• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikulasi Identitas Pada Pelaku Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Artikulasi Identitas Pada Pelaku Budaya"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Pop Research dan

Rancangan Media Practice

Oleh

Tim Bumi Wiyata Universitas Indonesia

Andri

(1306460173)

Dara

Adinda Kesuma (1306460154)

Erlangga

Saputra (1306385665)

ARTIKULASI IDENTITAS

PADA PELAKU BUDAYA POPULER

(STUDI PADA COSPLAYER HIJAB)

ARTIKULASI IDENTITAS

(2)

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Di tahun 2014, muncul artikel di Kaorinusantara.com yang membahas fenomena hijab

cosplay. Para perempuan cosplayer melakukan cosplay dengan mengenakan jilbab dan busana tertutup. Bagian rambut karakter anime1 yang biasanya ditiru menggunakan wig, oleh mereka diganti dengan kerudung berbagai warna. Para perempuan ini kemudian disebut sebagai hijab

cosplayer (Ramzielah, 2014). Uniknya, mereka tak hanya memilih karakter-karakter yang memang berbusana tertutup untuk diperankan, melainkan juga melakukan modifikasi pada

karakter yang berbusana terbuka agar cocok dipadankan dengan hijab. Misalnya, karakter IA

Vocaloid yang berpakaian seksi dimodifikasi menjadi berbusana tertutup oleh seorang hijab

cosplayer asal Malaysia bernama Ain Ainiru (Gambar 1). Namun, tak jarang pula para hijab

cosplayer memilih karakter yang memang aslinya berbusana tertutup.

(Gambar 1. Cosplay Karakter IA (kiri) dan Karakter IA (kanan) Sumber: Akun Facebook Hijab Cosplay Gallery dan Google)

Seiring perkembangan waktu, kemunculan hijab cosplay ini ternyata memunculkan perdebatan, terutama di media sosial dan forum-forum cosplayer. Dalam sebuah artikel yang

ditulis oleh Rafly Nugroho di situs Kaorinusantara.com berjudul “Ekspos: Apa Salah dan Dosa

CosplayHijab”, dinyatakan bahwa perdebatan memuncak sekitar pertengahan tahun 2014.

(3)

Isu yang mencuat dari perdebatan saat itu adalah isu Out Of Character (OOC). Cosplay

Hijab dianggap merupakan salah satu tindakan OOC karena tidak menggunakan kostum dan

properti yang semestinya digunakan oleh sang karakter yang diperankan. Dengan memodifikasi

karakter berbusana terbuka menjadi berbusana tertutup dan mengganti rambut dengan kerudung,

para hijab cosplayer ini dianggap gagal menyajikan cosplay yang semestinya.

Selain karena tidak menggunakan aksesoris dari sebuah karakter yang lengkap, cosplay

hijab juga dikatakan OOC karena dianggap tidak ada totalitas di dalamnya. Sebab, menurut definisi

yang dikemukakan oleh Jiwon Ahn (dalam Nugroho, 2014), cosplay bukan sebatas hanya mengenakan kostum dan tata rias semata, namun juga meliputi gerak-gerik, tingkah laku, dan gaya

berbicara dari karakter yang sedang diperankan.

Perdebatan yang awalnya hanya fokus pada permasalahan totalitas dalam memerankan

karakter secara fisik kemudian melebar dan dikaitkan dengan persoalan-persoalan agama. Seorang

cosplayer bernama Adrian Vidano, misalnya, menuliskan di blognya (https://andrianvidano.wordpress.com/2015/06/03/cosplay-hijab-anime -muslim-dan-culture-di-sekelilingnya/) bahwa para hijab cosplayer ini seolah-olah berusaha menarik karakter yang mereka perankan ke dalam kepercayaan tertentu, dalam hal ini agama Islam. Padahal, menurutnya anime

dan cosplay adalah tempat untuk melepas semua atribut-atribut kepercayaan itu. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar karakter anime yang tidak digambarkan latar belakang agamanya.

Sementara itu, sebagian orang melihat cosplay hijab sebagai tindakan yang bertentangan dengan tujuan perempuan berhijab. Dalam ajaran agama Islam, pemakaian hijab dianggap sebagai

sebuah tindakan untuk menutup tubuh perempuan dari pandangan lawan jenisnya. Makna hijab

dalam Al Qur’an, yang berasal dari kata hajaban yang berarti menutupi, atau “al-hijab dapat berupa tirai pembatas, kelambu, atau pembatas lainnya, yaitu pakaian penutup yang menutupi

seluruh tubuh perempuan (Manshur dalam Kartikawati, 2014). Pengertiannya terdapat dalam Al

Qur’an Surat Al Ahzab ayat 53. Sementara itu, cosplay pada dasarnya merupakan ajang memamerkan kemampuan menjiwai karakter dan keindahan tubuh. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh akun bernama alifaishol di bagian komentar blog milik Adrian, cosplay pada

dasarnya “merusak fungsi hijab”. Komentar lain soal hijab datang dari pemilik akun bernama

Adrianto R yang menganggap bahwa atribut agama tidak boleh dipakai sembarangan, termasuk

(4)

(Gambar 2. Komentar “Adrianto R” terhadap cosplay hijab di blog. Sumber:

https://andrianvidano.wordpress.com/2015/06/03/cosplay-hijab-anime-muslim-dan-culture-di-sekelilingnya/)

Perdebatan demi perdebatan yang tak jarang mengarah ke arah bullying di terhadap hijab

cosplayer di dunia maya ini ternyata tak lantas mematikan hijab cosplay ini. Para hijab cosplayer

membuat komunitas virtual bernama Hijab Cosplay Gallery di Facebook pada awal 2014. Hingga

kini, 12.363 orang telah menyukai fanpage yang rutin menerbitkan foto-foto hijab cosplayer dari seluruh dunia, terutama Indonesia dan Malaysia. Kebanyakan yang menyukai halaman komunitas

ini adalah orang-orang muslim yang berasal dari Indonesia, Malaysia dan Singapura. Tetapi

beberapa anggota juga berasal dari salah satu negara di benua Afrika (Ramzielah, 2014).

Dengan segala kontroversinya, cosplay hijab masih bertahan sampai sekarang. Foto-foto di Facebook Hijab Cosplay Gallery masih rutin dimunculkan. Bahkan, diskursusnya mulai muncul

di forum-forum offline. Salah satunya dalam diskusi Forum Anime Indonesia (FAI) yang keempat pada Februari 2016. Diskusi yang diikuti oleh berbagai komunitas cosplay ini membahas tema "Geliat Cosplay di Indonesia" dengan Hijab Cosplay sebagai salah satu topiknya.

Kemunculan perdebatan mengenai cosplay hijab dalam pandangan penulis menjadi sebuah refleksi terhadap betapa cairnya perkembangan identitas dalam sebuah budaya populer khususnya

yang terjadi lewat media sosial dan internet. Terlihat dari apa yang dilakukan oleh cosplayer hijab, hijab sebagai pakaian bagi muslimah tidak dipandang sebagai sebuah kebiasaan berpakaian yang

kaku oleh masyarakat, namun dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan. Mengingat adanya

perbedaan diskursus terhadap dua identitas tersebut di masyarakat, maka pertanyaan yang

(5)

dalam mempertemukan dua diskursus yang berbeda dan hal itulah yang penulis akan coba angkat

dalam tulisan ini.

Fenomena cosplay hijab ini menarik perhatian penulis untuk dibahas karena fenomena ini sebenarnya sudah lama muncul. Salah satu cosplayer hijab yang pertama kali muncul bernama Shireishou, yang lewat foto-fotonya di bayukristanti.com, telah melakukan cosplay hijab sejak tahun 2004. Namun berdasarkan pengamatan penulis, artikel dari Rafly Nugroho adalah artikel

yang pertama kali membahas tentang perdebatan mengenai hijab cosplay ini di tahun 2014. Artinya, ada keterputusan selama 10 tahun dari pertama kali fenomena muncul hingga menjadi

kontroversi. Apa yang terjadi hingga kontroversi ini muncul belum pernah dibahas secara ilmiah.

Begitu pula dengan kemunculan hijab cosplay itu sendiri, belum pernah dibahas secara eksplanatif.

1.2. Rumusan Permasalahan

Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya, terlihat

perdebatan yang begitu sengit terjadi di internet terkait dengan kemunculan cosplay hijab. Perdebatan yang terjadi tersebut merupakan bentuk reaksi terhadap sebuah hal yang dianggap tidak

biasa oleh masyarakat khususnya di kalangan yang beragama Islam dan pelaku cosplay

(cosplayer). Terlihat adanya identitas yang dianggap masyarakat berbeda sangat jauh yakni

cosplayer dan hijaber yang dipertemukan oleh para cosplayer hijab. Berdasarkan pengamatan terhadap hal tersebut peneliti akan berfokus untuk menjawab pertanyaan: bagaimana cosplayer

hijab mempertemukan diskursus identitas sebagai cosplayer dan hijaber?

Sebagai akademisi di bidang sosial, penulis menyadari bahwa topik yang diangkat dalam

tulisan ini mungkin sudah pernah dibahas pada oleh akademisi lain di masa lampau. Dari hasil

penelusuran via Google Scholar dan Database Perpustakaan UI terdapat sebuah penelitian yang

bertopik sama. Penelitian sebelumnya terkait cosplayer hijab hanya pernah dilakukan oleh Fidy Ramzielah F, mahasiswa S2 Kajian Sastra dan Budaya, Fakultasi Ilmu Budaya, Universitas

Airlangga, Surabaya pada 2014 lalu. Penelitiannya yang berjudul “Komunitas Hijab Cosplay Gallery: Representasi Komunitas Subkultur Virtual di Indonesia” membahas fenomena hijab cosplayer ini dari perspektif subkultur virtual dan fokus kajiannya adalah sebuah fanpage Hijab

Cosplay Gallery di Facebook yang berlevel teks. Namun, selain penelitian tersebut belum ada penelitian ilmiah di level konsumsi teks dan bersifat empiris langsung mewawancarai para hijab

(6)

Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan pelaku cosplayer

hijab yakni Shireishou (bukan nama sebenarnya) yang merupakan salah satu cosplayer hijab pada awal kemunculannya di 2004 yang telah bercosplay hingga 2014 dan Sakura (bukan nama sebenarnya) yang merupakan cosplayer hijab sejak 2014 hingga saat ini. Sakura juga tergabung dalam komunitas Islamic Otaku Community (IOC) yang merupakan wadah bagi remaja muslim

yang menggemari budaya populer Jepang dan mencoba mensintesiskan identitas Islam dengan

Jepang. Pemilihan terhadap informan sendiri didasarkan pada penampilan cosplay hijab yang pernah dilakukan. Dari dua informan tersebut, baik Shireishou dan Sakura sama-sama pernah

melakukan cosplay hijab dalam kurun waktu tertentu, walaupun berasal dari generasi yang berbeda justru hal tersebut yang memperkaya keberagaman data pada penelitian ini.

1.3. Signifikansi dan Tujuan Penelitian

Dalam pengamatan penulis terhadap perdebatan mengenai fenomena cosplayer hijab, wacana yang berkembang hanya terfokus pada ketidakcocokan nilai-nilai yang dibawa oleh

fenomena cosplay hijab pada bentuk cosplay dan hijab. Namun, belum ada argumen-argumen yang mencoba untuk memberikan pemahaman mengenai latar belakang mengenai kenapa cosplayer

hijab bisa sampai terbentuk di masyarakat. Tulisan ini diharapkan dapat menambahkan penjelasan

mengenai sebab-sebab yang memicu kemunculan cosplay hijab sehingga dapat mengupas sebuah bentuk budaya populer secara lebih mendalam yang pada akhirnya akan memperkaya pemahaman

terhadap mereka. Selain itu, tulisan ini juga diharapkan dapat memperkaya wacana dalam

perdebatan yang muncul sehingga netizen tidak hanya melakukan penghakiman begitu saja terhadap cosplayer hijab dengan berdasarkan ketidakcocokan cosplay hijab pada pakem ber-hijab dan pakem ber-cosplay.

1.4. Sistematika Penulisan

Secara umum berikut adalah sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini:

Pada bab 1 yang dibahas adalah terkait pendahuluan penelitian ini. Bab 1 terdiri dari Latar

belakang, Rumusan masalah, Signifikansi dan Tujuan Penelitian, dan Sistematika Penulisan

(7)

Pada bab 3 terdapat pembahasan dari data yang telah didapatkan oleh penulis yang

langsung dianalisis dengan menggunakan konsep identitas dan teori artikulasi dari Stuart Hall yang

digunakan untuk meihat fenomena cosplay hijab.

Pada bab 4 merupakan kesimpulan dari penelitian ini

(8)

BAB II

Cosplay Hijab di Indonesia

2.1 Merumuskan Cosplay Hijab

Dalam memahami istilah cosplay hijab secara komprehensif perlu didahului dengan

pemahaman terhadap istilah cosplay dan hijab sebagai penyusunnya.

Secara etimologis, term cosplay berasal dari bahasa inggris yakni costume (pakaian yang khusus dipakai dalam sebuah kondisi tertentu) dan play yang merujuk pada term role-play yang menggambarkan kegiatan memerankan karakter tertentu dengan menirukan cara berbicara yang

dimiliki oleh karakter tersebut. Cosplay (seperti yang dikutip dalam Winge, 2006) dapat pula merujuk pada beberapa kegiatan--seperti penyamaran diri, karaoke, dan berpose untuk difoto

bersama dengan otaku lainnya--yang diasosiasikan dengan berpakaian dan berperan seperti

karakter anime, manga2, dan video game. Menurut Widyastuti (2015), Cosplay merupakan kegiatan mewujudkan karakter baik itu fiksi atau non-fiksi dari bentuk dua dimensi menjadi tiga

dimensi yang mengandung narasi atau cerita tertentu. Cosplay dalam pengertian Widyastuti (2015) dilihat sebagai sebuah seni pertunjukkan dimana pelakunya (cosplayer) turut melakukan seni pertunjukkan yang membawa sebuah cerita pada karakter yang diperankan.

Keterhubungan dalam pengertian mengenai cosplay yang telah dipaparkan sebelumnya terletak pada kesamaan paham bahwa cosplay merupakan kegiatan fans yang berusaha menirukan sebuah karakter semirip mungkin dengan cara menggunakan kostum dan menirukan tingkah laku

dari karakter tersebut. Aktivitas fans dalam bentuk cosplay ini pun dilihat oleh Jenkins (1992a, 1992b) sebagai kemampuan untuk mencerna teks media yang dikonsumsi secara aktif dengan

menghasilkan karya seni mereka sendiri dan menjadi kreatif dalam perspektif mereka sendiri.

Sementara itu, dalam membahas term hijab dari cosplay hijab, perlu diketahui perbedaan pada definisi istilah hijab dan jilbab. Secara etimologis, hijab berarti larangan (‘Uwaidah dalam Kartikawati, 2014). Secara definitif, hijab merupakan penutup seluruh tubuh perempuan tanpa

kecuali, (Manshur, 2012: 256-257). Makna hijab dalam Al Qur’an, yang berasal dari kata hajaban

yang berarti menutupi, atau al-hijab dapat berupa tirai pembatas, kelambu, atau pembatas lainnya, yaitu pakaian penutup yang menutupi seluruh tubuh perempuan (Manshur, 2005: 254).

Pengertiannya terdapat dalam Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 53. Dengan kata lain, hijab adalah upaya mencegah diri kita dari penglihatan orang lain. Sedangkan apabila menurut istilah syara’,

(9)

al- hijab adalah suatu tabir yang menutupi semua anggota badan wanita, kecuali wajah dan kedua telapak tangan dari penglihatan orang lain (Firdaus dalam Kartikawati, 2014).

Sedangkan istilah jilbab secara etimologis berasal dari bahasa Arab jalaba yang berarti menghimpun atau membawa (Firdaus dalam Kartikawati, 2014). Hanya saja terjadi pergeseran

makna menjadi penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 Hijriah. Aurat adalah bagian tubuh

perempuan yang tidak boleh diperlihatkan, yaitu wajah dan telapak tangan. Di beberapa Negara

Islam pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah seperti Chador di Iran, Pardeh di India dan Pakistan, Milayat di Libya, Abaya di Irak, Charshaf di Turki, Hijab di beberapa Negara Arab-Afrika seperti Mesir, Sudan dan Yaman (Sofyan, Ahmad Dicky, 2009: 33). Dalam Kamus

Umum Bahasa Indonesia tahun 1984 Balai Pustaka cetakan ke-7, dulu belum dikenal nama jilbab,

tetapi dikenal dengan istilah hijab yaitu merupakan penutup aurat perempuan. Arti hijab atau jilbab

adalah sama dalam Kamus Mode Indonesia yaitu penutup kepala sebagai pelengkap busana

muslimah.

Satu penelitian yang dilakukan Fedwa El Guindi (dalam Budiati, 2011), jilbab merupakan

fenomena yang kaya dan penuh makna. Jilbab berfungsi sebagai bahasa yang menyampaikan

pesan-pesan sosial dan budaya. Bagi umat Kristen, jilbab menjadi sebuah simbol fundamental

yang bermakna ideologis, khusus bagi umat Katholik jilbab merupakan bagian pandangan

keperempuanan dan kesalehan, dan dalam pergerakan Islam jilbab itu memiliki posisi penting

sebagai simbol identitas dan resistensi. Lebih lanjut, Fedwa menganalisis jilbab dengan

meletakkan jilbab dalam konteks berpakaian multidimensional-secara material, ruang dan

keagamaan-sebagai sebuah mode komunikasi yang dibangun di atas pengetahuan antarbudaya,

antaragama dan antargender. Pada perkembangannya, jilbab seolah-olah hanya menjadi milik

Islam (khususnya bagi perempuan Muslim).

Dengan demikian jilbab dan hijab berbeda secara spesifik. Menurut Syekh al-Bani

mengatakan bahwa setiap jilbab adalah hijab, tetapi tidak semua hijab itu jilbab, sebagaimana yang

tampak sehingga memang terkadang kata hijab dimaksudkan untuk makna jilbab (Firdaus dalam

Kartikawati, 2014). Namun, di Indonesia terjadi pergeseran makna kata hijab. Pemaknaan kata

hijab ini kemudian bergeser lebih kepada fashion perempuan muslim (Ramzielah, 2014).

Dari uraian ini, hijab cosplay yang kami maksud adalah kegiatan fans yang berusaha menirukan sebuah karakter semirip mungkin dengan cara menggunakan kostum yang dimodifikasi

(10)

konteks pada bagaimana cosplay hijab sampai dapat terbentuk di masyarakat, penulis menyajikan perkembangan antara dua elemen yang membangun cosplay hijab, yakni cosplay dan hijab.

2.2 Perkembangan Cosplay di Indonesia

Dalam memahami perkembangan cosplay di Indonesia selain melihat perjalanan waktunya, perlu pula untuk melihat faktor yang membantu menginisiasi munculnya cosplay

pertama kali. Perkembangan cosplay di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan budaya populer Jepang di Indonesia seperti anime, manga, dan video game. Randy Fajrian (2012) dalam

skripsinya yang berjudul “Makna Kostum dalam Komuniti Cosplay: Studi Kasus pada Endiru Team” menjelaskan bahwa cosplayer yang muncul di Indonesia merupakan khalayak dan fans dari

anime, manga, dan video game yang telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1970-an dan sangat populer sejak 1990-an dengan tayangnya Doraemon dan Dragon Ball saat itu.

Lewat data yang penulis dapatkan dari tulisan Fajrian (2012) perkembangan cosplay di Indonesia memiliki beberapa keterbatasan data historis yang dapat diakses. Salah satunya

mengenai waktu pasti kapan cosplay pertama kali dilakukan di Indonesia yang tidak dapat dilacak, karena pada awal kemunculannya cosplay lebih banyak dilakukan secara pribadi oleh masing-masing cosplayer. Cosplayer yang mengakui dirinya sendiri sebagai cosplayer pertama adalah Jessica, dikenal dengan nama samaran Pinky Lu Xun, yang telah memulai aktivitas cosplay pada tahun 1998. Seperti yang dikutip oleh Fajrian (2012) dari wawancara dengan Jessica, cosplay di awal kemunculannya sempat mendapatkan anggapan negatif dari masyarakat yang membuat

cosplayer menjadi sangat pemalu dalam menunjukkan hasil karyanya di depan umum. Anggapan tersebut perlahan hilang seiring berjalannya waktu dan hadirnya acara yang mewadahi cosplay

untuk pertama kalinya.

Acara yang mewadahi cosplay pertama kali di Indonesia adalah Animonster Sound pada 2004 yang diselenggarakan oleh majalah Animonster yang merupakan majalah dengan konten

khusus budaya populer Jepang (Fajrian, 2012; Widyastuti, 2015). Cosplay saat itu belum menjadi mata acara utama karena masih disatukan dengan berbagai budaya populer asal Jepang lainnya.

Animonster Sound sendiri menjadi sebuah titik awal pada kemunculan berbagai acara serupa

(11)

Cosplay Cabaret X'tion Festival, dan Ragnarok OnlineCosplay Drama Competition pada rentang tahun antara 2005-2006 (Fajrian, 2012).

Tidak selamanya cosplay selalu identik dengan budaya populer Jepang. Dalam perkembangannya saat ini cosplay pun juga mendapat tempat di acara-acara budaya populer non-Jepang seperti pameran mainan (ToyzMania, Jakarta Toys Fair) dan acara yang mengangkat

budaya populer secara lebih umum (HelloFest, Indonesia Comic Con, Jakarta Comic Con). Pada

acara-acara tersebut cosplayer yang hadir menjadi lebih beragam dengan merujuk pada karakter komik dan game Amerika ataupun komik dan cerita pewayangan Indonesia. Putri Anggraeni Widyastuti lewat artikel proceeding-nya yang berjudul "Kajian Transformasi Cosplay sebagai Seni Pertunjukan Wisata Jakarta" (2015) turut memberikan bukti kehadiran cosplay karakter lokal yang terinspirasi dari karakter wayang (lihat gambar 3). Selain itu, Widyastuti (2015) juga menyorot

acara Jakarta Cosplay Parade pada 2014 dan 2015 lalu sebagai wadah resmi kegiatan cosplay yang disediakan oleh Pemerintah DKI Jakarta (gambar 4). Di acara tersebut, cosplayer dari berbagai genre mendapat kesempatan unjuk kemampuan dan kostumnya yang dilihat oleh masyarakat

umum.

Perkembangan Cosplay di Indonesia sendiri mengalami lompatan yang cukup besar. Jika pada awalnya cosplayer masih melakukan kegiatan ini secara individual, maka saat ini para

cosplayer cenderung mengembangkan komunitas-komunitas atas dasar kesamaan pandangan dalam menjalani cosplay (Fajrian, 2012). Selain itu, acara cosplay pun tidak lagi hanya dimiliki oleh acara-acara budaya populer Jepang namun turut hadir di acara yang mengusung budaya

populer yang lebih umum. Putri Widyastuti (2015) merangkum perubahan pada cosplay di Indonesia pada tahun 2004 dan 2015 dengan melihat beberapa hal yakni: terlihat adanya

peningkatan kualitas pada kostum yang digunakan, adanya perubahan yang cukup signifikan

dalam unsur tata rias, tata rambut, dan teknik dalam ber-cosplay dimana karakter yang ditampilkan semakin mirip dengan aslinya, dan adanya pengembangan keberagaman genre dalam ber-cosplay

(12)

(Gambar 3. Cosplayer yang didasarkan pada karakter Garudayana karya Is Yuniarto. Sumber: Putri Anggraeni Widyastuti, 2015)

(Gambar 4. Dokumentasi Cosplayer bersama Gubernur Jakarta Basuki TP saat konferensi pers Jakarta Cosplay Parade. Sumber:

http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/749820/big/033147100_1413027248-presskon_costplay__foto_5_.jpg)

2.3 Perkembangan Hijab di Indonesia

Perkembangan jilbab (atau yang kini maknanya sering disamakan dengan istilah “hijab”) di Indonesia sangat dinamis. Di masa awal masuknya Islam ke Indonesia, hijab atau jilbab hanya

dipakai oleh keturunan langsung dari pedagang Arab atau Gujarat. Hijab atau jilbab juga menjadi

sebuah simbol perlawanan kepada penjajah pada saat itu karena orang Islam dilarang memakai

pakaian gaya Belanda (Dawam dalam Kartikawati, 2014). Di masa perjuangan kemerdekaan,

muncul Cut Nyak Dien di Aceh yang mengenakan jilbab sehingga posisi hijab atau jilbab sebagai

bentuk perlawanan terhadap penjajah menguat. Setelah Indonesia merdeka, hijab atau jilbab

menjadi salah satu simbol ideologi, misalnya oleh Masyumi.

Kebangkitan pemeluk agama Islam di dunia internasional pada tahun 1970-an, melahirkan

“revolusi jilbab” di Indonesia. Hijab atau jilbab menjadi semakin populer di tahun 1980-an. Para muslimah mengutarakan pendapatnya untuk menjulurkan kain hijab atau jilbabnya menutup

(13)

nusantara. Pemerintah Orde Baru pada awalnya melihat fenomena ini sebagai fenomena politik,

yaitu sebagai bagian dari korporatisme negara (Kemal dalam Kartikawati, 2014). Kemudian pada

tanggal 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah, Prof. Darji Darmodiharjo, SH.,

mengeluarkan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang implementasinya

berujung pada pelarangan hijab atau jilbab di sekolah.

Peristiwa ini membuat ribuan mahasiswi dan pelajar yang pro terhadap hijab atau jilbab

membanjiri jalanan untuk memprotes larangan itu. Sejak terjadinya gelombang revolusi itu,

keluarlah SK Dirjen Dikdarmen No. 100/C/Kep/D/1991 untuk mencabut larangan tentang

pemakaian hijab atau jilbab yang sebelumnya oleh pemerintah pusat. Keputusan ini membuat

pemakai hijab atau jilbab terus bertambah di tahun 1990-an, terutama di kalangan mahasiswa dan

pelajar. Setelah reformasi, perjuangan hijab atau jilbab merembet ke arah otonomi daerah yang

membuatnya dibakukan dengan peraturan daerah, misalnya di Provinsi Sumatera Barat.

Di tahun 1990-an akhir menuju 2000-an, hijab atau jilbab semakin mudah ditemui di

wilayah urban dan heterogen (Kartikawati, 2014). Jilbab dan hijab dimaknai secara beragam. Ia

lebih dari sekadar busana religius. Hijab atau jilbab menjadi simbol ideologis dari komunitas

tertentu, menjadi fenomena bagi suatu lapisan elite sosial, simbol segregasi gender, simbol

komunitas patriarki, menjadi simbol keterbatasan perempuan, dan lain-lain.

Pertemuan antara nilai-nilai modernitas dengan hijab atau jilbab membawa gelombang

baru di kalangan perempuan muslim, terutama di London (Tarlo dalam Kartikawati, 2014). Dalam

tulisan berjudul “Hijab in London: Metamorphosis, Resonance, and Effects” tahun 2007,

diceritakan bahwa perempuan-perempuan ini merasa modern dan ingin dilihat sebagai orang

modern sehingga memakai jilbab justru untuk melawan stigma hijab atau jilbab. Stigma itu adalah

(1) stigma jilbab hanya sebagai tren; (2) Jilbab sebagai alat pemasungan kebebasan perempuan;

serta (3) Stigma-stigma lainnya.

Penggunaan hijab atau jilbab di zaman sekarang cenderung lebih ekspresif, terutama

dengan kemunculan berbagai selebriti yang memakai jilbab, antara lain Neno Warisman, Astri Ivo,

Inneke Koesherawati, Nuri Maulida, Aulia Sarah, Cece Kirani, Nabila Syakieb, Oki Setiana Dewi,

Oky Asokawati, Puput Melati, Ratih Sanggarwati, Zaskia Adya Mecca, Dewi Sandra, dan masih

banyak lagi. Dengan perkembangan hijab atau jilbab yang sekarang ini, hijab atau jilbab terlihat

tidak hanya berdasar tuntunan agama semata, akan tetapi merambah ke arah gaya hidup

(14)

Perkembangan hijab atau jilbab tersebut menunjukkan seolah-olah hijab atau jilbab telah

mengalami pergeseran makna yang signifikan. Hijab atau jilbab tidak hanya menjadi simbol

identitas religius semata, tetapi telah memasuki berbagai ranah budaya, sosial, politik, ekonomi

dan tren (Kartikawati, 2014). Di ranah budaya, hijab atau jilbab telah menjadi tradisi masyarakat

tertentu dengan budaya tertentu yang dapat menyampaikan satu pesan budaya tertentu. Di ranah

sosial, hijab atau jilbab telah masuk dalam ranah sosial keagamaan yang dapat dirunut dari

perkembangan sejarah, yang mencerminkan identitas keberagaman seseorang.

Hijab atau jilbab juga telah menjadi alat politik sebagaimana di zaman Orde Baru yang

dapat diterjemahkan bahwa pemakai hijab atau jjilbab dianggap memiliki ideologi tertentu yang

ekstrem yang kemudian merupakan upaya perlawanan terhadap negara. Ranah ekonomi, hijab atau

jilbab ini telah menjadi lahan ekonomi, yang secara luas sebagai mengukuhkan keberhasilan

reproduksi ekonomi sebagaimana komodifikasi. Ranah yang terakhir adalah sebagai tren.

Kecenderungan fenomena wanita muslimah di Indonesia sekarang ini menunjukkan bahwa mode

hijab atau jilbab terus berkembang yang sifatnya menular.

Apalagi hal tersebut diramaikan dengan kemunculan beragam mode hijab atau jilbab

sebagai fashion yang yang unik. Ketika kerudung atau yang kemudian berkembang dengan nama

hijab atau jilbab telah memasuki industri, ia kemudian bersifat simbolis. Pada kenyataannya era

sekarang adalah era di mana muncul banyak nilai-nilai baru baik yang hadir sehingga hijab atau

(15)

BAB III

Temuan dan Analisis

3.1 Identitas di Media Baru

Dalam hubungannya dengan identitas dan media baru, di bagian pembukaan dalam

bukunya Life on the Screen, Sherry Turkle (1995) menulis:

“Layar komputer adalah lokasi baru untuk fantasi kita, baik yang erotis maupun yang intelektual. Kita menggunakan hidup kita di layar komputer untuk menjadi nyaman dengan cara berpikir baru mengenai evolusi, hubungan, seksualitas, politik, dan identitas”

Di dalam ruang obrolan, di halaman web, dan di permainan online, komputer menawarkan kita kesempatan untuk bermain dengan identitas kita dalam cara yang dahulu tidaklah mungkin.

Kita dapat berpura-pura menjadi orang lain, berbeda gender, usia, ras, atau kelas; kita dapat

menjabat sebuah pekerjaan yang eksotis, berjalan meski lumpuh, dan melihat meski buta. Ini

tidaklah dengan sederhana bahwa kita dapat berpura-pura menjadi orang lain namun bahwa kita

dapat membawa sesuatu yang lain/others dalam fantasi kita yang tidak mempunyai cara langsung untuk mengetahui apakah identitas publik yang kita umumkan adalah milik kita atau bukan. Ini

adalah keberanian dan sekaligus bahaya dari dunia baru tentang siapa kita dan siapa yang kita

dapat menjadi, dimana mungkin mengintensifikasi atau mengatasi tensi yang berjalan antara

dimensi personal dan sosial dari “identitas” (Turkle, 1995).

Pembentukan identitas cosplayer hijab dengan segala perdebatannya juga tak terlepas dari pengaruh media baru, terutama sosial media. Sosial media menyediakan ruang baru bagi para

cosplayer hijab untuk menampilkan dirinya bukan sebagai perempuan berjilbab saja, tetapi juga sebagai cosplayer. Menurut seorang informan bernama Shireishou (bukan nama sebenarnya), internet telah menjadi panggung bongkar-pasang identitas cosplayer hijab sejak tahun 2004. Pada waktu itu, sosial media yang terkenal adalah Multiply dan website Cosplay.com. Di kedua

platform ini, cosplayer hijab mengunggah foto-foto mereka dan menampilkan identitas lain. Keterbatasan sosial media pada waktu itu membuat Shireishou sebagai hijab cosplayer

(16)

mulai populer, informasi tentang hijab cosplayer pun semakin mudah didapat dan interaksi sesama mereka pun mulai berjalan. Ketika itu Shireishou yang tinggal di Tangerang Selatan telah

mengetahui keberadaan hijab cosplayer yang tinggal di Semarang karena saling berkomentar lewat foto-foto yang diunggah ke Facebook.

Jonah Peretti, dalam artikelnya yang berjudul “Capitalism and Schizophrenia: Contemporary Visual Culture and the Acceleration of Identity Formation/Dissolution”

mengungkapkan bahwa pembentukan identitas dipengaruhi oleh bagaimana kita melihat diri kita

(atau variasi dari diri kita) direfleksikan di budaya populer visual. Munculnya sebuah fanpage

bernama Hijab Cosplay Gallery yang rutin mengunggah foto-foto cosplayer hijab dari berbagai belahan dunia menjadi insipirasi bagi cosplayer hijab dalam memodifikasi busana-busana cosplay

hijab yang ingin mereka perankan. Selain mengunggah foto cosplayer hijab, laman ini juga menyediakan gambar fanart (karakter anime buatan fans yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa) dalam versi berhijab sehingga para hijab cosplayer lain mempunyai tokoh rujukan. Tokoh rujukan ini menjadi penting untuk menghindari isu Out of Character (OOC) yang kerap dituduhkan pada hijab cosplayer karena dianggap memerankan karakter berhijab yang tidak ada di anime yang sebenarnya. Dengan adanya fanart, isu OOC ini terpatahkan. Para cosplayer yang berada di laman ini pun secara aktif mengajukan permintaan agar admin akun ini menerbitkan foto karakter-karakter tertentu yang ingin mereka perankan.

Hijab Cosplay Gallery hanyalah salah satu sumber rujukan untuk mempermudah cosplayer

hijab melakukan negosiasi identitasnya. Sumber lain yang sejenis tentu mudah ditemukan di

internet lewat blog ataupun situs berbagi video, YouTube. Blog milik seorang cosplayer hijab yang bernama Sindi Hamano (http://mucosplay.blogspot.co.id/) bahkan menyediakan tutorial cara memakai hijab agar sesuai dengan bentuk karakter tertentu. Lalu, di platform berbagi video

YouTube pun tinggal mengetik “cosplayhijab tutorial” di bagian pencarian, maka akan muncul

beragam cara mendandani diri hingga mirip tokoh anime yang ditambah dengan hijab. Keadaan ini tentu berbeda ketika penetrasi internet belum setinggi ini di masyarakat Indonesia. Dari hasil

wawancara kepada Shireishou, ia mengaku sering menjadikan Youtube sebagai referensi untuk

belajar memakai make-up dan inspirasi hijab.

Peran media baru dalam pembentukan identitas cosplayer tidak hanya sebatas memberikan kesempatan untuk membentuk berbagai macam identitas dengan mengadopsi berbagai identitas

(17)

tetapi sekaligus menyediakan mekanisme pembentukan identitas yang lebih fleksibel, cepat, dan

menguntungkan lewat fenomena belanja online (Peretti, 1996). Berkat internet, kini banyak toko-toko online yang menyediakan perlengkapan cosplay, baik untuk yang berhijab maupun tidak. Salah satu toko online ini bernama Light In The Box (http://www.lightinthebox.com/) yang berskala internasional. Kostum yang disediakan sangat bervariasi, mulai dari karakter berpakaian

terbuka hingga tertutup yang dapat dikenakan oleh cosplayer hijab. Di situs ini, cosplayer tinggal memilih karakter atau anime apa yang diinginkan disertai dengan pemilihan ukuran baju hingga rentang harga. Metode pembayarannya pun dapat dilakukan via kartu kredit, PayPal, dan Western

Union.

Keberadaan situs belanja online ini tentu memudahkan para cosplayer hijab dalam membentuk identitasnya. Sebelum toko-toko online ini muncul, para cosplayer hijab harus membuat sendiri kostum yang mereka inginkan. Sebagaimana penuturan Shireishou yang

ber-cosplaysejak tahun 2004, “Dulu tidak ada yang jual baju-bajunya. Saya menggambarnya sendiri, lalu saya bawa ke penjahit karena saya tidak bisa menjahit. Tapi kebanyakan (cosplayer) kalau bisa jahit, ya jahit sendiri. Kostum (dari karakter) Pili yang tujuh lapis itu, tiap lapis saya gambar sendiri. Untuk properti lainnya, baru saya yang buat (sendiri)”. Hal senada pun turut diungkapkan

oleh informan lainnya yakni Sakura. Ia menuturkan bahwa dalam pembuatan kostum yang akan

dikenakannya selalu meminta bantuan ke penjahit dengan desain kostum yang ia buat sendiri. “Beli

(dari penjahit atau costume maker) tapi aku yang desain…

Untuk satu baju, biayanya bervariasi. Kostum karakter Hokuto yang dimiliki oleh Shireishou hanya menghabiskan biaya Rp 65 ribu di tahun 2004, Rp 40 ribu untuk biaya penjahit

dan Rp 20 ribu untuk biaya bahan, dan Rp 5 ribu untuk biaya sarung tangan. Belakangan, Shireisou

pun pernah membuat kostum karakter Hokuto versi lengkap dengan armor dan tongkatnya dan menghabiskan biaya Rp 800 ribu. Biaya ini belum termasuk usaha yang dikeluarkan untuk

merancang desain baju, transportasi ke tempat penjualnya, dan tenaga untuk membuat properti

cosplay. Pada informan lainnya, Sakura juga mengatakan bahwa dalam satu pembuatan kostum, biaya untuk kostum dapat mencapai Rp 400 ribu.

3.2 Identitas Non-Esensialis Para Cosplayer Hijab

Identitas dalam pandangan kajian budaya didasarkan pada dua gagasan yakni identitas

(18)

gagasan esensialisme dan identitas sebagai konsep yang bersifat plastis dan sangat spesifik dan

unik sesuai dengan ruang dan waktu tertentu (Barker, 2015). Identitas non esensialis, lanjut Barker,

merupakan sebuah konstruksi diskursif yang maknanya berubah menurut ruang, waktu, dan

pemakaian.

Penggunaan hijab yang erat kaitannya dengan praktik dalam agama Islam untuk perempuan

lantas memberikan sebuah bentuk identitas yang seolah-olah ajeg tanpa adanya ruang bagi

negosiasi terhadap para penggunanya. Seorang pengguna hijab (hijaber) pada akhirnya dilihat sebagai perempuan alim yang kegiatannya didominasi oleh kegiatan keagamaan. Akan tetapi,

seiring berjalannya waktu, identitas esensial tersebut mulai pudar di masyarakat dan yang

berkembang justru adalah identitas non-esensialis. Penggunaan hijab tidak lagi dianggap

merupakan sebuah bentuk identitas dari keimanan seseorang, namun lebih menjadi sebuah simbol

kewajiban seorang perempuan muslim dan juga melambangkan gaya hidup.

Konsep identitas non-esensialis ini pula yang terlihat dalam perkembangan cosplayer di Indonesia. Identitas cosplayer yang pada awal kemunculannya dianggap sebagai orang aneh mulai berganti menjadi seorang fans yang sangat berdedikasi terhadap karakter yang dicintainya. Disamping itu pun, identitas cosplayer sebagai pecinta anime-manga-game dari Jepang pun mulai

“diganggu” dengan munculnya cosplayer karakter lokal yang memiliki identitas sebagai pecinta budaya lokal yang dianggap nasionalis. Saat ini cosplayer pun sudah tidak lagi malu untuk menunjukkan dirinya pada publik seiring dengan pelaksanaan acara-acara cosplay yang semakin banyak di Jakarta dan setiap acara dapat diikuti oleh cosplayer dalam jumlah banyak. Perubahan tersebut semakin jelas terlihat pada pelaksanaan Jakarta Cosplay Parade yang diselenggarakan oleh

pemerintah DKI Jakarta dalam membangun pariwisata daerah. Hal tersebut menandai cosplay

yang semakin umum dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu dan turut menjadi

sebuah komoditas pariwisata bagi daerah.

Perubahan identitas pada cosplayer dan hijaber tersebut turut mempengaruhi bagaimana identitas para cosplayer hijab. Salah satu informan, Sakura menuturkan bahwa ia baru memakai hijab pada tahun 2012, saat itu ia menganggap seorang hijaber tidak mungkin untuk ber-cosplay

(19)

informan lebih memahami bagaimana seharusnya hijab dimaknai oleh penggunanya. Baginya,

hijab bukanlah sebagai lambang keimanan yang sakral, namun sebagai layaknya kain sebagai

pakaian bagi seluruh manusia yang beradab yang dapat digunakan dalam konteks apapun termasuk

dalam hobi yang dimiliki oleh hijaber tersebut.

Sakura yang merupakan perempuan aktif berolahraga turut menyampaikan bahwa dalam

berolahraga pun (renang dan basket) dirinya tetap menggunakan hijab. Sehingga ia tidak merasa

terbebani dengan identitas seorang hijaber saat menggeluti dunia cosplay. Cosplay pun dianggap lebih kepada sebuah hobi yang pantas untuk digeluti namun perlu mengingat batasan-batasan

agama dan norma yang berlaku. Dapat terlihat dari pemaparan dalam wawancara Sakura, identitas

sebagai seorang hijaber tidak menggunakan acuan universal terhadap bagaimana seharusnya hijab digunakan, namun lebih dinamis dan mudah dinegosiasi selama tidak melanggar aturan mengenai

bagaimana sebuah hijab yang tidak boleh tipis dan menewarang serta diharuskan menutup hingga

bagian dada.

“Hijab cosplay itu sama aja seperti hijab fashion. Sekarang aja udah banyak acara fashion hijab. Hijab sama fashion beda emang? Sekarang kalo misalnya semua kegiatan gaboleh membawa hijab, berarti kerja juga gaboleh pake jilbab. Makanya banyak juga perusahaan yang tidak menerima wanita berhijab. Itu sama dengan alasan dalam (pelarangan) hijab cosplay tidak boleh membawa hijab”.

Sementara itu, informan lain bernama Shireisou sedari awal menyadari bahwa cosplay dan hijab memiliki tujuan yang berbeda. Shireishou menganggap konsep berjilbab sesuai dengan apa

yang dikatakan dalam Al-quran, yaitu melindungi diri, menjaga diri untuk tidak dilihat oleh yang

bukan mahram-nya (bukan yang berhak melihat). Sementara itu, ketika ber-cosplay ia ingin orang lain melihat karakter apa yang dia sukai. Ada unsur ingin menunjukkan diri di dalamnya.

Konsekuensinya, Shireishou menyadari bahwa ketika ia ber-cosplay, ia belumlah menjadi seorang muslimah yang kaffah (sempurna). Namun, Shireishou tidak memaknai jilbab sebagai penentu akhlak seorang perempuan. Perempuan berjilbab belum tentu lebih baik dari perempuan yang tidak

(20)

“Tidak ada hubungan antara pakai jilbab dengan akhlak. Jilbab itu wajib bagi seluruh perempuan muslim. Orang (Islam yang) jahat juga harus berjilbab. Tapi setidaknya dengan berjilbab, muslimah jadi lebih berpikir dalam bertindak.”

Oleh karena itu, ia menegosiasikan keinginan untuk ber-cosplay dengan identitasnya sebagai perempuan berjilbab dengan membuat batasan tersendiri dalam ber-cosplay. Ia selalu berprinsip bahwa sebagai perempuan yang berjilbab, ia tak boleh melupakan agama yang

merupakan penuntun dalam setiap kegiatannya, termasuk ketika ber-cosplay. Hal ini berdampak pada pemilihan karakter yang ia perankan. Shireishou pun selalu memilih untuk memerankan

karakter laki-laki yang busananya relatif lebih tertutup.

3.3 Artikulasi Identitas pada Cosplayer Hijab

Salah satu wacana yang berkembang dalam perdebatan terhadap cosplay hijab adalah ketidakcocokan penggunaan hijab dalam konteks cosplay. Ketidakcocokan tersebut hadir karena adanya diskursus berbeda terkait hijab dan cosplay. Diskursus hijab yang telah lebih dahulu mapan di Indonesia sangat erat dengan praktik keagamaan Islam, sedangkan diskursus cosplay lebih mengarah pada hal-hal duniawi dan materialis. Keduanya memang terlihat memiliki dimensi yang

berbeda dan tidak dapat disatukan. Namun, setelah melakukan wawancara dengan informan yang

merupakan cosplayer hijab, justru pelaku cosplay hijab memiliki pandangan yang berbeda dalam diskursus hijab dan cosplay yang umum di masyarakat. Dalam tulisan ini, penulis turut menggunakan teori artikulasi oleh Stuart Hall dalam melihat perbedaan pandangan tersebut yang

akhirnya membuat informan dengan nyaman melakukan cosplay hijab.

Teori artikulasi pertama kali dicetuskan oleh Stuart Hall pada 1985 yang muncul sebagai

penengah pada debat antara kelompok Neo-Marxian dan kaum Post-strukturalis mengenai

“perbedaan” dan “persatuan” dalam formasi sosial. Kaum Neo-marxis memandang bahwa dalam perbedaan-perbedaan yang hadir di masyarakat dapat dimungkinkan adanya persatuan, sedangkan

kaum post-strukturalis yang cenderung pesimisme dalam melihat adanya kesatuan dari perbedaan

(Taufiqurrohman, 2010). Lebih lanjut dalam tulisan Taufiqurrohman (2010), Hall berpendapat

bahwa persatuan terhadap elemen-elemen yang berbeda di dalam struktur sosial dimungkinkan

(21)

sebagai artikulasi. Dalam artikulasi ini pula, Hall menghindari upaya reduksi pada formasi sosial

hanya kepada elemen ekonomi yang telah banyak dilakukan oleh kelompok Marxis, namun

mencoba untuk melihat perpaduan pada elemen-elemen yang berbeda-beda seperti kelompok ras,

seksualitas, dan bahasa. Secara lebih jelas, Hall menjelaskan artikulasi lewat sebuah

wawancaranya yang diedit oleh Grossberg (2005) sebagai berikut:

“An articulation is thus the form of the connection that can make a unity of two different elements, under certain conditions. It is a linkage which is not necessary, determined, absolute and essential for all time. You have to ask, under what circumstances can a connection be forged or made? So the so-called ‘unity’ of a discourse is really the articulation of different, distinct elements which can be rearticulated in different ways

because they have no necessary ‘belongingness’. The ‘unity’ which matters is a linkage

between that articulated discourse and the social forces with which it can, under certain historical conditions, but need not necessarily, be connected.” (Hall dalam Morley dan

Chen, 2005: 141)

Artikulasi dalam tulisan Hall di atas merujuk pada keterhubungan yang membentuk sebuah

kesatuan dari dua elemen (dalam formasi sosial) yang berbeda dalam kondisi tertentu. Kondisi

yang mempermudah dalam melakukan artikulasi adalah dinamisnya pemaknaan terhadap

diskursus pada aspek kehidupan sosial. Kesatuan disini pun dipahami sebagai sesuatu yang

temporer karena adanya titik temu dari diskursus terhadap elemen yang berbeda-beda. Teori

artikulasi juga menyatakan bahwa berbagai aspek kehidupan sosial, khususnya identitas, yang

terlihat sebagai sebuah hal yang telah final merupakan stabilisasi temporer secara historis dan

pemaknaan identitas yang arbitrer (Barker, 2005).

3.3.1 Artikulasi Makna Hijab dan Cosplay pada Cosplayer Hijab

Cosplayer hijab mengartikulasikan makna hijab dan cosplay hingga mencapai sebuah titik temu dalam praktik cosplay hijab yang mereka lakukan. Perlu digarisbawahi disini bahwa praktik

cosplay dan hijab memiliki pemaknaan yang cukup subjektif di tiap pelakunya. Dalam pandangan umum, seorang cosplayer adalah seorang fans yang menirukan sebuah karakter fiksi ataupun non fiksi secara total baik dalam segi kostum dan cara berperilaku dan hijaber adalah perempuan yang

(22)

pemaknaan yang berbeda ditemui dari hasil wawancara yang penulis lakukan pada informan yang

merupakan cosplayer hijab.

Dari hasil wawancara dengan informan Sakura, sebagai seorang cosplayer ia memaknai praktik cosplay yang dilakukannya sebagai sebuah pengekspresian terhadap karakter kesukaan yang harusnya dilaksanakan secara menyenangkan dan tidak menekankan kesempuranaan dalam

proses peniruan yang dilakukan. Di sisi lain, sebagai seorang hijaber, Sakura memandang hijab

yang dikenakannya sebagai sebuah kain penutup aurat yang wajib penggunaannya bagi perempuan

beragama Islam. Ia menambahkan, karena sifatnya yang wajib maka hijab tidak dapat ditinggalkan

dalam kondisi apapun, termasuk di dalamnya melakukan hobinya yakni cosplay. Hijab menurutnya pun bukan sebagai sebuah hal yang sakral dan suci seperti halnya Al-Quran dan

Adzan namun, lebih kepada sebuah pakaian yang wajib digunakan seperti halnya pakaian bagi

sebagian orang. Penggunaan cosplay hijab pun ia rasa bukan sesuatu yang aneh, karena hijab saat ini pun telah membaur sebagai sebuah cara berpakaian. Senada dengan Sakura, informan lainnya

yang bernama Shireishou juga menganggap bahwa jilbab adalah kewajiban yang tidak boleh

ditinggalkan dalam kondisi apapun.

Sementara itu praktik cosplay dimaknai Shireishou sebagai sebuah ranah yang terbuka bagi

siapa saja. Baginya, “cosplayerbukanlah model”. Orang-orang boleh menjadi tokoh apa saja yang ia sukai selama ia berani. Jadi, meskipun orang yang bersangkutan sudah keriput tapi ingin

memerankan tokoh Tifa dari Final Fantasy yang masih muda, Shireishou merasa itu adalah hak masing-masing orang. Perdebatan-perdebatan yang muncul terkait hijab disebabkan oleh standar

ganda yang ditetapkan oleh sekelompok orang. Hal yang paling penting adalah orang itu menyukai

apa yang ia perankan. Entah orang itu berkulit hitam, jelek, gendut, kurus, ia boleh memerankan

siapa saja.

Meskipun menganggap cosplay sebagai ranah yang terbuka bagi siapa saja, Shireishou selalu memerankan karakter sesuai bentuk aslinya, bukan hasil fanart. Tipe ini ia sebut dengan

canon. Hal ini murni preferensi pribadinya. Namun, ia juga tidak menghakimi orang-orang yang membuat fanart maupun yang memerankannya dalam cosplay. Baginya, tidak ada larangan membuat fanart selama kreator aslinya tidak melarang. Shireishou menganggap tokoh anime

(23)

“Kecuali ada orang menjelek-jelekkan Allah, menjelek-jelekkan Rasul, menjelek-jelekkan Islam, nah itu baru boleh dibela. Kalau tokoh fiksi yang dijelek-jelekkan ya woles (santai) saja. Toh, author-nya juga gak rempong (ribet). Kenapa kita yang rempong?”

Petikan wawancara di atas menunjukkan bahwa Shireishou meletakkan agama sebagai

pakem yang berada di atas cosplay. Dampaknya, cosplay yang ia lakukan harus lolos ketika disaring dengan peraturan agama terlebih dahulu, baru kemudian mengikuti aturan cosplay. Hal ini membuat cosplay yang ia lakukan harus menyesuaikan dengan nilai-nilai agama yang ia anut, bukan sebaliknya.

Sebagai bentuk konkret dari artikulasi makna ini, cosplayer hijab melakukan beberapa modifikasi terhadap kostum karakter-karakter yang sudah ada. Cosplayer hijab tidak begitu saja mengkonsumsi manga-anime-game Jepang, komik Indonesia, ataupun fanart dan berusaha menampilkan kostum yang semirip mungkin dengan karakter tersebut. Adanya penggunaan hijab

membuat cosplayer hijab menegosiasikan apa yang mereka konsumsi untuk mereka produksi ulang dalam bentuk cosplay. Proses konsumsi dan produksi tersebut menentukan bagaimana dua diskursus dan praktik pada hijab dan cosplay dibentuk dan berubah pemaknaannya.

Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara Sakura, salah satu cosplayer hijab yang menjelaskan bahwa saat ia akan membuat sebuah kostum dari karakter yang tidak menutup seluruh

auratnya, ia akan membuat desain kostum sendiri dengan memodifikasi kostum bawaan dari

karakter.

⁠⁠(kostum)beli tapi aku yg design terus kasih ke penjahit...⁠⁠⁠bajunya kaya bajunya Yui SAO

tau ngga? yang (bentuknya) peri gtu. Jadi kita mengubahnya supaya jadi dress panjang…

Informan lain Shireishou pun melakukan negosiasi dalam memerankan karakternya.

Dalam ber-cosplay hijab, ia selalu memilih karakter pria yang bajunya tertutup sehingga ia tak perlu terlalu banyak menyesuaikan busana karakter dengan hijabnya. Modifikasi yang ia lakukan

sebatas mengurangi elemen busana karakter jika dirasa tidak pantas untuk dikenakan wanita

berhijab. Misalnya, ia tidak memakai bagian armor karakter Hokuto dari BT’X karena di bagian

(24)

“Bentar kukasih foto Hokuto. Aku dulu gak pake armor putihnya karena itu kan ada celana dalem di luarnya, ya hahahaha. Aku gak berani.”

(Gambar 5. Foto karakter Hokuto dari BT’X. Sumber:

http://img10.deviantart.net/ca63/i/2011/038/4/9/hokuto_and_max_by_flyingkirin-d390f44.jpg)

Pemilihan karakter pria dilakukan Shireishou semata-mata karena preferensi pribadi,

selain juga pertimbangan busana. Dalam wawancara, ia mengungkapkan tiga alasannya lebih

memilih karakter pria. Pertama, ia menganggap banyak karakter perempuan yang menyebalkan.

Kedua, sebagai perempuan ia lebih tertarik kepada laki-laki. Ketiga, karakter perempuan biasanya

mengenakan baju yang terbuka. Untuk alasan yang terakhir ini, Shireishou merasa illfeel (mati rasa) terhadap karakter perempuan yang bajunya terlalu mini. Ia menyebutnya sebagai “kurang

bahan”.

3.3.2 Cosplay dan hijab yang beriringan

Dalam memahami proses artikulasi pun sebenarnya bukanlah merupakan peleburan pada

dua diskursus dan praktik yang berbeda menjadi sebuah diskursus dan praktik yang sepenuhnya

baru. Menurut Hall (1985, lewat kutipan di bawah ini) dalam proses artikulasi tetap

mempertahankan praktik-praktik yang berbeda tersebut namun berjalan beriringan yang disebut

sebagai “distinction within a unity”.

(25)

determinations and conditions of existence. However, once an articulation is made, the two

practices can function together, not as an “immediate identity” (in the language of Marx’s “1857 Introduction”) but as “distinctions within a unity.” (Hall, 1985: 113-4)

Lewat pemahaman terhadap distinction within unity tersebut sebenarnya cosplayer hijab menjalankan praktik-praktik yang berbeda dalam sebuah kesatuan. Penggunaan hijab secara tidak

langsung membatasi pada bentuk kostum yang mungkin untuk ditampilkan oleh cosplayer. Walaupun demikian modifikasi terhadap kostum masih mungkin untuk dilakukan agar lebih

“aman” digunakan. Selain itu pun, pemilihan karakter yang akan ditampilkan pun diusahakan

berasal dari anime-manga-game dengan narasi yang tidak berlawanan dengan norma keagamaan yang berlaku. Hal tersebut ditujukan agar cosplay yang dilakukan tidak terkesan aneh karena karakter yang berasal dari narasi yang kurang cocok dengan hijab yang mereka gunakan.

Hal ini diamini oleh Shireishou. Menurutnya, meskipun cosplay adalah sebuah ranah yang terbuka bagi siapa saja, tetap ada batas-batas yang harus dipatuhi oleh hijab cosplayer. Peraturan paling penting menurut Shireishou adalah jangan memerankan karakter yang pada dasarnya

berpakaian seksi dan memodifikasinya seolah-olah karakter itu berbusana tertutup. Shireishou

tidak menyoroti permasalahan OOC, tetapi lebih kepada citra (image) yang muncul.

“Pada dasarnya, image karakter seksi itu jauh dari image perempuan berjilbab. Istilahnya,

“tidak senonoh” versi “alim”. Jadi, ketika si “alim” menyamar untuk berubah menjadi “tidak senonoh” dengan mengeditnya supaya terlihat seronok, orang-orang jadi bingung dan kesannya memaksakan sekali. Seperti tidak ada karakter lain saja.”

Shireishou pun termasuk orang yang cukup berhati-hati ketika memilih karakter dan “main

aman”. Karena ia menganggap ketika ia ber-cosplay hijab, ia tak hanya membawa identitas dirinya, tetapi juga identitas agamanya. Ia juga memilih untuk tidak mengunggah ke sosial media

ketika karakter yang ia perankan dirasa “tidak aman” dalam hal busananya kurang tertutup sesuai syariat Islam. Karakter seperti ini biasanya hanya diperankannya untuk kebutuhan sesi pemotretan

dan kepuasan pribadi.

(26)

yang diharamkan dalam agama Islam. Wig yang ada pada saat itu pun masih terbatas dan mahal

sehingga kebanyakan cosplayer memilih untuk mewarnai rambut aslinya. Sebagai seorang perempuan berhijab, tindakan mengecat rambut untuk mempertontonkannya ini tentu bertentangan

dengan prinsip Shireishou.

Namun, di tahun 2010 Shireishou ber-cosplay dengan memakai wig di atas penutup kepala. Ia menuturkan bahwa ia akhirnya menggunakan wig dalam ber-cosplay karena ingin terlihat semirip mungkin dengan karakter yang ia perankan. Untuk tetap menutup auratnya, ia juga

menggunakan penutup kepala dan leher yang biasa disebut ciput di bawah wig yang ia kenakan. Baginya, yang terpenting adalah tidak memperlihatkan telinga ketika memakai wig.

Terkait praktik penggunaan wig ini, terdapat perbedaan pandangan lainnya antara hijab dan

cosplay. Pada informan Sakura, ia mengatakan bahwa penggunaan wig yang sangat lumrah ditemukan pada praktik cosplay adalah haram (tidak boleh) untuk dilakukan karena merupakan peniruan terhadap rambut yang merupakan ciptaan Tuhan, sehingga ia lebih memilih untuk

(27)

BAB IV

Kesimpulan

Kehadiran cosplay hijab sebagai sebuah derivasi dari kegiatan cosplay yang menjadi perdebatan di media sosial menandai kecairan identitas yang terjadi. Identitas yang dimiliki bukan

lagi sebuah hal yang kaku, namun telah menjadi sesuatu yang berubah seiring waktu. Menjadi

seorang hijaber bukan berarti menjadi seseorang kaku dan monoton, namun batasan-batasan tersebut menjadi lebih longgar ditemukan pada hijaber. Cosplayer pun saat ini bukan lagi sebuah kegiatan yang elitis, namun menjadi sebuah kegiatan untuk mengaktualisasikan diri. Cosplay saat ini bukan lagi hanya sebagai ajang kesempurnaan dalam menirukan karakter, namun terdapat

upaya negosiasi dengan konsep diri tertentu.

Perdebatan terhadap cosplay hijab memang tidak akan berakhir dengan gagasan yang penulis sampaikan disini. Namun setidaknya, terdapat sebuah cara pandang baru terhadap para

pelakunya yang dibangun dengan memahami sta ndpoint dan perspektif mereka terhadap cosplay

sebagai sebuah hobi. Lewat penelitian ini didapatkan pula pemahaman mendalam mengenai

bagaimana mekanisme para pelakunya dalam mempertemukan dua diskursus identitas yang

berbeda. Para hijab cosplayer ini adalah orang-orang yang menekuni hobinya sekaligus mencintai

agamanya sehingga secara kreatif menciptakan bentuk baru dari praktik cosplay.

Pada akhirnya, kegiatan hijab cosplay dapat dimaknai sebagai sebuah bagian dari kecairan

identitas yang ada di masyarakat modern. Hijab cosplay adalah hasil dari dinamika yang terjadi baik di ranah cosplay, maupun pada hijab. Cosplay sebagai budaya populer tidak dapat hanya dimaknai secara kaku, tetapi terdapat dinamika dalam pemaknaannya di fans seiring dengan berjalannya waktu. Di sisi lain, praktik berhijab pun tak hanya dimaknai sebagai pemenuhan

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi CMC dalam pembuatan pasta ini adalah sebagai bahan penstabil yang dapat menjadikan pasta tetap bertekstur kental sehingga pasta tidak mudah mencair pada

PT M itra Solusi Infokom dikelola oleh tenaga-tenaga teknologi informasi serta keahlian dalam bidang teknologi informasi, sehingga perusahaan yang berdiri 4 tahun silam ini

participants in the chain can access the data in real time and can validate which increases trust between parties, our blockchain & IoT based food supply chain system

Sektor-sektor ekonomi yang masuk dalam komponen Produk Domestik Regional Bruto adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri

Dan menurut UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf bahwa pengalihan fungsi dari benda wakaf yang berjenis wakaf benda bergerak pada bidang kesehatan di PC Persatuan Islam

Radikal bebas ini ada yang berhasil mencapai ketinggian tempat bersemayamnya lapisan ozon sehingga begitu merasakan keberadaan ozon, langsung saja disambar sehingga molekul O 3

METODOLOGI.

Bank Bukopin Tbk dinyatakan dalam keadaan sehat dan baik berdasarkan rasio lancar dan rasio cepat karena tingkat likuiditas lebih dari 0,50 sesuai dengan rata-rata