GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) DAN KEDAULATAN HUKUM DI BIDANG EKONOMI
Mahmul Siregar
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract
As an international obligation GATS will influence the measures that affect trade in services taken by the Government. However, the GATS do not eliminate the sovereignty of Indonesian law to regulate economic activities (trade in services) through national law. GATS is carried out with due regard to national interests, national objectives, and level of need and the level of economic development of member countries. Mechanism of protection through specific of commitment (SOC) is remaining to give authority to the Government to establish the requirements and special restrictions in trade in services by using domestic regulations. In order that measures taken by the government is consistent with the GATS it is necessary to synchronize and regulatory reform, one of them by using the regulatory assessment impact approach. In addition, it is need to continue the efforts to improve business climate for improving the competitiveness of the domestic services industry.
Keywords : GATS, trade in services, souvereignty
A. Pendahuluan
General Agreement on Trade in Services (GATS) merupakan sebuah kesepakatan yang mengikat secara hukum terhadap seluruh Negara anggota WTO. Tujuan GATS sesuai Deklarasi
Punta del Este adalah untuk membentuk suatu kerangka multilateral dari prinsip dan aturan
tentang perdagangan jasa.1 GATS dibentuk dengan sasaran utama untuk mewujudkan
liberalisasi perdagangan jasa internasional secara bertahap (progressive liberalization) melalui pengaturan terhadap tindakan-tindakan (measures) sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) GATS yang
berbunyi: “ This agreement applies to measures by Member affecting trade in services”. Pasal XVIII
GATS mendefinisikan measures meliputi seluruh tindakan yang diambil oleh Negara-negara
anggota baik dalam bentuk law, regulation, rule, procedure, decision, administrative action maupun bentuk lainnya yang berdampak pada perdagangan jasa.2
1 GATT, GATT Activities 1986 : An Annual Review of the Work of the GATT, (Geneva : Juni 1987), hal. 26. 2 Pengertian perdagangan jasa (trade ini services) meliputi perdagangan jasa yang dilakukan dengan cara : (1). jasa yang diberikan dari suatu wilayah negara ke wilayah negara lainnya (cross border), misalnya jasa yang mempergunakan media telekomunikasi ; (2). jasa yang diberikan dalam suatu wilayah negara kepada konsumen dari negara lain (consumption abroad), misalnya turisme; 3. jasa yang diberikan melalui kehadiran badan usaha suatu negara dalam wilayah negara lain (commercial presence), misalnya pembukaan kantor cabang asing ; 4. jasa yang diberikan oleh warga negara suatu negara dalam wilayah negara lain (presence of natural person), misalnya jasa konsultan, pengacara dan akuntan. (Syahmin AK., Hukum Dagang International: Dalam Kerangka Studi Analisis,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 180.)
GATS menjadi sebuah subjek yang banyak dibicarakan dalam perdagangan
internasional. Sebahagian memaknai GATS secara appriori sebagai upaya negara-negara maju
(kaya) untuk membuka selebar-lebarnya pintu perdagangan jasa di negara-negara berkembang
dengan cara mempengaruhi pembuatan kebijakan atau peraturan di negara-negara tersebut.
Liberalisasi sektor jasa memalui GATS sering dipandang sebagai cara-cara mutakhir
negara-negara maju untuk membuka paksa pasar jasa di negara-negara-negara-negara berkembang. Perbedaan level playing field antara service supplier dari negara maju dan negara sedang berkembang, maka yang
termarjinalkan dalam proses persaingan di sektor jasa ini adalah service supplier dari
negara-negara sedang berkembang.
GATS akan berpengaruh terhadap kedaulatan internal negara-negara anggota dalam
menentukan hukum (peraturan perundang-undangan) di sektor jasa. Negara-negara harus
menyesuaikan peraturan domestiknya agar tidak bertentangan dengan GATS, karena dapat
berakibat pada lahirnya sengketa dari peraturan-peraturan domestik yang bertentangan GATS.
Namun, benarkah GATS menghilangkan kedaulatan internal (dalam arti kemampuan
mengatur) negara-negara anggota terhadap aktivitas ekonomi di sektor perdagangan jasa yang
berada di wilayah yurisdiksinya ?
B. Permasalahan
Pasal 1 ayat (2) Perjanjian Pembentukan WTO menegaskan bahwa, ”This Agreements and associated legal instruments inluded in Annexes 1, 2 and 3 are integral parts of this Agreement, binding on all members.” Dengan demikian GATS sebagai salah satu annex dari Perjanjian Pembentukan
WTO adalah mengikat secara hukum bagi Indonesia yang meratifikasinya berdasarkan UU No.
7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
(Agreement on Establishing the World Trade Organization). Masalahnya apakah keberadaan GATS tersebut lantas menghilangkan secara perlahan-lahan kedaulatan hukum suatu negara seperti
Indonesia untuk mengatur kegiatan ekonomi (perdagangan jasa) di wilayah terirorialnya ?
Apakah liberalisasi sektor jasa berdasarkan GATS tersebut menyebabkan kedaulatan internal di
bidang ekonomi ditundukkan pada suatu kesepakatan internasional ?
Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menganalisis dan memaparkan
tiga persoalan pokok, yakni : (1). eksistensi kedalatan hukum di bidang ekonomi dari suatu
Pemerintah di Indonesia tidak menjadi permasalahan hukum ketika dihadapkan dengan GATS,
dan (3). Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi liberalisasi di sektor jasa tersebut.
C. Pembahasan
1. Kedaulatan Hukum Negara Merdeka di Bidang Ekonomi
Hukum internasional sejak lama mengakui kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi dari
suatu negara dan hal tersebut berarti di atas kedaulatan itu tidak ada lagi kekuasaan yang lebih
tinggi.3 Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek. Pertama, aspek internal yaitu
berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam
batas-batas wilayahnya. Kedua, aspek eksternal yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan
hubungan dengan anggota masyarakat internasional, maupun mengatur segala sesuatu yang
ada atau terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang masih ada kaitannya dengan
kepentingan negara itu.4
“Every state has and shall freely exercise full permanen sovereignty, including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”
Dari kedaulatan inilah kemudian lahir jurisdiksi negara; yaitu hak,
kekuasaan atau kewenangan suatu negara untuk mengatur, menetapkan dan memaksakan
hukum yang dibuat negara itu sendiri.
Kedaulatan negara untuk mengatur dan menentuntukan sendiri kegiatan ekonomi di
wilayah yurisdiksinya sudah sejak lama diterima dalam hukum internasional. Kedaulatan yang
permanen ini dijamin pelaksanaannya dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) No. 3281 (XXIX) tanggal 12 Desember 1974 tentang Charter of Economic Rights and Duties of State. Article 2 (1) Resolusi ini menyebutkan :
5
Konsep kedaulatan permanen negara yang dalam resolusi ini menyangkut sumber daya
alam dan aktifitas-aktifitas ekonomi, sebenarnya merupakan perluasan dari konsep kedaulatan
negara yang diberikan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 1803 (XVII) tahun 1962 yang
hanya mencakup masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam.
6
3 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 294 4 Ibid.
5 United Nations, General Assembly Resolution, December 12th 1974, No. 3281 (XXIX).
6 Hans Van Houte, The Law of International Trade, (London : Sweet and Maxwell,1995), Hal. 242.
Oleh karena perluasan
teritorialnya, maka resolusi ini dapat menjadi alasan pembenar bagi negara untuk membatasi
kegiatan ekonomi warga negara asing maupun perusahaan asing di wilayah hukum mereka.7
(a) To regulate and exercise authority over foreign investment within its national jurisdiction in accordance with its laws and regulations and in conformity with its national objectives and priority. No State shall be compelled to grant preferential treatment to foreign investment ;
Kedaulatan permanen atas sumber daya alam dan kegiatan ekonomi dijabarkan lebih
lanjut dalam Pasal 2.2 Charter of Economic Rights and Duties of State sebagai berikut : 2. Each State has the right :
8
Jadi sebenarnya tindakan negara berkembang untuk menerapkan
pembatasan-pembatasan tertentu bagi aktivitas perusahaan asing mempunyai dasar hukum secara
internasional. Hanya saja dalam praktek penerapannya terdapat variasi dari segi ketat tidaknya
batasan-batasan tersebut. Sornarajah menyatakan bahwa tingkatan dari ketat atau tidaknya
hambatan tersebut sangat dipengaruhi oleh kecenderungan dalam ideologi, rasa nasionalisme
dan perubahan dalam arah kebijakan industri.9
International Law Association pada Kongres di Seoul pada tahun 1986 menerima dengan
suara bulat bahwa kedaulatan negara atas sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi di
wilayah hukum mereka merupakan asas hukum internasional yang harus dipatuhi oleh
negara-negara. Konsep mana sebenarnya telah lama dikemukakan oleh Jean Bodin yang menegaskan
bahwa sovereignty as the absolute and perpetual power bagi suatu negara.10 Seperti juga
dikemukakan oleh Oppenheim-Lauterpacht bahwa kedaulatan adalah konsep yang sangat
fundamental dalam suatu negara. Hanya dengan adanya kedaulatanlah suatu negara dikatakan
merdeka. Tanpa kedaulatan yang harus dihormati oleh negara lain, maka tidak ada artinya
suatu negara. 11 Persyaratan negara yang harus memiliki capacity to enter in to relation with other
states hanya dapat dipenuhi jika negara memiliki kedaulatan.12
7 Ibid., Hal. 243
8 United Nations, General Assembly Resolution, December,12nd , 1974, No. 3281 (XXIX).
9 M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, (Cambridge University Press, 1994), hal. 3 10 Jean Bodin, Six Books of the Commenwealth, dikutip dalam Kenneth Kiplagat, “An Institutional and Structural Model for SuccessfulEconomic Integration in Developing Countries”, Texas International Law Journal, Winter (1994), Hal. 2
11 Oppenheim – Lauterpacht, International Law ; A Tratise, Vol.1, (Longmans, 1967), Hal. 118.
Namun patut dipahami pula bahwa sebesar apapun penghormatan hukum
internasional terhadap kedaulatan suatu negara, bukanlah berarti pelaksanaan kedaulatan
tersebut tidak mempunyai batasan-batasan. Salah satu batasan dalam pelaksanaan kedaulatan
adalah kewajiban negara pemilik kedaulatan yang ditetapkan berdasarkan perjanjian-perjanjian
internasional. Seperti disebutkan dalam Article 4 Charter of Economic Rights and Duties of State
sebagai berikut :
“…every State is free to choose the form of organization of its foreign economic relations and and to enter into bilateral and multilateral arrangement consistent with its international obligations and with the need of international economic co-operation.
Kedaulatan negara untuk menata sendiri kegiatan pelaku usaha asing di wilayah
hukumnya harus memperhatikan kewajiban-kewajiban internasional dari negara tersebut.
2. Kedaulatan Hukum Negara di Bidang Ekonomi dalam Kesepakatan Umum dalam Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade in Services)
2.1. GATS mempengaruhi kedaulatan internal Negara-negara anggota
Pasal 1 ayat (1) GATS yang berbunyi: “ This agreement applies to measures by Member
affecting trade in services”. Pasal XVIII GATS mendefinisikan measures meliputi seluruh tindakan yang diambil oleh Negara-negara anggota baik dalam bentuk law, regulation, rule, procedure,
decision, administrative action maupun bentuk lainnya yang berdampak pada perdagangan jasa.
Tindakan pemerintah untuk mengatur perdagangan jasa baik dalam bentuk law, regulation, rule,
procedure, decision, administrative action maupun bentuk lainnya tidak boleh bertentangan dengan GATS. Measure yang berdampak pada perdagangan jasa yang bertentangan dengan
GATS dapat melahirkan tuntutan hukum dari Negara-negara anggota lainnya. Akan tetapi,
Negara-negara anggota menerima disiplin tersebut lebih dikarenakan merasa perlu dalam
rangka memaksimalkan manfaat kerjasama internasional yang berbasis ketentuan (rule base system). Komitmen GATS dimaksudkan untuk melindungi masyarakat atau mencapai akses
universal (misalnya dalam telekomunikasi dan penyediaan air bersih) diberlakukan tanpa
memperhatikan nasionalitas pemasok.13
Negara-negara yang meratifikasi GATS akan menjadikan ketentuan GATS tersebut
sebagai international obligation yang wajib dipatuhi oleh negara dalam pergaulan bangsa-bangsa
beradab. Hal ini sesuai dengan Article 4 Charter of Economic Rights and Duties of State yang
menyebutkan : “…every State is free to choose the form of organization of its foreign economic relations and and to enter into bilateral and multilateral arrangement consistent with its international obligations and with the need of international economic co-operation.”
2.2. GATS dilaksanakan dalam kerangka kepentingan nasional dan tingkat kebutuhan ekonomi negara anggota
Berdasarkan preambule GATS dapat dipahami bahwa liberalisasi perdagangan sektor jasa yang ingin diwujudkan melalui GATS harus dimaknai dalam konteks liberalisasi secara
bertahap (liberalisasi progresif) yang ditempuh melalui serangkaian perundingan multilateral
dengan tetap menghormati kepentingan nasional Negara anggota. Dalam konteks ini
liberalisasi perdagangan jasa tidak demi hukum berlaku secara agresif untuk seluruh sektor
jasa, akan tetapi ditentukan secara bertahap melalui perundingan dengan tetap mengakui
adanya keadaan asitmetris pada tingkat pembangunan di berbagai Negara yang merupakan
kepentingan khusus, terutama bagi Negara-negara berkembang. Keadaan asimetris pada
tingkat pembangunan ekonomi negara-negara memungkinkan negara-negara anggota GATS
untuk mengatur secara khusus persyaratan-persyaratan tertentu dalam perdagangan jasa yang
disesuaikan dengan komitmen yang diberikan oleh negara tersebut.
GATS masih membenarkan adanya proteksi oleh pemerintah terhadap perdagangan
jasa domestik melalui schedule of commitment dan specificic of commitment (SOC) yang dibuat masing-masing negara sesuai dengan keadaan negara tersebut yang kemudian dirundingkan
dengan mitra dagangnya. Negara yang membuat SOC tersebut tunduk pada ketentuan GATS
dengan disertai suatu kondisi, pembatasan, dan persyaratan sebagaimana tercantum dalam
komitmennya itu14
Pendekatan yang dipergunakan dalam pembuatan SOC adalah bersifat campuran
sebagai hasil kompromi dalam menentukan cakupan GATS sebagaimana telah dijelaskan di . SOC diatur pada Bagian III yang terpisah dari Bagian II GATS yang
merupakan general obligations. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa schedule of
commitments bukan merupakan automatic obligation, tetapi merupakan suatu specific obligation.
Artinya yang menjadi kewajiban adalah sesuai dengan yang tercantum dalam SOC negara yang
bersangkutan.
atas. Positive list dipergunakan di dalam membuka sektor/sub-sektor maupun transaksi kepada
foreign services supplier. Artinya hanya sektor/sub-sektor/transaksi yang dibuat dalam SOC itu saja yang dapat dimasuki oleh foreign services supplier sesuai dengan persyaratan atau
pembatasan yang ada dengan mendapat perlindungan penuh dari GATS. Pendekatan ini
dikenal dengan nama “up-down approach”. Sebaliknya, pendekatan negative list dipergunakan
ketika negara tersebut menyatakan komitmennya di bidang market acces dan national treatment. Untuk market acces, komitmen tersebut dinyatakan dalam bentuk terms, limitations, and
conditions. Contohnya adalah untuk bentuk pendirian perusahaan joint ventures, modal pihak
asing maksimal sebesar 49%. Untuk national treatment, dinyatakan dalam bentuk conditional and
qualifications, misalnya pihak asing hanya dapat mendirikan hotel bintang 5 ; suatu ketentuan yang tidak berlaku bagi pengusaha nasional. Pendekatan ini dikenal dengan nama “bottom up
approach”. Sementara itu, additional commitments dinyatakan dalam bentuk suatu understaking
(pernyataan) yang biasanya menyangkut suatu kualifikasi profesional, standar, dan perizinan.
Liberalisasi bertahap tersebut dilakukan dengan mewajibkan semua anggota WTO
untuk melakukan putaran negosiasi secara berkesinambungan yang dimulai paling lambat lima
tahun sejak berlakunya Perjanjian WTO (sejak 1 Januari 1995). Negosiasi tersebut harus
dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan measures yang berdampak buruk terhadap
perdagangan jasa. Meskipun demikian, proses liberalisasi harus dilakukan dengan tetap
menghormati kepentingan nasional dan tingkat pembangunan masing-masing (Pasal XIX ayat
(1) dan (2) GATS).
2.3. Kemampuan Mengatur dalam Domestic Regulation
Pasal VI GATS tentang Domestic Regulation mengakui kewenangan Negara untuk menetapkan measures terhadap sector-sektor jasa yang dinyatakan dalam specific of commitment
Negara tersebut. Pasal ini memberikan kewenangan mengatur kepada Negara-negara,
khususnya untuk menetapkan persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan
perizinan terhadap bidang usaha jasa yang masuk dalam daftar komitmen khusus Negara
tersebut.
Hanya saja yang diperlu diperhatikan adalah ketentuan-ketentuan domestik tersebut
harus dilaksanakan dalam cara yang wajar, objektif dan tidak memihak.15
15 Article VI.1 General Agreement on Trade in Services.
Khusus terhadap
standar lisensi dan persyaratan perijinan harus dipastikan bahwa : (a). didasarkan pada kriteria
yang objektif dan transparan, (b). tidak lebih berat daripada yang semestinya untuk menjamin
kualitas jasa-jasa, dan (c). dalam hal prosedur perizinan bukan merupakan hambatan dalam
supply jasa-jasa.
2.3.1. Qualification Requirement
Setiap Negara anggota harus menjamin bahwa ketentuan-ketentuan tentang qualification requirement harus transparan, relevan dan tidak dijadikan sebagai hambatan terselubung
terhadap pemasok jasa. Dalam konteks ini penolakan terhadap permohonan pemasok jasa
harus diberitahukan dilengkapi dengan alasan penolakan dan selanjutnya diberikan
kesempatan untuk melakukan perbaikan permohonan. Dalam melakukan penilaian, harus
dipertimbangkan pengalaman professional, keanggotaan pada organisasi profesi sebagai
tambahan atas kualifikasi akademis yang dimiliki pemohon. Negara-negara anggota juga
berkewajiban untuk memastikan bahwa biaya permohonan untuk memperoleh ijin adalah
biaya yang wajar.
2.3.2. Qualification Procedure
Ketentuan tentang qualification procedure harus sederhana dan apabila dimungkinkan
pemohon hanya berurusan dengan satu otoritas. Setiap penilaian dan ujian yang harus diikuti
oleh pemohon dilakukan dalam interval waktu yang wajar dan proses permohonan
diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
2.3.3. Licensing Requirement
Klausula penting dalam licensing requirement adalah tentang persyaratan residensi.
Apabila ada persyaratan residensi untuk mendapatkan lisensi maka persyaratan tersebut harus
sekecil mungkin dapat digunakan sebagai alat untuk menghambat usaha.
2.3.4. Licensing Procedure
Ketentuan ini bersama dengan ketentuan licencing requirement dimaksudkan untuk
menjamin tersedianya pemasok jasa yang berkualitas melalui mekanisme perijinan. Proses
perijinan harus tidak dijadikan sebagai alat untuk menghambat masuk pasar (barrier to entry).
2.3.5. Technical Standard
Penerapan technical standard harus secara transparan dan berdasarkan kriteria objektif.
Tehnical standard harus diberitahukan kepada seluruh masyarakat. Untuk sector jasa yang telah
memiliki standar internasional, Negara anggota diminta agar menggunakan standar
2.3.6. Prior Comment
Memberikan kesempatan kepada setiap pihak yang berkepentingan untuk memberikan
masukan atas setiap rancanangan ketentuan yang mengatur qualification requirement,
qualification procedure, licensing requirement, licensing procedure dan technical standard. Komentar
yang diberikan tersebut diharapkan tercermin secara substantive dalam ketentuan yang
dikeluarkan. Terdapat jangka waktu yang wajar antara dikeluarkannya suatu ketentuan
dengan diberlakukannya secara efektif ketentuan tersebut.16
Harmonisasi hukum sangat penting dilakukan untuk menghindari adanya tuntutan
dari Negara lain terhadap regulasi di sector jasa yang ada dengan alasan bertentangan dengan
GATS. Terlebih lagi karena kondisi regulasi di Indonesia yang sangat banyak baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat, daerah otorita maupun pemerintah daerah. Dalam suatu
kajian yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tahun 2008 yang mengukur objektif regulasi
bisnis dan penegakannya di 178 Negara menunjukkan gambaran yang tidak menggembirakan
bagi Indonesia. Berdasarkan indikator kemudahan berusaha untuk Negara-negara di Asia
Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ke-20, untuk indikator memulai usaha menduduki
peringkat ke-25 (lebih buruk dari seluruh Negara ASEAN), untuk perijinan Indonesia berada
pada posisi 17, dan untuk indicator contract enforcement berada pada posisi 20.
3. Sinkronisasi Hukum dan Penerapan Regulatory Impact Assetment Sebuah Kebutuhan
17 Analisis
KPPOD menunjukkan mengarah pada suatu kesimpulan bahwa regulasi masih menjadi
hambatan terpenting bagi dunia usaha di Indonesia. Sebesar 31 % hambatan berusaha berasal
dari masalah kelembagaan, antara lain peraturan daerah 25 %, penegakan hukum 17 %,
pelayanan birokrasi 15 %.18
Sejak tahun 2001 Indonesia memberlakukan kebijakan otonomi daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah
terutama di tingkat kabupaten/kota. Transisi dramatis ini, merupakan tonggak positif dari
demokrasi, namun juga telah menimbulkan masalah yang bersifat administratif dan diiringi
dengan kebijakan insentif yang keliru. Dalam kenyataannya, dengan diterapkan kebijakan
tersebut iklim bisnis mengalami kemunduran secara signifikan karena dua alasan utama: (1)
Pemerintah Daerah memberlakukan sejumlah regulasi untuk meningkatkan Pendapatan Asli
16 Zulkarnain Sitompul, op.cit, hal. 18 17 Ibid., hal. 5
Daerah (PAD) tanpa memperhatikan dampaknya terhadap perekonomian dan pelayanan
publik, dan (2) banyak Peraturan Daerah (Perda) yang tidak konsisten dengan undang-undang
atau peraturan di tingkat nasional.19
Kondisi seperti diuraikan diatas, apabila terus berlanjut maka dapat menggambarkan
potensi masalah hukum bagi Indonesia terkait dengan pelaksanaan GATS secara umum,
khususnya terkait dengan ketentuan domestic regulation. Untuk itulah perlu dilakukan secara berkelanjutan reformasi regulasi dan sinkronisasi hukum baik secara vertical maupun
horizontal untuk menemukan regulasi-regulasi yang menghambat dunia usaha dan tidak
konsisten dengan kewajiban internasional Indonesia sedangkan untuk regulasi baru perlu
diterapkan secara konsisten analisis regulatory impact assestment (RIA).
Secara konseptual RIA merupakan proses review regulasi baik existing maupun proponed
regulation yang terdiri dari 7 langkah analisis sebagai berikut : (1). Perumusan masalah yang
jelas (2). Identfikasi tujuan dikeluarkannya regulasi ; (3). Analisis alternative tindakan untuk
menemukan alternative tindakan paling efektif menyelesaikan masalah. Dengan cara ini belum
tentu regulasi menjadi pilihan utama menyelesaikan masalah ; (4). Analisis biaya dan manfaat ;
(5). Pemilihan tindakan ; (6). Strategi implementasi dan (7). Konsultasi public pada setiap
tahapan. RIA dengan demikian akan dapat mengurangi lahirnya peraturan-peraturan yang
tidak efektif atau memberatkan dunia usaha.
Terkait dengan GATS dan Domestic Regulation, Kementerian Keuangan telah mencoba menjabarkan intisari domestic regulation yang didapat dipergunakan untuk analisis simulasi
terhadap regulasi yang berpotensi tidak konsisten dengan GATS dan domestic regulation
(terlampir)
19 Berdasarkan Data Kementerian Keuangan tahun 2008, terlihat bahwa sebanyak 2431 atau sebesar 30 % peraturan daerah dibatalkan karena tidak disertai dengan analisis ekonomi yang komprehensif dan sebanyak 3414 saat ini sedang direview. (Ibid., hal. 6)
. Upaya ini harus didukung oleh sosialisasi secara terus menerus mengenai GATS,
domestic regulation, dan RIA terutama kepada para pembuat peraturan baik di tingkat pusat,
daerah otoritas dan pemerintah daerah.
4. Hal-hal yang perlu diperhatikan
Berikut ini dipaparkan beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
persiapan menghadapi GATS.
Mengingat liberalisasi sektor jasa berdasarkan GATS berlangsung secara progresif
(bertahap) dan dimungkinkannya perlindungan terhadap industri jasa domestik melalui SOC,
maka sangat diperlukan adanya upaya untuk mengidentifikasi sektor-sektor usaha jasa secara
komprehensif. Hal ini sangat diperlukan untuk penyusunan komitmen dan komitmen spesifik
terutama dalam penetapan persyaratan-persyaratan tertentu bagi pelaku usaha jasa asing. Sama
seperti pada saat penyusunan tariff bea masuk sebagai instrument proteksi bagi industri dalam
negeri, maka identifikasi terhadap seluruh sector jasa harus dilakukan secara komprehensif
untuk mendapatkan data yang akurat. Upaya identifikasi ini harus dilakukan dengan
menggunakan pendekatan multistakeholder terutama melibatkan pelaku usaha jasa atau
asosiasi pelaku usaha jasa di Indonesia.
2. memperbaiki iklim usaha di Indonesia
Perbaikan iklim usaha mutlak diperlukan agar pelaku usaha domestik mampu
mempersiapkan daya saing yang lebih baik. Perbaikan iklim usaha disini diartikan secara luas
meliputi seluruh faktor yang mempengaruhi iklim usaha di Indonesia, antara lain : (1). Faktor
kinerja perekonomian nasional, meliputi kinerja ekspor impor, investasi, ketenagakerjaan, dan
stabilitas harga; (2). Factor efisiensi kelembagaan, meliputi : perbaikan kebijakan pengelolaan
keuangan dan fiscal, reformasi regulasi terkait iklim usaha di Indonesia dan memperbaiki
sistim koordinasi kelembagaan, (3). Factor efisiensi usaha yang meliputi upaya peningkatan
produktifitas, pasar tenaga kerja dan manajerial, dan (4). Perbaikan secara berkelanjutan
infrastruktur baik infastruktur fisik, teknologi dan infrastruktur dasar.
3. memperbaiki iklim investasi
Perbaikan iklim investasi secara menyeluruh dapat meliputi upaya-upaya
meningkatkan economic opportunity, political stability dan legal certainty. Selain faktor politik
ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan
modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum. Pendapat senada
dikemukakan oleh Paul V. Horn dan Henry Gomez sebagai berikut :20
“ In making foreign investment a number of important points are to be taken into consideration. The Investor is concerned, first, with the safety of his investment and,
second, with the return which it yields. The factors having a direct bearing on these considerations may be classified as follows :
(1). Political stability and financial integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which the investment is made ; (3) laws pertaining to capital and taxation, attitude towards foreign investment, and other aspects of the investment climate of the host country; (4) future potential and economic growth of the country where the investment is made; (5) exchange restrictions pertaining to the remission of profits and with-drawal of the initial investment.”
Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara ingin
menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat
menciptakan kepastian. Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian
mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian hukum sebagai faktor
yang menghambat pertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri, baik investasi
langsung (direct investment) maupun portfolio investment. Studi Bank Dunia yang dipublikasikan
tahun 2005 mencatat bahwa pada tataran perusahaan (firm level) ditemukan sejumlah hambatan
investasi yang masuk dalam kategori instabilitas makro-ekonomi, kebijakan dan regulasi yang
tidak pasti dan tingginya tingkat korupsi. Masalah lainnya meliputi rendahnya atau sulitnya
akses terhadap pembiayaan, rendahnya supplay energi listrik, rendahnya skill tenaga kerja,
regulasi bidang ketenagakerjaan, dan sejumlah persoalan terkait desentralisasi kewenangan
investasi pada tingkat pemerintahan daerah.21
Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya reformasi yang cukup strategis
dengan mengadopsi lebih banyak reformasi fiscal, liberalisasi perdagangan, reformasi sektor
keuangan, perpajakan, ketenagakerjaan dan reformasi regulasi bisnis. Namun yang menjadi
permasalahan adalah adanya jurang (gap) antara political will Pemerintah dengan implementasi di lapangan, termasuk adanya gap antara peraturan dengan kenyataan penerapannya.
22
Sistim hukum yang efektif akan memperluas kesempatan berusaha dan mampu
mengundang investasi asing. Sebaliknya pengalaman menunjukkan tidak efektifnya hukum
telah menghancurkan ekonomi Asia yang semula dipandang sebagai sebuah keajaiban. Para
ahli berkesimpulan bahwa sistim hukum dari Negara-negara yang terkena krisis tersebut 4. memperkuat sistim hukum
21 Roy Nixon, “Improving the Investment Climate in APEC Economies”, the Australian Treasury, Foreign Investment and Trade Policy Division, 2005, hlm. 59.
merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi.23 Penyebabnya adalah liberalisasi
akan berjalan efektif apabila hukum mampu menjamin bahwa distorsi yang disebabkan oleh
persaingan dan akumulasi modal dapat dijaga dalam batas-batas tertentu sehingga kompatibel
dengan pertumbuhan dan social cohesion.24
Pelaksanaan GATS sebagai sebuah international obligation ini akan berpengaruh terhadap
measures yang diambil oleh pemerintah yang mempengaruhi perdagangan jasa internasional. 5. peningkatan kapasitas pelaku usaha domestik
Upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi pelaku usaha domestic, khususnya
UMKM dalam berbagai aspek harus segera dilakukan secara berkelanjutan. Upaya ini dapat
dilakukan dengan berbagai program peningkatan kapasitas dan kompetensi, baik melalui
pelatihan-pelatihan, pendidikan, akses terhadap informasi dan teknologi, akses terhadap
pembiayaan dan lain-lain.
6. sosialisasi berkelanjutan
Sosialisasi berkelanjutan dilakukan terhadap seluruh pemangku kepentingan,
khususnya terhadap pembuat peraturan dan kebijakan baik di tingkat pusat, daerah otorita
maupun pemerintah daerah. Karena sengketa GATS yang potensial muncul berasal dari
kebijakan yang dibuat pemerintah (pusat, otorita maupun pemerintah daerah).
7. upaya lain-lain
Bagian ini dibuat mengingat masih banyaknya hal-hal yang perlu diperhatikan, antara
lain melaksanakan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih,
mempermudah prosedur perijinan, memperbaiki kualitas layanan publik, membuka akses
terhadap sumber pembiayaan, memperkuat proses demokrasi, reformasi regulasi, penegakan
hukum, menciptakan kondisi persaingan usaha yang sehat, pemberantasan korupsi, dan lain
sebagainya sampai kepada peningkatan kualitas pendidikan.
D. Kesimpulan
23 Barry Metzger, dalam Katharina Pistor dan Philip A. Wellon, et.all, The Role of Law and Legal Institutions in
Asian Economic, (New York : Oxford University Press, 1999), dikutip dalam Zulkarnain Sitompul, op.cit, hal. 8 24 Hendrik Spruyt, “New Institutionalism and International Relation” dalam Ronen (ed.), Global Political
Namun tidak berarti bahwa disiplin terkait measures tersebut akan menghilangkan kedaulatan
hukum Indonesia untuk mengatur perdagangan jasa di wilayah yurisdiksinya. Kedaulatan
hukum Indonesia terhadap dihormati dalam kerangka GATS mengingat pelaksanaan GATS
tersebut secara prinsip didasarkan pada kepentingan nasional dan tingkat kebutuhan
pembangunan ekonomi Negara-negara anggota.
Eksistensi kedaulatan internal dalam GATS juga terlihat dari prinsip liberalisasi
progresif (bertahap), perlindungan terhadap industri jasa domestik SOC, juga secara khusus
mengatur tentang domestic regulation yang memungkinkan Negara-negara untuk mengatur
secara khusus komitmen-komitmen spesifik yang diajukannya.
Agar pelaksanaan kedaulatan hukum tersebut tidak menghasilkan measures yang bertentangan dengan GATS yang berakibat pada tuntutan hukum dari Negara anggota lain,
maka perlu dilakukan identifikasi sector-sektor jasa kompetitif dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan terkait, sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait
perdagangan jasa, melakukan reformasi regulasi dengan menggunakan pendekatan regulation impact assestment. Di samping itu perlu dilakukan upaya-upaya mewujudkan prinsip-prinsip
tata pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih, upaya-upaya konkrit dalam
perbaikan iklim usaha di Indonesia, memperkuat sistim hukum perbaikan iklim investasi,
sosialiasi secara berkelanjutan, pembukaan akses pembiayaan, peningkatan kapasitas services
supplier domestic, penyederhanaan ijin dan prosedur, memperluas dan mempermudah kesempatan berusaha, penegakan hukum persaingan usaha yang sehat dan upaya-upaya lain
yang dapat meningkatkan daya saing industri jasa nasional. Jika tidak, maka industri jasa
LAMPIRAN
INTISARI DISIPLIN DOMESTIC REGULATION
A. TRANSPARANSI harus ditempuh di daerah ini
1 Dipublikasikannya segera
peraturan/kebijakan terkait B,C,D,E dan F
3. Tidak ada keharusan bagi penyedia jasa berdomisili di daerah ini sebagai syarat mengikuti asesment dan verifikasi kompetensi penyedia jasa (terkecuali telah dinyatakan dalam SOC/komitmen multilateral) 2. Tersedianya mekanisme memadai
untuk menanggapi pertanyaan menyangkut peraturan/kebijakan
4. Bila unsure-unsur berkas
permohonan si pemohon dinyatakan belum lengkap, si pemohon dapat diinformasikan dalam jangka waktu
B. PERSYARATAN PERIJINAN 1. Prosedur kualifikasi dibuat
sesederhana mungkin dan bukan merupakan hambatan yang tidak perlu
1. Persyaratan perijinan terkait dengan domisili (terkecuali dinyatakan dalam SOC/komitmen multilateral) tidak memberikan hambatan yang tidak perlu
2. Pelayanan dilakukan satu pintu
C. PROSEDUR PERIJINAN 3. Tidak ada pembatasan waktu dalam
penyerahan permohonan. Institusi terkait tidak menunda secara tidak perlu pemerosesan permohonan 1. Prosedur perijinan, termasuk
prosedur permohonan dan
perpanjangan (renewal) ijin dibuat sesederhana mungkin dan bukan merupakan hambatan yang tidak perlu
4. Pengujian kualifikasi dijadwalkan secara periodik dan calon peserta diberikan waktu yang cukup untuk melakukan pendaftaran mengikuti ujian tersebut
2. Prosedur dan pengambilan
keputusan perijinan bersifat netral dan tidak memihak
5. Bila permohonan perijinan si
untuk mengajukan kembali permohonannya
3. Pelayanan dilakukan satu pintu 6. Salinan yang dilegalisir dapat diterima menggantikan dokumen asli
4. Tidak ada pembatasan waktu dalam penyerahan permohonan perijinan,
5. Menginformasikan dalam jangka waktu yang wajar unsur-unsur berkas permohonan perijinan yang dinyatakan belum lengkap, dan memberikan kesempatan bagi pemohon untuk melengkapinya.
8. Dibuat dan dipatuhinya jadwal pemerosesan permohonan tidak boleh terlalu lama
6. Salinan yang dilegalisir dapat
diterima menggantikan dokumen asli
9. Kewajaran biaya yang dibebankan kepada pemohon terkait prosedur kualifikasi dari sisi biaya yang mesti ditanggung oleh institusi. Biaya bukan merupakan hambatan bagi penyediaan jasa
7. Pemohon yang pengajuan ijin permohonannya ditolak dapat
8. Dibuat dan dipatuhinya jadwal pemerosesan permohonan tidak
9. Perijinan dapat segera efektif berlaku tanpa penundaan sebagaimana telah dinyatakan dalam ketentuan dan persyaratan yang berlaku
2. Sebahagian atau keseluruhan estándar teknis internasional yang relevan dimasukkan dalam
penyusunan estándar teknis, terkecuali diketahui tidak akan efektif dan memadai dalam rangka pemenuhan tujuan kebijakan nasional.
10. Biaya perijinan wajar dipandang dari sisi biaya yang mesti ditanggung oleh institusi dalam operasionalisasi kegiatan pelayanan dan
D. PERSYARATAN KUALIFIKASI
1. Adanya prosedur yang memadai untuk memverifikasi dan melakukan asesmen terhadap kualifikasi yang dipersyaratkan
2. Ketidaklengkapan pemenuhan kualifikasi (a.l. kursus, ujian, pelatihan, dan pengalaman kerja) diinformasikan kepada pemohon. Pemohon diijinkan melengkapinya tanpa ada persyaratan, a.l : keharusan lokasi lembaga kursus, ujian,
DAFTAR PUSTAKA
Booth, A dan P. Mc. Cawley (ed.), The Indonesian Economy During the Suharto Era, Oxford University Press, 1981.
GATT, GATT Activities 1986 : An Annual Review of the Work of the GATT, Geneva : Juni 1987.
Horn, Paul V. and Henry Gomez, International Trade Principles and Practices, Fourth Edition, New Jersey : Prentice Mall, 1964.
Jackson, John H. et.all, Legal Problem of International Economic Relation, St. Paul : West Publishing Co, 1995.
Kiplagat, Kenneth, “An Institutional and Structural Model for SuccessfulEconomic Integration in Developing Countries”, Texas International Law Journal, Winter (1994).
Nixon, Roy, “Improving the Investment Climate in APEC Economies”, the Australian Treasury, Foreign Investment and Trade Policy Division, 2005,
Oppenheim – Lauterpacht, International Law ; A Tratise, Vol.1, Longmans, 1967.
Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990.
Pistor, Katharina dan Philip A. Wellon, et.all, The Role of Law and Legal Institutions in Asian Economic, New York : Oxford University Press, 1999.
Rustiani, Frida “Reformasi Regulasi : Mengapa Perlu “, Puri Imperium, Jakarta, 19 Oktober 2009.
Sornarajah, M., The International Law on Foreign Investment, Cambridge University Press, 1994.
Spruyt, Hendrik, “New Institutionalism and International Relation” dalam Ronen (ed.), Global Political Economy Contemporary Theories, London : Routledge, 2000.
Syahmin AK., Hukum Dagang International: Dalam Kerangka Studi Analisis, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.
United Nations, General Assembly Resolution, December 12th 1974, No. 3281 (XXIX).
Van Houte, Hans, The Law of International Trade, London : Sweet and Maxwell,1995.