• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENDUDUKAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEK N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENDUDUKAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEK N"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH Di sampaikan pada

Kongres Nasional – I Pemuda Dayak Indonesia

Palangka Raya, GPU Palampang Tarung, Selasa 04 Agustus 2015 09.00 – 10.00 WIB

MENDUDUKAN OTONOMI DAERAH DALAM KONTEK

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Disusun oleh:

SABRAN ACHMAD

RENHART JEMI

email: aserjemi15@gmail.com

DEWAN ADAT DAYAK

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

PALANGKA RAYA

(2)

I. PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah negara kesatuan, tetapi berbeda bila kita melihat sistem

pemerintah daerah dalam negara Indonesia yang telah mengambil sistem dan prinsip

federal yaitu otonomi daerah. Sistem federal dimana kekuasan sisa berada di berada di

daerah. Sedangkan sistem negara kesatuan adalah kekuasan asli atau sisa berada di

pemerintah pusat sehingga dialihkan kedaerah. Dinamika otonomi daerah berkembang

sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang (masa reformasi) telah

mengalami perubahan-perubahan naik turun sesuai dengan keinginan dan kebutuhan

pemerintah yang silih berganti. Selama prosesnya otonomi daerah tidak sesuai dengan

apa yang diharapkan. Tetapi malah banyak masalah yang timbul dalam pelaksanaanya

karena kadang tidak senergisnya sistim pemerintah daerah, baik antar kabupaten/kota

dengan provinsi dan sebaliknya. Otonomi daerah merupakan sebuah proses bernegara

yang tidak pernah tuntas serta mengalami dinamika secara terus menerus. Karena

adanya tuntutan baru selalu timbul sesuai dengan kebutuhan, serta adanya koreksi atas

kelemahan formulasi pada beberapa faktor perubahan lingkungan baik didalam dan

diluar sistem pemerintahan.

Desentralisasi merupakan lokomotif demokrasi lokal yang mampu menciptakan

raja-raja kecil di daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang memiliki kekuasaan di daerah

yang dipimpinya. Sementara rakyat didaerah tidak mempunyai kekuasaan, untuk

menyeimbangi kekuasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah khusus atas

kebijakannya yang tidak memihak kepada masyrakat. Sehingga menimbulkan

ketidakadilan, ketimpangan sosial serta pelayanan umum yang tidak sesuai harapan

masyarakat. Para raja-raja kecil didaerah mempunyai logika kekuasaan selalu

mengambarkan dominan kelompok terkuat dan menekan kelompok yang lemah, serta

menampilkan kekuatan daerah dengan jiwa atau motivasi penaklukan. Berdasarkan itu

(3)

II. SELAYANG PANDANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

2.1. Zaman Belanda

Tahun 1900, pelaksanaan otonomi daerah pada waktu penjajahan Belanda,

dimana bersifat monopolistik dan sentralistik. Kekuasaan eksekutif, yudikatif dan

legislatif semuanya berada di tangan Gubernur-Jenderal, yang merupakan wakil raja

Belanda. Pembagian wilayah administrasi oleh pemerintah belanda menerapkan sistem

dekonsentrasi yang dikenal dengan Gewesten, afdelingan, onderafdelingan.

Tahun 1903 pemerintah Kerajaan Belanda mengelukan suatu peraturan dikenal

dengan suatu Wethoudende Decentralisatie van het bestuur in Nederlandsch Indie

(Desentralisasi Pemerintahan di Hindia Belanda), yang dikenal dengan sebutan

Decentralisatiewet 1903 (Desentralisasi 1903). Undang-undang tersebut mengandung

makna bahwa suatu daerah dapat membentuk daerah otonomi dan lembaga perwakilan

rakyatnya seperti DPRD, di luar lembaga otonom. Dimana lembaga sebelumbya

Swapraja dan desa yang berdasakan hukun adat. Dinamika desentralisasi

pemerintahan Hindia Belanda berkembang menjadi Politik Etis dalam mengembangkan

daerah otonom. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905

dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah

undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie (provinsi),

regentschap (kabupaten), stadsgemeente (kota), dan groepmeneenschap yang

semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang

merupakan persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).

Pemerintah Hindia Belanda juga mengikat satu persatu kerajaan yang ada di Indonesia

pada waktu itu, dalam bentuk kontrak politik dan dagang. Sehingga masyarakat pada

waktu itu dihadapkan kepada dua administrasi pemerintahan. Sisitm pemerintahan

(4)

Gambar 1. Sistim pemerintahan Belanda di wilayah Indonesia (Sumber: Sarap, 2011)

2.2 Kekuasan Jepang

Pemerintahan Jepang yang singkat yaitu sekitar tiga setengah tahun (1942-1945)

berada di Indonesia. Menerapkan sistem dekonsentrasi dan sentralistik pada sistim

pemerintahanya. Perubahan-perubahan kecil seperti penamaan daerah dan pejabatnya

serta nama lembaga kemiliteran digantikan ke dalam Bahasa Jepang seperti kaigun

(pasukan angkatan laut), rikugun (Pasukan angkatan darat), Nippon Banzai (hidup

Jepang), Saikosikikan (Gubernur Jendral), Gunseikan (kepala Staff). Jepang membagi

Hindia Belanda menjadi 3 kekuasaan militer. Petama, Sumatera di bawah Komando

Panglima Angkatan Darat XXV (Rikugun) yang berkedudukan di Bukuttinggi. Kedua,

Jawa dan Madura di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI (Rikugun) yang

berkedudukan di Jakarta. Keempat, daerah-daerah lainnya di bawah Komando

Panglima Angkatan Laut (Kaigun) yang berkedudukan di Makasar. Dengan pembagian

wilayah ini, maka pusat pemerintahan berada di bawah kekuasaan militer yang

dilaksanakan oleh Komandan Angkatan masing-masing dengan sebutan Gunseikan.

Sistem administrasi pemerintahan adopsi dari Jepang ini bisa terlihat ketika kekuasaan

berada di bawah satu tangan, yaitu Saikoksikin (Gubernur Jendral).

Pemerintah Jepang banyak melakukan perubahan-perubahan yang cukup

(5)

bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang

(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan

daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.

Sistim pemerintah otonomi pada kekuasaan Jepang di Indoensia ditampilkan pada

Gambar 2.

Gambar 2. Sistim pemerintahan pada waktu kekuasan Jepang (Sumber: Sarap. 2011)

2. 3 Masa kemerdekaan (Setelah kemerdekaan) 2.3.1 Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi,

mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan

daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah-daerah terdiri atas dua macam

yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:

1) Provinsi

(6)

UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera

saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki

penjelasan.

2.3.2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948

Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU

Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948.

Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:

a) Propinsi

b) Kabupaten/kota besar

c) Desa/kota kecil

d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

2.3.3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah

swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus

rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:

1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya

2) Daerah swatantra tingkat II

3) Daerah swatantra tingkat III.

UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah

seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

2.3.4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959

menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan

memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah

tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.

Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa

(7)

2. 3. 5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:

1) Provinsi (tingkat I)

2) Kabupaten (tingkat II)

3) Kecamatan (tingkat III)

Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan

kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi

antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan

tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat

pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan

kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan

yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

2. 3. 6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah

tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah,

yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut

tingkatannya menjadi:

1) Provinsi/ibu kota negara

2) Kabupaten/kotamadya

3) Kecamatan

Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II

berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi

aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan

bertanggung jawab.

2.3.7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang

lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun

(8)

1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian

kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.

2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah

daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi

adalah daerah kabupaten dan daerah kota.

3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.

4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.

Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan

masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan

kesejahteraan bagi masyarakat.

2. 4 Masa Reformasi

Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah

Daerah, yang dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No. 22

tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini

menyatakan :

1. Memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan

provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan

administrasi dan kesatuan wilayah.

2. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi

terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap

kabupaten/kota.

3. Hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin

(9)

III. PEMBAGIAN KEKUASAAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH, BERDASARAKAN UNDANG-UNDANG NO. 32 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH

3.1 Dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah yaitu:

 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.

 Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pembagian kekuasan antara pemerintah pusat dengan daerah berdasarkan

Peraturan Pemerintah No 32 serta perubahan Peraturan pemerintah No 32 Tahun 2014

tentan Pemerintah Daerah. Pembagian kekuasan antara pemerintah pusat dan daerah

ini. Memberikan wewenang kepada kepala daerah untuk mengelola sistim

pemerintahanya berdasarkan peraturan dan undang-undang yang berlaku di NKRI.

Sebenranya otonomi daerah itu bertitik tumpu pada pemerintah kabupaten atau kota,

dimana kekuasaan pemerintah berada di wilayah kabupaten dan kota, tidak berada

pada Gubernur. Sehingga bupati/walikota lebih dominan dalam memaplikasikan

kekuasanya pada sistim pemerintahan, tanpa memperhatikan kebijakan gubernur.

Sehingga terjadinya suatu tidak ada koordinasi dan kerjasama yang sinergis antara

pemerintah kabupaten dan provinsi. Didalam pelaksanaannya cukup rumit dan

kadang-kadang tidak sejalan dalam pelaksanaan.

Disebabkan peran bupati/walikota didalam sistim pemerintahnya menjalankan visi

dan misi partai yang mengusungnya. Contohnya 13 kab dan 1 kota di Kalimantan

Tengah, mempunyai 13 bupati dan 1 walikota mempunyai visi dan misi yang berbeda

dalam menjalankan sistim pemerintahanya. Disamping itu tiap kabupaten/kota

memiliki lembaga legislatif dan eksekutif juga melaksanakan visi dan misinya. Sehingga

terjadinya tumpang tidih kepentingan antara pimpinan daerah, lembaga eksekutif dam

(10)

belum maksimal dicapai. Sehingga otonomi daerah tidak relevan dan tidak sesuai

dengan PP 32 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah.

Otonomo daerah yang dilaksakasnakan dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia ini, tergantung dari kebijaksanaan pemerintah daerah yang sangat ditentukan

oleh konfigurasi politik nasional yang berkembang. Bila perkembangan politik di pusat

(Jakarta) yang dinamis dan berkembang ke demokratis, sangat mengtungkan

terbentuknya iklim demokratis di daerah yang merupakan penyokong demokrasi

didaerah. Sebaliknya bila Jakarta cenderung bersifat otoriter sehingga menciptakan

pemerintah yang sentralistik, yang berdampak pada perkembangan pembagunan dan

demokrasi daerah tidak berkembang dan baik. Menurut Chalid (2005), kendala

pelaksanaan otonomi didaerah adalah :

1. Mentalitas birokrasi daerah belum siap dan berubah.

2. Hubungan antara intitusi pusat dan daerah belum berjalam maksimal.

3. Sumber daya manusia berlum siap

4. Perebutan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan

penguasaan aset.

5. Keinginan pemerintah pusat untuk menjadikan desa sebagai unit politik,

disamping sebagau unit sosial budaya dimana desa memiliki tatanan sosial

budaya yang otonom.

3.2 Jalan Keluarnya

1. Titik tumpu kewenagan jangan di kabupaten/kota dan ditarik ke propinsi, ada beberapa kewenangan yang di miliki oleh kab/kota.

2. Semua penjabat negara/buapti/walikota/gubernur tidak menjabat sebagai ketua

(11)

3.3 Kajian UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

4. asas keterbukaan 5. Asas

proporsionalitas 6. Asas profesionalitas 7. Asas akuntabilitas 8. Asas efisien 9. Asas efekti

1. Kepastian hukum;

2. Tertib penyelenggara negara;

1. Politik luar negeri 2. Keamanan

(12)

3. Kewenangan provinsi

12. Pelayanan penduduk dan catatan sipil 13. Pelayanan admintasi

umum pemerintah 14. Pelayanan admintasi

penanaman modal termasuk lintas kab/kota

15. Pelayanan dasar lainya

Kewenangan Provinsi: 1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota; 2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota; 3.. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah kabupaten/kota; dan/atau

4.. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah Provinsi.

Kewenangan Kab/kota 1. Urusan Pemerintahan

yang lokasinya dalam Daerah

kabupaten/kota;

2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya

dalam Daerah

kabupaten/kota;

(13)

4. Terkait pengangkatan rahasia, jujur, dan adil.

satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Sumber: Zulianto (2015)

DAFTAR PUSTAKA

Chalid, P. 2005. Otonomi Daerah, Masalah, Perbedayaan dan Konflik. Kemitraan. Jakarta

Hakim, M.L. 2013. Otonomo Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Studi Komparasi Otonomi Daerah Sebelum dan Sesudah perubahan UUD 1945). [Skripsi]. Ilmu Hukum Fakultas Sya’riah dan Hukum Universitas Islam Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Kustiawan. 2012. Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tim Pengelola Jurnal Perbatasan FISIP UMRAH. Universitas Maritim Raja Ali Haj. P 312-321.

Manar, D. G. 2008. Otonomi Daerah Dalam Kerangka Sumber Daya Manusia: Di Antara Harapan dan Kenyataan. Disampaikan pada Studium General 2008 Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, 18 November 2008.

Nadir, S. 2013. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemebrdayaan Masyarakat Desa. Jurnal Politik Profetik Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013. P. 82-98

(14)

Sarap. S.S. 2011. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia. Diakses dari

http://susisitisapaah.blogspot.com/2011/03/sejarah-perkembangan-otonomi-daerah-di.html. Pada tanggal 13 Juli 2015

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Zulianto. A. 2015. Perbandingan UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Diakses dari

Gambar

Gambar 1. Sistim pemerintahan Belanda di wilayah Indonesia
Gambar 2.

Referensi

Dokumen terkait

Neki su od tih filmova bili isklju č ivo crtani (npr. Svjetski festival animiranog filma, Zagreb. utemeljuje bijenalni me đ unarodni festival animiranog filma, jedan od č

Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat mnyusun dan menyelesaikan

Penjelasan QS 18:25 secara matematis adalah Ashhabul Kahfi tinggal di gua selama 300 tahun Syamsiyah. Jika 300 tahun Syamsiyah ini mau dijadikan tahun

berisiko terkena ISPA 18,89 kali lebih tinggi dibanding- kan tinggal di rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat. Ventilasi, suhu, dan kelembaban berhubungan bermakna

Namun ketika yang menjadi tokoh utama perempuan dalam sebuah film, perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang kuat, yang memiliki kekuatan seorang laki-laki, yang mampu

adalah penyakit menular, yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau penyakit lain yang menyebabkan organisme yang dapat hidup dengan baik pada manusia seperti pada

Na kraju, ovaj je roman napravio i poetički zaokret ka drugoj fazi post- mo der nizma i drugoj fazi metafikcije, i ima vrijednosti graničnog sluča- ja, jer nakon kulenovića

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna yang dikomunikasikan karikatur Rubrik Opini pada Surat Kabar Kompas edisi Rabu, 3 Agustus