa perubahan kondisi tertentu yang tidak diprediksi tidak

dapat menjadi dasar penolakan dari perjanjian internasional, kecuali apabila

kondisi itu menjadi dasar persetujuan pihak tersebut,dan akibat dari perubahan

tersebut merubah kewajiban yang harus dilakukan pihak tersebut.100

Pasal 63 menyatakan bahwa penarikan duta ataupun konsul dari suatu

Negara tidak menjadi dasar akan hilangnya kewajiban suatu pihak dalam

memenuhi perjanjian internasional tersebut.101

Pada dasarnya, semua Pasal di Konvensi Wina 1986 haruslah dipatuhi

oleh Negara anggota ASEAN dan ASEAN sendiri, namun diatas telah diuraikan

beberapa Pasal penting yang merupakan dasar penting dalam kekuatan mengikat

perjanjian internasional, termaksud MRAs.

Selain Konvensi Wina,Kekuatan mengikat MRAs juga diatur di Perjanjian

MRAs sediri,yang pada intinya menyatakan bahwa MRAs hanya mengikat pada

Negara yang sanggup dan mau berpartisipasi didalamnya.

100

Ibid.

101

(31)

C. Akibat Hukum MRAs Bagi Negara Anggota ASEAN

1.Perbandingan MRAs ASEAN dengan program serupa lainnya.

Mutual Recognition Agreements (MRA) secara umum telah dikenal jauh

sebelum MRAs ASEAN Terbentuk. Sejak tahun 1973, melalui perundingan WTO

di tokyo, unsur-unsur MRA sendiri telah terbentuk. Terminologi ini dikenalkan

oleh WTO (World Trade Organization). Di badan WTO sendiri, dengan nama

yang berbeda kala itu. MRA kala itu dibuat dengan nama “The Plurilateral Agreement on Technical Barriers to Trade” atau lebih dikenal dengan nama

Standard Code”. Standard code ini berisi peraturan yang mengatur mengenai

teknis, persesuaian standar-standar yang diakui oleh Negara-negara anggota WTO

sendiri.

Kemudian, pada tahun 1986 hingga tahun 1994, dibuat perundingan

GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) kedelapan yang dihadiri oleh

123 Negara sebagai “Pihak-pihak yang berkepentingan”. Uruguay round ini bertujuan untuk:

1. Menurunkan subsidi dibidang pertanian.

2. Mengangkat hambatan dibidang investasi luar negeri.

3. Memulai proses untuk membuka perdagangan di bidang jasa.

4. Memasukkan perlindungan hak milik intelektual.

Dalam Putaran perundingan Uruguay ini juga dibentuk salah satu dari

(32)

dengan Agreement on Technical Barriers to Trade, yang pada dasarnya dibuat

untuk: 102

1. Semakin memperluas objektif GATT 1994.

2. Mendorong perkembangan dari standar internasional dan sistem Conformity Assessment.

3. Memastikan aturan dan standar teknis, termaksud persyaratan di Packaging,

Marking, dan Labeling, dan prosedur untuk Conformity Assessment dengan aturan teknis dan standar tidak akan memberi hambatan yang tidak diperlukan

dalam perdagangan internasional.

Tujuan kedua dan ketiga dari WTO inilah yang sekarang sering diikuti dan

dipakai oleh berbagai Organisasi Internasional lainnya untuk membuat sebuah

kualifikasi/standar bagi pemenuhan standar liberalisasi perdagangan internasional

di organisasi yang bersangkutan, termaksud ASEAN.

Sampai sekarang, sudah ada beberapa program dengan tujuan yang sama

namun nama yang berbeda dengan MRA, yang dibuat oleh berbagai organisasi

internasional, seperti:

a. Uni Eropa (European Union)

Dikenal dengan nama Mutual Recognition Agreement (MRA) untuk

hubungan keluar,dan Mutual Recognition (MR) untuk hubungan internal.

102

World Trade Organizations, Marrakesh Agreement diambil dari website

(33)

MRA di Uni Eropa digunakan hanya untuk memajukan perdagangan

barang diantara Uni Eropa dengan Negara-negara partner. seperti yang dinyatakan

di website Europa sendiri:

“MRA in European Union is used to promote trade in goods between EU

and third countries and facilitate market access,they are bilateral agreements,and aim to benefit industry by providing easier access to

conformity assessment.”103

Namun, Uni Eropa memiliki perjanjian bersama yang dinamakan Mutual

Recognition.Mutual recognition adalah salah satu dari tiga cara untuk merealisasikan pergerakan bebas barang di pasar internal uni eropa, yaitu

liberalisasi, approximation, dan Mutual Recognition.104

Apabila membandingkan MRA (Mutual Recognition Agreement) Uni Eropa dengan MRAs (Mutual Recognition Arrangements) ASEAN, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa perbedaan diantara keduanya adalah bahwa MRA di

Uni Eropa dikhususkan antara Uni Eropa dengan Negara ketiga, sedangkan

MRAs di ASEAN ditujukan untuk anggota internal ASEAN.

Namun apabila kita bandingkan MRAs (Mutual Recognition Arrangements) ASEAN dengan MR (Mutual Recognition) Uni Eropa, ditemukan

persamaan, yaitu:

1. Baik MRAs ASEAN maupun MR Uni eropa sama-sama dikhususkan untuk

anggota internal organisasi.

103

Europa, Mutual Recognition Agreements – European Commission, diambil dari website https://ec.europa.eu/growth/single-market/goods/international-aspect/mutual-recognition-agreements_en, diakses pada tanggal 23 April 2017.

104

Jacques Pelkmans, Mutual Recognition in Goods and Services:An Economic

Perspective, European Network of Economic Policy Research Institutes, Working Paper

(34)

2. Baik MRAs ASEAN maupun MR Uni eropa sama-sama mengatur mengenai

pengakuan bersama dibidang barang dan jasa .

Selain persamaan diatas, MRAs ASEAN dengan Mutual Recognition Uni

eropa juga memiliki beberapa perbedaan, yaitu:

1. MR di Uni eropa direalisasikan dengan cara menetapkan prinsip perjanjian

yang benar-benar memaksa dibidang pergerakan bebas, prinsip yang tidak

ditemui di aturan dagang internasional mengenai integrasi ekonomi lainnya,

termaksud ASEAN.105

2. di Uni Eropa, Negara anggota wajib memasukkan dalam aturan nasional

mereka, Pasal mengenai mutual recognition, agar produk dari Negara lain dapat masuk dan sesuai dengan aturan nasional di Negara anggota lainnya106, sedangkan di ASEAN hal ini tidak harus dikenakan kepada semua Negara

anggota, hanya dikenakan kepada Negara anggota yang sanggup/mampu

menjalankan MRAs tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan di buku

guidelines for the development of mutual recognition arrangements, dimana 3. MR di Uni Eropa adalah sejajar untuk semua Negara, sedangkan MRAs di

ASEAN memiliki beberapa perbedaan, sesuai dengan kondisi Negara anggota,

seperti Negara dengan pertimbangan khusus (Laos, Myanmar, Kamboja,

Vietnam).107 Contohnya perdagangan bebas total ASEAN ditargetkan akan terbentuk pada tahun 2010 bagi ASEAN-6 dan tahun 2015 bagi ASEAN-4

ASEAN, Guidelines for the Development of Mutual Recognition Arrangements, Op. Cit, hal 17.

108

(35)

4. Di MR Uni Eropa dengan MRAs ASEAN di sektor barang, Menurut laporan

Atkins untuk review pasar tunggal (Atkins, 1998), diperkirakan bahwa hampir

50% barang dagang didalam Uni Eropa adalah subjek dari Mutual Recognition

dan sisanya adalah subjek dari integrasi ekonomi lainnya. dari 50% yang

menjadi subjek MR, 20% adalah barang yang tidak diatur, seperti sendok teh,

dan 30% lainnya adalah yang diatur secara resmi, seperti Bir, sedangkan di

1998 ASEAN Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangements

dinyatakan bahwa sektor pengembangan MRAs salah satunya adalah jumlah

volume dagang intra-ASEAN dan 20 grup produk prioritas, dan didalam

perkembangan MRAs sendiri harus ada dua belas sektor integrasi prioritas

sedangkan di Uni Eropa, sudah 50% barang dagang didalam uni eropa yang

menjadi subjek dari Mutual Recognition/MR, sedangkan di ASEAN, dinyatakan bahwa kesemua volume dagang intra-ASEAN yang merupakan

bagian dari dua belas sektor prioritas integrasi adalah bagian dari MRAs

ASEAN.

5. Perbedaan MR Uni Eropa dengan MRAs ASEAN di sektor jasa, adalah bahwa

MR di Uni Eropa Jasa dibagi menjadi Jasa yang dapat ditukar (Tradeable) dan yang tidak dapat ditukar (Non-tradeable), jasa yang tidak dapat ditukar adalah

jasa pemerintahan, jasa lokal, semua pendidikan jarak dekat, dan sebagian

besar jasa kesehatan. sisanya dapat ditukar, sedangkan MRAs ASEAN di

bidang jasa, hanya mencangkup 8 profesi saja.

b. Komunitas Afrika Timur (East African Community)

Kerjasama dibidang jasa juga dikenakan di Komunitas Afrika Timur,

(36)

Antara Mutual Recognition Agreements dari East African Community

dengan Mutual Recognition Arrangements ASEAN terdapat beberapa persamaan dan perbedaan, yaitu:

Persamaan:

1. MRAs ASEAN dan MRA EAC sama-sama mempermudah arus masuk barang

dan jasa diantara Negara-negara anggota

2. ASEAN dan EAC sama-sama mengatur Perjanjian mengenai profesi Insinyur

Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa MRAs ASEAN baik di bidang

barang maupun jasa lebih luas dari MRA EAC, dimana MRAs ASEAN di bidang

barang mengatur mengenai perdagangan intra-ASEAN dan 20 grup produk

prioritas, sedangkan MRA EAC hanya mengatur mengenai produk kedokteran

hewan imunologis, dan MRAs ASEAN di bidang jasa mengatur mengenai

peningkatan kooperasi di 8 profesi utama ASEAN, sedangkan MRA EAC

mengatur kooperasi hanya di 3 profesi, yaitu Insinyur, Ahli kedokteran hewan,

dan Pengacara.

c. Mercado Comum del sur (Mercosur),atau Southern Common

Market

Mercosur adalah blok sub-regional yang berisi Negara-negara anggota dari

Amerika Selatan. Dengan lima (5) Negara anggota penuh (full members) yaitu Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay, dan Venezuela, dengan Bahasa resmi

spanyol, portugis, dan guarani.

(37)

tahun 1994 dibuat Protocol of Ouro Preto yang berisi struktur institusional

Mercosur.

Mercosur membuat perjanjian kerjasama dibidang Jasa dengan nama

Protocol of Montevideo on Trade in Services.” Pada tanggal 15 Desember 1997,

dengan 4 anggota terkait, yaitu Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay.

Sama seperti AFAS, Protokol Montevideo ini juga mengikuti contoh

GATS. Protokol ini memiliki sebelas (11) sektor grup yang dibentuk di Services Sectoral Classification List (SSCL), yang akan difokuskan realisasinya diantara

kesemua Negara anggota Mercosur.

Pada tahun 2002, Mercosur juga membuat sebuah daerah yang bernama

Free Residence Area”, daerah dimana warga dari salah satu Negara anggota

Mercosur dapat tinggal di Negara lainnya dan bekerja tanpa perlu menggunakan

visa, Negara anggota Mercosur juga membawa lencana Mercosur disertai passport

Negaranya.

Komitmen pembuatan Free Residence Area ini dikuatkan dengan pembuatan kesepakatan Mercosur Residence Agreement. Namun Mercosur

Residence Agreement berbeda dengan Mutual Recognition Arrangements

ASEAN. Dalam Mercosur Residence Agreement, para pencari kerja disediakan

tempat tinggal sementara selama dua tahun kemudian diganti menjadi tempat

tinggal permanen, namun pencari kerja tersebut harus mencari kerja sendiri.

Sedangkan dalam MRAs, ASEAN langsung memberikan pekerjaan kepada warga

Negara yang berkualifikasi untuk mengikuti MRAs dan telah mendaftar, namun

(38)

Apabila dibandingkan dengan ASEAN, Mercosur memiliki jumlah lingkup

Jasa yang lebih banyak daripada ruang lingkup jasa di ASEAN. Ada Delapan(8)

sektor jasa yang diliberalisasikan di ASEAN, sedangkan di Mercosur, ada sebelas

sektor grup.

2. Akibat Hukum MRAs bagi Negara Anggota ASEAN.

Dalam Realisasi dari MRAs ini sebagai perjanjian internasional, perlu

dilihat asas-asas berikut:

1. Asas Kepentingan Umum

Menurut asas ini, demi melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan

masyarakat, setiap Negara dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan dan

peristiwa yang berkaitan dengan kepentingan umum

2. Pacta Sunt Servanda

Asas ini menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat wajib ditaati oleh

pihak-pihak yang membuatnya.

3. Equality rights

Asas ini menyatakan bahwa setiap Negara yang mengadakan hubungan kerjasama

berkedudukan sama.

4. Asas Resiprositas (Reciprocity Principle)

Asas ini menyatakan bahwa tindakan suatu Negara terhadap Negara lainnya dapat

dibalas dengan setimpal, baik tindakan negatif, maupun positif. Asas ini biasanya

dikenal dengan nama Asas Timbal Balik.

5. Asas Courtesy

Menurut asas ini, masing-masing Negara harus saling menghormati dan menjaga

(39)

6. Asas Rebus Sic Stantibus

Asas ini menyatakan bahwa perjanjian dapat diputuskan secara sepihak apabila

terdapat perubahan yang mendasar/fundamental dalam keadaan yang bertalian

dengan perjanjian internasional yang telah disepakati.

7. Asas Teritorial

Asas territorial didasarkan pada kekuasaan Negara atas wilayahnya, dimana asas

ini menyatakan bahwa Negara memiliki kewenangan untuk melaksanakan hukum

bagi setiap perbuatan melanggat hukum diwilayahnya.

Dan berikut diuraikan penjelasan mengenai ketujuh Asas-asas yang perlu

diperhatikan dalam MRAs ini:

1. Asas Kepentingan Umum

Demi kelanjutan kepentingan umum, bisa saja suatu Negara menyesuaikan diri

dengan perubahan/reservasi beberapa peraturan, termaksud peraturan yang

terdapat pada suatu perjanjian internasional (MRAs). Asas ini penting demi

kelanjutan hidup suatu Negara sebab perjanjian internasional (apalagi MRAs yang

tujuan pembuatannya untuk pembauran masyarakat antarnegara anggota) bisa saja

menimbulkan Culture Shock dan/atau bentrokan kepentingan. Apabila yang timbul adalah Culture Shock, maka masih mudah untuk diatasi, namun apabila

benturan kepentingan yang terjadi, bisa saja mengacaukan situasi politik maupun

ekonomi di suatu Negara.

2. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini dipakai bukan hanya di hukum internasional saja, namun juga di Hukum

(40)

seseorang, sedangkan Asas Pacta Sunt Servanda di hukum internasional mengatur

kewajiban suatu Negara. Asas ini menyatakan bahwa setiap perjanjian

internasional harus dipatuhi/ditaati oleh pihak yang membuatnya, dengan kata

lain, aturan MRAs harus ditaati dan dipatuhi oleh Negara-negara anggota ASEAN

yang mengikutinya. Perlu diketahui bahwa MRAs diakui oleh semua Negara

anggota ASEAN, namun hanya ditaati apabila Negara anggota ASEAN

berpartisipasi /mengikuti program MRAs itu sendiri, oleh karena itu, anggota

ASEAN yang belum siap/belum berpartisipasi di MRAs tidak perlu mematuhi

aturan di MRAs. Dengan kata lain, walau suatu Negara merupakan Negara

anggota ASEAN, belum tentu berarti bahwa ia berpartisipasi di MRAs.

C. Asas Kesamaan (Equality Rights)

Asas Kesamaan (Equality Rights) menyatakan bahwa setiap Negara yang membuat sebuah perjanjian internasional, dianggap mempunyai kedudukan yang

sama, oleh Karena itu, di setiap perjanjian internasional yang dibuat di ASEAN

(Termaksud MRAs), para anggotanya berkedudukan sama, tidak dilihat dari

“siapa pendirinya,siapa yang masuk lebih dahulu” dan sebagainya.

4. Asas Resiprositas

Asas ini juga dikenal secara umum bukan hanya di hukum internasional, maupun

dikenal juga di Hukum Pidana. Pengertiannya pada hukum Pidana adalah bahwa

dapat dilihat apa hasil dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang,

apakah benar dari tindakan pidana seseorang membuahkan hasil tersebut.

Sedangkan dalam Hukum Interasional, pengertian Asas Resiprositas adalah sama

(41)

bahwa apapun tindakan yang diterima oleh suatu Negara, dapat dibalas kembali

oleh Negara yang menerima tindakan tersebut, dengan kata lain, Negara dapat

membalas apapun yang diterima dari Negara lain. Asas ini tidak harus selamanya

dilihat dari sisi yang negatif (seperti agresi militer), namun dalam hal positif,

seperti misalnya dalam MRAs, suatu Negara yang mengirimkan tenaga

professionalnya dapat mendapat tenaga professional dari Negara lain.

5. Asas Kesopanan/Courtesy

Dalam pelaksanaan MRAs, setiap Negara anggota yang melaksanakan MRAs

harus saling menghormati satu sama lain dan menjaga kehormatan Negara

anggota lainnya. Asas ini adalah asas yang paling umum dan paling dasar bagi

hubungan suatu Negara dengan Negara lainnya. Tanpa adanya asas ini, tidak akan

terjadi hubungan Negara yang menguntungkan, sehat dan berjangka panjang.

6. Asas Rebus sic Stantibus

Asas ini menyatakan bahwa apabila ada isi dari MRAs yang diubah oleh salah

satu Negara anggota/pihak, tanpa persetujuan oleh Negara anggota lainnya, maka

Negara anggota lainnya dapat memutuskan kerjasama dalam MRAs itu sendiri.

Namun di Pasal bagian Amandments di MRAs ini sendiri dinyatakan bahwa

modifikasi/perubahan melalui amandemen hanya dapat dilakukan bersama,

(42)

7. Asas Teritorial

Asas ini menyatakan bahwa Negara memiliki kewenangan untuk memproses

segala perbuatan melawan hukum yang terjadi di Negaranya (Termaksud

perbuatan melawan hukum yang dibuat oleh Tenaga Profesional Asing) Untuk

Asas ini telah dengan lengkap dijelaskan dan diuraikan di MRAs, dimana di

dokumen MRAs, dinyatakan bahwa seorang tenaga professional harus “Be Bound

by prevailing laws and regulations of the Host Country” atau “Terikat pada

hukum dan regulasi di Negara penerima”.

Selain asas umum ini, di Pasal terakhir/bagian klausula penutup

dinyatakan bahwa setiap Negara anggota ASEAN yang ingin mengikuti program

ini harus berkoordinasi dengan sekretaris jendral ASEAN, yang menyatakan

bahwa kekuatan mengikat MRAs hanya berlaku bagi Negara-negara yang

berpartisipasi didalamnya. Hal ini mendukung penjelasan di Asas Pacta Sunt

Servanda diatas.

Pernyataan di bagian klausula penutup ini sangat penting, sebab tidak

semua Negara anggota ASEAN memiliki kapasitas yang sama untuk menjalankan

Mutual Recognition Arrangements (MRAs) ASEAN ini. Seperti di empat Negara

dengan pertimbangan khusus (Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam).

Konvensi Wina 1986 juga menyatakan beberapa peraturan yang harus

dipatuhi oleh ASEAN beserta Negara anggotanya dalam menjalankan perjanjian

internasional, seperti Pasal 19-23 yang merupakan dasar hukum dari reservasi,

Pasal 26 yang mengatur tentang asas Pacta Sunt Servanda, Pasal 31 yang

(43)

internasional, Pasal 44 yang menyatakan bahwa pengakhiran perjanjian

internasional hanya dapat dilakukan bersama, Pasal 53 yang menyatakan bahwa

perjanjian internasional menjadi tidak valid apabila bertentangan dengan hukum

internasional umum, dan Pasal lainnya yang juga penting untuk dinyatakan (Pasal

40, Pasal 27, Pasal 33,Pasal 49 dan 50, dan lain-lain.)109

109

Referensi

Dokumen terkait

Kesepakatan pelaksanaan ASEAN Economic Community pertama kali termuat dalam Bali Concord II yang dihasilkan melalui KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003, dan Cetak Biru

KAJIAN TERHADAP KEKUATAN MENGIKAT ASEAN MUTUAL LEGAL ASSISTANCE TREATY (AMLAT) BAGI NEGARA ANGGOTA ASEAN SEBAGAI MEKANISME PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN

Penelitian hukum ini bertujuan untuk memahami secara mendalam mengenai urgensi pengaturan cross border insolvency di kawasan ASEAN dalam rangka mewujudkan ASEAN Economic

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan mengenai investasi langsung dalam rangka ASEAN Economic Community (AEC) 2015, bagaimana pengaturan

sertifikat hasil uji dan sertifikat produk yang diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian di negara anggota ASEAN yang telah terdaftar di ASEAN dan memiliki

Indonesia memiliki kekuatan sumber daya ekonomi yang cukup bagus jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, dan tentu akan menjadi modal yang sangat

Dengan perkembangan dan perluasan kerjasama ekonomi yang semakin meningkat di ASEAN dan juga mengingat perkembangan perdagangan internasional dan investasi di

Mengingat Sekretariat ASEAN bukan lagi representasi kepentingan masing-masing negara anggota, melainkan representasi kepentingan bersama di kawasan, maka ASEAN Charter