• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pembelajaran Sastra dan Kekerasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Pembelajaran Sastra dan Kekerasan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 148 DAFTAR ISI

SURAT REDAKSI DAFTAR ISI

1. MODEL PEMBELAJARAN CERITA PENDEK YANG APRESIATIF

Eri Sarimanah 143 - 148

2. PERAN PEMBELAJARAN SASTRA DAN KEKERASAN PENDIDIKAN

Ekarini Saraswati 149 - 154

3. MENGATASI KESULITAN MENULIS PUISI PADA SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN MODEL SAVI

Supriyadi 155 -160

4. ANALISIS HEGEMONI KEKUASAAN DALAM NOVEL PABRIK KARYA PUTU WIJAYA

Agga Ramses Wijakangka 161 - 177

5. PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS PUISI SISWA KELAS VII SMPN 5 PASURUAN MELALUI METODE PEMBELAJARAN IMAJINATIFTAHUN AJARAN 2007/2008

Dini Ayuning Tiyas 178 - 187

6. KEMAMPUAN MENULIS PARAGRAF SISWA KELAS X SMK TARUNA BHAKTI MALANG TAHUN AJARAN 2007/2008

Rovimiyanti 188 - 196

(3)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 149 PERAN PEMBELAJARAN SASTRA DAN KEKERASAN PENDIDIKAN

Ekarini Saraswati

Universitas Muhammadiyah Malang

Abstrak

Kekerasan dan Pendidikan adalah dua hal yang berlawanan secara diametral. Seperti dirumuskan oleh Johan Galtung, kekeraan adalah setiap tindakan yang merintangi realisasi diri (any avoidable impediment to self-realization). Berseberangan dengan kekerasan, pendidikan justeru merupakan daya upaya agar anak didik dapat merealisasikan dirinya dengan sepenuh-penuhnya. Pendidikan sebagai wahan penanaman nilai seperti dirumuskan dalam GBHN, Komite Reformasi Pendidikan (KRP). Adapun nilai itu sendiri menurut Ibnu Miskawaih terdiri dari tiga fakultas jiwa: berpikir, berkuasa dan nafsu. Nilai-nilai tersebut terumuskan dalam kurikulum TK hingga perguruan tinggi di antaranya melalui pembelajaran sastra. Realitas nilai yang terjadi dalam masyarakat berbeda dengna banyaknya beban belajar yang begitu banyak yang diberikan di sekolah mulai TK hingga perguruan tinggi yang melampaui batas kemampuan manusia.

Kata kunci: kekerasan, pendidikan, nilai-nilai

PENDAHULUAN

Kekerasan dan Pendidikan adalah dua hal yang berlawanan secara diametral. Seperti dirumuskan oleh Johan Galtung, kekeraan adalah setiap tindakan yang merintangi realisasi diri (any avoidable impediment to self-realization).

Berseberangan dengan kekerasan,

pendidikan justeru merupakan daya upaya agar anak didik dapat merealisasikan dirinya dengan sepenuh-penuhnya. Pendidikan mengantarkan anak didik menuju ke kedewasaan. Kualitas kedewasaan meliputi tiga aspek pokok, yaitu aspek kejiwaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan. Secara kejiwaan, orang dewasa adalah orang yang dapat mengatasi permasalahan secara mandiri, memutuskan apa yang harus dilakukan, dan memikul tanggung jawab atas tindakannya. Secara kemasyarakatan, orang dewasa adalah orang yang secara aktif

berpartisipasi di dalam kehidupan

masyarkatnya sesuai dengan kedudukan dan peran yang disandangnya dan sesuai pula dengan harapan-harapan yang hidup di masyarakatnya. Terakhir, secara

kebudayaan, orang dewasa adalah orang yang dapat menginternalisasi nilai-nilai yang dianggap baik sebagai pedoman dalam perilakunya.

Walaupun demikian, harus diakui pula bahwa dalam pelaksanaan pendidikan tidak jarang terjadi juga kekerasan, sehingga fenomena tersebut menjadikan pendidikan bukan lagi menjadi pusat pembentukan pribadi yang luhur. Kita pernah dikejutkan dengan perlakuan guru yang mengakibatkan anak didiknya tewas atau terjadinya

(4)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 150 kalau kita bertanya dua puluh tahun yang

akan datang apa yang akan terjadi dengan bangsa ini?

Mungkin kita perlu melihat berbagai hal yang terkait dengan pendidikan ini.

PENDIDIKAN SEBAGAI WAHANA PENANAMAN NILAI

Seperti yang tampak pada

pendahuluan di atas, pendidikan tidak dapat dipisahkan dari upaya penanaman nilai. Malahan seluruh praktek pendidikan pada hakikatnya adalah upaya

pengimplementasian nilai-nilai. Nilai itulah yang memberi arah terhadap pelaksanaan pendidikan dan sekaligus menjadi kriteria untuk mengukur keberhasilan dan

kegagalannya.

Pertama-tama kita dapat melihat apa yang dirumuskan dalam GBHN, yang

menekankan bahwa pembangunan diarahkan pada pembangunan manusia seutuhnya yang memiliki kesehatan jasmani dan rohani. Jika kita berbicara tentang pembangunan

manusia berarti kita berbicara tentang pendidikan. Mengenai pendidikan dan pembangunan manusia, mau tidak mau, harus berbicara juga tentang nilai-nilai kemanusiaan. Membangun terutama berarti memperbaiki atau menyempurnakan. Maka, pembangunan manusia terutama berarti memperbaiki atau menyempurnakan manusia. Dalam praktek, hal itu

mengandaikan bahwa pendidik dan anak didik bekerjasama untuk menumbuhkan serta mengembangkan kemampuan anak didik itu dalam menghayati dan

mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan. Kemudian kita lihat rumusan tujuan pendidikan yang dibuat Komite Reformasi

Pendidikan (KRP) yang sarat dengan beban

yang ingin disampaikan. ”Pendidikan

nasional bertujuan mengembangkan

manusia Indonesia sesuai fitrahnya menjadi pribadi yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan

rohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, memiliki

kepribadian yang mantap dan mandiri, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan agar mampu mewujudkan

kehidupan bangsa yang cerdas ”

Dengan berbagai tuntutan yang begitu banyak ada semacam tuntutan tersembunyi yang diharapkan lewat pendidikan dapat memecahkan berbagai persoalan bangsa. Nilai itu sendiri apa? Bagaimana

implikasinya dalam pendidikan? Unsur-unsur nilai berhubungan dengan akhlak yang membahas tentang konsep manusia

bermoral. Konsep manusia bermoral itu sendiri berdasarkan pendapat Ibnu

Miskawaih terdiri dari tiga fakultas Jiwa: 1. fakultas yang berkaitan dengan berpikir, melihat dan mempertimbangkan realitas segala sesuatu; 2. fakultas yang

terungkapkan dalam marah, berani, berani menghadapi bahaya dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan

bermacam-macam kehormatan; 3. fakultas yang membuat kita memiliki nafsu sahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan, minuman, sanggama ditambah kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya.

(5)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 151 tenggelam dalam memenuhi keinginan

sendiri, jiwa ini mencapai kebajikan sikap sederhana (iffah) yang diiringi kebajikan dermawan. Dan ketika aktivitas jiwa amarah memadai, mematuhi segala aturan yang ditetapkan jiwa berpikir, dan tidak bangkit pada waktu yang tidak tepat atau tidak terlalu bergolak, maka jiwa ini mencapai kebajikan sikap sabar yang diiringi

kebajikan sikap berani. Barulah kemudian timbul dari tiga kebajikan ini, yang serasi dan berhubungan dengan tepat antara yang satu dengan yang lainnya, satu kebajikan lain yang merupakan kelengkapan dan kesempurnaan tiga kebajikan itu, yaitu kebajikan sifat adil. Jadi, arif, sederhana, berani dan adil.

Kearifan merupakan keutamaan dari jiwa berpikir dan mengetahui . Terletak pada mengetahui segala yang ada ini, atau

mengetahui segala yang Illahiah dan manusiawi. Pengetahuan ini membuahkan pemahaman mana di antara hal-hal yang mungkin yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Sederhana adalah keutamaan dari bagian hawa nafsu.

Keutamaan ini tampak dalam diri manusia ketika dia mengarahkan hawa nafsunya, dan lalu dia bebas dari dan tidak menjadi hamba hawa nafsunya. Keberanian adalah

keutamaan jiwa amarah dan muncul pada diri seseorang bila jiwa ini tunduk dan patuh terhadap jiwa berpikir serta menggunakan penilaian baik dalam menghadapi hal-hal yang membahayakan. Keadilan merupakan kebajikan jiwa yang timbul akibat

menyatunya tiga kebajikan. Ketika tiga fakultas bertindak selaras satu sama lain hingga fakultas-fakultas tadi tidak saling kontradiksi atau mengikuti

keinginan-keinginannya sendiri atas dasar

kecenderungan tabiatnya. Buah kebajikan ini adalah sikap yang mendorong orang memilih selalu untuk adil pada dirinya sendiri dulu dan kemudian adil pada orang lain dan menuntut keadilan dari mereka.

Bagian-bagian kearifan terdiri dari: Pandai (al-dzikru) adalah menetapnya gambaran tentang apa yang telah dicerap jiwa atau imajinasi. Berpikir (al-ta’aqul) adalah upaya mencocokkan obyek-obyek yang dikaji oleh jiwa dengan keadaan sebenarnya dari obyek-obyek ini. Kejernihan pikiran (shafau al-dzihni) merupakan kesiapan jiwa untuk

menyimpulkan apa saja yang dikehendaki. Ketajaman dan kekuatan otak (juadat al-dzihni) adalah kemampuan jiwa untuk merenungkan pengalaman yang telah lewat. Kemampuan belajar dengan mudah

(suhuwat al-ta’allum) adalah kekuatan jiwa serta ketajaman dalam memahami sesuatu yang dengan kemampuan ini dapat dipahami masalah-masalah teoritis.

Keutamaan-keutamaan yang ada di bawah sikap sederhana ini mencakup: malu, tenang, sabar, dermawan, integritas, puas, loyal, disiplin, diri, optimis, kelembutan, anggun berwibawa, wara.

Rasa malu (al-haya) adalah tindakan menahan diri karena takut melakukan hal-hal yang tak senonoh, dan kehati-hatian menghindari celaan dan hinaan. Tenang

(al-da’at) adalah kemampuan seseorang

utnukmenguasai dirinya ketika dilanda gejolak hawa nafsu. Sabar adalah tegarnya diri terhadap gempuran hawa nafsu, sehingga tidak terjebak busuknya

(6)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 152 tengah dalam soal memberi. Maksudnya

menyedekahkan harta seperlunya kepada yang berhak menerimanya. Integritas adalah kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencari harta di jalan benar, mendermakan harta itu pada jalan yang benar pula, serta menahan diri agar tidak mencari harta padajalan yang tidak benar. Puas (al-qa-naah) adalah tidak berlebihan dalam makan, minum dan berhias. Loyal (al-damatsah) adalah sikap jiwa yang tunduk pada hal-hal yang terpuji, serta bersemangant mencapai kebajikan. Berdisiplin diri (al-intizham) adalah kondisi jiwa yang membuat jiwa menilai segalanya dengan benar dan menatanya dengan benar. Optimis atau berpengharapan baik (husn al-huda) merupakan keinginan melengkapi jiwa dengan moral yang mulia. Kelembutan (al-musalamah) adalah lembut hati yang sampai ke jiwa dari watak yang bebas dari

kegelisahan. Anggun berwibawa (al-wiqar) adalah ketegaran jiwa dalam menghadapi gejolak tuntutan duniawi. Wara merupakan pencetakan diri agar senantiasa berbuat baik sehingga mencapai kesempurnaan jiwa.

Bagian-bagian dari berani: besar jiwa adalah meninggalkan persoalan yang tak penting dan mampu menanggung

kehormatan atau kehinaan. Oleh sebab itu, pemilikna senantiasa mempersiapkan dirinya untuk mencapai perbuatan agung. Tegar (al-najdah) adalah kepercayaan diri dalam menghadapi hal-hal yang

menakutkan, hingga pemilik sikap ini tidak lagi dilanda kegelisahan. Ulet (‘azam al -himmah) merupakan kebajikan jiwa yang emmbuat orang bahagia akibat bersungguh-sungguh. Tenang merupakan kebajikan jiwa. Dengan kebajikan ini seseorang menjadi

tenang dalam menghadapi nasib baik dan nasib buruk, sekalipun kesulitan yang menyertai kematian. Tabah merupakan kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencapai ketenangan jiwa, tidak mudah dirasuki bisikan-bisikan yang

mendorongnya melakukan kejahatan, dan tidak mudah marah. Menguasai diri terlihat pada waktu berselisih. Menguasai diri ini terjadi bila jiwa mampu mengendalikan gerakan-gerakannya pada seriusnya suatu kondisi. Perkasa adalah kemauan

melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dengan harapan mendapat reputasi yang baik. Ulet dalam bekerja (ikhtimal al-kaddi) adalah kekuatan jiwa yang menggunakan organ tubuhdemi kebaikan melalui praktik dan kebiasaan yang baik.

Bagian-bagian dari Dermawan adalah: murah hati (al-karam) merupakan

kecenderungan untuk mudahmenginfakkan hartanya di jalan yang berhubungan dengan hal-hal yang agung danbanyak manfaatnya. Mementingkan orang lain (al-itsar)

merupakan kebajikan jiwa. Dengan

kebajikanini orang menahan diri dari yang diingininya, demi memberikannya kepada orang lain yang menurut hematnya lebih berhak. Rela (al-nail) adalah bergembira hati dalam berbuat baik dan suka pada perbuatan itu. Berbakti (al-muwasah) adalah menolong teman atau orang yang berhak ditolong dan memberi mereka uang dan makanan. Tangan terbuka (al-samahah) adalah membelajakan sebagian dari apa yang tidak boleh dibelanjakan.

Pengampunan adalah membatalkan bagian dari apa yang seharusnya.

(7)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 153 menyebabkan orang memperhatikan

masalah-masalah sahabatnya dan berbuat baik untuknya. Bersemangat sosial adalah berupaya seragam dalam pendapat dan keyakinan. Silaturahmi dengan berbagi kebaikan duniawi kepada kerabat dekat.

Memberi imbalan (mukafa’ah) adalah

membalas kebajikan sesuai dengan kebikan yang diterima atau malah lebih. Baik dalam bekerja sama (husn al-syarikah) adalah mengambil dan memberi dalam berbisnis dengan adil dan sesuai dengan kepentingan pihak-pihak bersangkutan. Kejelian dalam memutuskan persoalan (husn al-qadha) adalah tepat dan adil dalam memutuskan persoalan, tanpa diiringi rasa menyesal dan mengungkit-ungkit. Cinta (tawaddu) adalah mengharapkan cinta dari mereka yang zahid dan mulia. Beribadah dengan

mengagungkan Asma Illahi Ta’ala dan

menghormati pembela-pembela-Nya. Takwa kepada Allah adalah puncak dari faktor-faktor di atas.

. Untuk melaksanakan tujuan tersebut telah digariskan berbagai kurikulum dari mulai TK hingga perguruan tinggi agar dapat menjadi manusia yang bermartabat. Di TK dan SD siswa dididik untuk

menghargai dan menerima baik setiap orang dengan cara melihat segi positif yang

dimiliki terutama sesama teman. Menerima perbedaan-perbedaan yang ada untuk saling memperkaya diri, ini dilakukan dengan cara bermain bersama, bergaul atau bernyanyi bersama. Mendahulukan kepentingan bersama dengan cara menjelaskan dan menemukan cara untuk mewujudkan kepentingan bersama diperlukan sikap tertentu misalnya tertib di kelas, meningkatkan dialog agar tahu

mendengarkan pandangan orang lain, memberikan kesempatan orang lain berbicara, mengakui secara jujur apa yang benar dari pendapat orang lain. Bekerja dan bermain dalam tim perlu ditanamkan agar anak didik dapat mengerti bahwa

sumbangan atau andil mereka masing-masing perlu, tidak ada waktu untuk bermalas-malasan atau seseorang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Bertindak adil dengan cara menekankan perlunya kejujuran dalam melakukan tugas ulangan atau ujian sehingga tidak terjadi sikap nilai pilih kasih terhadap sesamanya. Menepati janji akan kesanggupan tanggung jawab yang telah digariskan. Kita dapat menghargai diri kita maupun orang lain, kalau kita menepati kesanggupan yang telah dijanjikan, melaksanakan tugas dengan baik, rapih dan secermat mungkin. Menyadari kewajiban dan kebebasan sehingga dapat mengetahui sampai di mana hak kita dan hak orang lain. Menghargai dan

mengusahakan perbaikan lingkungan dengan menjaga kebersihan dan kerapihan kelas, halaman, peralatan sekolah dan melibatkan diri dalam kelompok dengan harus membentuk kelompok;

mengembangkan semangat kelompok yang benar; membuat kelompoknya bersinar keluar; memahami dan menerima saling ketergantungan dan saling melengkapi, serta solidaritas antar kelompok-kelompok.

Di kelas menengah murid sudah dibimbing untuk mengenal dan menemukan dirinya sendiri. Masa ini merupakan masa yang kritis karena mereka berada di persimpangan jalan dalam pencarian identitas tersebut. Pada masa ini pula

(8)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 154 kedamaian, dan cinta kasih yang

sesungguhnya yang akan menjadi makna dari identitas kehidupannya di dunia ini. Masa ini disebut kritis karena mereka menyadari adanya jurang antara apa yang sesungguhnya ada (das Sein) dalam kenyataan sehari-hari dengan apa yang seharusnya ada (dan Sollen). Pendidikan nilai diarahkan agar siswa berhasil keluar dari moralitas yang heteronom (ditentukan oleh faktor-faktor luar) ke moralitas yang otonom (yang ditentukan oleh nilai-nilai yang muncul dari kedalaman diri pribadi).

Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut dapat kita ambil dari karya sastra misalnya cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis yang dapat mengimplementasikan tentang nilai kebenaran beragama. Seseorang yang terus menerus

bersembahyang belum tentu mengisyaratkan bahwa dia nanti akan masuk surga.

Demikian juga kita dapat membaca cerpen Sabir dan Sepeda karya S. Fudoli yang menggambarkan kemandirian dan cinta kasih antar sesama

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pendidikan diarahkan oleh suatu kerangka nilai tertentu dalam rangka membangun manusia yang beradab, yang dapat mengatasi segala permasalahan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kebenaran, keadilan, dan lain-lain. Dalam kaitan ini jelaslah bahwa kekerasan adalah cermin dari kegagalan pendidikan nilai, karena orang yang melakukan kekerasan mengingkari nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi pegangan, dan bukannya

menggunakan kekerasan sebagai jalan pintas..

REALITAS NILAI YANG TERJADI DALAM MASYARAKAT

Di dalam kenyataan di masyarakat tentu jalannya tidak selicin dalam rumusan-rumusan teoretis seperti dikemukakan di atas. Banyak faktor yang ikut serta dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga nilai-nilai luhur yang diajarkan di sekolah telah ternodai, misalnya dengan berbagai kebijakan yang tidak tepat.Di bidang akademik kita melihat pemaksaan beban pelajaran. Ketika TK anak sudah dibebani tugas membaca dan menulis yang

merupakan kegiatan yang seharusnya belum diberikan karena TK diharapkan sebagai tempat bermain anak. Demikian juga pemaksaan beban pelajaran terjadi mulai tingkat SD hingga SMU yang hampir merata yang mewajibkan siswa harus belajar 42 jam pelajaran (@45 menit) untuk 14 mata

pelajaran. Selain itu materi yang diberikan bergantung pada isi buku teks. Semua isi buku teks dijejalkan kepada siswa yang harus menyelesaikannya pada waktu yang telah ditentukan sehingga pelaksanaan PBM lebih bersifat materi oriented daripada siswa oriented . Demikian juga dengan perguruan tinggi yang menetapkan kurikulum mata kuliah yang bukan sebagai penunjang bidang studi tetapi merupakan beban bagi bidang studi yang dijalani, sehingga sering mahasiswa mengeluhkan relevansi mata kuliah tertentu terhadap bidang studi yang digeluti.

(9)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 155 pengawas, pengawas dimarahi pejabat di

atasnya dan seterusnya. Sehingga lebih banyak mengandalkan kuantitas daripada kualitas. Hasil tes menunjukkan ratusan lulusan SD pada salah satu propinsi di Sulawesi, hasilnya mengejutkan 1,5 persen dari mereka belum lancar membaca.

Tidak heran apabila kualitas

pendidikan kita rendah dibandingkan negara lain. Di forum International Mathematic Olympic (IMO) delegasi kita belum pernah meraih prestasi memadai. Begitu pula pada forum The Third International Mathematics and Science Study (TIMMS). Dari puluhan ribu siswa usia 13 tahunan (di Indonesia siswa SLTP) dari 42 negara, presatsi kita menempati rangking 39 dari 42 negara. Untuk sains, anak-anak Indonesia ada pada rangking 40 dari 42 negara.

Secara internal hasil pengajaran kita masih jauh dari memadai. Rata-rata nasional nilai ebtanas murni (NEM) untuk bidang studi matematika, IPA,. Bahasa Inggris dan sebagainya juga amat rendah. Hal ini terjadi di SD hingga SMU dan SMK

Selain itu masalah muatan lokal yang merupakan mata pelajaran secara mandiri masih tetap diatur sama tiap daerah dan diujikan.

Masalah lain lain adalah kebijakan terhadap sekolah swasta yang diskriminatif. Yayasan dipersilakan mencari seluruh pembiayaan pendidikan sendiri, tetapi regulasinya dibuat Depdiknas. Sekolah swasta di luar negeri dibantu menurut banyaknya siswa yang masuk. Karena pemerintah membantu siswa bukan

membantu lembaga. Ebtanas dipertahankan karena merupakan proyek tahunan yang menguntungkan pejabat depdiknas

Kebijakan ganti buku tiap tahun merupakan bagian bisnis mereka yang berkolusi dengan penerbit tak bermoral. Kebijakan pakaian seragam nasional dipertahankan karena hal ini menyangkut kelangsungan industri tekstil milik orang Jakarta. Pemerintah lebih

senang membangun sekolah negeri yang ada proyeknya daripada mengembangkan

sekolah swasta. Beasiswa hanya diberikan kepada orang mampu bukan yang miskin karena bodoh. Gaji guru yang telah

mengabdi selama 36 tahun masih di bawah gaji pegawai BUMN yang baru bekerja satu tahun

TIGA STRATEGI MENDIKNAS Semua gambaran suram tentang pendidikan tersebut karena masalah nilai yang dianut. Mungkin menarik strategi yang diajukan Malik Fajar tentang

mengembangankan suasana pendidikan yang menyeluruh harus mengembangkan kecerdasan, rasa hati nurani, dan

keterampilan yang dilakukan oleh tangan. Pendidikan yang menyeluruh meliputi tidak hanya kecerdasan dan keterampilan

(competence), tetapi juga kesadaran dan penyadaran (conscience) dan rasa hati (compassion).

(10)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 156 Pancasila, seni, jasmani, sejarah, dan

pelajaran IPS.

Materi IPS yang kegemukan, sejumlah materi tumpang tindih antarjenjang

pendidikan seperti materi SLTP terlalu banyak di SD, materi SMU menyodok di SLTP. Bahkan penyusunan materi di SMU untuk matematika dan fisika memunculkan kesulitan bagi guru.Ada sejumlah pokok bahasan yang sebenarnya membutuhkan prasyarat pokok bahasan lain tidak bsa begitu saja diajarkan. Belum lagi kesulitan lintas mata pelajaran, misalnya, hitung-hitungan teori dalam fisika yang

membutuhkan materi matematika, padahal materi matematika baru diajarkan di tingkat berikutnya (Kartono, 2000).

Proses pendidikan telah kehilangan nurani karena guru lebih bersikap materi oriented. Buku pelajaran sebagai acuan harus dirunut taat jika ingin semua bahan sampai ke tangan siswa. Berjejalnya materi berbenturan dengan kalender akademis yang ditetapkan Depdiknas. Yang lebih

menekankan penentuan hari efektif bukan praksis pendidikan sehingga lebih

membebani guru dan siswa. Pengajaran sastra yang diharapkan mengasah nurani sangat ketinggalan dibandingkan negara lain. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Taufik Ismail (Republika , 13 November 1997) yang mengemukakan bahwa siswa SMU di negara lain telah mewajibkan membaca buku sastra dengan jumlah tertentu misalnya Jerman 15 buku sastra New York 32 judul buku sastra Rusia 12 judul buku sastra Singapur dan Malaysia 6 judul buku sastra sedangkan Indonesia kosong. Demikian juga dalam tayangan kuis di televisi seperti LG

Prima yang menampilkan siswa-siswa SMU terbaik mereka tergagap-gagap ketika harus menjawab masalah sastra.

Di bidang ketrampilan yang sepertinya belum tergarap benar masalah

ekstrakurikulum karena keterbatasan fasilitas dan sarana juga tidak dijadikan pelajaran wajib yang diujikan sehingga banyak sekolah yang mengabaikan.

PENUTUP

Dari keseluruhan permasalahan yang ada sebenarnya intinya adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan, seperti tercermin dari sedikitnya dana yang disediakan untuk pendidikan.

Kesalahan ini bisa dilihat pada tingkat kebijakan pemerintah, saat DPR bersama Presiden menetapkan APBN untuk

pendidikan di “papan bawah” yang kuirang

dari lima persen penghasilan bruto.

Kebijakan anggaran pendidikan yang rendah ini menunjukkan pandangan bangsa

Indonesia terhadap pendidikan.

Rupanya bangsa Indonesia tidak melihat pendidikan sebagai penanaman modal jangka panjang. Apresiasi terhadap aset manusia masa depan tidak tampak secara sungguh-sungguh. Karena itu, jika dunia pendidikan disalahkan dan dituntut untuk menyelesaikan masalah bangsa yang rumit saat ini adalah sebuah tuntutan yang tidak seimbang dengan apresiasi yang diterimanya.

Akhirnya proses reformasi pendidikan terancam mandek. Ketika paradigma

(11)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 157 proses belajar mengajar tahun 1980-an

berupa CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) pada praksisnya belum mencapai makna sebenarnya. Kini gagasan proses belajar yang baru muncul, misalnya Quantum learning. Learning Revolution dan upaya-upaya paradigmatis lain yang memposisikan siswa sebagai subjek dan memberi tempat bagi pembinaan IQ, EQ, SQ, dan AQ siswa

(12)

Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008 | 157 DAFTAR PUSTAKA

Arief Rachman. 2001. “Sebuah Refleksi Pendidikan, Kompas, 22 Agustus.

Barnadib, Imam. 1994. Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan. FIP IKIP Yogyakarta.

Darmaningtyas. 2001. “Reformasi Pendidikan, Sekadar Wacana, Kompas, 22 Agustus.

Kartono. 2001. “Surat Terbuka Seorang Guru untuk Mendiknas”. Kompas, 22 Agustus.

Kaswardi, ed. 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Gramedia.

Ki Supriyoko. 2001. “Menghapus Salah Kaprah Pendidikan, Kompas, 22 Agustus.

Miskawaih, Ibn. 1985. Menuju Ksempurnaan Akhlak. Diterjemahkan oleh Helmi Hidayat. Bandung: Mizan.

Sayidiman Suryohadiprojol. 2001. “Subsidi Pemerintah untuk Pendidikan, Kompas, 22 Agustus.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Chief Justice, President Eisenhower, Vice president Nixon, President Truman, Reverend Clergy, fellow citizens..

Generator dalam keadaan black out total daya 33,86 KW , dengan asumsi pemakain daya yang kecil dikarenakan kondisi darurat pada saat Kapal dalam perbaikan di

Hal ini yang memicu peneliti untuk melakukan penelitian terhadap pekerja terhadap tingkat kepuasan pekerja/pegawai atau dapat disebut dengan Employee Statis Index (ESI)

Persoalan lain, adalah bagaimana mengelola pengetahuan yang cukup rumit dan kompleks, serta dalam gejolak lingkungan dan semakin cepatnya siklus kejadian

Dilihat dari akad dan prosedur yang ada pada Asuransi Ramayana Unit Layanan Syariah Cabang Pekanbaru, sudah sesuai menurut perspektif Ekonomi Islam akan tetapi dari

Hal ini memiliki makna tersendiri bagi para pelaku ritual, air menjadi simbol kesucian dan bunga merupakan simbol dari bagaimana manusia harus bisa menjalani hidup dengan

Pada pandangan saya, doktrin ini patut dipakai oleh mahkamah syariah terutama sekali memandangkan bahawa, berbanding dengan mahkamah sivil yang hanya mempunyai satu Mahkamah

Inokulasi (perendaman eksplan dalam suspensi bak- teri) selama 60 menit memberikan hasil yang lebih baik terhadap jumlah eksplan positif (13-13,7%) dan jumlah spot biru (2,9-3,6)