Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016
ISSN. 2442-9090
• Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen
I Putu Rasmadi Arsha Putra
J U R N A L
H U K U M
A C A R A
P E R D A T A
ADHAPER
1. Gugatan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sebagai PT Persero dalam Perkara Perdata
Isis Ikhwansyah* ... 193–210
2. Penjatuhan Putusan Verstek dalam Praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Bandung dalam Kajian Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia
Ema Rahmawati dan Linda Rachmainy ... 211–228
3. Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa
Konsumen
I Putu Rasmadi Arsha Putra ... 229–246
4. Lembaga Eksaminasi Pertanahan sebagai Alternatif Model Penyelesaian Sengketa di Bidang Pertanahan
M. Hamidi Masykur ... 247–270
5. Inklusivitas Penegakan Hukum Lingkungan melalui Tanggung Jawab Mutlak: Suatu Tinjauan terhadap Gugatan Kebakaran Hutan di Indonesia
Anita Afriana dan Efa Laela Fakhriah ... 271–288
6. Karakteristik Hukum Acara Persaingan Usaha
Galuh Puspaningrum ... 289–302
7. Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja di Indonesia
Agus Mulya Karsona dan Efa Laela Fakhriah ... 303–314
8. Perlidungan Hak Konsumen terhadap Pelaku Usaha yang Dinyatakan Pailit
Heri Hartanto ... 315–328
9. Prinsip Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa pada Kontrak E-commerce
Transnasional
Moh. Ali ... 329–348
10. Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Berdasarkan Hukum Acara Perdata yang Pluralistik
I Ketut Tjukup,Nyoman A. Martana, Dewa N. Rai Asmara Putra,
Made Diah Sekar Mayang Sari, dan I Putu Rasmadi Arsha Putra ... 349–366 Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016 ISSN 2442-9090
DAFTAR ISI
JURNAL HUKUM ACARA PERDATA
ADHAPER
v
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, setelah melalui beberapa tahapan,
akhirnya Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER Volume 2 Nomor 2 Juli-Desember 2016
dapat diterbitkan. Artikel-artikel yang dimuat dalam edisi ini adalah artikel-artikel yang telah
dipresentasikan dalam Konferensi Hukum Acara Perdata II yang diselenggarakan di Surabaya
dan Konferensi Hukum Acara Perdata III yang diselenggarakan di Pontianak. Konferensi
tersebut diikuti oleh para Dosen Hukum Acara Perdata dari berbagai perguruan tinggi di
Indonesia. Dalam edisi kali ini sepuluh artikel disajikan di dalam Jurnal ini dengan berbagai
topik mengenai penyelesaian sengketa keperdataan yang merupakan pokok kajian Hukum
Acara Perdata. Artikel-artikel tersebut merupakan artikel hasil penelitian maupun artikel
konseptual yang membahas berbagai model penyelesaian sengketa di bidang keperdataan.
Artikel pertama ditulis oleh Sdri. Isis Ikhwansyah dengan judul “Gugatan Terhadap
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai PT. Persero dalam Perkara Perdata”, mengulas
BUMN persero sebagai Badan Hukum Publik yang apabila menimbulkan kerugian dalam
aktivitas bisnis dapat digugat di pengadilan layaknya PT sebagai badan Hukum dan sebagai
subyek hukum privat. Dengan demikian dalam praktik beracara perdata di pengadilan terdapat
kejelasan dari BUMN sebagai badan hukum publik untuk digugat karena BUMN sebagai
badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara yang berasal
dari APBN. Kekayaan BUMN persero dengan kekayaan negara merupakan kekayaan yang
terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN
tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. UU BUMN yang merupakan aturan hukum
khusus dan lebih baru dibandingkan dengan peraturan terkait, maka dapat menggunakan asas
lex specialis derogat legi generali dan lex posteriori derogat legi priori.
Artikel kedua dibawakan oleh Sdr. Ema Rahmawati dan Linda Rachmainy yang berjudul
“Penjatuhan Putusan Verstek dalam Praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
Bandung dalam Kajian Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia”. Artikel ini merupakan
hasil penelitian penulis yang didanai oleh DIPA BLU Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
pada Tahun 2013. Artikel ini menggunakan metode penelitian empiris yang mengkaji mengenai
ketidakhadiran tergugat dalam persidangan yang diatur di dalam Pasal 125 HIR yang dikenal
dengan putusan di luar hadir (verstek). Mengenai kapan dijatuhkannya putusan verstek ini
menjadi variatif di dalam praktik. Penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan
Agama Bandung umumnya dilakukan dalam perkara perceraian (gugat cerai atau cerai talak).
persidangan hari pertama, tetapi tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah sebagaimana
diatur dalam Pasal 125 juncto Pasal 126 HIR. Pelaksanaan penjatuhan putusan verstek dalam
praktik di Pengadilan Negeri Bandung mayoritas dilakukan dalam perkara perceraian serta
perkara lainnya (perkara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum).
Artikel ketiga, disajikan oleh Sdr. I Putu Rasmadi Arsha Putra yang berjudul “Transplantasi
Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Artikel ini mengulas
tentang akibat globalisasi ekonomi yang mengakibatkan masuknya pranata ekonomi dan
hukum asing ke dalam suatu negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda, yaitu
masuknya lembaga hukum yang hanya ada pada sistem Common Law ke Indonesia yang
menganut sistem hukum Civil Law, dimana dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan
benturan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan salah satu pranata hukum
asing yang diadopsi ke dalam pranata hukum Indonesia, hal ini sejalan dengan tujuan
undang-undang Perlindungan Konsumen adalah untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
menuntut hak-hak konsumen, dengan penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK.
Sejauh ini BPSK masih terganjal dengan berbagai permasalahan yang melingkupi BPSK, hal
ini dikarenakan perbedaan system hukum, maka diperlukan upaya-upaya agar BPSK dapat
menjadi lembaga penyelesaian sengeta konsumen di luar pengadilan yang cepat, murah dan
adil sesui dengan amanah dari UUPK. Upaya yang biasa dilakukan BPSK adalah melakukan
perubahan terhadap substansi peraturan, kelembagaan BPSK, cara penerapan hukum serta
merubah budaya hukum.
Artikel keempat ditulis oleh Sdr. M. Hamidi Masykur berjudul “Lembaga Eksaminasi
Pertanahan sebagai Alternatif Model Penyelesaian Sengketa di Bidang Pertanahan”. Artikel
ini mengulas tentang Lembaga Eksaminasi Pertanahan yang memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan konflik pertanahan. Pada tahun 2011 Pemerintah telah memberlakukan
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011. Peraturan tersebut mengamanatkan adanya
mekanisme kelembagaan Gelar Kasus Pertanahan dalam penyelesaian sengketa pertanahan.
Yang menjadi tantangan adalah mampukah Lembaga Eksaminasi Pertanahan (Peraturan
Kepala BPN RI No 12 Tahun 2013) sebagai lembaga penyelesaian sengketa pertanahan diluar
pengadilan (alternatif dispute resolution) mampu menjawab permasalahan konflik pertanahan
yang menjadi penyumbang banyaknya perkara di Mahkamah Agung. Kelebihan dari Lembaga
Eksaminasi ini adalah dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, dan putusannya bersifat
win win solution, mengurangi biaya ligitasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa
terjadi, mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. Namun
kelemahan dari Lembaga Eksaminasi ini adalah kurangnya sosialisasi, belum semua kantor
Pertanahan agar penyelesaian sengketa pertanahan dapat segera diselesaiakan tanpa mekanisme
peradilan yang tentu memakan waktu yang lama dan tak kunjung selesai.
Artikel kelima disajikan Anita Afriana dan Efa Laela Fakhriah dengan judul “Inklusivitas
Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Tanggung Jawab Mutlak: Suatu Tinjauan Terhadap
Gugatan Kebakaran Hutan di Indonesia”. Artikel ini menyoroti kasus lingkungan khususnya
kebakaran hutan dan mengulas pertimbangan hukum beberapa putusan hakim dalam perkara
kebakaran hutan dan pengenaan tanggung jawab mutlak yang dapat dibebankan pada Tergugat.
Bahwa penegakan hukum dilakukan hakim melalui putusan sebagai produk pengadilan.
Pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu pengecualian sebagaimana yang diatur Pasal
1365 KUHPerdata. Karena berbeda dari pertanggungjawaban perdata dalam KUHPerdata,
maka penerapannya bersifat inklusivitas antara lain dalam hal pencemaran lingkungan.
Artikel keenam ditulis Sdri. Galuh Puspanigrum berjudul “Karakteritik Hukum Persaingan
Usaha”. Artikel ini membahas tentang kegiatan-kegiatan yang diperkenankan dan yang dilarang
dilakukan oleh pelaku usaha. Sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat. Selain itu artikel
ini juga mengulas tentang Hukum Acara Persaingan Usaha yang terkandung hukum formil
yang bermuara pada hukum acara perdata, meliputi prinsip-prinsip hukum acara perdata,
mekanisme penyelesaian dan sifat putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
yang memiliki kekuatan hukum tetap serta pelaksanaan putusan sampai dengan upaya hukum
keberatan ke peradilan umum dan apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam hal ini terdapat inkonsistensi dalam hukum
acara persaingan usaha sehingga menimbulkan permasalahan dalam pengembanan hukum
pada tataran teoritis dan praktisnya.
Artikel ketujuh ditulis oleh Agus Mulya Karsona dan Efa Laela Fakhriah berjudul
“Eksistensi Pengadilan Hubungan Industrial dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja
di Indonesia”. Artikel ini mengulas tentang keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang
dalam tataran implementasinya masih mengalami banyak permasalahan seperti; Gugatan tidak
mencantumkan permohonan sita jaminan; Putusan yang memerintahkan pengusaha untuk
mempekerjakan kembali pekerja sulit dilaksanakan karena terkait kebijakan dari perusahaan;
Terkait kewajiban penggugat dari pihak pekerja yang harus memberikan pembuktian, menurut
hakim beban pembuktian khususnya terkait surat-surat sulit dipenuhi oleh pekerja dan
menjadi kendala dalam proses gugatannya. Akan tetapi untuk mengatasi hal tersebut hakim di
pengadilan lain melakukannya dengan mendatangkan saksi-saksi baik teman saat bekerja atau
tetangga; Penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial
viii
dalam persidangan; putusan seringkali tidak bisa dieksekusi; pengusaha tidak melaksanakan
kewajibannya (ada saran negatif dari pihak pengacara); kemampuan membuat gugatan dari
pekerja; kemampuan membayar pengacara dari para pekerja.
Artikel kedelapan ditulis oleh Sdr. Heri Hartanto yang berjudul “Perlindungan Hak
Konsumen Terhadap Pelaku Usaha yang Dinyatakan Pailit”. Artikel ini mengulas mengenai
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur
bahwa Pelaku Usaha berkewajiban untuk mengganti rugi apabila konsumen dirugikan akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang harus segera dibayar dalam waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi. Apabila Pelaku Usaha yang memberikan barang dan/atau jasa
tersebut dipailitkan oleh Pengadilan Niaga atas pemohonan kreditor atau debitor itu sendiri.
Salah satu kelompok kreditor dalam hal Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga adalah para Konsumennya. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah
diatur tersendiri tentang bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dengan menenpatkan
posisi konsumen sebagai pihak yang diberi perlindungan. Namun dengan dipailitkannya
Pelaku Usaha, menjadikannya tidak cakap hukum dan kehilangan wewenang untuk mengelola
kekayaannnya sendiri kemudian beralih kepada kurator. Ketidakmampuan Pelaku Usaha yang
dinyatakan pailit untuk memenuhi hak konsumen menempatkan konsumen diposisi sebagai
kreditor konkuren dan tidak memiliki hak untuk didahulukan.
Artikel kesembilan disampaikan oleh Sdr. Moh. Ali yang berjudul “Prinsip Pilihan Hukum
dalam Penyelesaian Sengketa pada Kontrak E Commerce Transnasional”. Artikel ini menilai
bahwa UUPK, UU ITE, UUP maupun HPI Indonesia belum memberikan jaminan perlindungan
yang tegas berkaitan dengan pilihan hukum dalam kontrak e-commerce bersekala transnasional
sehingga muncul legal gap. Prinsip-prinsip pilihan hukum yang lazimnya didasarkan atas
kebebasan berkontrak dan kesepakatan para pihak mengalami pergeseran paradigma terutama
didasarkan doktrin negara kesejahteraan dimana ruang publik perlu mendapatkan perlindungan.
Dalam soal penyelesaian sengketa, kebanyakan negara civil law menganut prinsip country
of reception yaitu aturan yang memperbolehkan konsumen pemakai terakhir (end user)
menerapkan Undang Undang Perlindungan Konsumen negaranya. Prinsip ini dikecualikan
terhadap transaksi konsumen dan tidak berlaku pada kontrak e-commerce antara pengusaha.
Untuk mengatasi legal gap pada penyelesaian sengketa e-commerce transnasional maka perlu
dilakukan legal reform yang mengadaptasi kerberlakuan prinsip country of reception ini ke
dalam regulasi Indonesia sehingga kepentingan konsumen dapat terlindungi.
Jurnal edisi kali ini ditutup oleh tulisan dari I Ketut Tjukup, Nyoman A. Martana, Dewa
N. Rai Asmara Putra, Made Diah Sekar Mayang Sari, dan I Putu Rasmadi Arsha Putra,
ix
di Pengadilan Berdasarkan Hukum Acara Perdata yang Pluralistik”. Artikel ini mengkaji
Hukum Acara Perdata di Indonesia sangat pluralistik dan tersebar dalam berbagai Peraturan
Perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951
masih tetap mempergunakan HIR (Reglement Indonesia yang diperbaharui STB 1941 No.
44 berlaku untuk wilayah hukum Jawa dan Madura), dan RBg (Reglement daerah seberang
STB 1927 No. 227) berlaku luar Jawa dan Madura. Mencermati pluralistiknya hukum acara
perdata Indonesia yang sampai sekarang belum memiliki Kitab Undang-undang Hukum
Acara Perdata yang nasional, hukum acara yang demikian dalam penerapannya timbul multi
interpretasi, sulit mewujudkan keadilan dan tidak menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu
Hakim sebagai penegak hukum dan untuk mewujudkan keadilan tidak boleh hanya bertindak
sebagai mulut undang-undang, hakim harus progresif dan selalu memperhatikan perasaan
keadilan para pihak dalam proses pemeriksaan di persidangan, sebagaimana yang diatur oleh
moralitas para pihak yang dilanggar selalu menginginkan keadilan atau penegakan hukum
identik dengan penegakan keadilan. Perwujudan keadilan haruslah didahului dengan kepastian
hukum sehingga sangat diperlukan hukum acara perdata yang unifikasi atau tidak terlalu
banyak multi interpretasi, yang akhirnya putusan Hakim yang adil dapat diketemukan. Jadi
hukum acara perdata yang pluralistik dalam penerapannya banyak timbul hambatan, tidak
mencerminkan kepastian hukum dan sangat sulit mewujudkan keadilan, sehingga sangat
diperlukan satu kesatuan hukum acara perdata (unifikasi hukum).
Pemikiran-pemikiran yang tertuang di dalam artikel pada jurnal ini semoga dapat
memberikan manfaat dan tentunya dorongan bagi berbagai pihak untuk memberikan perhatian
pada pembaharuan Hukum Acara Perdata Indonesia yang harus diakui sudah cukup renta
serta tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pembaharuan Hukum Acara
Perdata diharapkan memberikan kepastian hukum dalam proses penegakan hukum perdata
di Indonesia serta mampu beradaptasi dengan perkembangan bisnis dan teknologi. Kami
229
TRANSPLANTASI
COMMON LAW SYSTEM
KE DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
I Putu Rasmadi Arsha Putra*
ABSTRAK
Mengambil sistem hukum yang berasal dari negara lain yang dikembangkan menjadi model hukum di
negeri sendiri, bukanlah sesuatu yang baru bagi Negara Indonesia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
Asas konkordansi yang dianut sebagai politik hukum Indonesia pada masa Hindia Belanda dan terus
dikembangkan pada masa kemerdekaan menjadikan sebuah contoh nyata, Transplantasi hukum terus
berlangsung yang dimulai dari zaman pra Kolonial Belanda, hingga sekarang. Begitu juga mengenai
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diamanatkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehingga dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan
BPSK pada beberapa kota di Indonesia. Konon Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
ditransplantasi dari Common Law System dengan model The Small Claims Court (SCC) dan The
Small Claims Tribunal (SCT). Small Claims Court (SCC) dan The Small Claims Tribunal (SCT)
berhasil ditransplantasikan dalam hal substansinya tapi gagal dalam penerapannya karena terjadi
benturan perbedaan sistem hukum, dimana sistem hukum Indonesia memiliki struktur, substansi dan
budaya tersendiri yang berbeda dengan sistem hukum yang lain.
Kata Kunci: Transplantasi, Penyelesaian Sengketa Konsumen
LATAR BELAKANG
Peradaban manusia saat ini sudah memasuki globalisasi yang ditandai dengan keterbukaan
dan kebebasan dalam berbagai bidang kehidupan. Globalisasai merupakan perubahan zaman
dalam segala aspek kehidupan manusia. Arus globalisasi menghapus batas-batas Negara dalam
bidang ekonomi dan segala persoalan ekonomi bergerak bebas di dunia tanpa hambatan di dunia
ini. Indonesia sebagai negara yang turut aktif dalam kegiatan perdagangan dunia tidak terlepas
dari pengaruh globalisasi. Globalisasi membawa perubahan ditingkat regional, nasional,
maupun internasional yang secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap perubahan hukum,
dalam setiap perubahan tersebut, hukum harus mampu memberikan legalitas. Globalisasi
* Penulis adalah Dosen pengajar Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Universitas Udayana,
230 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
menjadi fenomena sosial yang mempengaruhi hampir semua sektor kehidupan saat ini, mulai
dari sosial, ekonomi, dan tak terkecuali bidang hukum. Dari sekian banyak bidang yang
terkena arus perubahan globalisasi, bidang ekonomi merupakan bidang yang paling besar
terpengaruh oleh adanya globalisasi, yang ditandai dengan masuknya bidang-bidang ekonomi
yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.
Globalisasi pada sektor ekonomi membawa perubahan paradigma hukum karena
setiap perubahan dalam bidang ekonomi, pasti membawa perubahan dalam hukum dan
praktik hukum.1 Hal ini dikarenakan globalisasi memberikan masuknya berbagai macam
pranata hukum asing yang menganut sistem hukum Common Law ke dalam sistem hukum
Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law. Perubahan tersebut secara tidak langsung
mengakibatkan konflik hukum yang disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum.
Masuknya sistem hukum asing dalam bidang ekonomi ke dalam sistem hukum Indonesia
tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Pada tahun 1998 Dewan
Perwakilan Rakyat menginisiasi rancangan undang-undang tentang perlindungan konsumen,
sehingga tanggal 20 April 1999 diundangkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut sebagai UUPK), dan berlaku setahun kemudian. Terbitnya
UUPK bukan hanya berupa inisiatif, kebutuhan dan desakan dari dalam negeri saja namun
dibalik itu adanya ketergantungan antar negara yang menjadi dampak dari globalisasi.
Lahirnya UUPK bertujuan memberikan akses keadilan (acces to justice) bagi konsumen
dalam proses penyelesaian sengketa melawan pelaku usaha. Pasal 1 UUPK menyatakan bahwa
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen. Penjelasan Umum UUPK mengatur bahwa
pembentukan UUPK merupakan upaya pemberdayaan konsumen agar dapat melindungi
kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara
efektif di masyarakat. Dalam penjelasan umum juga dijelaskan bahwa UUPK merupakan
payung (umbrella act) yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum dibidang
perlindungan konsumen.
Sengketa konsumen merupakan sengketa pelanggaran hak-hak konsumen, dengan ruang
lingkupnya yang mencakup semua segi hukum, mulai dari perdata, pidana dan Tata Negara,
berdasarkan alur yang dibangun dalam UUPK. Sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui
dua cara, yang pertama adalah melalui lembaga peradilan. Penyelesaian sengketa melalui
lembaga peradilan dalam prakteknya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab yang
1 Gunawan Widjaya, 2008, Transplantasi Trusts Dalam KUH Perdata, KUHD dan Undang Undang Pasar Modal,
231
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
bersifat yuridis politissosiologis, hal ini dipengaruhi oleh kredibilitas dan konsistensi lembaga
peradilan atas putusan-putusannya. Disamping itu penyelesaian sengketa melalui lembaga
peradilan menghasilkan kesepakatan bersifat adversarial yang belum mampu mengakomodir
kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat, membutuhkan biaya
mahal, tidak responsive dan menimbulkan permusuhan di antara para pihak.2 Cara yang
kedua adalah melalui lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, lembaga
ini menjadi harapan dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Lembaga ini diharapkan
mampu mengakomodir asas trilogi peradilan “sederhana, cepat dan biaya ringan”. Pasal 47
UUPK mengatur bahwa penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan di luar pengadilan,
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.
Salah satu lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan adalah Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut sebagai BPSK). BPSK merupakan
sebuah lembaga alternatif penyelesian sengketa konsumen di luar pengadilan yang diharapkan
menjadi tumpuan konsumen untuk dapat menyelesaiakan sengketa dengan pelaku usaha
secara sederhana, cepat dan biaya ringan serta adil. Tetapi penyelesaian sengketa konsumen
melalui BPSK masih ditemukan berbagai permasalahan dan kendala diantaranya mengenai
hukum acara, inkonsistensi perundang-undangan dan sumber daya. BPSK merupakan sebuah
lembaga yang diadopsi dari Small Claim Tribunal (selanjutnya disebut sebagai SCT) dan
Small Claim Court (selanjutnya disebut sebagai SCC), BPSK justru masih terbelenggu dengan
pengaturan yang sangat rumit dalam UUPK. Beberapa pasal UUPK saling bertentangan,
selain itu permasalahan sumber daya manusia dan infrastruktur sertab anggaran yang belum
memadai. Anggota BPSK sebagaian besar masih berpedoman pada hukum positivistik, sangat
kaku dan normatif dalam membaca teks undang-undang.
Permasalahan yang dihadapi BPSK sebagai lembaga yang mengadopsi SCT dan SCC
adalah dikarenakan adanya perbedaan sistem hukum, dimana sistem hukum Indonesia memiliki
struktur, substansi dan budaya tersendiri yang berbeda dengan sistem hukum Common Law.
Sehingga memerlukan perubahan dan pembaharuan hukum dalam Transplantasi Common
Law Sistem terhadap penyelesaian sengketa konsumen di Indonesia yang menganut sistem
hukum Civil Law.
2 Rachmadi Usman, 2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
232 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
TRANSPLANTASI HUKUM
Ada beberapa batasan mengenai pengertian Transplantasi Hukum yang dikemukakan
oleh beberapa ahli diantaranya:
1. Alan Watson mengemukakan bahwa Transplantasi Hukum merupakan “the borrowing and transmissibility of rules from one society or sistem to another”. Definisi semacam ini
bisa disebut sebagai definisi yang luas, yang mempertimbangkan bukan saja pembentukan
hukum sebagai hubungan antar negara melainkan pula pengaruh dari tradisi hukum
antar masyarakat.3 Alan Watson, memperkenalkan istilah Legal transplants atau legal
borrowing, atau legal adoption4 untuk menyebutkan suatu proses meminjam atau
mengambil alih atau memindahkan hukum dari satu satu negara atau dari satu bangsa
ke tempat, negara atau bangsa lain kemudian hukum itu diterapkan di tempat yang baru
bersama-sama dengan hukum yang sudah ada sebelumnya.
2. Black’s law dictionary menyangkut legal reception memiliki makna dimana keberadaan suatu wilayah hukum tertentu bisa memberikan pengaruh pada pembentukan hukum di
wilayah hukum lainnya.
3. Frederick Schauer memberikan pengertian dari sudut pandang ahli pemerintahan legal transplantation sebagai “…the process by which laws and legal institutions developed
in one country are then adopted by another.”5
4. Tri Budiyono, Transplantasi Hukum6 adalah pengambilalihan aturan hukum (legal rule),
ajaran hukum (doctrine), struktur (structure), atau institusi hukum (legal institution) dari
suatu sistem hukum yang lain atau dari wilayah hukum ke wilayah hukum yang lain.
Transplantasi hukum dapat menimbulkan harmonisasi hukum apabila adanya kesesuaian
yang meliputi aturan hukumnya, ajaran hukumnya, struktur hukumnya, atau institusi
hukumnya. Semuanya bergantung dari substansi yang ditransplantasikan.
Dengan mengutip Esin Orucu,7 Alan Watson menyimpulkan bahwa: “Transplantasi
hukum itu masih ada dan akan terus hidup dengan baik sebagaimana juga halnya pada masa
Hammurabi. Lebih lanjut Esin Orucu menyatakan:
3 Tri Budiyono, 2009, Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan Studi Transplantasi Doktrin Yang
Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, Griya Media, Salatiga, h. 9
4 Alan Watson, 1974, Legal Transplants an Approach to Comparative Law, Scottish Academic Press, America, h.
22.
5 Frederick Schauer. The Politics and Incentives of Legal Transplantations. CID (Center for International Development
at Harvard University) Working Paper No. 44. April 2000.
6 Tri Budiyono, Menggagas Sintesa Global-Lokal dalam Membangun Hukum Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum, Edisi
April-Oktober 2002, hal. 1
233
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
What is regarded today as the theory of ‘competing legal systems’, albeit used mainly in
the rhetoric of ‘law and economics’ analysis, was the basis of the reception of laws that formed
the Turkish legal system in the years 1924-1930. The various Codes were chosen from what
were seen to be ‘the best’ in their field for various reasons. No single legal system served as
the model. The choice was driven in some cases by the perceived prestige of the model, in
some by efficiency and in others by chance. 8
Orucu (Orucu adalah guru besar Emeritus di University of Glasgow, UK, Erasmus
Universiteit, Rotterdam-Netherlands law at Yeditepe University, Istanbul-Turkey) memberi
kesimpulan, bahwa tidak ada satu sistem hukum yang tunggal yang dijadikan model
pembangunan hukum di berbagai negara. Dengan mengambil contoh pada masyarakat Turki,
Orucu menjelaskan bahwa Turki pasca runtuhnya dinasti Osmania telah mengambil banyak
sistem hukum yang dijadikan model bagi pembangunan hukum di negerinya. Hukum pidana
dan hukum perdata diambil dari Swiss, sedangkan hukum administrasi negara diambil dari
model hukum Prancis. Dengan memilih berbagai model hukum, melalui kebijakan transplantasi
kata Orucu Turki di bawah rezim Mustafa Kemal Al-Taturk, berhasil meletakkan politik hukum
transplantasi menjadi alat legitimasi budaya, karena pada akhirnya model hukum yang dipilih
tidak terikat pada salah satu budaya yang dominan.
Hal di atas kini dialami pula oleh sebuah negara baru yang merupakan pecahan Indonesia,
Timor Leste, yang harus melakukan harmonisasi terhadap produk-produk bentukan hukum
Indonesia, hukum Portugis, hukum adat, dan hukum dari wilayah Amerika latin, mulai dari
isi konstitusinya sampai dengan prosedur berperkara di pengadilan.9
Transplantasi Hukum sebagai kebijakan pembangunan hukum nasional merupakan
pilihan politik yang sesuai dengan jiwa dan roh hukum Indonesia, jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia, dasar ideologis-filosofis Pancasila yang merupakan the original paradicmatic value
of Indonesian culture and society, adalah pilihan politik dalam aktivitas pembuatan norma
hukum konkrit (basic policy) tanpa harus mengabaikan posisi dan keberadaan Indonesia
ditengah-tengah pergaulan internasional. Dengan demikian hukum yang dilahirkan adalah
hukum yang commit nationally, think globaly and act locally. 10 Kebijakan membuat
undang-undang (basic policy) yang memadukan unsur yang bersumber dari hukum asing dengan
hukum yang bersumber dari the original paradicmatic values of Indonesian culture and society
8 Alan Watson, 2006, Legal Transplants and European Private Law, University of Belgrade School of Law, Pravni
Fakultet, Belgrade, h. 6-7.
9 Duarte Tilman Soares, Perbandingan Penerapan Hukum Nasional Timor Leste dengan Hukum yang berlaku di
Indonesia. Makalah seminar di fakultas hukum uksw, tanggal 18 Februari 2003.
10 Evaristus Hartoko W, 2002, Good Corporate Governance in Indonesia, Griffin’s View on International and
234 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
haruslah dilakukan secara cermat dan penuh perhitungan, agar hukum yang akan diberlakukan
di negeri ini tidak tercabut dari akar ideologis-filosofis negara dan bangsa Indonesia.11
PENGERTIAN SENGKETA DAN SENGKETA KONSUMEN
Istilah sengekta dan konflik seringkali digunakan secara bergantian dan dianggap memiliki
pengertian yang sama, namun sebenarnya dua terminologi ini memiliki karekteristik yang
berbeda. Tidak setiap konflik menimbulkan sengketa, sebaliknya setiap sengketa adalah
konflik.12 Apabila kajian dari sudut pandang psikologi, dikenal jenis konflik kejiwaan yang
bukan persengketaan hukum. Satu konflik yang mengemuka biasanya mempercepat satu krisis
mental, dan bisa dibedakan dari konflik dasar (root conflict) yang timbul sejak kanak-kanak.
Begitu pula di bidang sosiologi dikenal konflik kelompok (group conflict) dan lain-lain.13
Konflik atau sengketa berasal dari terminologi kata bahasa Inggris conflic, yang berarti
persengketaan, perselisihan, percekcokan atau pertentangan. Konflik atau persengketaan
tentang sesuatu terjadi antara dua pihak atau lebih. Masyarakat pada saat ini dihadapkan pada
beberapa pilihan penyelesaian sengketa, sesuai dengan tingkat kepentingan dan pemenuhan
kebutuhan dasarnya dalam mamandang konflik atau sengketa itu sendiri. Konflik atau sengketa
dapat diselesaikan melalui mekanisme litigasi, non litigasi maupun advokasi.14
Laura Nader dan Harry Tood membedakan pengertian conflict (perselisihan) dengan
dispute (sengketa), bahkan conflict (perselisihan) sendiri dapat dibedakan antara pre-conflict
(praperselisihan) dan conflict (perselisihan). Nader dan Todd memberikan pengertian konflik
adalah perselisihan yang hanya melibatkan kedua pihak saja, sedangkan sengketa adalah
perselisihan antara dua pihak atau lebih yang sudah bersifat terbuka dan penyelesaiannya
melibatkan pihak ketiga.15
Sengketa menurut B.N. Marbun adalah pertikaian, perselisihan atau sesuatu yang
menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, yang bisa meningkat menjadi
sengketa hukum.16 Sedangkan Witanto memberikan pengertian sengketa sebagai konflik yang
terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
11 Ibid, h.109
12 Abu Rohmad, 2008, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, Semarang, h. 9 13 Ahmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Iblam, Jakarta, h. 63.
14 Rachmad Syafa’at, 2006, Mediasi dan Advokasi Konsep dan Implementasinya, Agritek YPN Malang Kerjasama
dengan SOFA Press, Malang, h. 33.
15 Ihromi, 1993, Beberapa Catatan Mengenai Metode Sengketa yang Digunakan Dalam Antropologi Hukum, dalam
Antropologi Hukum; Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, h. 210-211.
235
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
kepentingan yang sama atau suatu objek kepentingan yang bisa menimbulkan akibat hukum
antara satu dengan yang lain17
Berdasarkan kedua pengertian sengketa diatas, maka dapat diuraikan menjadi beberapa
elemen antara lain:18
1. Adanya dua pihak atau lebih;
2. Adanya Hubungan atau kepentingan yang sama terhadap objek tertentu;
3. Adanya pertentangan dan perbedaan persepsi;
4. Adanya akibat hukum.
Sengketa merupakan fenomena yang universal yang dapat dijumpai pada setiap lapisan
masyarakat. Bagaimana sengketa tersebut diselesaikan, tidak ada suatu bentuk yang seragam,
artinya pihak yang bersengketa dapat melakukan berbagai pilihan tindakan dengan tujuan
agar sengketa tersebut dapat diselesaikan.19
Cristoper W. Moore, membedakan sengketa menjadi 2 (dua), yaitu sebagai berikut:20
a. Sengketa atau konflik yang tidak realistik (unrealistic conflict), yaitu ketika para pihak
bertindak seolah-olah mereka berkonflik, meskipun tidak ada kondisi objektif bagi kelanjutan konflik dan;
b. Konflik yang realistik (realictic conflict) merupakan betul-betul berasal dari konflik-konflik interest.
Sedangkan A.Z. Nasution,21 memberikan pengertian bahwa sengketa konsumen adalah
sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tergantung produk
konsumen, barang dan jasa konsumen tertentu.
Sedangkan Sidharta22 menyatakan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan
dengan pelanggaran hak-hak konsumen
Dalam UUPK menyebutkan bahwa sengketa konsumen merupakan bagian dari institusi
administrasi Negara yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dan konsumen, dalam hal ini adalah BPSK. Pasal 1 butir 11 UUPK mengatur bahwa yang
dimaksud dengan sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
17 D. Y Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasi (dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan
Agama Menurut PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), Alfabeta, Bandung, h. 2
18 Ibid, h. 3
19 Kurniawan, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Problematika Kedudukan dan Kekuatan Putusan BPSK, UB
Press, Malang, h. 44.
20 Cristoper W. Moore, 1996, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict, Jossey-Bass
Publishers, San Francisco, h. 162.
236 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI INDONESIA HASIL
TRANSPLANTASI DARI COMMON LAW SYSTEM
Sistem hukum adalah kesatuan peraturan hukum, yang terdiri atas bagian yang mempunyai
kaitan interaksi antara satu dengan yang lainnya, tersusun sedemikian rupa menurut
asas-asasnya, yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
Sistem hukum dunia bermula dari pemikiran Plato mengenai Negara hukum dengan
konsepnya, “bahwa penyelenggaran Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
yang baik yang disebut dengan istilah “nomoi”.23 Selanjutnya dikembangkan menjadi dua
sistem hukum besar, yaitu pertama sistem hukum Eropa Kontinental (sistem hukum Civil
Law) dengan istilah Rechtstaat. Sistem hukum Eropa Kontinental yang biasa disebut dengan
Civil Law berkembang di Negara-negara Eropa daratan (Barat). Pertama kali di Perancis,
kemudian diikuti oleh Negara-negara Eropa Barat lainnya seperti Belanda, Jerman, Belgia,
Swiss dan Italia, selanjutnya berkembang ke Amerika Latin dan Asia (termasuk Indonesia
pada masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda). Kedua system hukum Anglo Saxon yang
biasa disebut Common Law berkembang di Negara-negara Anglo Saxon, seperti Inggris
dengan Negara-negara jajahannya, seperti Amerika, Australia, India, Pakistan, Malaysia, dan
sebagainya. Civil Law adalah sistem hukum Barat yang merupakan sistem hukum modern
yang diadopsi hampir oleh mayoritas bangsa-bangsa di dunia. Prinsip utama yang mendasari
sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law adalah bahwa hukum memperoleh kekuatan
mengikat karena diwujudkan. Menurut Frederich Julius Stahl24, konsep sistem hukum ini
ditandai oleh empat unsur pokok, yaitu:
1. Perlindungan Hak Asasi Manusia,
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu,
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Kekuatan mengikat karena diwujudkan artinya bahwa hukum memperoleh kekuatan
mengikat karena diwujudkan dalam peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun
secara sistematis di dalam kodifikasi dan kompilasi tertentu semata-mata untuk kepastian
hukum. Kepastian hukum hanya dapat diwujudkan kalau pergaulan atau hubungan dalam
masyarakat di atur dalam peraturan-peraturan tertulis. Sehingga Hakim menurut sistem
hukum Civil Law tidak leluasa untuk menciptakan hukum yang mengikat masyarakat, putusan
237
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
Hakim dalam suatu perkara, hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja (doctrins Rea
Ajudicata).
Sumber hukum pada sistem Civil Law meliputi:
1. Undang-undang yang dibentuk pemegang kekuasaan legislatif;
2. Peraturan-peraturan yang dibuat pegangan kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang
yang telah ditetapkan oleh undang-undang;
3. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama
tidak bertentangan dengan undang-undang.
Berdasarkan sumber hukum tersebut, maka kaidah hukum dalam sistem Civil Law
adalah:
1. Hukum bersifat konservatif;
2. Hakim hanya mene-rapkan isi rumusan hukum tertulis;
3. Hakim hanya sebagai cerobong undang-undang;
4. Jika terjadi pertentangan antara undang-undang dengan yuris-pruensi, maka dimenangkan
undang-undangnya;
5. Indonesia menganut sistem Common Law dan Civil Law dengan skala prioritas Civil
Law diiringi Common Law.
Sedangkan sistem hukum Common Law, merupakan sistem hukum yang berkembang
di bawah pengaruh sistem yang bersifat adversarial dalam sejarah England berdasarkan
keputusan pe-ngadilan yang berdasarkan tradisi, custom, dan pre-seden. Bentuk reasoning
yang digunakan dalam Common Law dikenal dengan casuistry atau case based reasoning.
Common Law dapat juga berbentuk hukum tak tertulis ataupun hukum tertulis seperti tertuang
dalam statutes maupun codes.
Sistem Common Law merupakan sistem hukum yang memakai logika berpikir induktif
dan analogi. Sistem hukum Common Law memiliki konsep Rule of Law yang menekankan
pada tiga tolak ukur:
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya suatu
kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam artian seseorang
hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama dalam menhadapi hukum (equality before the law), ketentuan ini
berlaku bagi orang biasa ataupun pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang, serta keputusan pengadilan.25
238 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
Sumber hukum sistem hukum Common Law adalah:
1. Putusan-putusan pengadilan atau hakim (judicial decision), yaitu hakim tidak hanya
berfungsi sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan
hukum, tetapi tidak juga membentuk seluruh tata kehidupan dan menciptakan
prinsip-prinsip baru (yurisprudensi);
2. Kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan peraturan administrasi
Negara. Dengan berdasarkan sumber hukum tersebut, kaidah hukum dalam sistem
Common Law adalah:
a. Hukum merupakan lembaga kebudayaan yang te-rus mengalami perkembangan;
b. Hukum merupakan hasil daya cipta manusia;
c. Hukum tidak memer-lukan kodifikasi, karena hukum yang terkodifikasi hanyalah
sebagian saja dari hukum;
d. Putusan pengadilan adalah hukum.
Perbedaan yang sangat mendasar antara kedua sistem hukum tersebut dapat dilihat dalam
sistem hukum Civil Law mengambil bentuk tertulis yang dikodifikasikan dalam
perundang-undangan. Sedangkan sistem hukum Common Law lebih mengacu kepada hukum kebiasaan
(customary law) yang cenderung tidak tertulis. Sehingga sumber hukum utama dari Civil
Law adalah peraturan perundang-undangan walaupun terdapat sumber hukum lain, seperti
kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin. Berbeda dengan sistem hukum Common Law yang
sumber hukum utamanya adalah yurisprudensi (judge made by law/binding force of precedent),
dimana masalah-masalah hukum diselesaikan kasus perkasus dan hasilnya tercermin dalam
putusan-putusan hakim (yurisprudensi). Proses peradilan dengan sistem juri dikenal dalam
sistem hukum Common Law tidak dikenal dalam sistem Civil Law.
Sudikno Mertokusumo mengatakan, sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri
dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan
tersebut.26
Lawrence M. Friedman27, berpendapat bahwa sistem hukum merupakan satu sistem yang
meliputi elemen-elemen struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Friedman
memberikan pandangan terhadap ketiga unsur tersebut sebagai berikut:
a. Struktur hukum merupakan kerangka dari sistem hukum tersebut secara keseluruhan.
Struktur hukum memberi bentuk pada sistem hukum, yang menopang sistem hukum
tersebut. Bagaimana selanjutnya pendelegasian wewenang pada masing-masing lembaga
26 Titik Triwulan Tutik,2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 10
239
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
dalam negara, yang menjadi hak dan wewenang masing-masing, termasuk sistem
pera-dilan yang berjalan di suatu negara.
b. Substansi hukum yang merupakan aturan-aturan hukum yang berlaku, norma-norma
dan pola perilaku setiap anggota masyarakat yang berada dalam sistem itu. Substansi
ini berkaitan dengan produk hukum positif yang berkaitan dengan produk legislatif.
Substansi hukum inilah yang mengisi sistem hukum, yang menentukan bagaimana suatu
masyarakat dapat dan harus berjalan, mana yang boleh dilakukan mana yang tidak boleh
dilakukan.
c. Budaya hukum, yaitu sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum,
bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang terkait dengan tingkah laku yang
berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya baik secara positif maupun
negatif.28 Budaya hukum ini oleh Friedman, disebut sebagai bensinnya motor keadilan
(the legal culture provides fuel for motor of justice
Seluruh peraturan hokum dalam suatu Negara dapat dikatakan sebagai suatu system
hokum, dalam suatu system hokum terdapat berbagai macam bidang hokum yang
masing-masing mempunyai system tersendiri sehingga terdapat system hokum perdata, pidana, system
hokum Tata Negara, system hokum ekonomi dan sebagainya, masing-masing system tersebut
memiliki karakter masing-masing.
Karakter hokum nasional Indonesia berupa sitem hokum campuran (mixed legal sytem),
namun lebih banyak diisi oleh tradisi hokum barat, baik dalam lingkungan hokum public
maupun hokum privat. Suatu Negara juga memiliki system hokum asli dengan dipengaruhi
sistem hukum besar dunia yang saling berpengaruh sama kuatnya. Variasi pertemuan sistem
hokum tersebut menurut Esin Orucu29, dapat terjadi pada tingkatan ide, konsep, dan solusi
serta pada tingkatan struktur, istitusi, dan metode. Dalam suatu sistem, peraturan-peraturan
hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, sebagai konsekuensi adanya keterkaitan
antara aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat.
Pertemuan suatu system hokum dapat dilakukan dengan cara adopsi system hokum.
Adopsi adalah masuknya pranata hukum asing yang mempunyai sistem hukum yang berbeda
merujuk pada perpindahan norma-norma hukum atau ketentuan hukum tertentu dari suatu
Negara tertentu ke Negara lain selama suatu proses pembuatan hukum. Adopsi hukum sering
dilakukan pada pembuatan peraturan perundang-undangan, dimana legislatif mempunyai
dua opsi pilihan dalam membuat aturan, yaitu meminjam atau mengambil alih hukum atau
28 Ibid
29 Esin Orucu, Critical Comparative Law: Considering Paradoxes for Legal System in Transition, Vol. 4.1, June
240 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
undang-undang yang telah ada dan berlaku pada Negara lain, atau melakukan sendiri proses
pencarian norma-norma dan kaidah-kaidah hukum yang dianggap cocok dan sesuai dengan
identitas bangsa dan negara tersebut yang sejalan dengan tradisi, budaya, dan sejarahnya
negaranya, karena setiap Negara memiliki tradisi, budaya, sejarah, dan identitas yang berbeda.
Masuknya pranata hukum yang berasal dari tradisi hukum Anglo Saxon dengan sistem
hukumnya Common Law ke seluruh dunia memberikan alasan dilakukannya adopsi pranata
hukum asing karena:
a. Transplantasi hukum dilakukan dengan mudah, cepat, dan merupakan sumber hukum
baru yang potensial;
b. Transplantasi hukum seringkali mengikuti suatu masa pejajahan (kolonialisme); dan
Transplantasi hukum tidak lepas dari peran serta kalangan ahli hukum, yang cenderung
mencontoh hukum yang bagi mereka diangap baik dan bagus
Masuknya sistem hukum Common Law dalam pranata ekonomi Indonesia, memerlukan
suatu penyesuaian karena hukum harus memberikan legalitas terhadap segala perubahan yang
terjadi, agar pranata hukum asing tersebut tidak terganggu dan saling bertabrakan. Untuk
itu reformasi di bidang hukum sebagai akibat masuknya pranata hukum asing di Indonesia
merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Perubahan hukum
tersebut mencakup pembaharuan dalam berpikir, tingkah laku, pola hidup yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan. Perbedaan sistem hukum ini harus dapat diatasi dengan pembaharuan
hukum sebagaimana konsep dan pendapat Mochtar Kusumaatmaja, bahwa fungsi hukum
sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”30 (law as a tool social engeneering) dan hukum
sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang
berkembang.31 Hukum sebagai katalisator, hukum dapat membantu untuk memudahkan
terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (law reform) dengan bantuan tenaga
kreatif di bidang profesi hukum32
Lebih jauh Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari
hukum sebagai alat karena:
a. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih
menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan
yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih penting.
30 Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam
“Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 7.
31 Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung,
h. 5
32 I Putu Rasmadi Arsha Putra, I Ketut Tjukup dan Nyoman A. Martana, Tuntutan Hak dalam Penegakan Hak
241
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
b. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan
penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di
Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan
konsep seperti itu.
c. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima
secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional.
Tahun 1999, pemerintah Indonesia mengundangkan UUPK. Pasal 45 ayat (2) UUPK
mengatur bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam
Pasal 47 UUPK mengatur penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan mengenai tindakan
tertentu untuk menjamin tidak terjadi kembali atau tidak terulang kembali kerugian yang
diderita oleh konsumen. Untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, maka
dibentuk BPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UUPK.
Berdasarkan amanat Pasal 49 UUPK, BPSK pertama kali diresmikan pada tahun
2001, yaitu dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tentang
Pembentukan BPSK pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat,
Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya,
Kota Malang dan Kota Makassar. Kemudian pada tahun yang sama, pemerintah melalui
Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 350/
MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK).
Selanjutnya dalam Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004 dibentuk lagi BPSK di tujuh
kota dan tujuh kabupaten berikutnya, yaitu di kota Kupang, kota Samarinda, kota Sukabumi,
kota Bogor, Kota Kediri, kota Mataram, kota Palangkaraya dan pada kabupaten Kupang,
kabupaten Belitung, kabupaten Sukabumi, kabupaten Bulungan, kabupaten Serang, kabupaten
Ogan Komering Ulu, dan kabupaten Jeneponto. Terakhir, pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan
Presiden No. 18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di kota Padang, kabupaten Indramayu,
kabupaten Bandung, dan kabupaten Tangerang.
Penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan melalui BPSK ditemukan berbagai
kekurangan atau kelemahan sehingga diperlukan optimalisasi melalui upaya perubahan
terhadap konsep, sistem hukum dan implementasi peran BPSK sebagai lembaga alternatif
penyelesaian sengeta konsumen di luar pengadilan. Sistem hukum yang tidak efektif tentu
peraturan-242 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, sebagai konsekuensi adanya
keterkaitan antara aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat.
Apabila diletakkan dalam konteks sistem hokum yang dikemukakan oleh Lawrence
M. Friedman, materi UUPK ini adalah subsistem substance, yaitu peraturan dan ketentuan
mengenai bagaimana institusi harus berperilaku. Putusan BPSK masih dimungkinkan
diajukan keberatan atas ke Pengadilan Negeri oleh pelaku usaha. Tidak konsistennya sifat
putusan BPSK yang final dan mengikat, yang tidak sejalan dengan tujuan pembentukan
BPSK yakni menyelesaikan sengketa secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Kultur
hukum masyarakat Indonesia sejatinya didominasi oleh Kultur penyelesaian sengketa dengan
mengelola sendiri sengketa tersebut dan diselsaikan dengan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat. Penyelesaian sengketa dengan musyawarah untuk mencapai mufakat
dapat dilakukan apabila para pihak berada dalam kesetaraan, sehingga tidak diperlukan
campur tangan pihak ketiga. Cara penyelesaian sengketa secara musyawarah untuk mencapai
mufakat dapat mengurangi rasa permusuhan di antara para pihak yang bersengketa. Kultur
dan penyelesaian sengketa yang demikian sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam Pancasila, antara lain nilai kekeluargaan dan musyawarah. Berdasarkan
pandangan-pandangan tersebut, pengaturan tentang penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK harus
diarahkan pada penyelesaian secara musyawarah sebagai kultur dasar masyarakat Indonesia.
Putusan BPSK yang didasarkan pada hasil musyawarah harus ditegaskan bersifat final dan
mengikat serta dapat langsung dieksekusi.
Konsep BPSK yang mengadopsi SCT dan SCCyang dibentuk di seluruh kota kabupaten
harus dikembalikan pada roh utama lembaga tersebut. BPSK merupakan perpaduan antara
lembaga ADR (alternative dispute resolution) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
yang simpel dan fleksibel, dan lembaga Pengadilan yang memiliki otoritas dalam membuat
putusan. Merujuk pada sistem hukum Lawrence M. Friedman, lembaga BPSK ini adalah
subsistem structure yang disebut sebagai kerangka badan (skeleton), tubuh institusional dari
sistem tersebut (the institutional body of the system). Oleh karena itu BPSK harus didorong
menjadi lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang kuat dan dapat
dipercaya.
Penerapan hukum anggota BPSK perlu terus didorong agar tidak terjebak pada caracara
berhukum yang sangat legal-positivistik. Anggota BPSK perlu memiliki pandangan ‘skeptisisme
peraturan’. Hal ini disebabkan karakteristik sengketa konsumen seringkali bersifat khas dan
undang-243
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
undang, apalagi dengan substansi UUPK yang terbatas dan beberapa diantaranya bermasalah.
Hukum Progresif tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang ‘datar’, melainkan mengandung
muatan modalitas yang kuat. Modalitas tersebut adalah compassion, emphaty, sincerety, dan
dare. Sebagai konsekuensi dari pardigma ‘hukum untuk manusia’, maka penegakan hukum
tidak boleh bersifat datar, melainkan penuh dengan keterlibatan nurani untuk melindungi dan
melayani manusia. Perlu adanya unsur akademisi hukum dalam keanggotaan BPSK, agar
dapat memberikan perspektif yang lebih luas dalam memandang hukum bukan hanya yang
tertulis dalam undang-undang saja (law as what in the books), melainkan juga hukum sebagai
realitas yang hidup dalam masyarakat (law in action).
Sehingga budaya hokum perlu dirubah oleh konsumen maupun pelaku usaha untuk
meyakinkan tujuannya para pihak yang bersengketa menuju kerukunan tanpa permasalahan
yang timbul kemudian, maka lebih ditekankan pada cara mediasi dan kompromi yang bias di
selesaikan dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan BPSK sebagai alternatif
penyelesaian sengketa yang adil, efektif dan efisien.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat disimpulan Globalisasi merupakan fenomena pembaharuan
membawa pengaruh cukup besar terhadap bidang ekonomi yang harus diikuti dengan
perubahan dan pembaharuan hukum karena hukum harus selalu memberikan kepastian.
Globalisasi mengakibatkan masuknya pranata ekonomi dan hukum asing ke dalam suatu
negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda, yaitu masuknya lembaga hukum yang
hanya ada pada sistem Common Law ke Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law
yang dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan benturan. BPSK merupakan salah satu
pranata hokum asing yang diadopsi kedalam pranata hokum Indonesia, hal ini sejalan dengan
tujuan UUPK adalah untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam menuntut
hak-hak konsumen, dengan penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK. Sejauh ini BPSK
masih terganjal dengan berbaiagan berbagai permasalahan yang melingkupi BPSK, hal ini
dikarenakan perbedaan system hokum, maka diperlukan upaya-upaya agar BPSK dapat
menjadi lembaga penyelesaian sengeta konsumen di luar pengadilan yang cepat, murah dan
adil sesui dengan amanah dari UUPK. Upaya yang biasa dilakukan BPSK adalah melakukan
perubahan terhadap substansi peraturan, kelembagaan BPSK, cara penerapan hukum serta
244 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Ahmad, 2004, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Iblam, Jakarta.
B.N. Marbun, 2006, Kamus Hukum Indonesia”, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Budiyono, Tri, 2009, Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan Studi
Transplantasi Doktrin Yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, Griya
Media, Salatiga.
Ihromi, 1993, Beberapa Catatan Mengenai Metode Sengketa yang Digunakan Dalam Antropologi
Hukum, dalam Antropologi Hukum; Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta.
Kurniawan, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Problematika Kedudukan dan Kekuatan
Putusan BPSK, UB Press, Malang.
Moore, Cristoper. W, 1996, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict”,
Edisi Kedua, Jossey-Bass Publishers, San Francisco.
Nader, Laura dan Harry Todd dalam Ihromi, 1993, Beberapa Catatan Mengenai Metode Sengketa
yang Digunakan Dalam Antropologi Hukum, dalam Antropologi Hukum; Sebuah Bunga
Rampai, Yayasan Obor, Jakarta.
Nasution, A.Z, 2004, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Raharjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wiyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar
Maju, Bandung.
Rohmad, Abu, 2008, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, Semarang.
Sidharta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta.
Syafa’at, Rachmad, 2006, Mediasi dan Advokasi Konsep dan Implementasinya, Agritek YPN
Malang Kerjasama dengan SOFA Press, Malang.
Triwulan Tutik, Titik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Pertama, Prestasi Pustaka Publisher,
Jakarta.
Usman, Rachmadi 2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Watson, Alan 2006, Legal Transplants and European Private Law, University of Belgrade
245
Putra: Transplantasi Common Law System ke dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen
Watson, Alan, 1974, Legal Transplants an Approach to Comparative Law, Scottish Academic
Press, America.
Widjaya, Gunawan, 2008, Transplantasi Trusts Dalam KUH Perdata, KUHD dan Undang
Undang Pasar Modal Ed. 1. Cet.1, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Witanto, D. Y, 2011, Hukum Acara Mediasi (dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan), Alfabeta, Bandung.
Sumber Lain
Arsha Putra, I Putu Rasmadi, I Ketut Tjukup, dan Nyoman A. Martana dkk, Tuntutan Hak dalam
Penegakan Hak Lingkungan (Environmental Right) Jurnal Hukum Acara Perdata, Vol. 2,
No. 1, Januari – Juni 2016.
Atmasasmita, Romli, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah
disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar, 14-18 Juli
2003.
Atmasasmita, Romli, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah
disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18
Juli 2003.
Mariam Budiardjo, 1982, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia.
Budiyono, Tri, Menggagas Sintesa Global-Lokal dalam Membangun Hukum Ekonomi, Jurnal
Ilmu Hukum, Edisi April-Oktober 2002.
Friedman, Lawrence M, American Law: as an Introduction”, Jurnal Keadilan Vol. 2 No. 1
Tahun 2002.
Orucu, Esin, Critical Comparative Law: Considering Paradoxes for Legal System in Transition,
Vol. 4.1, June 2000, Netherlands Comparative Law Association.
Tilman Soares, Duarte Perbandingan Penerapan Hukum Nasional Timor Leste dengan Hukum
yang berlaku di Indonesia. Makalah seminar di fakultas
Undang-undang
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
246 JHAPER: Vol. 2, No. 2, Juli – Desember 2016: 229–246
MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengajuan Keberatan terhadap